• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Negara yang sedang berkembang pada umumnya seperti Negara Indonesia. Sebagaimana negara-negara yang sedang berkembang. Indonesia banyak menerima pengaruh yang berasal dari negara sekitarnya. Baik itu pengaruh yang sifatnya positif maupun yang bersifat negatif. Dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat maka negara berusaha untuk mengikuti baik itu bidang pertanian, perindustrian, maupun teknologi pengobatan. Salah satu obat-obatan yang berkhasiat dan sangat dibutuhkan bagi kepentingan umat manusia adalah narkotika.

Persoalan narkotika merupakan masalah klasik tetapi masih menjadi ganjalan besar dan penegakan hukum dan perkembangan bangsa.Tindak pidana tidak lagi dilakukan oleh pemakai dan pengedar dalam menjalankan operasi barang berbahaya tersebut. Dari fakta yang dapat disaksikan hampir setiap hari melalui media cetak maupun elektronik, ternyata barang haram tersebut telah merebak kemana-mana tanpa pandang bulu, terutama di antara generasi remaja yang sangat diharapkan menjadi generasi penerus bangsa dimasa mendatang.

Narkotika memiliki dampak positif karena sangat bermanfaat dan diperlukan untuk pengobatan dan pelayanan kesehatan, namun apabila disalah gunakan atau digunakan tidak sesuai dengan standar pengobatan, terlebih jika disertai dengan peredaran narkotika secara gelap akan menimbulkan akibat yang sangat merugikan perorangan maupun masyarakat khususnya generasi muda, bahkan dapat menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi kehidupan dan nilai-nilai budaya bangsa yang pada akhirnya akan dapat melemahkan ketahanan nasional1. Semakin merebaknya penyebaran narkotika disebabkan oleh kemajuan teknologi yang berdampak negatif, tindak pidana

1 Irwan jasa tarigan,2017, narkotika dan penanggulangannya,deepublish,cv budi utama,yogyakarta, hlm 18.

(2)

penyalahgunaan narkotika dengan mengunakan modus operandi yang semakin canggih. Hal tersebut merupakan tantangan bagi aparat penegak hukum untuk menciptakan penanggualangannya, khususnya dalam kasus narkotika dan obat-obatan terlarang2.

Sehubungan dengan berkembangnya konsorsium peredaran gelap Narkotika di Indonesia, ditinjau dari karakteristik tindak pidana Narkotika yang dilakukan secara terorganisasi yang memiliki struktur dengan pembagian tugas dan peran oleh masing-masing pelaku serta dilakukan secara terencana dan terselubung dalam arti bahwa kegiatan peredaran gelap Narkotika dilakukan secara tertutup dari masyarakat umum dan hanya diketahui oleh para pelaku yang terlibat dalam konsorsium peredaran gelap Narkotika juga memanfaatkan bantuan teknologi informasi dan transportasi yang modern untuk mengembangkan modus-modus operandi yang baru, misalnya dengan cara menyebunyikan Narkotika dalam hak sepatu, buku, papan selancar, produk makanan dan minuman kaleng, produk kosmetik, tabung oksigen, pipa, besi, kompresor dan barang-barang lainnya dengan tujuan untuk menyembunyikan atau mengelabui kegiatan ilegalnya dari petugas3.

Disamping mengembangkan modus operandi baru yang belum diketahui oleh petugas dalam menjalankan kegiatannya,pelaku yang terlibat dalam konsorsium peredaran gelap Narkotika juga seringkali melakukan pertukaran tugas dan peran antara pelaku dari suatu daerah ketempat yang lain sehingga petugas dilapangan kehilangan kontak atau informasi baik dengan pelaku tersebut maupun informannya.4

Berdasarkan data yang didapatkan dari media cetak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, jumlah penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan Rumah tahanan (rutan) di Indonesia pada tahun 2018 kasus

2 Moh.Taufik Makaro,2003,Tindak pidana Narkotika,ghalia Indonesia,Cetakan kedua,Jakarta, hlm 2.

3 Rahman Amin,2020, Perlindungan hukum justice collabolator dalam sistem peradilan pidana di Indonesia:studi perkara tindak pidana,deepublish, yogyakarta, hlm 12.

