• Tidak ada hasil yang ditemukan

عند تاريخ الحضارة الا سلامية أن الا ندلس داخل فى الولاية

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "عند تاريخ الحضارة الا سلامية أن الا ندلس داخل فى الولاية"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Fatikhah

Abstrak :Dalam sejarah peradaban Islam (Islamic civilization historic), Andalusia

(Spanyol; Andalucia) merupakan sebuah wilayah Spanyol yang paling padat penduduknya dan pulau terbesar kedua dari 17 wilayah yang membentuk Spanyol, dengan ibu kota Sevilla. Secara historis, Islam masuk Andalusia sejak tahun 711 M, - di bawah pimpinan Walid bin Abdul Malik dari Daulah Bani Umayah di Damaskus. Ini semua berkat jasa dari Tarif bin Malik, Thariq bin Ziyad dan Musa bin Nusair. Pasca dikuasainya Andalusia di Spanyol, pemerintahan Islam pun segera dibentuk dengan berbagai variasi bentuk pemerintahan. Namun ironisnya, Umat Islam yang telah berkembang dengan pesat tersebut dapat tersingkir dari Andalusia yang kini hanya tinggal pung-puing sejarah belaka. Dari fenomena sejarah ini, pendidikan politik yang dapat diambil adalah perlunya umat Islam untuk menjalin persatuan (nations state), persaudaraan (brotherhood) serta tidak tergiurnya terhadap aspek duniawi (profanitas) dan kekuasaan – yang pada akhirnya akan mengakibatkan pada perpecahan dan hancurnya suatu agama dan negara.

ا ةرﺎﻀﳊا ﺦﻳرﺎﺗ ﺪﻨﻋ

ﺔﻳﻻﻮﻟا ﰱ ﻞﺧاد ﺲﻟﺪﻧﻷا نأ ،ﺔﻴﻣﻼﺳ

اﻹ

ﰱ تﺎﻳﻻﻮﻟا ﻊﻴﲨ ﻦﻣ ﺔﺒﺴﻨﻟﺎﺑو ،ﺔﻴﻧﺎﺒﺳ

إ

ﺮﺜﻛأ ﺲﻟﺪﻧﻷا نﺎّﻜﺴﻓ ﺎﻴﻧﺎﺒﺳ

ﰱ ىﺮﺧﻷا تﺎﻳﻻﻮﻟا نﺎﻜﺳ ﻦﻣ

إ

ﺎﻴﻧﺎﺒﺳ

.

ﻹا ﻞﺧد

ﺬﻨﻣ ﺲﻟﺪﻧﻷا ﰱ مﻼﺳ

ﺔﻨﺳ

٧١١

ﰱ ﺔﻳﻮﻣﻷا ﺔﻟوﺪﻟا ﻦﻣ ﻚﻟﺎﻣ ﻦﺑا ﺪﻴﻟﻮﻟا ﺔﺳﺎﻳر ﺖﲢ ﺔﻳدﻼﻴﻣ

ﻖﺸﻣد

.

ﻢﻫ ﲑﺼﻧ ﻦﺑا ﻰﺳﻮﻣو دﺎﻳز ﻦﺑا قرﺎﻃو ﻚﻟﺎﻣ ﻦﺑا فرﺎﻃ نﺎﻛو

ا ﺮﺸﻧ ﰱ ﺎﻣﺎﻫ ارود نوروﺪﻳ ﻦﻳﺬﻟا

ﺲﻟﺪﻧﻷا ﰱ مﻼﺳ

.

ﻂّﻠﺴﻳ نأ ﺪﻌﺑو

شﻮﻴﳉا

ﰱ ﺲﻟﺪﻧﻷا نﻮﻤﻠﺴﳌا

إ

ﺔﻟود اﻮﻣﺎﻗﺄﻓ ﺎﻴﻧﺎﺒﺳ

إ

ﻪﻴﻓ ﺔﻴﻣﻼﺳ

.

ﺪﻌﺑو

ﺔﻟوﺪﻟا ﻚﻠﺗ ﺖّﻄﳓﺎﻓ نﺎﻣﺰﻟا روﺮﻣ

.

اﻮﻓﺮﻌﻴﻟ مﻮﻴﻟا ﲔﻤﻠﺴﻤﻠﻟ ةﱪﻋ ﻩﺬﻬﻓ

(2)

ﻊﻓﺪﻟ ﺎﻴﻧﺪﻟا ﺐﺣ بﺎﻨﺘﺟاو ةﻮﺧﻷاو دﺎﲢﻻاو ﺎﻬﺘﻴﺑﺮﺗو ﺔﺳﺎﻴﺴﻟا ﻪﻘﻓ ﺔﻴﳘأ

طﺎﻄﳓﻻاو قﺮﻔﺘﻟا ﻦﻣ دﻼﺒﻟا

.

In Islamic civilization history, Andalusia is an area located in Spain—the populous and the second largest island of seventeen areas forming Spain—whose capital city is Seville. Islam, historically, arrived at Andalusia during 711 under the commander Walid bin Abdul Malik from Umayyad dynasty in Damaskus. All of these because of the merit of Tarif bin Malik, Thariq bin Ziyad, Musa bin Nusair. After the conquest of Andalusia in Spain, Islamic administration was formed soon with various types of administrative formation. Ironically, however, Muslim community that had developed rapidly could be shoved aside by Christian empire so that the only thing left is historical ruins. From this historical phenomenon, political education that can be taken is that Muslim community should be united in a nation, brotherhood, and not be bewitched by profanity and power, which finally will cause disunity and destruction of religion and state.

Kata Kunci : Distorsi, Andalusia, dan Umat Islam PENDAHULUAN

Andalusia (Spanyol: Andalucia) adalah sebuah wilayah Spanyol yang paling padat penduduknya dan pulau terbesar kedua dari 17 wilayah yang membentuk Spanyol, dengan ibu kota Sevilla. Secara historik, nama Andalusia berasal dari bahasa Arab ”al-Andalus”, yang merujuk kepada bagian dari jazirah

Iberia yang dahulu berada di bawah kekuasaan muslim (www. Muslim. Co.id. 2008). Di wilayah tersebut, kini telah berdiri Negara Spanyol dan Portugal (Depag RI, 1993). Keberadaan Umat Islam di Andalusia ini hampir delapan abad (97 H–

898 H/711 M – 1492 M), dan telah membawa angin segar terhadap kemajuan dunia barat hingga sekarang.

Sejak masuknya Islam di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad pada awal abad ke delapan masehi atau abad pertama hijriyah hingga tersingkirnya mereka

(3)

pada abad ke 15 Maseh/abad ke 9 H ini, Islam ternyata telah banyak meningglkan kenangan yang tidak ternilai harganya. Peninggalan-peninggalan Islam di Andalusia, kini hanya bisa menjadi saksi sejarah. Bangunan tua monumental yang bernilai seni arsitektur tinggi seperti masjid jami`dan Madinatuz Zahro di Cordova, Istana al-Hamra (Alhambra) di Granada serta Alcazar di Sevilla dan lain-lain, kini tinggal kenangan sejarah.

