• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN "

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM (PKPU) DALAM SISTEM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

OLEH ANDI ASTI SARI

B111 14 018

DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR

2018

(2)

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN HUKUM PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM (PKPU) DALAM SISTEM

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

Program Studi Ilmu Hukum Departemen Hukum Tata Negara

disusun dan diajukan oleh

ANDI ASTI SARI B111 14 018

kepada

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASAR

2018

(3)
(4)
(5)

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Diterangkan bahwa Skripsi Mahasiswa :

Nama : Andi Asti Sari No.Pokok : B 111 14 018 Program : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Tata Negara

Judul :.Kedudukan Hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam Sistem Peraturan Perundang- Undangan.

Telah diperiksa dan disetujui untuk diajukan dalam seminar ujian skripsi di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar.

Makassar, Oktober 2018

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H Dr. Anshori Ilyas, S.H., M.H NIP. 19570101 198601 1 001 NIP. 19560607 198503 1 001

(6)
(7)

ABSTRAK

Andi Asti Sari (B111 14 018), “Tinjauan Yuridis Kedudukan Hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan” (Di bawah bimbingan Achmad Ruslan sebagai Pembimbing I dan Anshori Ilyas sebagai Pembimbing II).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) kedudukan hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Prundang- undangan; dan (2) materi muatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif (normative juridical).

Penelitian dilakukan secara kualitatif dengan bertumpu pada studi kepustakaan. Melalui studi kepustakaan, objek penelitian dapat dikaji sesuai dengan doktrin-doktrin dan asas-asas di dalam ilmu hukum.

Penelitian tipe ini sebagaimana lazim disebut studi dogmatik atau penelitian doktrinal.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kedudukan Hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) meski tidak secara eksplisit ditegaskan dalam peraturan perundang-undangan, namun KPU sebagai lembaga konstitusional, memiliki kewenangan untuk membentuk aturan yang berkekuatan hukum mengikat, ketetapannya bersifat keluar dan berlaku dalam sistem hukum nasional. Dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan, PKPU berada di bawah Undang-undang dan berada sejajar dengan PP, berdasar pada pendelegasian tugas, wewenang serta produk hukum yang diatur menurut Undang-undang; dan (2) Materi Muatan yang Terkandung dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum sekurang-kurangnya memuat: 1. Pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945; 2. Perintah suatu Undang-undang untuk diatur dengan Undang-Undang; 3. Pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat; 4. Pengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum); dan 5.

Memuat hal-hal teknis guna mewujudkan berjalannya pemilihan umum yang demokratis.

Kata Kunci: Pemilihan Umum, Peraturan Komisi Pemilihan Umum

(8)

ABSTRACT

Andi Asti Sari (B111 14 018), “Juridical Analysis of the Legal Position of the General Election Commission Regulation (PKPU) in the Legislation Regulatory System” (Supervised by Achmad Ruslan as First Advisor and Anshori Ilyas as Second Advisor).

The aims of the research are to determine: (1) the legal position of the General Election Commission Regulation based on the Law Number 12 of 2011 concerning the Establishment of Regulations; and (2) material on the content of the General Election Commission Regulation (PKPU).

The type of research is a normative research (law research). The study was conducted qualitatively by relying on library studies. Through the study of literature, the object of research can be studied in accordance with the doctrines and principles in law. This type of research as is commonly called dogmatic study or doctrinal research.

The results of the research show that: (1) the legal position of the General Election Commission (PKPU) although it is not explicitly stated in the legislation, but the KPU as a constitutional institution, has the authority to form rules that have binding legal force, its provisions are outgoing and valid in the national legal system. However, in the context of the hierarchy of laws and regulations, PKPU is under the Law and is in line with Government Regulations (PP), based on delegation of duties, authorities and legal products regulated according to the Law; (2) Content Material contained in the General Election Commission Regulation must at least contain: 1. Further regulation regarding the provisions of the 1945 Constitution; 2. Order of a law to be regulated by law; 3. Meeting legal needs in the community; 4. Fill in the legal vacuum (rechtsvacuum); and 5.

Contains technical matters to realize the running of democratic elections.