4 Ibid.

(3)

Narkotika sebanyak narapidana 74.037 bandar narkoba dan 41.252 narapidana narkoba sebagai pengguna 5dan pada tahun 2019 narapidana 77.849 bandar narkoba dan 51.971 pengguna6. Pada tahun 2020 narapidana 81.518 bandar narkoba dan 50.972 sebagai pengguna. Di tahun 2021 narapidana 116.930 bandar narkoba dan 28.483 sebagai pengguna narkotika.

7dan dari 120.042 pengguna dan 15.176 bandar, pengedar, penadah, atau produsen narkoba8.

Negara indonesia penyalahgunaan dan peradaran narkotika dilarang dan dijatuhi hukuman penjara. Oleh karena dijatuhi hukuman penjara, menyebabkan penjara di Indonesia pada umumnya overcapacity. Dan suburnya perkembangan jumlah penyalahgunaan dan peredaran narkotika di ikuti banyaknya permintaan dan pasokan narkotika. Seperti yang kita ketahui bahwa tujuan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terdapat didalam Pasal 4 “ menjamin penyalah guna mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, pada praktiknya penyalah guna dilakukan penahanan dan dihukum penjara tanpa upaya rehabilitasi. Penyalahguna dan pecandu dilarang secara pidana, tapi penyebab jadi penyalah guna dan pecandu adalah sakit adiksi kecanduan narkotika. Penyebabnya inilah yang harus ditanggulangi dengan rehabilitasi agar sembuh tidak menjadi penyalahguna lagi.

Upaya penyelesaian narkotika untuk mengurangi jumlah penyalahguna tidak cukup hanya dengan satu cara, namun harus dilakukan melalui rangkaian tindakan yaitu baik sarana hukum pidana (penal) dan non hukum pidana (non penal). Efektivitas hukuman juga dapat dilihat dari perspektif perlindungan atau kepentingan social. Jika hukuman dapat mencegah atau mengurangi kejahatan sebanyak mungkin, maka kejahatan tersebut dikatakan efektif. Meningkatnya jumlah kasus penyalahgunaan narkotika di bawah

5 https://www.beritasatu.com/archive/529886/napi-narkoba-bikin-lapas-dan-rutan-di-indonesia- kelebihan-kapasitas.

6 https://kepri.bnn.go.id/permasalahan-peredaran-narkoba-lembaga-pemasyarakatan/

7 https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2021/09/17/narapidana-kasus-narkoba-mendominasi- di-lapas-indonesia

8 https://dataindonesia.id/ragam/detail/mayoritas-penghuni-lapas-indonesia-dari-kasus-narkoba

(4)

lembaga pemasyarakatan menunjukkan perlunya pengawasan dan penangan yang memadai terhadap semua kasus yang terjadi.

Menurut penulis Salah satu hal yang menyebabkan menjadi kelemahan di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika yang masih memiliki banyak celah. Hal inilah yang menyebabkan tumbuhnya jaringan Narkotika di Indonesia. Lebih buruk lagi, pengguna merasa sulit untuk pulih dari kecanduan, sehingga mereka semakin terjerumus ke lubang hitam Narkotika. Padahal seharusnya Undang-undang Narkotika mengambil langkah-langkah hukuman sebagai upaya terakhir bagi pengguna Narkotika.

Sejauh ini, pengguna Narkotika dianggap sebagai pelaku kejahtaan, bukan korban. Pendekatan dalam Undang-undang Narkotika juga lebih mementingkan sanksi, dengan unsur-unsur yang tidak membedakan secara jelas antara pengguna, distributor, produsen, dan bandar Narkotika. Padahal, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika harus memprioritaskan dari segi kesehatan dan sosial daripada penindakannya.