Nourouzzaman Shiddiqi dalam bukunya ”Tamaddun Muslim”

menyatakan bahwa kemajuan umat Islam di Andalusia selama sekitar delapan abad, telah mencapai puncak kejayaannya, dalam bentuk suatu peradaban atau kebudayaan yang sangat mengagumkan. Dalam hal peradaban, umat Islam waktu itu ternyata sudah mampu membuat bangunan yang indah dan kuat, demikian pula dalam pembuatan alat-alat perkapalan, pertanian dan irigasi serta perdagangan internasional. Sementara dalam hal kebudayaan dan ilmu pengetahuan, ternyata juga telah melahirkan tokoh-tokoh kenamaan, seperti: ahli sejarah, ahli ilmu bumi, ahli astronomi, ahli kedokteran, mistik music dan filsafat (Shiddiqi, 1986: 75).

Pada masa kepemimpinan Mawali, atau gubernur-gubernur yang diangkat oleh pemerintahan Daulah Bani Umayyah di Damaskus, umat Islam dihadapkan pada krisis kepemimpinan. Terdapat perbedaan pandangan antara khalifah di Damaskus dengan gubernur Afrika Utara yang berpusat di Kairawan. Masing-masing mereka mengaku berhak menguasai daerah Andalusia ini sehingga terjadi dua puluh kali pergantian wali dalam jangka waktu yang pendek (Yatim, 1997: 94). Pada masa kepemimpinan berikutnya, umat Islam dipimpin oleh keturunan Dinasti Umayah yang lolos dari kejaran Daulah Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Abdurrohman ad-Dakhil, sebagai penerus dinasti tersebut, ternyata berhasil merebut kekuasaan mawali, menjadi pimpinan umat Islam secara turun temurun. Hingga akhirnya, Umat Islam Andalusia terpecah pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil yang lebih dikenal dengan Muluk ath-Thowaif. Dalam kondisi demikian, muncul gerakan Kristen yang dikenal dengan reconquista, yang sejak tahun 478 H/1085 M telah mendapat angin segar untuk menaklukkan Islam Andalusia dengan memperlihatkan keberingasannya. Akhirnya, satu demi

(4)

satu kekuasaan raja-raja Islam Andalusia takluk di bawah kekuasaan kerajaan Kristen. Tanpa kecuali, kerajaan Islam yang terlama di Granada pun terpaksa menyerah juga kepada raja Ferdinand dan Isabella pada tanggal 2 Robiul Awal 898 H/1492 M. Namun sebelumnya, umat Islam pada waktu itu dihadapkan pada dua pilihan, yaitu meninggalkan agama Islam (masuk Kristen) atau keluar dari bumi Andalusia. Dari dua opsi tersebut, umat Islam tampaknya lebih memilih meninggalkan Andalusia dari pada meninggalkan akidah mereka. Dan dari perjalanan sejarah Islam di Andalusia ini pula, kiranya dapat kita jadikan suatu

ibrah (pelajaran) bagi umat Islam dan orang-orang yang berkiprah dalam bidang

perpolitikan atau pun yang bergelut dalam bidang kekuasaan, agar memperhatikan pentingnya menjaga ideologi kita dari intervensi dan tekanan politik.

Merujuk pada uraian di atas, ada dua pokok persoalan yang cukup menarik untuk diangkat dalam tulisan ini yaitu bagaimana keadaan umat Islam selama hampir delapan abad berada di Andalusia dan mengapa umat Islam di Andalusia yang begitu lama berada di sana bisa tersingkir ?

PEMBAHASAN

A. Kondisi Umat Islam Andalusia

Secara historik, sejarah masuknya Islam di Andalusia atau yang dikenal dengan nama Spanyol, tidak lepas dari peran tiga pahlawan yaitu Tharif bin Malik, Thorik bin Ziyad dan Musa bin Nushair. Ketika Khalifah Bani Umayah, yakni Walid bin Abdul Malik berkuasa, ekspansi wilayah terus digalakkan sampai ke Andalusia Spanyol. Musa bin Nusair sebagai gubernur Afrika waktu itu, memerintahkan kepada Tharif bin Malik untuk menguasai wilayah Spanyol. Namun setelah berhasil, mereka pulang ke Afrika Utara lagi. Pada tahun berikutnya, Musa bin Nusair mengutus Thariq bin Ziyad untuk melanjutkan penaklukan tersebut. Dengan membawa tentara 12.000 orang, pasukan Thariq mendarat di sebuah gunung yang akhirnya gunung tersebut diberi nama Jabal

Thariq (Gibraltar). Thariq bersama pasukannya berhasil memasuki wilayah

Spanyol pada tahun 711 M, dengan mengalahkan pasukan musuh yang jumlahnya lebih besar dari pasukan yang dibawanya. Dalam waktu tiga tahun kota–kota yang

(5)

berada di wilayah ini berhasil ditaklukkan seperti Cordova, Sevilla, Toledo, Saragossa, Granada, Sidonia, Karmona dan Marida.

Wilayah ini mudah ditaklukkan karena pada saat itu situasi dan kondisi masyarakat Eropa sedang mengalami penindasan yang dilakukan oleh para penguasa kristen katolik terhadap pemeluk agama lain (Yahudi). Oleh karena itu, Islam masuk ke daerah ini disamping kekuatan yang ada pada diri Islam sendiri juga ada pihak lain yang membantunya, yang antara lain adalah para penguasa setempat yang ingin membebaskan diri dari belenggu kebengisan para pengikut kristen.