Keywords: General Elections, General Election Commission Regulations

(9)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirahim

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Alhamdulillah, segala syukur, puja dan puji terhaturkan kepada Allah Subhanuhu Wa Ta’ala, berkat ke EsaanNya, penulis diberikan segala nikmat sehat, keluangan waktu dan kelancaran urusan sehingga dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Kedudukan Hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan”. Shalawat serta salam dikirimkan kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, sang pemberi syafa’at bagi seluruh umat. Tak lupa pula salam untuk istri, anak-anak dan keluarga Beliau.

Pertama-tama, terucapkan rasa terima kasih dan sayang yang terdalam kepada suami penulis, Ahsan Yunus, S.H., M.H, untuk segala bantuan, bimbingan dan masukan dalam penyusunan karya ilmiah ini, segala pengertian, kasih sayang, kesabaran, dorongan dan izin untuk penyelesaian studi penulis. Dan juga penulis mengucapkan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada kedua orang tua, Andi Syamsuddin, S.Pd., M.M.Pd dan Hj A. Rukiah. S.Pd, atas kasih sayang, didikan dan dorongan yang kuat kepada penulis untuk menyelesaikan studi sebagai seorang sarjana hukum. Pun teruntuk saudara penulis, Andi Asniar, S.Pd, Andi Asfiana dan Hazrun, penulis mengucapkan rasa kasih dan sayang yang sebesar-besarnya.

(10)

Kemudian, penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. Achmad Ruslan, S.H., M.H, selaku pembimbing I dan Dr.

Anshory Ilyas, S.H., M.H, selaku pembimbing II. Ditengah aktifitas yang padat, beliau menyempatkan waktu dan tak bosan-bosannya membimbing, memberikan arahan dan semangat dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

Tak lupa pula, kepada Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H, selaku penilai I, Prof. Dr. Hamzah Halim, S.H., M.H, selaku penilai II dan Dr. Romi Librayanto, S.H., M.H, selaku penilai III. Penulis ucapkan banyak terima kasih untuk masukan, saran, waktu dan kesempatan beliau hingga saat ini dalam penyusunan karya ilmiah ini.

Penyusunan karya ilmiah ini, dapat terselesaikan dengan baik berkat dorongan semangat, tenaga, pikiran serta bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih sedalam-dalamnya, kepada:

1. Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA, selaku Rektor Universitas Hasanuddin beserta jajarannya;

2. Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, beserta jajarannya;

3. Ketua dan Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara, beserta jajarannya dan segenap Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

(11)

4. Seluruh Staf Akademik dan Pegawai Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu penulis selama berada di Fakultas Hukum, terlebih kepada Pak Usman dan Pak Roni yang telah sabar membantu diakhir-akhir masa studi penulis;

5. Bapak dan Mama mertua, H. M. Yunus Saleng dan Hj. Nirwana Jafar, tuk semua dukungan semangat dan pengertiannya untuk menantu yang jarang pulang karena gigih ingin sarjana secepatnya.

Dan untuk ipar-ipar penulis, Kak Iqbal, kak Darul, Lia, Iwan. Juga Lagoque, Aqram dan Serly. Sepupu-sepupu dan semua keluarga besar. Tengkyu semuanya hehe;

6. Sepupu rasa saudara kandung, Kak Iyya dan Kak Akbar, Kaka Muce dan Kak Atha, yang telah sabar mengasuh anak kecil keras kepala dan banyak maunya ini walau sering diteror “kapan sarjana”

wkwk. Dan untuk semua sepupu-sepupu dan keluarga besar yang sangat tidak bisa penulis sebutkan satu per satu saking banyaknya;

7. Sahabat rasa saudara kandung, A. St. Mardiah, S.T, Didi. A.

Rosdiana Amir, S.Pd, Din. A. Listiana Sulaeman, S.H, Alis. zaman SMA sampai sekarang, hadir sebagai pahlawan dikala itu, setia setiap saat, persahabatan yang berjalan 9 tahun lamanya, tidak adami bisa disembunyi dari mereka-mereka. Hmm kuh sayang kalian;

8. Sahabat rasa saudara kandung, seperjuangan mengikuti BCSS fakultas sampai sekarang, ikut UKM, jalan-jalan, teman senang,

(12)

sedih, mereka terus mentong, nda bertambah-tambah pertemananku, serius. Duh, apadi’ kata yang gambarkan kalian gaes. Debesssstttt. Kemudian tergabung dalam geng JNSR