Pecandu adalah pelaku kejahatan penyalah guna narkotika di mana kepemilikiannya digunakan untuk dikonsumsi sendiri dan dinyatakan oleh ahli dalam keadaan ketergantungan narkotika baik secara fisik maupun psikis atau dalam mengkonsumsi Narkotika secara terus menerus dan dalam waktu yang berkepanjangan, maka dapat memunculkan keinginan yang kuat dari pengguna atau pemakai Narkotika tersebut untuk menggunakan Narkotika kembali9. Dengan kondisi tersebut, sipelaku kejahatan atau pengguna Narkotika tersebut mengalami ketergantungan Narkotika. Definisi ketergantungan Narkotika dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat 14 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009, bahwa “ketergantungan Narkotika adalah kondisi yang ditandai oleh dorongan untuk menggunakan Narkotika secara terus- menerus dengan takaran yang meningkat agar menghasilkan efek yang sama dan apabila penggunaannya dikurangi dan dihentikan secara tiba-tiba, menimbulkan gejala fisik dan psikis yang khas”.

9 Anang Iskandar,2020, Politik Hukum Narkotika ,PT Elex Media Komputindo, Jakarta ,hlm. 66.

(5)

Dalam hal seseorang dengan keadaan dan kondisi ketergantungan terhadap Narkotika, dapat dikatakan seseorang tersebut sebagai pecandu Narkotika. Pengertian Pecandu Narkotika menurut Pasal 1 ayat 13 Undang- undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang “Narkotika adalah Orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada Narkotika, baik secara fisik maupun psikis”. Dengan kondisi fisik si pengguna atau pemakai yang ketergantungan narkotika, hal inilah yang menjadi keadaan yang membahayakan bagi pecandu Narkotika, sehingga dapat berakibat kerusakan organ tubuh dan dapat berakibat kematian bagi si pengguna. kebijakan hukum pidana yang memposisikan pecandu narkotika sebagai korban, bukan pelaku kejahatan. “Berdasarkan tipologi korban yang diidentifikasi menurut keadaan dan status korban, yaitu10:

1. Unrelated victims , yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku.

2. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.

3. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

4. Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

5. Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

6. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri. Pecandu narkotika merupakan self victimizing victims, karena pecandu narkotika menderita sindroma ketergantungan akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukannya sendiri.”

10 Dikdik M.Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 49-50.

(6)

Terkait dengan Putusan No. 585/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Pst Diketahui bahwa terdakwa Rio Reifan terkena sanksi pidana penjara terhadap tindak penyalahgunaan narkotika pada tahun 2015, 2017, 2019 dan kemudian pada tahun 2021 terdakwa tersebut dikenakan sanksi pidana penjara. Penulis ingin juga membandingkan penyalahgunaan narkotika terkait putusan Nomor 392/Pid.Sus/2021/PN Mdn diketahui bahwa terdakwa diberikan sanksi pidana berupa rehabilitasi Didalam kasus ini terdakwa melakukan penyalahgunaan narkotika Golongan I bukan tanaman yaitu shabu-shabu atau Metamfetamin (metilamfetamina atau desoksiefedrin) disingkat met, dan dikenal di Indonesia sebagai sabu-sabu adalah obat psikostimulansia dan simpatomimetik. Obat ini dipergunakan untuk kasus parah ADHD (Atention Deficit Hyperactivity Disorder) atau narkolepsi dengan nama dagang Desoxyn, tetapi kebanyakan terkhususnya negara Indonesia ada beberapa masyarakat disalahgunakan sebagai narkotika. Crystal meth adalah Bentuk kristal dari metamfetamina yang dapat dihisap lewat pipa11.