Sejak kedatangan umat Islam di bumi Andalusia tahun 92 H/711 M hingga tahun 898 H/1492 M, mereka mampu mempertahankan kredibilitas selama 700 tahun lebih. Secara politik, pemerintahan Islam di Andalusia ini terbagi menjadi enam periode. Pertama, periode kepemimpinan para wali (gubernur) tahun 711

755 M; kedua, periode keamiran atau kepemimpinan keturunan Bani Umayah setelah berdirinya Daulah Bani Abbasiyah tahun 755 – 912 M; ketiga, periode kekhalifahan tahun 912 – 1013 M yang dimulai dari khalifah Abdur Ruhman III hingga munculnya raja-raja kelompok atau yang dikenal dengan Muluk

al-Thawaif; keempat, kepemimpinan raja-raja kelompok (Muluk al-Thawaif) tahun

1013 – 1086 M; kelima, periode kepemimpinan murobithun tahun 1086 - 1143 dan muwahhidun tahun 1146 - 1235 M; dan keenam, periode kepemimpinan Bani Ahmar tahun 1248 - 1492 M.

I. Periode Kepemimpinan Para Wali (Gubernur)/Masa Daulah Bani Umayah di Damaskus (92 - 137 H/ 711–755 M)

Pada periode ini umat Islam di Andalusia belum stabil karena masih ada gangguan-gangguan baik dari dalam maupun dari luar. Gangguan dari dalam diakibatkan oleh pertentangan di antara elit penguasa, karena adanya perbedaan etnis golongan. Sedang dari luar berasal dari khalifah di Damaskus yang berpusat di Kairawan, serta gangguan dari sisa-sisa bangsa Andalusia yang sembunyi di daerah pegunungan. Periode ini diakhiri dengan datangnya Abdurrohman ad-Dakhil tahun 138 H/755 M.

(6)

Pada periode ini umat Islam di Andalusia terdiri dari orang-orang yang berasal dari Arab, Afrika Utara dan dari penduduk pribumi Andalusia. Umat Islam pribumi lebih banyak jumlahnya, karena mereka merasa telah diselamatkan dari tirani kekejaman penyalahgunaan kekuasaan bangsa Visigoth Aristokrasi Jerman yang memerintah Andalusia sebelum Islam (Mahmudunnasir, 1994: 283). Dengan hadirnya Islam, mereka merasa senang dan menganggap saudara dan teman seperjuangan untuk mengusir musuh-musuh Islam di Andalusia.

Mereka merasa sudah merdeka dari pemerasan dan penekanan dari bangsa Visighot. Namun demikian, mereka masih harus menghadapi gangguan yang datang dari dalam umat Islam sendiri, yaitu berupa perselisihan etnis yang semakin tajam antara kaum bangsawan Arab dan Barbar sebagai pemimpin muslim Andalusia. Dengan adanya perbedaan etnis tersebut, mereka, bangsa Arab, Barbar dan Andalusia, saling mengklaim bahwa etnis merekalah yang seharusnya menjadi pemimpin. Akibatnya, dalam pereode kepemimpinannya yang demikian singkat tersebut, terjadilah dua puluh kali pergantian wali hingga hadirnya Abdur Rahman ad-Dakhil, cucu khalifah Umayah ke 10, yakni Hisyam bin Abdul Malik ibnu Marwan ibnu Hakam, yang note bene penerus Daulat Bani Umayah di Andalusia tahun 138 H/755 M.

II. Periode Daulat Bani Umayah di Andalusia / Periode Keamiran / Kepemimpinan Keturunan Bani Umayah (138- 300 H/755– 912 M)

Pada periode ini pemerintahan sudah dipimpin oleh seorang yang bergelar amir, mereka tidak tunduk pada pemerintahan pusat di Baghdad yang dikuasai oleh Bani Abbasiyah. Umat Islam pada periode ini dipimpin oleh keturunan Bani Umayah yang berhasil meloloskan diri dari kejaran Bani Abbasiyah di Baghdad. Abdurrohman ad-Dakhil yang termasuk salah seorang cucu Hisyam Ibnu Abdul Malik dari Dinasti Bani Umayah yang selamat dari pembantaian, menjadi amir pertama umat Islam Andalusia setelah berhasil mengalahkan Wali Gubernur

Ifrikiyah yang tunduk kepada pemerintahan Baghdad (Zaidan, 1978: 268).

(7)

tunduk pada Abbasiyah, namun masih banyak tantangan berat yang harus dihadapi, terutama dari kepala-kepala suku Arab dan Barbar yang berambisi untuk menjadi penguasa Andalusia. Bahkan ada di antara dari kepala suku Arab yang ternyata mencari bantuan kepada Charle Magne Agung, seorang pejuang agama Kristen dari Perancis - untuk merusak umat Islam. Charlemagne datang dengan prajuritnya yang begitu besar, kemudian bergabung dengan tentara kepala suku Arab tersebut. Umat Islam di bawah pimpinan Abdur Rohman ad-Dakhil berhasil mengalahkan persekutuan tentara Arab tersebut. Kepala suku Arab yang memberontak tersebut, mendapat hukuman yang cukup berat.

Secara politis, para amir yang berkuasa pada periode ini antara lain : Abdurrohman ad-Dakhil, Hisyam I, Hakam I, Abdurrohman al-Ausath. Muhammad bin al-Rohman, Mundzir Ibnu Muhammad dan Abdullah bin Muhammad (Yatim, 2004: 95). Pada periode ini, Andalusia mengalami sedikit gangguan dari kaum fanatic Kristen yang tidak mendapat simpati dari masyarakat kristen lainnya, karena adanya sikap amir yang memberi kebebasan kepada mereka untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Adapun gangguan yang paling serius adalah pembrontakan dari umat Islam sendiri di Toledo. Mereka membuat pemerintahan sendiri pada tahun 852 M dan mereka mampu bertahan selama 80 tahun.

Dilihat dari pembagian tugas di pemerintahan, Amir pertama, Abdur Rokhman, diangkat sebagai seorang administrator yang bijaksana yang tugasnya mengatasi semua pemberontakan dari berbagai kepala suku. Secara riil, beliau membagi imperiumnya ke dalam enam propinsi yang dikepalai oleh gubernur-gubernur dengan penjagaan keamanan kerajaan. Mereka terdiri dari kalangan tentara yang terorganisir dengan baik dan terlatih yang terdiri dari 40.000 tentara bayaran Barbar (Mahmudunnasir, 1994: 283). Keberhasilan Abdur Rohman ad-Dakhil sebagai pendiri Daulah Bani Umayah di Andalusia ini, telah membawa kemajuan-kemajuan yang dirasakan umat Islam, baik dalam bidang politik, maupun bidang peradaban. Beliau mendirikan masjid Cordova dan

(8)

sekolah-sekolah untuk mencerdaskan umat Islam di kota-kota besar Andalusia, yang hingga sekarang masih ada.

