• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of PENERAPAN PRINSIP - PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM REGULASI DAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH ( Studi pada Pemerintah Daerah Kota Mataram)

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "View of PENERAPAN PRINSIP - PRINSIP GOOD GOVERNANCE DALAM REGULASI DAN PENGELOLAAN BARANG MILIK DAERAH ( Studi pada Pemerintah Daerah Kota Mataram)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

36

PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH YANG RESPONSIF MELALUI INISIATIF DPRD KOTA MATARAM

I Ketut Surya Bawana1

1Fakultas Hukum Universitas Mataram Email : suryabawana@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, mengkaji dan memahami proses pembentukan Peraturan Daerah yang responsif melalui inisiatif DPRD Kota Mataram, implementasi asas keterbukaan dalam pembentukan Peraturan Daerah yang responsif melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram serta kendala-kendala yang dihadapi Pemerintahan Daerah Kota Mataram dalam pembentukan Peraturan Daerah melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis sosiologis (empiris) dengan Pendekatan konseptual (Conceptual Approach), Pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach), Pendekatan Sosiologis (Sociological Approach), serta mengkaji bahan hukum primer, bahan hukum sekunder maupun tersier. Analisis bahan hukum dilakukan secara analisis kualitatif, yakni dengan melakukan penilaian terhadap data- data yang didapatkan dilapangan dengan bantuan literatur-literatur atau bahan-bahan terkait dengan penelitian, kemudian ditarik kesimpulan yang dijabarkan dalam penulisan deskriptif

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses pembentukan Peraturan Daerah, baik terhadap pembentukan Peraturan Daerah melalui inisiatif DPRD Kota Mataram maupun dari Kepala Daerah pada tataran pelaksanaannya sudah memberikan ruang partisipasi masyarakat di dalam pembentukannya. akan tetapi memiliki perbedaan yang sangat mendasar, dimana Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram berkarakter responsif sedangkan Peraturan Daerah yang berasal dari Kepala Daerah berkarakter ortodoks. Implementasi Asas Keterbukaan dalam pembentukan Peraturan Daerah yang responsif melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram telah dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Kemudian lahirnya Peraturan Daerah melalui inisiatif DPRD Kota Mataram merupakan wujud nyata konfigurasi politik demokratis, sehingga menghasilkan Peraturan Daerah yang responsif. Kendala yang dihadapi, antara lain: di bidang substansi hukum (legal substance), masih belum terdapat aturan yang jelas terkait dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah melalui inisiatif DPRD Kota Mataram, di bidang struktur hukum (legal structure), terbatasnya kemampuan Sumber Daya Aparatur Pemerintah maupun Anggota DPRD, di bidang sarana, kurangnya sarana Informasi dan Dokumentasi Hukum, serta di bidang budaya hukum (legal culture), lamanya koordinasi dengan lembaga/ instansi terkait, serta kurang optimalnya pemanfaatan waktu, mengingat padatnya jadwal Anggota DPRD Kota Mataram.

Kata kunci : Peraturan Daerah, Responsif, AC

(2)

37 A. PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara Hukum, dimana supremasi hukum sangat dijunjung tinggi, oleh karenanya pembangunan hukum di Indonesia diarahkan pada terciptanya Tata Hukum Nasional Indonesia, salah satunya adalah di bidang hukum Pemerintahan. Bertitik tolak dari kondisi pemerintahan di era orde baru, maka memasuki era reformasi langkah awal untuk menyerap aspirasi yang berkembang adalah membenahi sistem ketatanegaraan melalui amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari aspek penyelenggaraan pemerintahan, perubahan yang terjadi adalah adanya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 yang intinya memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan menjalankan roda Pemerintahan Daerah secara otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.

Berkaitan dengan hal tersebut, maka terjadi pergeseran-pergeseran atau perubahan paradigma yang dahulunya dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pemerintahan di Daerah dengan stelsel sentralisasi menjadi stelsel desentralisai melalui pemberian otonomi luas kepada daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan telah beberapa kali mengalami perubahan terhadap beberapa-ketentuan pasal-pasalnya yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat.