#bakubawabakujaga haha, anggotanya ialah, Andi Mutmainnah, S.H, Andi Bizauri Tenri Uleng, S.H, Anita Damayanti, S.H, Andi Besse St. Fatimah, S.H, Lisna Meyanti Muchlis (yang masih betah jadi ketua UKM Sepakbola), dan Bu Polwan, Tina yang sibuk sekalimi, love you gaes;

9. Murabbiyah tercinta, Kak Ikrimah Yunus, duh kak maasya Allah, apa di’ kak, semoga Allah Ta’ala balas semua kebaikanta kak hiks, akhwat se-halaqoh tarbiyah, Ummu Imaroh, Aing, Yuliana, Biang, Anita, Lisma, saudara didunia till Jannah nah gaes, insya Allah;

10. Kawan-kawan seperjuangan, #UkhuwahtillJannah, #JannahSquad, Ukhti Ainis, Ukhti Yuliana, Ukhti Tuti, Ukhti Mar’ah, Ukhti Suci, Ukhti Karina, Ukhti Ulfah, Ukhti Arni, Ukhti Iftah, Ukhti Alam, Ukhti Ika, Ukhti Rani, Ukhti Erni, Ukhti Sari, Ukhti Retno. Afwan yang lupa saya sebut akhwat hehe. Untuk segala ajakan kepada kebaikan, segala mimpi setinggi-tingginya, syurga Allah Ta’ala. Terima Kasih;

11. Keluarga Besar LPMH-UH, kakanda-kakanda senior yang tidak bisa penulis tuliskan satu per satu, kawan seperjuangan mulai berkecimpung di dunia pers, Aing, Oeng, kak Kaswadi, kak Aksan, kak Ibnu, kak Aldi, kak Arief, kak Iksan, Alka, Ishak, Tomo (maafkanka kalau ada kulupa). Terlebih kepada Pemimpin Umum

(13)

periodeku, Bang Supri dan Pemimpin Redaksi, kak Lulu. Semuanya telah banyak membantu penulis untuk memulai karir di fakultas hukum, haha. Duh LPMH “rumah” terbaique;

12. Keluarga Besar LedHak Unhas, Pembina, kakanda-kakanda senior, kawan seperjuangan, dan adik-adik yang telah banyak membantu penulis, berdiskusi serta bertukar pikiran bersama pada masa itu;

13. Keluarga Besar UKM LD Asy-Syariah, kakak-kakak, teman-teman seperjuangan, adik-adik yang segalanya benar-benar menjadi contoh berperilaku yang baik, “rumah” baru yang sangat menyenangkan, maasya Allah;

14. Keluarga Besar IMHB, kakanda-kakanda senior, teman-teman seperjuangan se-kampus maupun dari kampus lain, atas arahannya untuk melangsungkan hidup di fakultas hukum unhas;

15. Kawan-kawan “Hukun A” yang telah sarjana duluan maupun yang belum, atas semangat dan teror-teror luar biasanya tentang sarjana dan dunia kerja kedepannya, biar begitu, makasih nah manteman;

16. Teman-teman KKN, teman hidup kurang lebih sebulan, kak Fayzal, Itta, Innah, Mila, Bat dan Ijal, yang telah sangat pengertian membiarkan penulis sering pulang dan meninggalkan posko walaupun harus disogok cemilan, duh makasih kakak dan teman- teman. Juga Pak Lurah serta jajarannya, Bapak, Nenek, dan adik- adik posko yang telah menerima kami tinggal di rumahnya dan para tetangga di Pandang-Pandang, Gowa. Terima kasih;

(14)

17. Serta seluruh teman-teman DIPLOMASI 2014, yang telah menjadi kawan-kawan berjuang, memulai dan mengakhiri aktifitas perkuliahan di Fakultas tercinta, Fakultas Hukum Unhas.

Dan kepada seluruh pihak yang tak dapat penulis tuliskan satu per satu. Terima kasih atas segala bantuannya dalam penyusunan karya ilmiah ini. Dengan segala keterbatasan, penulis hanya mampu membalas dengan doa yang tulus kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala agar kita semua senantiasa di lindung, disehatkan, dan dipertemukan dalam keadaan baik difase kehidupan selanjutnya. Dan semoga dibalas dengan kebaikan OlehNya.