Undang-undang Narkotika No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika mewajibkan rehabilitasi bagi pengguna narkotika, namun Undang-undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 Narkotika secara kontradiktif juga memberikan hukuman penjara bagi pecandu narkotika. Kriminalisasi terhadap pengguna narkotika terlihat dalam Bab XV Ketentuan Pidana yang diatur dalam Undang-undang Narkotika No. 35 Tahun 2009 yang menjerat pelaku dalam semua perbuatan seperti memiliki, menguasai, menyimpan, jual beli dan lain sebagainya yang memberikan pelaku hukuman penjara bukan rehabilitasi, namun hingga saat ini tidak ada data mengenai persentase terdakwa kasus narkotika yang mendapatkan vonis penjara ataupun rehabilitasi.12

Pemerintah sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam menjamin kehidupan masyarakatnya telah berupaya dengan cukup baik dalam memberantas Narkotika selama ini. Salah satunya adalah dengan membuat

11https://id.wikipedia.org/wiki/Metamfetamina.

12 Albert Wirya, dkk, Di Ujung Palu Hakim: Dokumentasi Vonis Rehabilitasi di Jabodetabek Tahun 2014, Jakarta, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, 2016, hlm 5

(7)

kebijakan perubahan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah untuk meningkatkan kegiatan guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Undang-undang ini bertujuan untuk mengatur upaya pemberantasan terhadap tindak pidana Narkotika melalui ancaman sanksi pidana, antara lain pidana penjara, pidana seumur hidup, dan pidana mati.13

Berdasarkan upaya pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk menerapkan sanksi tindakan berupa rehabilitasi, sebenarnya cukup untuk menghindari sanksi pidana, hanya dengan membentuk Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 terkait dengan pelaksanaan atau petunjuk teknis penempatan penyalah guna dan pecandu narkotika di lembaga rehabilitasi.

Pemerintah dan aparat penegak hukum harus terus meningkatkan upaya menempatkan penyalahguna dan pecandu narkotika di fasilitas rehabilitasi dari pada menjebloskan mereka ke dalam penjara. Efek negative terburuk dari penjara adalah membuat dari yang seorang pengguna saja bisa menjadi pengedar, kurir atau bahkan seorang bandar.

Hal ini yang membuat penulis menarik untuk melakukan pembahasan yang lebih mendalam tentang bagaimanakah penerapan sanksi terhadap penyalahguna menurut Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika, dan tentang bagaimanakah Pertimbangan Hakim dalam Putusan terhadap perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika.

B. Perumusan masalah

1. Bagaimanakah penerapan sanksi terhadap penyalahguna narkotika menurut Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika ?

13 Siswanto, Politik Hukum Dalam Undang-Undang Narkotika(UU Nomor35 Tahun 2009), Rineka Cipta, Jakarta, 2012, hlm 1.

(8)

2. Bagaimanakah Pertimbangan Hakim dalam Putusan No.

585/Pid.Sus/2021/PN Jkt.Pst dan putusan pengadilan medan No:392/Pid.sus/2021/Pn.Mdn ?

C. Ruang Lingkup Penelitian

Tujuan penelitian ini dilakukannya sebuah penelitian atau penulisan secara deklaratif, dan merupakan pernyataan-pernyataan tentang yang hendak dicapai dengan dilakukan sebuah penelitian atau penulisan karya ilmiah.

Ruang lingkup peneltian dibuat untuk mengemukakan batas area penelitian dan umumnya digunakan untuk mempersempit pembahasannya. Maka ruang lingkup penelitian ini dibatasi sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui tentang penerapan sanksi yang diberikan kepada penyalahguna Narkotika menurut Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 terhadap perkara tindak pidana penyalahguna narkotika.

2. Untuk mengetahui pertimbangan Hakim dalam Putusan.

D. Maksud dan Tujuan Penelitian

1. Maksud penelitian adalah untuk mengembangkan ilmu hukum dan bermanfaat, baik secara teontis maupun secarapraktis, secara teoritis penelitian ini berguna sebagai upaya pengembangan ilmu pengetahuan hukum melalui kegiatan pcndidikan, pelatihan dan seminar hukum.