Lebih lanjut Kota Mataram sebagai salah satu Kota diantara Kabupaten/Kota di Nusa Tenggara Barat merupakan sebuah Daerah otonom, sehingga memiliki kewenangan untuk melaksanakan otonomi, dalam melaksanakan otonomi daerah berhak membentuk Peraturan Daerah sebagai perangkat regulasi untuk menjadi dasar legalitas untuk melaksanakan pemerintahan dan pembangunan guna memberikan pelayanan kepada masyarakat di daerahnya. Sejak Pemerintahan Kota Mataram terbentuk telah banyak melahirkan produk hukum daerah khususnya Perda, akan tetapi produk hukum berupa Peraturan Daerah yang bersumber dari pelaksanaan atau penggunaan Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(3)

38

(Legislatif) untuk mengajukan rancangan peraturan daerah jumlahnya sangat minim dibandingkan dengan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh Pemerintah daerah (eksekutif). Mengingat dalam ketentuan Pasal 140 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada pokoknya mengamanatkan bahwa : “Rancangan Perda dapat berasal dari DPRD, Gubernur, atau Bupati/Walikota”. Sejalan dengan hal tersebut, dalam ketentuan Pasal 350 huruf (a) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, pada pokoknya mengamanatkan bahwa Anggota DPRD Kabupaten/ Kota mempunyai hak untuk mengajukan rancangan peraturan daerah Kabupaten/ Kota. Hal inilah yang memberikan landasan hukum dan wewenang kepada anggota DPRD untuk menggunakan haknya dalam mengajukan rancangan Peraturan daerah sesuai dengan kehendak atau masukan dari masyarakat, karena DPRD merupakan representasi dari masyarakat yang mereka wakili.

Hal inilah yang memberikan landasan hukum dan wewenang kepada anggota DPRD untuk menggunakan haknya dalam mengajukan rancangan Peraturan daerah sesuai dengan kehendak atau masukan dari masyarakat, karena DPRD merupakan representasi dari masyarakat yang mereka wakili.

Menurut pendapat Solly Lubis, yang menyatakan bahwa selaku Wakil Rakyat yang kepentingannya mereka wakili dan salurkan, harus berpegang teguh pada prinsip bahwa mereka memainkan peranan ganda sekaligus, yakni :1

1) Meramu aspirasi rakyat, baik secara songsong bola ataupun jemput bola (menunggu rakyat datang mengunjungi DPRD atau anggota DPRD itu turun ke lapangan langsung dialog dengan rakyat).

2) Menyalurkan aspirasi rakyat ke forum-forum yang ada di DPRD, yaitu : Rapat Komisi, Rapat Panitia Musyawarah, Rapat Pansus, Rapat Panitia Anggaran, Rapat Paripurna, dan Pertemuan antara Legislatif dengan Eksekutif dan berusaha sedapat mungkin agar Perda-Perda yang diterbitkan benar-benar menggambarkan tersalurnya aspirasi rakyat itu.

1 Solly, Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, CV. Mandar Maju, Bandung, 2009, halaman 60.

(4)

39

Sehingga diharapkan dalam pembentukan Peraturan Daerah aspirasi rakyat dapat diakomodir. Dengan telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang antara lain mengatur tentang Prosedur dan tekhnis pembentukan Peraturan Daerah. Dimana, dalam Ketentuan Bab XI Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah diatur, bahwa masyarakat berhak memberi masukan baik secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Keikutsertaan masyarakat dalam memberikan masukan terhadap pembentukan peraturan Perundang-undangan merupakan suatu cerminan dari sebuah Negara Demokrasi dimana keikutsertaan rakyat merupakan suatu hal yang niscaya, meskipun rakyat sudah diresperentasikan oleh Wakil-wakil di lembaga Perwakilan Rakyat (DPR dan DPRD).

Penulisan mengenai Inisiatif DPRD dalam pembentukan Peraturan Daerah sebetulnya bukanlah sesuatu yang baru sama sekali, sepanjang penelitian dan penulisan, ditemukan 1 (satu) tesis yang terkait, yaitu tesis ditulis oleh Muntoha pada Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, tahun 2006 yang berjudul : Pelaksanaan Hak Inisiatif DPRD (Studi Perbandingan Hak Inisiatif di DPRD Kabupaten Pemalang dan Kota Pekalongan)2.

Berbeda halnya dengan kajian yang diteliti oleh penulis, dimana fokus kajiannya mengenai proses pembentukan Peraturan Daerah yang responsif melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram, kemudian dilanjutkan dengan mengkaji implementasi asas keterbukaan dalam pembentukan Peraturan Daerah yang responsif melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram sebagai amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta

2 Rumusan Masalah yang diangkat, yaitu : (1) Bagaimanakah Pelaksanaan Hak Inisiatif di DPRD Kabupaten Pemalang dan Kota Pekalongan; (2) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi Pelaksanaan Hak Inisiatif di DPRD Kabupaten Pemalang dan Kota Pekalongan. Muntoha berkesimpulan (1) Pelaksanaan hak inisiatif di DPRD Kabupaten Pemalang, tidak bisa dilaksanakan dikarenakan beberapa faktor terkait Prosedur yang rumit, SDM anggota DPRD Kabupaten Pemalang yang belum mampu, Anggaran belum memadai. Sedangkan Pelaksanaan hak inisiatif di DPRD Kota Pekalongan dapat berjalan baik, karena didukung oleh faktor Prosedur yang mudah, SDM anggota DPRD Kota Pekalongan mempunyai komposisi pendidikan cukup baik dan sudah dibantu oleh staf ahli, serta anggaran yang memadai.