Skripsi ini jauh dari kata sempurna. Untuk itu, akan ditemui beberapa kekurangan dalam penulisan karya ilmiah ini mengingat manusia adalah tempatnya salah dan lalai. Oleh karena itu, masukan, kritik yang membangun serta saran dari segenap pembaca sangat diharapkan untuk lebih menyempurnakan dan mengisi kekurangan dalam karya ilmiah ini, semoga bermanfaat bagi seluruh pihak, terkhusus bagi penulis. Aamiin.

Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Makassar, Nopember 2018

Penulis

(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ... ii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan ... 8

1. Tujuan Penulisan ... 8

2. Kegunaan Penulisan ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prinsip Negara Hukum dan Demokrasi ... 9

B. Pemilihan Umum ... 15

1. Definisi Pemilihan Umum ... 15

2. Pemilihan Umum Kepala Daerah ... 20

3. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia... 27

C. Komisi Pemilihan Umum (KPU) ... 33

D. Peraturan Perundang-undangan ... 39

1. Teori Hierarki Peraturan Perundang-undangan ... 39

2. Hierarki Peraturan Perundang-undangan ... 42

3. Materi Muatan Peraturan Perundang-Undangan ... 44

(16)

BAB III METODE PENELITIAN ... 48

A. Tipe Penelitian ... 48

B. Pendekatan Penelitian ... 48

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ... 49

D. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 50

E. Analisis Bahan Hukum ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN A. Kedudukan Hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan ... 51

B. Materi Muatan yang Terkandung dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) ... 73

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 85

DAFTAR PUSTAKA ... 86

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pelaksanaan pemilihan umum yang demokratis masih menjadi harapan sekaligus salah satu semangat reformasi. Pada tataran praktis, merujuk pada dinamika ketatanegaraan di berbagai negara, konsep negara demokratis masih menjadi pilihan ideal dibanding konsep lainnya.1 Perkembangan konsep negara demokratis pun kian pesat seiring dengan perkembangan bangsa dan negara. Agenda reformasi yang bermuara pada amendemen konstitusi menjadi momentum sebagai upaya penguatan prinsip negara hukum yang demokratis. Hal ini dapat dilihat dari penegasan Indonesia sebagai Negara hukum yang demokratis.2

Secara konseptual, bagi sejumlah negara mengklaim diri sebagai negara demokrasi (berkedaulatan rakyat), keberadaan pemilihan umum secara langsung (direct democracy) menjadi simbol sekaligus tolok ukur utama. Artinya, pelaksanaan pemilihan umum merupakan refleksi dari nilai dasar prinsip demokrasi. Sebab, ide dasar dari demokrasi adalah kebebasan, yang mencakup kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat dan kebebasan menentukan pilihan, sehingga akan melahirkan

1 Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 237

2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum tertinggi (the highest law) menegaskan pada Pasal 1 ayat (2): “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”; Pasal 1 ayat (3):

“Negara Indonesia adalah negara hukum”.

(18)

repseresentasi aspirasi rakyat. Singkatnya, pemilihan umum merupakan simbol kedaulatan rakyat.

Sebagai konsep yang juga lahir dari buah reformasi konstitusional, rezim pemilihan umum pun menghasilkan perubahan secara revolusioner.

Setelah sebelumnya, sistem pemilihan umum yang diterapkan pada rezim orde lama hingga orde baru adalah sistem demokrasi tidak langsung (indirect democration) yang sarat rekayasa politik, ambruk seketika dan digantikan dengan sistem pemilihan secara langsung (direct democration), baik pada pemilihan umum Presiden, DPR, maupun Kepala Daerah.3 Prinsip kedaulatan rakyat yang dijabarkan melalui penerapan konsep demokrasi memberikan pemaknaan bahwa penyelenggaraan pemerintahan haruslah bertumpu pada kehendak, aspirasi, dan kepentingan rakyat.4

Dalam konteks ini, perkembangan hukum tentunya harus mengimbangi dan dapat menjadi pilar dari kokohnya demokrasi.5 Oleh karena itu, pemilihan umum (pemilu) dipandang sebagai metode demokratik untuk memilih wakil-wakil rakyat dalam badan-badan perwakilan, tertuang dalam Pasal 22E ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, yang mengamanatkan: “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih

3 Abdul Aziz Hakim, 2006, Distorsi Sistem Pemberhentian (Impeachment) Kepala daerah di Era Demokrasi Langsung, Toga Press, Yogyakarta, hlm. 167

4 Aminuddin Ilmar, 2013, Hukum Tata Pemerintahan, Identitas, Makassar, hlm. 79

5 H.M. Thalhah, Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans Kelsen. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Volume 16 Nomor 3, 2009: 413- 422

(19)

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, dan untuk pemilihan Kepala Daerah, tertuang dalam Pasal 18 ayat (4), yang mengamanatkan: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota yang dipilih secara demokatis”. Pun sejalan dengan marwah dilaksanakannya pemilu sebagai upaya untuk menjamin tercapainya cita-cita dan tujuan hukum nasional sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat untuk menghasilkan wakil rakyat dan pemerintahan negara yang demokratis.

Dalam pandangan Jimly Asshiddiqie,6 dijelaskan bahwa mekanisme demokrasi, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah penyelenggaraan pemilu secara berkala. Hal itu penting karena: 1) Pendapat atau aspirasi rakyat cenderung berubah dari waktu ke waktu; 2) Kondisi kehidupan masyarakat yang dapat juga berubah; 3) Pertambahan penduduk dan rakyat dewasa yang dapat menggunakan hak pilihnya.

Lebih lanjut, secara konseptual, pemilu dalam pelbagai sistem politik yang berlainan dapat dibedakan menurut signifikasi dan fungsinya, serta sifat dan luas kompetisi. Signifikasi dan fungsi pemilu didalam negara-negara dengan sistem politik demokratik, pada dasarnya diakui bahwa tanpa pemilu serta kompetisi terbuka antar kekuatan sosial dan kelompok politik, tidak ada demokrasi. Sebagai sumber legitimasi kepemimpinan politik,

6 Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hlm. 378

(20)

sebuah pemilu demokratik membuka peluang untuk mempertanyakan hubungan-hubungan kekuasaan yang ada, disamping merupakan bentuk fundamental partisipasi rakyat, dalam arti “constitutionally institutionalized participation”.

Dengan demikian, pemilu dalam negara demokrasi mengutamakan fungsi sebagai instrumen untuk memperkuat struktur kekuasaan yang mapan, atau sebagai sarana untuk memperkokoh kesatuan politik dan moral rakyat serta mobilisasi kekuatan sosial, baik untuk kepentingan legitimasi struktur kekuasaan maupun dalam rangka penyesuaian struktur kekuasaan untuk menstabilkan sistem politik.

Untuk menjamin terciptanya pemilu yang demokratis, diperlukan sebuah lembaga negara yang dapat melaksanakan tujuan dan fungsi pemilu. Pembentukan komisi negara menjadi bagian dari politik hukum negara untuk melengkapi dan menguatkan daya kerja pemerintahan negara. Pun terdapat komisi negara yang merupakan perintah langsung dari UUD 1945, salah satunya adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Pembentukan KPU merupakan bentuk restorasi yang paling pesat dalam hal independenisasi penyelenggaraan pemilu pasca orde baru.7 UUD 1945 sebelum amendemen memang menyantumkan perihal adanya lembaga yang akan mengurusi pemilu. Namun praktiknya, memperlihatkan ketiadaan independensi dari lembaga pemilu tersebut.

Pertama kalinya, lembaran independennya KPU dibuka pada saat pemilu

7 Zainal Arifin Mochtar, 2016, Lembaga Negara Independen Dinamika Perkembangan dan Urgensi Pentaannya Kembali Pasca-Amandemen Konstitusi, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, hlm. 108-109

(21)

tahun 1999. Melalui TAP MPR No. XIV/MPR/1998, pemilu pertama dalam masa reformasi dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Pada amandemen ketiga UUD 1945 diatur dalam Pasal 22E ayat (5), menyatakan: “Pemilihan Umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.