Secara praktis hasil penelitian ini berguna sebagai upaya mengembangkan bahan pustaka bidang kajian utama hukum melalui kegiatan penulisan dan publikasi umum, selain itu hasil penelitian ini juga diharapkan berguna bagi masyarakat.

2. Tujuan penelitian adalah untuk mendalami permasalahan hukum secara khusus yang tersirat dalam rumusan permasalahan.

Contoh:

a) Untuk menjelaskan tentang penerapan sanksi yang diberikan kepada penyalahguna Narkotika menurut Undang-undang

(9)

Nomor 35 tahun 2009 terhadap perkara tindak pidana penyalahguna narkotika

b) Untuk menjelaskan Putusan Hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap tindak pidana penyalahgunaa narkotika.

E. Kerangka Teori dan Kerangka Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini teori Kepastian Hukum. Kepastian merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis, hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku bagi setiap orang. Kepastian sendiri disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Keteraturan menyebabkan orang dapat hidup secara berkepastian, sehingga dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Menurut Sudikno Mertokusumo, kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan dapat dilaksanakan.14Kepastian hukum erat kaitannya dengan keadilan, namun hukum tidak identik dengan keadilan. Hukum bersifat umum, mengikat setiap orang, bersifat menyamaratakan. Keadilan bersifat subyektif, individualistis, dan tidak menyamaratakan. Kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai dengan bunyinya, sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum dilaksanakan. Penciptaan kepastian hukum dalam peraturan perundang-undangan, memerlukan persyaratan yang berkenaan dengan struktur internal dari norma hukum itu sendiri15. Persyaratan internal tersebut adalah sebagai berikut:

14 Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum Suatu Pengntar, Liberty, Yogyakarta,hlm. 160

15 Fernando M Manulang, 2007,Hukum Dalam Kepastian, Prakarsa, Bandung, hlm. 95.

(10)

a. Kejelasan konsep yang digunakan norma hukum berisi deskripsi mengenai perilaku tertentu yang kemudian disatukan kedalam konsep tertentu pula.

b. Kejelasan hirarki kewenangan dari lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan. Kejelasan hirarki ini penting karena menyangkut sah atau tidak dan mengikat atau tidaknya peraturan perundang-undangan yang dibuatnya. Kejelasan hirarki akan memberikan arahan kepada pembentuk hukum yang mempunyai kewenangan untuk membentuk suatu peraturan perundang-undangan tertentu.

c. Konsistensi norma hukum perundang-undangan.

Ketentuan-ketentuan dari sejumlah peraturan perundang- undangan yang terkait dengan satu subjek tertentu, tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain. Kepastian hukum mengehendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan, dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis.

Aspek ini nantinya dapat menjamin adanya kepastian, bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

Berdasarkan uraian-uraian mengenai kepastian hukum diatas, maka kepastian dapat mengandung beberapa arti yakni, adanya kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan kontradiktif, dan dapat dilaksanakan. Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan, sehingga siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum.16

16 Ibid, hlm. 39.

(11)

2. Kerangka konseptual a. Narkotika

Secara sederhana Narkotika dapat diartikan sebagai zat atau obat yang berasal dari tanaman atau sintetis maupun semi sintetis yang dapat menurunkan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.Narkotika dan penyalahgunaannya diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang narkotika. Menurut pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan kedalam golongan-golongan sebagai terlampir dalam undang-undang ini.17

b. Peredaran Gelap

Setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hakataumelawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana narkotika dan prekursor narkotika.18

c. Pelaku

Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan.19

d. Sanksi Pidana

Penerapan adalah suatu proses, cara atau perbuatan dalam hal menerapkan, sedangkan yang dimaksud menerapkan adalah mengenakan atau mempraktekkan suatu aturan- aturan untuk mencapai tujuan tertentu. Sedangkan Sanksi adalah hukuman yang