(5)

40

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan., serta mengungkapkan kendala-kendala yang dihadapi Pemerintahan Daerah Kota Mataram dalam pembentukan Peraturan Daerah melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram.

Kemudian apabila melihat dalam pelaksanaannya di Pemerintah Kota Mataram produk hukum berupa Peraturan Daerah yang bersumber dari pelaksanaan atau penggunaan Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mengajukan rancangan peraturan daerah jumlahnya sangat minim dibandingkan dengan rancangan peraturan daerah yang diajukan oleh Pemerintah daerah. Rendahnya tingkat partisipasi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram terlihat pada Produk Peraturan Daerah sejak reformasi. Sebagaimana data rekapitulasi jumlah Peraturan Daerah yang dihasilkan sejak tahun 1999 s/d 2012, dimana Peraturan Daerah yang berasal dari Inisiatif DPRD Kota Mataram baru muncul pada tahun 2011 sebanyak 2 (dua) dan disusul pada tahun 2012 sebanyak 6 (enam).

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis sosiologis (empiris), sebagaimana penelitian empiris, metode pendekatan yang digunakan pendekatan konseptual (Conceptual Approach), dan pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), serta pendekatan Sosiologis (Sociological Approach). Teknik dan Analisa Data/ Bahan Hukum adalah dengan melakukan wawancara (interview), kemudian membaca dan mempelajari secara mendalam beberapa buku literatur.Kemudian dilakukan analisis kualitatif dan ditarik kesimpulan yang dijabarkan dalam penulisan deskriptif.

C. PEMBAHASAN

Proses Pembentukan Peraturan Daerah Yang Responsif Melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram

Pembentukan Peraturan Daerah merupakan kewenangan Kepala Daerah bersama-sama dengan DPRD, dimana inisiatif pembentukan Peraturan Daerah dapat berasal dari kepala Daerah maupun inisiatif dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(6)

41

(DPRD). Untuk pembentukan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram merujuk pada ketentuan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram. Hal ini telah sesuai dengan amanat Pasal 60 dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berlaku secara mutatis mutandis terhadap penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Bahwa proses pembentukan Peraturan Daerah Pemerintahan Kota Mataram pada tataran pelaksanaannya sudah memberikan ruang partisipasi masyarakat di dalam pembentukannya, apabila dihubungkan proses pembentukan peraturan daerah baik melalui inisiatif kepala daerah maupun melalui inisiatif DPRD Kota Matatam, maka indikator yang digunakan untuk menentukan produk hukum yang dihasilkan berkarakter responsif atau ortodoks yaitu dari segi fungsinya hukum, proses pembuatannya dan penafsiran atas sebuah produk hukum, maka Rancangan yang berasal dari inisiatif kepala daerah bersifat positivis-instrumentalis, artinya memuat materi yang lebih merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program pemerintah (top down). Dari segi proses pembuatannya yang bersifat sentralistik dalam arti lebih didominasi oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini SKPD terkait, kemudian dari segi penafsiran atas sebuah produk hukumnya memberi peluang luas kepada pemerintah untuk membuat berbagai interpretasi dengan berbagai peraturan lanjutan yang berdasarkan visi sepihak dari pemerintah dan tidak sekedar masalah teknis, hal tersebut jelas terlihat pada ketentuan pasal 7 Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor : 8 tahun 2008 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kota Mataram Tahun 2005-2025

Ketentuan sebagaimana telah dikemukakan tersebut memberikan peluang yang besar kepada pemerintah daerah untuk melakukan interpretasi sesuai dengan kepentingan sepihak pemerintah daerah, sehingga Peraturan Daerah yang berasal dari kepala daerah cenderung berkarakter ortodoks.

Sedangkan Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari Inisiatif DPRD Kota Mataram bersifat aspiratif, artinya memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi atau kehendak masyarakat yang dilayaninya, sehingga

(7)

42

produk hukum itu dapat dipandang sebagai kristalisasi dan kehendak masyarakat (bottom up). Dari segi proses pembuatannya yang bersifat partisipatif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat melalui kelompok- kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat, kemudian dari segi penafsiran atas sebuah produk hukumnya sangat sedikit memberikan peluang untuk dilakukan penafsiran, hal tersebut terlihat jelas pada Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pendirian, Pengawasan, Pengendalian dan Penyelenggaraan Menara Telekomunikasi, dimana setelah dilakukan pengkajian baik materi maupun substansinya sangat rinci diatur, kalau pun ada yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota hanya sebatas teknis pelaksanaanya saja.