Salah satu aturan mengikat dan merupakan produk hukum dari KPU adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), yang merupakan pelaksanaan teknis terkait hal-hal yang diamanahkan langsung oleh UUD 1945 atau perintah undang-undang. Namun, menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menegaskan:

“Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majenis Permusyarawatan Rakyat;

c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi;

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”

Peraturan KPU tidak termasuk dalam salah satu dari hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Namun, dalam Pasal 8 Ayat (1) dan (2), Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, mengatur:

(1) Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang

(22)

ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Walaupun pada Pasal 8 Ayat (1) menyebutkan klausul mengenai

“komisi”, tetapi tidak secara eksplisit menyebutkan Komisi Pemilihan Umum, yang akan mempengaruhi produk hukum yang dikeluarkannya seperti Peraturan KPU. Olehnya itu, perlu untuk mempertanyakan apakah semua peraturan KPU materi muatannya mempunyai delegasi wewenang untuk mengatur hal-hal yang dianggap perlu oleh peraturan yang lebih tinggi. Karena, segala tindakan pemerintah harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tersebut, harus ada dan berlaku terlebih dahulu atau

(23)

mendahului perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan administratif harus didasarkan atas aturan atau rules dan procedures yang jelas.8

Beranjak dari konstruksi permasalahan di atas, isu penelitian akan fokus pada aspek normatif eksistensi Peraturan Komisi Pemilihan Umum dalam sistem peraturan perundang-undangan. Hal ini menjadi dasar peneliti dalam menyusunnya dalam karya Skripsi dengan judul, “Tinjauan Yuridis Kedudukan Hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam Sistem Peraturan Perundang-Undangan”.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang selanjutnya dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana kedudukan hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)?

2. Bagaimana materi muatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU)?

8 Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm. 212

(24)

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan:

a. Untuk mengetahui dan memahami kedudukan hukum Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

b. Untuk mengetahui dan memahami materi muatan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

2. Kegunaan Penulisan:

Tulisan ini diharapkan dapat menjadi referensi dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia, khususnya dalam bidang Hukum Tata Negara, yang berkaitan dengan eksistensi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam sistem peraturan perundang-undangan. Selain itu, penulis berharap hasil penulisan ini, dapat bermanfaat bagi sarjana hukum secara khusus dan masyarakat secara umum.

(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prinsip Negara Hukum dan Demokrasi

Sebuah laporan studi yang disponsori oleh salah satu organ PBB, yakni UNESCO,9 pada awal tahun 1950-an menyebutkan bahwa tidak ada satu pun tanggapan yang menolak “demokrasi” sebagai landasan dan sistem yang paling tepat dan ideal. Munculnya gagasan demokrasi, bermula dari kebudayaan Yunani Kuno atas kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta berbagai perang antar agama.

Demokrasi sendiri, telah mewariskan berbagai asas dan nilai dari masa lampau.

Merujuk pada tataran historis, pemikiran tentang negara hukum muncul pada abad XVII dan mulai populer pada abad ke XIX, sehingga mengandung muatan sejarah pemikiran yang relatif panjang. Sejarah timbulnya pemikiran atau cita negara hukum itu sendiri sebenarnya sudah sangat tua. Konsep negara hukum untuk pertama kalinya dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno, Plato dan dipertegas oleh muridnya, Aristoteles. Plato, pada awalnya dalam the Republic berpendapat bahwa adalah mungkin mewujudkan negara ideal untuk mencapai kebaikan yang berintikan kebaikan.10

9 Ni’matul Huda, Op.cit, hlm. 237

10 Juniarso Ridwan & Achmad Sodiks, 2010, Tokoh-Tokoh Ahli Pikir Negara dan Hukum; Dari Zaman Yunani Kuno Sampai Abad ke-20, Nuansa, Bandung, hlm. 21-22

(26)

Namun lebih lanjut, dalam karyanya, “Nomoi” atau “the laws”, memberikan perhatian khusus pada ide kedaulatan hukum atau prinsip hukum sebagai kekuasaan tertinggi, pun ide penyelenggaraan pemerintahan yang diatur oleh hukum. Konsep “nomoi” yang digagas olehnya ini secara lengkap sering disebut dengan nomokrasi (nomocracy), berasal dari kata “nomoi” berarti norma dan “cratos” adalah kekuasaan.

Sehingga, nomokrasi merupakan penyelenggaraan negara yang baik yang didasarkan pada norma atau hukum yang dikenal dengan sebutan kedaulatan hukum.