Kedua, kepemimpinan Hisyam I. Hisyam I merupakan amir kedua

yang berjiwa lembut, bertaqwa, dan sangat disenangi oleh umat Islam. Beliau terkenal karena kedermawanan dan kesalehannya dalam menjalankan ajaran Islam dengan baik dan benar, sehingga para ulama dan ahli fiqih selalu berdampingan dengannya. Secara yuridis, beliau tergolong pemimpin yang tegas dalam menegakkan hukum Islam. Karena itu, jarang terdapat pemberontakan dan huru-hara dalam negeri, sehingga pembangunan berjalan terus. Sayangnya, persatuan umat Islam yang begitu kuat dan kokoh yang dibangun Amir Abdur Rohman I dan Hisyam I, - tepatnya pasca khalifah Hakam I (180 - 206 H/796 - 822 M) sebagai amir yang ketiga naik tahta, pecah dan terjadi gejolak antar umat Islam. Ukhwah Islamiyah mulai retak, karena kebijakan dan akhlaknya yang jelek. Ajaran Islam diinjak-injak, suka berfoya-foya, kejam dan senang mabuk-mabukan (Mahmudunnasir, 1994: 290) yang pada kahirnya menimbulkan tantangan hebat dari para ulama dan ahli fiqh.

Di sisi lain, Hakam I juga tidak segan-segan menyiksa secara kejam terhadap para ulama atau ahli fiqh yang mencoba menasihatinya, bahkan tidak sedikit yang dibunuhnya. Akibat dari kebijakan dan sifat pemimpin umat Islam yang tidak terpuji tersebut, ternyata sangat membahayakan kelangsungan hidup umat Islam Andalusia pada generasi berikutnya. Penyakit lama muncul kembali, yakni munculnya perpecahan antar suku. Sebagi contoh, munculnya pembrontakan yang dilakukan oleh suku Arab, suku Barbar dan muslim pribumi. Akibatnya, muncul rasa antipati muslim pribumi terhadap bangsa Arab dan Barbar sebagai penguasa Andalusia yang tidak pernah memberi kesempatan kepada mereka untuk memimpin tanah airnya sendiri.

(9)

Ketiga, pemerintahan Abdur Rohman II. Pada masa pemerintahan

Abdur Rohman II/al-Mutawassith (206 –238 H/822–852 M) ini, umat Islam masih tetap dalam perpecahan. Misalnya, adanya gerakan yang muncul dari Abdullah bin Abdur Rohman I yang berusaha menduduki tahta. Demikian juga gerakan Alfonso II, kepala suku Leon dan kepala-kepala suku Kristen lainnnya. Mereka menyerbu kota-kota Andalusia bagian utara dan kota-kota lain yang mungkin dapat mereka kuasai. Akan tetapi, Abdur Rohman II dengan angkatan perang yang kuat ternyata bisa menghalau mereka, dan menghukumnya dengan hukuman yang sangat berat. Hisyam, sebagai kepala suku muslim pribumi dan pengikutnya dibunuh tanpa ampun. Sementara, kerajaan-kerajaan kecil Kristen yang dipimpin oleh kepala suku mereka masing-masing, dibebani pajak yang berat, serta ditindak dengan tindakan yang kasar. Kebijakan Abdur Rohman II yang demikian kasar tersebut, ternyata semakin menambah rasa dendam dan kebencian. Belum lagi, adanya kebijakan pemerintahan Daulah Bani Umayah yang memaksakan pemimpin (Amir) itu harus dari keturunan anak-anak mereka. Dalam perjalanannya, Abdur Rohman II ini meninggal dunia.

Pasca meninggalnya Abdur Rohman II ini, kemudian digantikan oleh anaknya, yaitu Muhammad I (238-273 H/852– 886 M). Begitu Muhammad I meninggal, kemudian digantikan oleh Mundir (273 – 275 H/886 – 888 M), dan begitu Mundir meninggal, kemudian digantikan oleh Abdullah (275–300 H/888 – 912 M). Dalam masa kepemimpinan tiga orang amir ini, pembrontakan terjadi kembali.

III. Periode Kekhalifahan (300 - 350 H/912–1013 M)

Pada masa ini, Islam di Andalusia mencapai puncak kejayaannya, bahkan mampu menyaingi kejayaan Bani Abasiyah yang berpusat di Baghdad. Para penguasa Andalusia mulai memakai gelar khalifah yang terpisah dari Daulah Abasiyah di Baghdad. Masa kekhalifahan, di mulai pada masa Abdurrohman III. Beliau memaklumkan dirinya sebagai khalifah yang berkedudukan di Cordova

(10)

(Hasan, 1997: 176), pasca adanya berita bahwa khalifah al-Muqtadir, khalifah Abasiyah di Baghdad meninggal dunia (Yatim, 2004: 96). Adapun para khalifah yang terkenal pada masa ini adalah Abdurohman an-Nasir (912 - 961 M), Hakam II (961–976 M), dan Hisyam II (976–1009 M) (Yatim, 2004: 96 - 97).

Pertama, pereode kekhalifahan atau masa khalifah Abdur Rohman III

an-Nasir. Pada pereode kekhalifahan ini, umat Islam sudah agak retak. Namun berkat khalifah Abdur Rohman III an-Nasir (300 – 350 H/912 – 961 M) yang gagah perkasa, Islam berhasil dipersatukan lagi dalam jangka waktu 50 tahun. Bahkan Islam dapat melumpuhkan kekuatan kepala-kepala suku Kristen, Arab dan Pribumi. Masa ini merupakan puncak keemasan umat Islam Andalusia. Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat, begitu pula pembangunan-pembangunan yang lain, seperti: pembangunan kota al-Zahro dan saluran air yang menembus gunung sepanjang 80 kilo meter (Maryam, dkk, 2002: 86-87). Selain itu, umat Islam boleh berbangga - bila dilihat dari segi kemajuan peradaban dan kebudayaan. Madinah al-Zahro, yang sekarang disebut Cordova la Vieja, terlihat begitu mengagumkan dunia. Di dalamnya terdapat puri, jembatan yang kuat, sekolah-sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan, rumah sakit, rumah panti jompo, irigasi-irigasi, perdagangan, industri dan lain-lain. Dari sinilah kemudian melahirkan tokoh-tokoh besar, seperti Abdur Rohman Ibnu Khaldun, Ahmad Ibnu Rusyd, Hayyan Ibnu Khalaf, Jabir ibnu alfiyah, dan lain-lain (Shiddiqi, 1986: 86–

94).