Begitu juga halnya dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Mataram Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Penanggulangan Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis Di Kota Mataram, sehingga Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram cenderung berkarakter responsif.

Implementasi Asas Keterbukaan Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram

Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menganut paham kedaulatan rakyat, saat ini peran serta masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dirumuskan dalam 139 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang pada pokoknya menyatakan bahwa :

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan rancangan Perda.

(2) Persiapan pembentukan, pembahasan, dan pengesahan rancangan Perda berpedoman kepada peraturan perundang-undangan.

Sejalan dengan hal tersebut, di dalam ketentuan Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa :

(8)

43

(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui:

a. rapat dengar pendapat umum;

b. kunjungan kerja;

c. sosialisasi; dan/atau

d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas terkait dengan partisipasi masyarakat sebagaimana telah dikemukakan, maka makna dari bunyi Pasal 96 ayat (1) : “Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.” Dimana arti pembentukan Peraturan Perundang-undangan dapat ditemukan di dalam Ketentuan umum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, yang pada pokoknya menyebutkan :

“Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.”

Hal ini sejalan dengan bunyi penjelasan Pasal 5 huruf g Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan

(9)

44

yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Sehingga diharapkan akan lahir Peraturan Daerah yang partisipatif, masyarakat yang kritis, dan pemerintahan yang responsif terhadap kebutuhan sosial (society need).3

Namun demikian, partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah merupakan hak masyarakat, yang dapat dilakukan baik dalam tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, maupun pengundangan. Dalam konteks hak asasi manusia, setiap hak masyarakat menimbulkan kewajiban pada pemerintah, sehingga haruslah jelas pengaturan mengenai kewajiban Pemerintahan Daerah untuk memenuhi hak atas partisipasi masyarakat dalam penyusunan Perda tersebut. Dimana jika dikaitkan dengan pembentukan peraturan daerah melalui hak inisiatif DPRD maka berdasarkan ketentuan Pasal 139 ayat (1) penjelasan dan Pasal 141 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta Pasal 60 ayat (2) dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang pada pokoknya menyebutkan bahwa tata cara mempersiapkan Raperda yang berasal dari DPRD diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD, namun setelah dilakukan pengkajian terhadap Peraturan DPRD Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram. Secara khusus, dalam BAB VIII Penyusunan, penyampaian, pembahasan dan penetapan rancangan peraturan daerah tidak dirumuskan tentang partisipasi publik dalam pembentukan Peraturan Daerah.

Meskipun ada ketentuan tentang penyaluran aspirasi, yaitu BAB VII paragraf kedua belas Pasal 111 : penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat, ternyata di dalamnya tidak disinggung masalah hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan Peraturan Daerah.

Akan tetapi apabila dihubungkan dengan fakta yang ada, diketahui bahwa partisipasi masyarakat yang dilaksanakan terhadap pembentukan Peraturan Daerah yang berasal dari Kepala Daerah hanya terbatas pada tahap penyusunan yakni saat konsultasi publik saja, dimana masyarakat diberikan wadah untuk memberikan

3 Halim, Hamzah dan Putera, Kemal Redino Syahrul, Op.,Cit., halaman 136.

(10)

45

kritik, saran maupun masukan terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang telah disusun sebelumnya oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait yang cenderung dihajatkan untuk melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan di atasnya dan kepentingan penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan terhadap pembentukan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram, diketahui bahwa proses pengajuan hak inisiatif tersebut didasarkan atas keluh kesah yang sebelumnya telah ditampung oleh anggota DPRD Kota Mataram baik melalui media cetak, elektronik maupun didapat pada saat anggota DPRD Kota Mataram melakukan kegiatan reses, yang kemudian dicoba untuk diaktualisasikan dalam bentuk Rancangan Peraturan Daerah. Kemudian setelah Raperda melalui proses penyusunan dan disetujui sebagai Hak Inisiatif DPRD maka kembali diadakan kegiatan public hearing.4 Jadi masyarakat sebenarnya telah dilibatkan dari awal perencanaan dan penyusunannya, meskipun di dalam tahapan pembahasan Raperda bersama Kepala Daerah masyarakat tidak dilibatkan secara langsung akan tetapi keberadaan anggota DPRD tersebut merupakan cerminan dari masyarakat yang diwakilinya, sehingga seluruh tahapan dari Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, telah sepenuhnya dilaksanakan oleh DPRD Kota Mataram.