17 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

18 Pasal 1 ayat 6 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

19 Pasal 55 Undang-undang nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana.

(12)

dijatuhkan kepada seseorang yang melanggar aturan. Jadi dapat di simpulkan penerapan sanksi adalah suatu proses,cara atau perbuatan yang di terapkan oleh penegak hukum dalam pemberian hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang yang melanggar aturan20.

e. Pidana

Penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat- syarat tertentu.Pada hakekatnya pidana merupakan suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat- akibat lain yang tidak menyenangkan, yang diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan dan dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut Undang- Undang.21

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum normatif, yaitu penelitian hukum yang mengutamakan data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Ada pun sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu penelitian yang menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebab atau gejala untuk menentukan ada atau tidaknyahubungan antara suatu gejala dengan gejala lain dalam masyarakat. 22

20 Sudarto,kapita selekta hukum pidana, penerbit alumni ,Bandung,1991,hlm 108.

21 Dahlan,2017. Problematika keadlian dalam penerapan pidana terhadap penyalahguna narkotika, deepublish,yogyakarta.hlm 14.

22Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo,

Jakarta,2004, hlm133.

(13)

2. Metode Pendekatan

Berlandaskan masalah yang diajukan, digunakan metode pendekatan yuridis sosiologis yaitu metode pendekatan perundang- undangan dan pendekatan kasus artinya dalam menguraikan dan menganalisa suatu masalah atau kasus melihat peraturan perundang- undangan dan dikaitkan dengan kasus yang nyata dalam penelitian ini.

Kemudian menggunakan pendekatan kasus sebagai bahan analisis, melihat penerapan Hukum menurut Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika terhadap tindak pidana penyalahgunaan Narkotika dan putusan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana terhadap perkara tindak pidana penyalahgunaan Narkotika. Sehingga dapat disimpulkan bahwa metode penelitian yang digunakan penulis adalah deskriptif normatif.

3. Teori Kepastian Hukum

Definisi Kepastian Hukum Dalam menjelaskan kepastian hukum ini maka perlu kiranya penulis menyampaikan bahwa hal itu didasarkan pada adanya pendapat dari Gustav Radbruch bahwa hukum memiliki keharusan untuk memuat tiga nilai dasar dimana dalam bukunya menuliskan bahwasannya dalam hukum terdapat tiga nilai dasar yaitu kepastian hukum (rechtssicherheit) dimana dalam kepastian hukum membahas dari sudut yuridis, keadilan hukum (gerechtigkeit) dimana dalam keadilan hukum membahas sudut filosofis sebagaimana keadilan adalah persamaan hak bagi semua orang yang memiliki urusan di ranah pengadilan, dan kemanfaatan hukum (zweckmassigkeit) dimana dalam kemanfaatan hukum membahas mengenai utility atau nilai guna. Dalam hal ini dari ketiga hal yang telah disebutkan tersebut memiliki perannya sendiri-sendiri dimana dalam hal kepastian hukum harus dipenuhi terlebih dahulu karena dalam kepastian hukum melihat dari segi yuridis sebelum memberikan keadilan hukum bagi seseorang dan kemanfaatan hukum yang menciptakan nilai guna, maka dari itu penulis disini dalam

(14)

penelitiannya akan condong dan fokus pada kepastian hukum namun tetap akan menjelaskan keadilan dan kemanfaatan hukum secara umum.

4. Teori Keadilan

Jhon Rawls John Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan bagi seluruh masyarakat, tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan. Rawls kemudian menegaskan pandangannya terhadap keadilan, bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan, haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan. Pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebesan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi, sehingga dapat memberi keuntungan bersifat timbal balik.23

a. Teori Keadilan Plato

Plato dalam teorinya mengemukakan dua jenis keadilan, yaitu:

1. Keadilan Moral suatu perbuatan dapat dikatakan adil secara moral, apabila telah mampu memberikan perlakuan yang seimbang antara hak dan kewajibannya.