Kedua, pereode khalifah Hisyam II. Dia diangkat menjadi khalifah II

pada saat baru berusia 11 tahun. Pada masa ini, kondisi umat Islam Andalusia kembali melemah. Ambisius kepala-kepala suku Arab, Barbar, pribumi dan Kristen untuk menguasai Andalusia berkobar kembali. Kerajaan-kerajaan kecil atau nama suku berdiri di kota-kota tertentu seperti Sevilla, Cordova, Toledo, dan lain-lain yang pada akhirnya mengakibatkan jatuhnya kekuasaan Daulah Bani Umayah di Andalusia (Watt, 1990: 217-218).

(11)

Pada periode ketiga, Islam di Andalusia mencapai puncak kejayaan. Namun, sayangnya pada periode ini mulai terpecah dan mengalami kemunduran. Ini disebabkan pejabat negaranya tidak mempunyai kecakapan yang mahir, yang ditandai dengan dihapuskannya jabatan khalifah oleh dewan menteri pada tahun 1013 M. Selain itu, antar umat Islam terlibat perang saudara yang pada akhirnya menghancurkan kekuatan Islam di bumi Andalusia itu sendiri. Namun demikian, kehidupan intelektual mereka tetap berjalan terus. Sementara di sisi lain, orang-orang kristen ternyata secara diam-diam mengambil inisiatif akan mengadakan penyerangan terhadap blok-blok kekuatan Islam yang sudah terpecah-pecah tersebut.

Peristiwa di atas terjadi pada saat umat Islam Andalusia dipimpin oleh raja-raja kerajaan kecil yang antara satu kerajaan dengan kerajaan lainnya saling berebut kekuasaan. Peperangan antar suku kembali terjadi, sehingga terbukalah peluang besar bagi musuh-musuh Islam untuk mengadu domba, merongrong dan menakukkan kerajaan kecil Islam. Adapun kerajaan-kerajaan kecil penting pada masa khalifah Muluk at-Thowaif adalah sebagai berikut :

1. Hamidiyah di Malaga 400–449 H/1010–1057 M 2. Abbadiyah di Sevilla 414–461 H/1023–1091 M 3. Jahwariyah di Cordova 422–461 H/1031–1069 M 4. Afthasiyah di Badajoz 413–487 H/1022–1094 M 5. Dzun Nuniyah di Toledo 419–478 H/1028–1085 M 6. Amiriyah di Valencia 412–489 H/1021–1096 M 7. Tujibiyah di Saragosa 410–420 H/1019–1029 M 8. Hudiyah di Saragosa 430–503 H/1039–1142 M 9. Nashriyah atau bani Ahmar di Granada 629–897 H/1232–1492 M

(Bosworth, 1989: 41).

V. Periode Murobithun (479– 541 H/1086 –1143 M) dan Muwahhidun (524

–667 H/1146–1235 M)

Pada Periode ini, meskipun Andalusia terpecah tetapi masih terdapat kekuatan yang dominan yaitu kekuasaan Murobithun dan Muwahhidun.

(12)

Daulah Murobithun pada mulanya adalah sebuah gerakan yang didirikan oleh Yusuf Ibnu Tsyfin di Afrika Utara. Pada tahun 1062 M, ia berhasil mendirikan sebuah kerajaan di Marakesy. Ia masuk ke Andalusia atas undangan penguasa-penguasa Islam di sana yang tengah memikul beban berat perjuangan mempertahankan negerinya dari serangan orang-orang Kristen. Ia dan tentaranya memasuki Andalusia tahun 1086 M dan berhasil mengalahkan pasukan Castilia. Karena perpecahan di kalangan raja-raja muslim, Tasyfin melangkah lebih jauh untuk menguasai Andalusia dan berhasil. Akan tetapi sepeninggal Tasyfin para penggantinya adalah raja-raja yang lemah, maka pada tahun 1143 M kekuasaan daulah ini berakhir dan digantikan oleh dinasti kecil. Kekuasan dinasti-dinasti kecil ini, ternyata hanya berlangsung tiga tahun dan pada tahun 1146, Daulah Muwahhidun yang berpusat di Afrika Utara merebut Saragosa, bersamaan jatuhnya Murobithun ke tangan Kristen. Pada masa ini sempat mengalami berbagai kemajuan. Ini terlihat ketika Muwahhidun berhasil menduduki kota-kota penting seperti Cordova, Almeria, dan Granada pada tahun 1114–1154 M. Tidak lama kemudian, Muwahhidun mengalami kemunduran. Pada saat yang sama, kebangkitan dan persatuan Kristen di Castellia dan Arragon, dengan reconquistanya, dapat terjalin kembali. Mereka mengadakan penyerangan ke wilayah-wilayah Islam, dan pada tahun 1212 M, tentara Kristen mendapat kemenangan besar di Las navas de Tolesa.

Kekalahan yang dialami oleh Muwahhidun inilah yang menyebabkan para penguasa lebih memilih meninggalkan Andalusia dan kembali ke Afrika Utara lagi, tepatnya pada tahun 1235 M. G.E. Boswoth dalam bukunya ”The Islamic Dynasties” menyatakan, bahwa setelah Muwahhidun meninggalkan Andalusia, sebagian besar kota-kota pusat kerajaan-kerajaan kecil Islam sudah jatuh ke tangan penguasa Kristen, kecuali kota Granada yang dilindungi oleh gunung dan benteng-benteng yang kuat dan kokoh yang kemudian lebih dikenal dengan istilah

“al-Hamra”yang artinya benteng merah (Bosworth, 1989: 42). Sementara, untuk kota-kota lainnya - jatuh ke tangan Kristen, seperti Cordova yang jatuh pada tahun 1238 M, dan Sevilla tahun 1248 M.