Lebih lanjut, meskipun dalam tataran implementasinya partisipasi masyarakat telah dilaksanakan akan tetapi perlu menjadi perbaikan dalam tataran yuridis, dimana Peraturan tata tertib DPRD yang menjadi pedoman penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA) ternyata tidak hanya sekadar mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kenyataannya Tatib yang disusun oleh DPRD Kota Mataram yang dituangkan dalam Peraturan DPRD Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram, malah menyerupai Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib

4 Wawancara dengan, Nyayu Ernawati, S.Sos., Anggota DPRD Kota Mataram, pada tanggal 15 Januari 2013.

(11)

46

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hal ini tentunya mengakibatkan terjadinya kekaburan norma. Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan pedoman/ acuan dan masih bersifat umum.

Rendahnya peran serta dalam penyusunan peraturan pada dasarnya lebih disebabkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai itu kurang memberi kesempatan pada publik (bahkan nyaris tak ada). Kemampuan yang minim dan elitisme pembuat peraturan di tingkat daerah turut menyumbang sempitnya ruang partisipasi bagi publik. Selain itu, birokrasi model lama masih mendominasi sehingga proses penyusunan peraturan yang seharusnya dimungkinkan untuk melibatkan publik malah menjadi tertutup.

Keikutsertaan atau partisipasi masyarakat untuk melakukan berbagai prakarsa dalam mengusulkan/ memberikan masukan untuk mengatur sesuatu atau memberikan kesempatan pada masyarakat untuk menilai, memberikan pendapat atas berbagai kebijaksanaan di bidang perundang-undangan adalah sangat penting untuk menghasilkan produk hukum/ Peraturan Daerah (Perda) yang responsif.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka diperlukan suatu sistem desiminasi rancangan peraturan perundang-undangan agar masyarakat dapat mengetahui arah kebijakan atau politik hukum dan peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan, sehingga pembangunan dan pembentukan peraturan perundang- undangan dapat mengarah pada terbentuknya suatu sistem hukum nasional Indonesia yang dapat mengakomodir harapan hukum yang hidup di dalam masyarakat Indonesia yang berorientasi terciptanya hukum yang responsif.

Roman tomasic, dalam Saifudin5 mengemukakan bahwa proses pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya dapat dibagi dalam 3 (tiga) tahap, dimana masyarakat dapat berpartisipasi pada masing-masing tahapan tersebut, yakni :

1. Partisipasi pada tahap ante legislative dapat dilakukan, melalui : a Partisipasi masyarakat dalam bentuk penelitian

b Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar.

5 Roman tomasic, dalam Saifudin, Partisipasi Publik Dalam Pembentukan Peraturan Perundang- undangan, FH UII Pres, Yogyakarta, 2009, halaman 306.

(12)

47

c Partisipasi masyarakat dalam bentuk pengajuan usul inisiatif

d Partisipasi masyarakat dalam bentuk perancangan terhadap suatu rancangan Peraturan Perundang-undangan.

2. Partisipasi pada tahap legislative dapat dilakukan, melalui :

a Partisipasi masyarakat dalam bentuk audensi di lembaga perwakilan.

b Partisipasi masyarakat dalam bentuk rancangan Peraturan Perundang- undangan alternatif.

c Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media cetak.

d Partisipasi masyarakat dalam bentuk masukan melalui media elektronik.

e Partisipasi masyarakat dalam bentuk unjuk rasa.

f Partisipasi masyarakat dalam bentuk diskusi, lokakarya dan seminar.

3. Partisipasi pada tahap Post legislative dapat dilakukan, melalui : a Unjuk rasa terhadap peraturan perundang-undangan yang baru.

b Tuntutan pengujian.

c Sosialisasi.

Dengan Demikian, dapat dipahami bahwa nomenklatur sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yang pada pokoknya memberikan hak kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam rangka pembentukan peraturan perundang-undangan, harus ditindaklanjuti dalam aturan pelaksanaannya dalam hal ini Peraturan Tata Tertib DPRD yang mengatur secara jelas terkait kewajiban pemerintahan daerah untuk memberikan ruang terhadap berbagai model partisipasi masyarakat.

Kemudian dalam penelitian ini diketahui pula, bahwa Perkembangan konfigurasi politik diikuti pula dengan perkembangan karakter produk hukum, khususnya Peraturan Daerah Di Kota Mataram sebagaimana diuraikan di bawah ini : 1. Periode tahun 1994-1998

Pada periode ini tepatnya pada tahun 1994 merupakan awal terbentuknya Pemerintahan Kota Mataram, dimana perkembangan pembentukan peraturan daerah masih kuat di dominasi oleh kepala daerah, sehingga banyak produk hukum yang dihasilkan khususnya Peraturan Daerah cenderung untuk

(13)

48

melaksanakan perintah dari peraturan perundang-undangan di atasnya, berdasarkan data yang penulis dapatkan bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Mataram dari Tahun 1994 di Jaman Orde Baru yaitu sejak berdirinya Kota Mataram sampai dengan Tahun 1998 di awal bergulirnya reformasi, sebanyak 109 (Seratus Sembilan) Peraturan Daerah yang dihasilkan, dimana kecendrungan Peraturan Daerah tersebut bersifat otoriter yang ditandai dengan tidak adanya Perda yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram sehingga indikasinya Perda tersebut tidak aspiratif menyuarakan kepentingan masyarakat dan hanya mewakili kepentingan penguasa dan golongan tertentu (pengaruh dari demokrasi terpimpin), sehingga karakter poduk hukum pada periode ini cenderung konservatif/ ortodoks.