2. Keadilan Prosedural suatu perbuatan dikatakan adil secara prosedural apabila seseorang telah mampu melaksanakan perbuatan adil berdasarkan tata cara yang telah diharapkan.

b. Aristoteles memberikan penjelasan mengenai masalah keadilan sebagai berikut:

1) Keadilan Distributif (memberi bagian) Mengatur pembagian barang-barang dan penghargaan kepada tiap orang sesuai dengan kedudukannya dalam masyarakat, serta menghendaki perlakuan yang sama bagi mereka yang berkedudukan sama menurut hukum.

23 John Rawls, 2006, Teori Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hlm.13

(15)

2) Keadilan Korektif (mengadaan perbaikan) atau remedial (memberikan pengobatan), adalah terutama merupakan suatu ukuran dari prinsip-prinsip teknis yang menguasai administrasi dari pada hukum pelaksanaan undang-undang. Dalam mengatur hubungan hukum perlu ditemukan ukuran umum untuk menanggulangi akibat-akibat perbuatan, tanpa memandang siapa orangnya dan maksudnya baru dapat dinilai menurut suatu ukuran objektif. Hukuman harus memperbaiki kejahatan, ganti rugi harus memperbaiki kesalahan/penyelewengan perdata, pengembalian harus memperbaiki keuntungan yang diperoleh dengan tidak wajar. Konsepsi mengenai Themis, yaitu dewi yang menimbang neraca tanpa memandang siapa orangnya, mengiaskan bentuk keadilan ini. Tetapi ini (keadilan korektif) harus dipahami sebagai takluk kepada keadilan distributif.24 3) Keadilan menurut Franz Magnis Suseno

Franz Magnis Suseno membedakan keadilan kedalam keadilan dalam arti formal dan keadilan dalam arti materil. Menurut Magnis Suseno sebagaimana dikutip oleh Martitah, keadilan dalam arti formal (prosedural) adalah keadilan dalam arti bahwa hukum itu berlaku secara umum, sedangkam keadilan dalam arti materil (substantif) adalah keadilan dalam arti bahwa setiap hukum harus sesuai dengan cita-cita keadilan masyarakat.

5. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian hukum normatif ini, jenis data yang digunakan adalah Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, melaluipenelitian kepustakaan (library research) dimana data ini di dapat berupa bahan hukum atau literature yang berhubungan erat dengan penulisan. Data sekunder ini terdiri atas :

24 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2012, Filsafat, Teori dan Ilmu Hukum;Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Rajawali Pers, Jakarta, hlm.268-269

(16)

a. Bahan hukum primer yaitu bahan yang isinya mengikat karena dikeluarkan oleh pemerintah berupa perundang-undangan atau peraturan lain yang berkaitan dengan penelitian ini antara lain : 1) Undang-undang nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

2) Undang-undang nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.

3) Kitab Undang-undang Hukum Pidana) Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana

4) Undang-undang nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer yang digunakan, serta membantu dalam menganalisa dan memahami bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder adalah berupa hasil telaah kepustakaan daribuku-buku,makalah, karya tulis dan dokumen lain yang didapat dari berbagai kepustakaan serta pendapat ahli tentang undang-Undang.

c. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian Kepustakaan adalah Penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan data sekunder, yang dilaksanakan dengan cara mengumpulkan informasi, kemudian dengan menganalisa dan membaca buku-buku dan tulisan-tulisan yang ada hubungannya baik baik secara langsung maupun secara tidak langsung dengan materi yang dibahas, termasuk juga peraturan perundang-undangan yang terkait. Semua itu didapatkan dari berbagai perpustakaan.

6. Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan data

Langkah yang dilakukan setelah memperoleh data adalah menganalisis data tersebut. Teknik analisis data merupakan tahap yang dilakukan setelah data terkumpul, ini merupakan hal yang penting agar data yang sudah terkumpul dengan cara yang benar

(17)

dapat menghasilkan jawaban dari permasalahan. Analisis data ini meliputi kegiatan mengatur, menguraikan, memberkode, meklarifikasi data. Setelah melakukan analisa dan menggunakan data sekunder, langkah selanjutnya dilakukan oleh menarik kesimpulan, yaitu tinjauan ulang terhadap analisa permasalahan yang diteliti kemudian ditulis secara garis besarnya.

b. Analisis Data

Setelah berhasil dikumpulkan, baik data primer maupun data sekunder, kemudian data tersebut di analisis secara deskriptif.

Analisis kualitatif adalah analisis yang buka berbentuk angka- angka, tapi berdasarkan peraturan perundang- undangan, teori para ahli sehingga ditarik kesimpulan yang tepat.

G. Sistematika Penulisan

Guna memudahkan mengikuti pembahasan skripsi ini penulis membagi skripsi ini dalam lima (5) bab sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Yaitu menguraikan latar belakang masalah, identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, kerangka teoritis, kerangka konseptual, metode peneltian, dan sistematika pembahasan.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan kepustakaan menurut teori yang merupakan dasar- dasar yang mendukung penulisan skripsi ini, termasuk yang akan dipergunakan dalam membuat analisis kerangka teoritis dan kerangka konsep untuk kemudian diperbandingkan dengan hasil penelitian das sein dan das sollen

BAB III : PENERAPAN SANKSI TERHADAP PENYALAHGUNA NARKOTIKA MENURUT PERATURAN PERUNDANG

(18)

- UNDANGAN REPUBLIK INDONESIA Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika:

Pemabahasan antara lain memuat analisis hasil penelitian yang dianggap menjawab pokok permasalahan, memuat tinjauan umum tentang garis besar konsep yang tertuang dalam judul, juga sebagai bab inti berupa argumentasi-argumentasi hukum.

BAB IV : BAGAIMANAKAH PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PUTUSAN No. 585/Pid.Sus/2021/PNJkt.Pst dan Putusan Pengadilan Medan No : 392/Pid.sus/2021/Pn.Mdn. :

Merupakan hasil analisis penelitian yang menjawab rumusan masalah kedua.

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini memberikan uraian tentang kesimpulan yang merupakan pernyataan ringkas, padat, dan jelas yang dijabarkan dari hasil penelitian. Bab ini juga memuat saran yang merupakan pertimbangan penulis dari hasil pembahasan dan ditujukan kepada para peneliti dalam bidang sejenis, atau dapat juga ditujukan kepada instansi pemerintah atau lembaga tertentu.

Referensi

Dokumen terkait

Namun demikian, mereka masih harus menghadapi gangguan yang datang dari dalam umat Islam sendiri, yaitu berupa perselisihan etnis yang semakin tajam antara kaum bangsawan Arab

Kesulitan tersebut membuat interaksi protein-ligan menjadi kurang spontan dibandingkan dengan docking secara fleksibel, terlihat dari nilai ΔG yang menurun

Berdasarkan uji aktivitas mananase fraksi 60-80% aktivitas enzim tertinggi pada suhu 70 C (Gambar 6). Pengaruh suhu terhadap aktivitas relatif mananase hasil

[r]

Meningkatkan Kemampuan Motorik Kasar Anak Melalui Pembelajaran Tari Kreasi Bali. Variabel Dimensi Indikator Item Pernyataan Pengumpulan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Garis hijau : meningkatkan mekanisme tubuh Garis Merah : mekanisme imun tubuh. : hasil pemeriksaan

Mereka juga dapat memperoleh kesempatan lebih lama untuk menikmati masa remaja dan mengeksploitasi berbagai iptek yang ada didunia serta mengikuti