(13)

VI. Periode Bani Ahmar (898 H /1143–1492 M)

Secara historis, pasca jatuhnya kota-kota Islam di Indalusia ke tangan Kristen, kini hanya kota Granada saja yang masih dalam kekuasaan Islam. Kota ini, pada perkembangannya sanggup bertahan terhadap serangan-serangan musuh selama 44 tahun. Granada sebagai salah satu wilayah kekuasaan Islam yang mampu bertahan terhadap serangan musuh ini, ternyata telah berlangsung selama 262 tahun dengan 21 sultan. Secara historis, pemerintah Granada pernah mencapai puncak keemasannya, bahkan mampu menyaingi Cordova pada masa jayanya. Namun akhirnya, Raja Ferdinand dan Isabella berhasil menghancurkan Granada dengan serangan yang beruntun, yaitu tahun 1485, 1487, 1489, 1491 dan 1492. Hal ini ditandai dengan berhasil direbutnya pantai timur Almeria yang kini menjadi akhir dari kekuasaan Islam, atas seluruh wilayah Andalusia ke pangkuan orang-orang kristen (Shiddiqi, 1986: 75).

Secara praktis, pada periode ini umat Islam hanya berkuasa di daerah Granada yang waktu itu berada di bawah kekuasaan Bani Ahmar (1232 – 1492 M). Pada masa kekhalifahan Bani Ahmar, peradaban Islam kembali mengalami kemajuan pesat, seperti halnya pada masa Abdur Rahman an-Nasir. Secara politik, dinasti ini hanya berkuasa di wilayah kecil. Berakhirnya kekuasaan Islam di Andalusia ini dikarenakan adanya perselisihan antar orang-orang istana dalam memperebutkan kekuasaan. Abu Abdullah Muhammad merasa tidak senang kepada ayahnya karena menunjuk anaknya yang lain sebagai penggantinya menjadi raja. Dia akhirnya mengadakan pembrontakan dan berusaha merampas kekuasaan. Dalam pemberontakan tersebut, ayahnya terbunuh dan digantikan oleh Muhammad Ibnu Sa`ad. Abu Abdullah kemudian minta bantuan kepada Ferdinand dan Isabella untuk menjatuhkannya. Dua penguasa Kristen ini dapat mengalahkan penguasa yang sah, dan akhirnya Abdullah naik tahta. Dalam perkembangannya, penguasa Kristen terus menyerang umat Islam. Karena Abu Abdullah tidak kuasa menahan serangan-serangan tersebut, maka akhirnya ia menyerahkan kekuasaannya pada Ferdinand dan Isabella pada tahun 1492 M (Yatim, 2004: 100).

(14)

B. Faktor Penyebab Tersingkirnya Umat Islam Andalusia

Di atas telah disinggung bahwa selama hampir delapan abad, umat Islam Andalusia mengalami kemajuan yang demikian pesat dengan ditandai adanya berbagai pembangunan. Kamajuan yang demikian pesat ini ternyata membawa dampak positif, baik secara khusus, yakni bagi umat Islam, maupun secara umum, yakni bagi dunia internasional. Namun, kenangan sejarah yang sangat berharga ini, kini lenyap begitu saja, bahkan tak seorang muslim pun tersisa lagi di sana. Ini semua karena adanya dua sebab, yaitu sebab internal dan eksternal.

Pertama, sebab internal yang merupakan sebab yang datangnya dari umat

Islam sendiri. Faktor internal ini dikarenakan menurunnya rasa persaudaraan umat Islam yang pada akhirnya menimbulkan berbagai perpecahan yang sangat sulit untuk disatukan. Adanya dominasi suku-suku keturunan bangsa Arab dan Barbar, menjadikan muslim pribumi tidak mendapat kesempatan untuk tampil menjadi pimpinan. Kedua, sebab eksternal, yang merupakan sebab yang datang dari luar umat Islam, yaitu berupa gangguan dan serangan dari orang-orang kristen. Sebab eksternal ini ditandai dengan adanya persatuan dan kesatuan umat Kristen yang berkeinginan untuk menguasai tanah Andalusia seperti tempo dulu. Mereka mengusir orang-orang Arab dan Barbar serta orang Islam lainnya dari Andalusia. Peristiwa ini lebih terkenal dengan istilah “reqonquista”, yang gerakannya

terlihat sejak tahun 478 H/1085 M. Fenomena ini terjadi bersamaan dengan menyerahnya kota Toledo, yang hingga sekarang menjadi pusat gerakan kristen di satu sisi, di sisi lain membayang-bayangi kelemahan umat Islam.

Secara historis, Islam masuk dan menguasai Andalusia berkat jasa dan keberhasilan Thariq bin Ziyad (93 H/711 M). Tiga tahun Islam di Andalusia, seluruh kota-kota penting di sana berhasil dikuasainya (Shiddiqi, 1986: 68). Secara riil, kehadiran dan keberhasilan Islam di Andalusia ini, tampaknya disambut dengan penuh kegembiraan oleh penduduk pribumi. Mereka menerima Agama Islam dengan penuh kesadaran. Namun, hampir saja penaklukkan negara Perancis di balik pegunungan Pyrenee yang dipimpin oleh Charlemagne Agung

(15)

yang nota bene sebagai penguasa Kristen yang sangat gigih, merusak kekuasaan umat Islam di sana.

Menurut Thomas W. Arnold, banyak di antara bangsawan kristen terlepas dari kesadaran sendiri atau karena motif lain untuk memeluk agama Islam. Bahkan tidak sedikit rakyat jelata dan golongan menengah Islam dengan sungguh-sungguh meninggalkan agama Kristen (Arnold, 1979: 119). Begitu mereka masuk Islam, mereka melihat bahwa ajaran Islam itu penuh dengan kedamaian, persaudaraan yang harmonis, serta tidak dijumpainya rasa perbedaan dan derajat manusia, kecuali karena ketakwaannya (Depag RI, 1971: 847).