2. Periode tahun 1999-2003

Tidak jauh beda dengan periode sebelumnya, pada periode ini perkembangan pembentukan peraturan daerah masih kuat di dominasi oleh kepala daerah dengan mengacu pada Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan, dimana peran DPRD dibidang legislasi masih kalah kuat dengan Pemerintah Daerah serta tidak terdapat ketentuan terkait partisipasi masyarakat di dalam pembentukan Peraturan Daerah, sehingga karakter poduk hukum/ Peraturan Daerah pada periode ini cenderung konservatif/ ortodoks.

3. Periode tahun 2004-2010

Pada periode ini perkembangan pembentukan Peraturan Daerah masih kuat di dominasi oleh kepala daerah dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, meskipun di dalam peraturan perundang-undangan terkait dengan pemerintahan daerah memberikan ruang kepada DPRD untuk mengajukan Rancangan Peraturan Daerah serta telah diatur terkait partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, akan tetapi ketentuan tersebut belum mampu diaplikasikan, mengingat aturan terkait partisipasi masyarakat tidak secara jelas diatur terkait bentuk partisipasi masyarakat, sehingga pembentukan Peraturan Daerah masih didominasi oleh kepala daerah, sehingga

(14)

49

karakter poduk hukum/ Peraturan Daerah pada periode ini cenderung konservatif/ ortodoks.

4. Periode tahun 2011-sekarang

Pada periode ini perkembangan pembentukan peraturan daerah khususnya di Kota Mataram telah mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dimana sudah mulai menunjukkan peran DPRD Kota Mataram dalam mengajukan rancangan Peraturan Daerah, dimana dari materi maupun substansi yang diajukan di dalam Rancangan Peraturan Daerah merupakan jawaban dari kebutuhan masyarakat (bottom up), sehingga karakter poduk hukum/ Peraturan Daerah pada periode ini cenderung Responsif.

Berdasarkan data yang penulis peroleh bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Mataram dari tahun 1999 sejak bergulirnya reformasi sampai dengan Tahun 2013 sebanyak 171 (seratus tujuh puluh satu) Peraturan Daerah. Dimana ada 2 (Dua) Peraturan Daerah di Tahun 2011 dan 4 (Empat) Peraturan Daerah di Tahun 2012, serta 3 (tiga) Peraturan Daerah di Tahun 2013 yang merupakan inisiatif dari DPRD Kota mataram.

Dengan demikian dapat ditarik suatu pemahaman bahwa Peraturan Daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Mataram setelah reformasi lebih bersifat demokratis yang ditandai dengan adanya Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram hal ini mengindikasikan bahwa Peraturan Daerah tersebut berkarakter responsif serta mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat Kota Mataram. Dimana dihajatkan untuk :

1. Menangani secara intensif perkembangan sosial yang dianggap sudah menyimpang dari nilai-nilai luhur kemasyarakatan.

2. Meningkatkan sinkronisasi dan koordinasi antara pemerintah dan masyarakat dalam rangkat mencapai perilaku hidup yang sehat dan sejahtera, serta untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup.

3. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan kehidupan demokrasi di daerah.

(15)

50

Kendala Yang Dihadapi Pemerintahan Kota Mataram Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram

a. Kendala substansi hukum (legal substance);

Belum diatur dengan jelas baik di dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram maupun Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, terkait dengan partisipasi masyarakat yang dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Bagian Hukum Setda Kota Mataram melalui kegiatan konsultasi publik, sehingga terhadap rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram pada tataran pelaksanaannya semua rancangan Peraturan Daerah tersebut tidak diadakan konsultasi publik.

b. Kendala struktur hukum (legal structure);

Sumber Daya Aparatur Pemerintah Daerah yang memiliki kemampuan dibidang perancangan produk hukum daerah (legislatif drafter) sangat terbatas.

Dari keterangan yang diperoleh bahwa pada Bagian Hukum Setda Kota Mataram hanya memiliki Sumber Daya Aparatur yang memiliki kemampuan dibidang legislatif drafting sebanyak 2 (dua) orang, padahal pekerjaan membuat rancangan produk hukum daerah sangat banyak baik yang bersifat mengatur maupun bersifat penetapan. Dengan demikian antara pekerjaan perancangan dengan jumlah personalia yang memiliki kemampuan perancangan produk hukum daerah adalah tidak sebanding.

c. Kendala di bidang sarana

Sarana ini sangat dibutuhkan mengingat dalam merancang sebuah produk hukum daerah, maka yang harus dipahami lebih awal adalah dasar kewenangan, materi muatan apa yang akan diatur, dasar hukum sebagai rujukan, karenanya informasi dan dokumentasi hukum sangat dibutuhkan, terutama adalah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan masih berlaku, akan

(16)

51

tetapi fasilitas yang ada saat ini belum memadai mengingat Bagian Hukum Setda Kota Mataram belum memiliki fasilitas tersebut.6

d. Kendala budaya hukum (legal culture);

Lamanya koordinasi antar lembaga/ instansi terkait dalam melakukan kajian terhadap materi maupun substansi Rancangan Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram terlebih lagi seringnya ketidak tepatan waktu lembaga/ instansi terkait dalam memberikan jawaban kajian teknis terkait Rancangan Peraturan Daerah dimaksud.

Sehubungan dengan kendala-kendala yang dihadapi sebagaimana diuraikan sebelumnya, maka berikut ini akan diuraikan mengenai solusi yang dilakukan dalam rangka mengatasi kendala-kendala yang dihadapi tersebut.

a. Kendala substansi hukum (legal substance);

Pihaknya melakukan koordinasi secara intensif bersama Anggota Panitia Khusus yang telah dibentuk melalui Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram dalam rangka menghasilkan Peraturan Daerah yang sesuai dengan amanat Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.7

b. Kendala struktur hukum (legal structure);

Pihaknya dalam hal ini dibentuk tim pengkajian peraturan perundang- undangan sehingga keterbatasan Sumber Daya Aparatur yang memiliki kemampuan dibidang perancangan produk hukum daerah (legislatif drafter) dapat teratasi.

c. Kendala di bidang sarana;

Pihaknya telah berupaya memanfaatkan fasilitas yang ada berupa layanan internet dan di tahun anggaran 2013 Bagian Hukum Setda Kota

6 Wawancara dengan, Akmalul Aksan, SH. Kasubbag Peraturan Perundang-undangan Setda Kota Mataram, pada tanggal 2 Januari 2013.

7 Wawancara dengan, I Nyoman Mustika, SH. Kepala Bagian Hukum Setda Kota Mataram, pada tanggal 2 Januari 2013.

(17)

52

Mataram telah menganggarkan dana guna pengadaan buku-buku hukum dan literatur peraturan perundang-undangan yang berlaku serta telah dianggarkan pula Aplikasi Jaringan Sistem Informasi Hukum yang terhubung langsung dengan Kementerian Dalam Negeri.

d. Kendala budaya hukum (legal culture);

Dalam melakukan koordinasi tersebut pihaknya telah menyusun strategi dengan cara mengundang lembaga/instansi terkait untuk melaksanakan rapat koordinasi dengan melampirkan terlebih dahulu naskah rancangan Peraturan Daerah, yang kemudian masing-masing perwakilan dari lembaga/instansi terkait dapat hadir dengan tepat waktu sekaligus membawa hasil kajian teknis dari rancangan Peraturan Daerah dimaksud.8

Lingkup Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram a. Kendala substansi hukum (legal substance);

Belum diatur dengan jelas di dalam Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mengenai hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan Peraturan Daerah, dimana Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang disusun oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram yang dituangkan dalam Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram, seharusnya terdapat pengaturan yang jelas terkait partisipasi masyarakat maupun kewajiban Pemerintahan Daerah dalam memberikan ruang pada setiap tahapan pembentukan Peraturan Daerah mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Akan tetapi Peraturan DPRD Kota Mataram Nomor 1 Tahun 2010 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Mataram terkesan menyerupai Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hal ini tentunya mengakibatkan terjadinya kekaburan norma. Mengingat Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan

8 Wawancara dengan, I Nyoman Mustika, SH. Kepala Bagian Hukum Setda Kota Mataram, pada tanggal 2 Januari 2013.

(18)

53

Perwakilan Rakyat Daerah Tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan pedoman/ acuan dalam penyusunan peraturan tata tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang masih bersifat umum.

b. Kendala struktur hukum (legal structure);

Masih terbatasnya kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram, dimana diketahui bahwa pada periode keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram Tahun 2009 sampai dengan Tahun 2014, dari 35 (tiga puluh lima) orang anggota Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram yang berpendidikan Strata Dua (S2) berjumlah 2 (dua) orang, Strata Satu (S1) berjumlah 22 (dua puluh satu) orang, SMA/sederajat berjumlah 11 (sebelas) orang. Dari keseluruhan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram yang memiliki latar belakang pendidikan hukum berjumlah 9 (sembilan) orang. Dengan melihat latar belakang pendidikan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram sangat mempengaruhi proses Pembentukan Peraturan Daerah maupun hasil akhir dari suatu Peraturan Daerah.