Betapa Indah dan menariknya ajaran Islam yang disampaikan bangsa Arab dan Barbar kepada pribumi. Mereka menjalankan dengan penuh keyakinan dan ketekunan. Namun, pada generasi berikutnya, anak cucu mereka merasakan lain. Mereka diperlakukan secara tidak adil oleh muslim Arab dan Barbar dengan panggilan `ibad dan muwalladun. Panggilan ini—menurut asumsi mereka—

merupakan suatu ungkapan yang sangat merendahkan (Yatim, 1997: 107). Rasa antipati mereka semakin lama semakin parah, setelah melihat umat Islam Arab sesama bangsa Arab dan antara Arab dengan Barbar saling berperang dan bermusuhan. Mereka tidak menerima pengangkatan kepemimpinan umat Islam berdasarkan keturunan sebagaimana yang dilakukan oleh Bani Umayah. Kondisi ini tentunya tidak akan memberi peluang bagi mereka untuk menjadi pemimpin di tanah air mereka sendiri. Inilah salah satu faktor melemahnya kekuatan umat Islam Andalusia. Sementara, yang menjadi faktor lain jatuhnya Islam Andalusia yaitu lumpuhnya Daulah Bani Umayah. Lumpuhnya Bani Umayah ini ditandai dengan munculnya daulat-daulat (kerajaan) kecil yang disebut dengan Muluk

al-Thawaif. Menurut A.B. Nykl, ada dua puluh tiga dinasti kecil yang berkuasa di

berbagai bagian wilayah Andalusia yang dipimpin oleh berbagai ras (suku), yang semua itu mencerminkan kemajemukan kelas-kelas dan ketegangan etnis serta persaingan di antara dinasti-dinasti (Bosworth, 1989: 35).

(16)

Sementara, menurut Abdul Halim `Uwas mengatakan bahwa perselisishan antar sesama raja-raja ini tampak semakin serius. Sebagai akibatnya, orang Kristen mengulurkan tangannya untuk memberikan bantuan. Mereka pun akhirnya saling berebut untuk mendapatkan bantuan dalam memenangkan peperangan dengan saudara mereka sendiri (Uwaiss, tt: 32). Sebagai bentuk ikatannya yaitu mereka sanggup membayar upeti kepada pihak Kristen asalkan mendapat bantuan dari orang kafir. Meskipun umat Islam mendapatkan bantuan dari al-Murabithun, yang berpusat di Afrika Utara (479 – 541 H/1086–1147 M) yang dipimpin oleh Yusuf Ibnu Tasyfin, dan berhasil mengalahkan Alfonso VI dari Leon dan Castelia, namun akhirnya raja terakhir al-Murabithun yang bernama Ishaq tersebut mati terbunuh.

Begitu melihat raja Murabithun mati, datanglah Muhad atau al-Muwahhidun (524 -667 H/1130 – 1269 M) yang juga berpusat di Afrika Utara dan mencoba untuk melumpuhkan kekuatan kerajaan Kristen. Karena perpecahan dan perselisihan intern muslim sudah terlanjur kronis, dan sangat sulit untuk disembuhkan, maka Al-Muhad atau al-Muwahhidun tidak berhasil membendung serangan-serangan dari kristen, yang pada akhirnya persatuan kristen semakin kokoh.

Adapun factor selanjutnya adalah factor eksternal, yaitu berupa tantangan yang datangnya dari luar umat Islam. Melihat kenyataan bahwa umat Islam sudah mulai keropos, menambah semangat reqonquista umat Kristen untuk mencaplok satu demi satu wilayah kekuasaan Islam, yang dimulai sejak jatuhnya kota Toledo pada tahun 478 H/1085 M. Kekuatan umat Kristen semakin hari semakin subur. Perpecahan umat Islam dapat mereka manfaatkan secara baik untuk meningkatkan rasa permusuhan sesama mereka dalam rangka mempermudah rencana jahatnya untuk mengusir umat Islam dari bumi Andalusia.

Pada tahun 628 H/1252 M, Ferdinand III, raja Castelia, bergabung dengan Leon bersama-sama memimpin reqonquista menyerang kerajaan-kerajaan Islam (Shiddiqi, 1986: 75). Sehingga pada tahun 634 H/1236 M, kota Cordova yang

(17)

menjadi kebanggaan umat Islam, jatuh ke tangan umat Kristen. Sejak saat itu secara berturut-turut, kecuali kota Granada, dapat dikuasai. Secara riil, kota Granada memang cukup lama dapat bertahan. Akan tetapi kebebasan warga kota sebenarnya sudah terancam karena sudah dikelilingi kekuatan-kekuatan umat Kristen yang sudah tidak mungkin dapat dikalahkan. Terlebih lagi setelah bersatunya dua kerajaan besar, yakni Kristen Arragon dan Castellia, yang ditandai dengan adanya perkawinan raja Ferdinan dengan ratu Isabella sebagai penguasa kedua kerajaan tersebut.

Dalam perkembangannya, kerajaan Granada yang dipimpin oleh Bani Ahmar diliputi oleh perselisihan antara orang-orang istana sendiri. Abu Abdullah Muhammad merasa berhak untuk menjadi raja, sebagai pengganti ayahnya. Namun, ayahnya menunjuk anak yang lain, yaitu Muhammad Ibnu Saad sebagai calon penggantinya. Karena itu, ia kemudian membrontak terhadap ayahnya dan beliau mati terbunuh dalam pemberontakan tersebut. Muhammad Ibnu Saad naik tahta menggantikan ayahnya. Sementara, Abu Abdullah tidak senang dengan pergantian tersebut. Kemudian, ia minta bantuan kepada Ferdinand dan Isabella untuk menggulingkan saudaranya. Ferdinand dan Isabella segera memberikan bantuan. Abu Abdullah Muhammad kurang menyadari bahwa sebenarnya sudah cukup lama kedua kerajaan Kristen tersebut tengah menantikan saat-saat seperti itu. Setelah Abu Abdullah Muhammad diangkat menjadi raja, pasukan Kristen yang pernah membantunya tersebut ternyata sudah mengetahui titik kelemahannya guna menyerang raja umat Islam ini. Kedua raja Kristen itu kemudian menyerang raja Abu Abdullah Muhammad dengan pertempuran sengit. Pada tahun 898 H/2 januari 1492 M, bertepatan dengan permulaan sejarah Amerika, kerajaan terakhir Islam di kota Granada yang indah itu jatuh ke tangan umat kristen.

C. Kondisi Umat Islam Pasca Andalusia Jatuh Ke Tangan Kerajaan Kristen.

Setelah kekalahan Abu Abdullah Muhammad, raja terakhir kerajaan umat Islam di Granada Andalusia, - umat Islam dihadapkan pada dua pilihan yang

(18)

sama-sama berat, yaitu menerima agama Kristen yang jelas-jelas hal itu bertentangan dengan hati mereka, atau harus hijrah ke Afrika Utara dan tempat –

tempat yang mungkin dianggap aman.

Bagi orang-orang Arab dan Barbar, kembali ke Afrika Utara atau ke Tanah Arab, tidaklah terlalu membebani pikiran dan perasaan mereka. Karena mereka merasa kembali lagi ke kampung halamannya. Akan tetapi bagi muslim pribumi yang berasal dari Andalusia, ke mana mereka harus pergi. Ikut saudara-saudaranya, mereka sudah terlanjur tidak senang melihat watak orang-orang Arab dan Barbar yang sulit bersatu, gemar berperang, pembalas dendam, angkuh, sombong, pemabuk dan penjudi (Shiddiqi, 1983: 102 ). Meskipun mereka sudah Islam, akan tetapi watak jelek itu masih nampak dengan jelas di saat menjadi penguasa selama di Andalusia.

Oleh karena itu mereka ada yang masih menetap di Andalusia dengan terpaksa, karena dipaksa untuk masuk Kristen. Sebab jika mereka masih memeluk Islam, mereka harus menerima penyiksaan yang berat bahkan sampai dibunuh, atau jika ingin selamat dari ancaman tersebut, maka mereka harus keluar dari Andalusia bersama umat Islam yang lain. Hal ini berlangsung hingga tahun 1602 M. Maka sejak saat itu pula tidak ada satu orang Islam pun yang memiliki hak hidup di bumi Andalusia (Yatim, 2004: 50 ).

KESIMPULAN

Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Umat Islam pernah berkuasa dan mengalami kejayaan di Andalusia, bahkan pernah menjadi pionir bagi kebangkitan kristen di Eropa. Namun demikian, lambat laun umat Islam dapat tersingkir dari Andalusia. Hal ini dikarenakan sejak berdirinya kerajaan Islam di Andalusia, tidak pernah lepas dari pertikaian dan perselisihan yang disebabkan karena adanya perbedaan etnis dan suku, dalam rangka memperebutkan kekuasaan baik secara terang-terangan maupun secara tersembunyi. Dengan demikian umat Islam yang pada mulanya kuat menjadi lemah.

(19)

Selain itu juga, karena adanya gangguan dari orang-orang Kristen yang akhirnya membentuk reonquista yang bertujuan untuk mengusir umat Islam, kemudian mengkristenkan kembali seperti sebelum kedatangan Islam. Maka dapat dikatakan bahwa faktor penyebab tersingkirnya umat Islam di Andalusia, antara lain disebabkan: pertama, faktor internal umat Islam, yaitu karena rendahnya rasa persaudaraan sesama muslim sehingga pada gilirannya menimbulkan perpecahan-perpecahan yang tidak pernah dapat disatukan secara sempurna. Kedua, faktor eksternal yang datang dari umat Kristen yang telah merongrong dan mengintai saat umat Islam terpecah-belah. Mereka masuk Andalusia dan menyerang secara bersama yang dikenal dengan reqonquista-nya. Ketiga, munculnya perasaan antipati muslim pribumi terhadap kepemimpinan bangsa Arab dan Barbar karena mereka didiskriminasi. Berpijak dari fenomena sejarah ini, harapannya dapat dijadikan pelajaran (’ibrah)bagi umat Islam untuk berhati-hati dan waspada atas segala perbuatan yang dilakukan umat kristen. Ingat sejarah akan berulang kembali, dan selalu akan berputar.

DAFTAR PUSTAKA

Arnold, Thomash W. The Preaching of Islam, terj. Drs. H.A. Nawawi Rambe, Jakarta : Wijaya, 1979.

Bosworth, G.E, The Islamic Dynasties, Endirburgh : University Press, 1989. Hassan, Ibrahim Hassan, Tarikh al- Islam, terj. Jahdan Humam, Yogyakarta :

Kota Kembang, 1997.

Hitti, Philip K, History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta : PT. Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Karim, M. Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta : Pustaka Book Publisher, 2009.

Mahmudunnasir, Sayd, Islam its Concepts & History, terj. Bandung : Rosdakarya Offset, 1994.

R I, Departemen Agama, Al-Qur`an dan Terjemahnya, Jakarta : Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Penafsir Al-Qur`an, 1971.

____________________, Ensiklopedi Islam, Jilid I, Jakarta : Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana PTA IAIN , 1992/1993.

(20)

Shiddiqi, Nourouzzaman, Tamaddun Muslim : Bunga Rampai Kebudayaan

Muslim, Jakarta : Bulan Bintang, 1986.

Watt, W. Montgomery, Kejayaan Islam Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1990.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Zaydan, Jurji, History of Islamic Civilization, Translated by D. S. Margollioth, New Delhi : Bhawan, 1978.

Referensi

Dokumen terkait

Namun pada akhirnya, seluruh tahapan dalam kebijakan hukum pidana baik tahapan formulasi/legislasi, aplikasi/yudikatif dan eksekusi, semuanya merupakan suatu

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah efektivitas metode mnemonics dan perbedaan efektivitas metode mnemonics jenis teknik naratif dan metode loci untuk

Hasil pengujian didasarkan pada hasil uji dengan menggunakan Crosstabs (tabel silang) serta melihat hasil uji Pearson Chi- Square yang dibandingkan dengan nilai

Beberapa penyebab pada perdarahan ini antara lain karena kelainan anatomis rahim (seperti adanya polip rahim, mioma uteri), adanya siklus anovulatoir

COSO (Committee of Sponsoring Organization) memberikan defenisi pengendalian internal sebagai berikut (Romney dan Steinbart, 2006): Pengendalian Intern (internal control)

15.) Ibu Aminatuzzuhro, S.E.,M.Si, selaku Ketua Program Studi Universitas Wijaya Putra Surabaya, atas pengorbanan waktu, arahan untuk pengambilan data wawancara baik

Suatu perusahaan menghasilkan produk yang dapat diselesaikan dalam x jam, dengan biaya per jam (4x – 800 + 120/x) ratus ribu rupiah... Suatu perusahaan memproduksi x

Sterilisasi adalah proses pengolahan alat atau bahan yang bertujuan untuk menghancurkan semua bentuk kehidupan mikroba termasuk endospora dan dapat dilakukan