c. Kendala di bidang sarana

Kurangnya dukungan sarana informasi dan dokumentasi hukum yang memadai dalam mendukung proses pembentukan Peraturan Daerah melalui inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram, sehingga terdapat beberapa aturan pelaksanaan dalam Undang-Undang di atasnya yang belum dilakukan pengaturan lebih lanjut, akan tetapi belum diketahui oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram selaku pengusul Rancangan Peraturan Daerah melalui Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Mataram.

d. Kendala budaya hukum (legal culture);

Belum memadainya waktu yang ditetapkan guna membahas Rancangan Peraturan Daerah mengingat terikatnya jadwal sidang yang telah ditetapkan oleh Badan Musyawarah dalam suatu masa sidang, seringkali langkah-langkah tersebut diabaikan, terlebih lagi padatnya agenda Dewan yang harus diselesaikan, mengingat selain Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)

(19)

54

memiliki fungsi Legislasi, juga harus melaksanakan fungsi anggaran dan pengawasan.9

D. SIMPULAN

Dari uraian pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat diuraikan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Proses pembentukan Peraturan Daerah, baik terhadap pembentukan Peraturan Daerah melalui inisiatif DPRD Kota Mataram maupun dari Kepala Daerah pada tataran pelaksanaannya sudah memberikan ruang partisipasi masyarakat di dalam pembentukannya. akan tetapi memiliki perbedaan yang sangat mendasar, dimana Peraturan Daerah yang berasal dari inisiatif DPRD Kota Mataram berkarakter responsif sedangkan Peraturan Daerah yang berasal dari Kepala Daerah berkarakter ortodoks.

2. Implementasi Asas Keterbukaan dalam pembentukan Peraturan Daerah yang responsif melalui Inisiatif DPRD Kota Mataram telah dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Kemudian lahirnya Peraturan Daerah melalui inisiatif DPRD Kota Mataram merupakan wujud nyata konfigurasi politik demokratis, sehingga menghasilkan Peraturan Daerah yang responsif.

3. Kendala yang dihadapi, antara lain: di bidang substansi hukum (legal substance), masih belum terdapat aturan yang jelas terkait dengan partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan daerah melalui inisiatif DPRD Kota Mataram, di bidang struktur hukum (legal structure), terbatasnya kemampuan Sumber Daya Aparatur Pemerintah maupun Anggota DPRD, di bidang sarana, kurangnya sarana Informasi dan Dokumentasi Hukum, serta di bidang budaya hukum (legal culture), lamanya koordinasi dengan lembaga/ instansi terkait, serta kurang optimalnya pemanfaatan waktu, mengingat padatnya jadwal Anggota DPRD Kota Mataram.

9 Wawancara dengan, Nyayu Ernawati, S.Sos., Anggota DPRD Kota Mataram, pada tanggal 15 Januari 2013.

(20)

55

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah Halim dan Kemal Redino Syahrul Putera, 2009, Cara Praktis Menyusun dan Merancang Peraturan Daerah, Kencana Prenada Media Group, Jakarta

Jazim Hamidi, 2008, Panduan Praktis Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, Prestasi Pustaka, Jakarta

Jazim Hamidi, 2011, Optik Hukum Peraturan Daerah Yang Bermasalah, PT. Prestasi Pustakaraya, Jakarta

Moh. Mahfud MD, 2011, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Mustaqiem, 2008, Pajak Daerah Dalam Transisi Otonomi Daerah, FH UII Press, Yogyakarta

Rosidin, 2010, Utang, Otonomi Daerah dan Desentralisasi, CV. Pustaka Setia, Bandung Sarundajang, 2000, Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta

Sunarno Siswanto, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta

Maria Soeprapto Farida Indrati, 2007, Ilmu Perundang-Undangan, jenis, fungsi dan materi muatan. Kanisius, Yogjakarta

Lubis Solly, 2009, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, CV. Mandar Maju, Bandung

Fathoni, M. Y. (2013). The Concept of Justice in the Management and Utilization of Natural Resources Based on the 1960 Basic Agrarian Law. Jurnal IUS Kajian Hukum dan Keadilan, 1(1)., diakses tanggal 6 April 2018

Referensi

Dokumen terkait

Terlebih dalam hal pengelolaan keuangan pemerintah daerah, fungsi pengawasan dari DPRD sangatlah diperlukan. Kita ketahui bahwasanya pengawasan pengelolaan keuangan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Hasil pengujian uji hipotesis diketahui bahwa nilai signifikansi menunjukkan sebesar 0.005 yang dimana lebih kecil dari 0.05 hal tersebut