Dalam ajaran kedaulatan hukum, sumber kekuasaan tertinggi adalah hukum, bukan negara (pemerintahan) sebagai pemegang kekuasaan. Sehingga, Plato menyatakan bahwa yang dapat diwujudkan adalah bentuk paling baik kedua (the second best) yang menempatkan supremasi hukum. Pemerintahan yang mampu mencegah kemerosotan kekuasaan seseorang adalah pemerintahan oleh hukum. Senada dengan Plato, Aristoteles berpendapat bahwa untuk mencapai kehidupan yang paling baik (the best life possible) yang dapat dicapai dengan supremasi hukum. Hukum adalah wujud kebijaksanaan kolektif warga negara (collective wisdom), sehingga peran warga negara diperlukan dalam pembentukannya.11

11 Jimly Asshidiqie, Op.cit, hlm. 395

(27)

Cita atau ide negara hukum itu sendiri, kerap dikaitkan dengan dua konsepsi tentang negara hukum dalam artian Rechtsstaat dan Rule of Law. Paham negara hukum rechtsstaat lahir dari sistem hukum Eropa Kontinental yang disebut dengan civil law yang dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, Fichte, dan lain-lain dengan menggunakan istilah Jerman, yaitu “rechtsstaat”. Sedangkan dalam tradisi Anglo Saxon bertumpu atas sistem hukum Common Law, konsep Negara hukum dikembangkan atas kepeloporan A.V. Dicey dengan sebutan “The Rule of Law”.

Menurut Stahl, konsep Negara Hukum yang disebutnya dengan istilah “rechtsstaat” itu mencakup empat elemen penting, yaitu:12

1. Perlindungan hak asasi manusia;

2. Pembagian kekuasaan;

3. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

4. Peradilan tata usaha Negara.

Adapun konsep negara hukum anglo-saxon, rule of law dipelopori oleh A.V. Dicey, konsep rule of law tersebut menekankan pada tiga tolak ukur, yaitu:13

1. Supremasi hukum (supremacy of law);

2. Persamaan dihadapan hukum (equality before the law);

3. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan (the constitution based on individual rights).

12 Moh. Mahfud MD, 2003, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 31

13 Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm. 396

(28)

Berdasarkan berbagai prinsip negara hukum yang telah dikemukakan tersebut, dan melihat kecenderungan perkembangan negara hukum modern yang melahirkan prinsip-prinsip penting baru untuk mewujudkan negara hukum, maka terdapat dua belas prinsip pokok sebagai pilar-pilar utama yang menyangga berdirinya negara hukum.

Prinsip tersebut adalah:14

1. Supremasi hukum (supremacy of law);

2. Persamaan dalam hukum (equality before the law);

3. Asas legalitas (due process of law);

4. Pembagian kekusaan

5. Organ-organ penunjang yang independen;

6. Peradilan bebas dan tidak memihak;

7. Peradilan Tata Usaha Negara;

8. Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court);

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia;

10. Bersifat demokratis (democratisce rechtsstaat);

11. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare rechtsstaat);

12. Transparansi dan control sosial.

Konsep negara hukum dalam konteks Indonesia, tidak hanya secara tekstual, namun juga dijabarkan dalam kehidupan ketatanegaraan.

Konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) dilakukan dengan

14 Ibid, hlm. 396-397

(29)

merevitalisasi konsep kelembagaan negara dengan membentuk berbagai lembaga negara baru. Dalam bidang legislatif misalnya, MPR yang sebelum UUD 1945 diamandemen memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi, kedudukannya menjadi setara dengan lembaga tinggi negara lainnya pasca amandemen UUD 1945. Selain itu, hadirnya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam amandemen ketiga UUD 1945 semakin memperkuat konsep negara kesatuan dengan menempatkan wakil-wakil daerah dalam DPD.

Dapat disimpulkan, konsep negara hukum di Indonesia adalah negara hukum yang berlandaskan konstitusi, dalam hal ini UUD 1945 sebagai hukum dasar tertinggi. UUD 1945 adalah konstitusi negara Indonesia yang merupakan hasil kesepakatan seluruh rakyat Indonesia.

Keberlakuan UUD 1945 berlandaskan pada legitimasi kedaulatan rakyat sehingga UUD 1945 merupakan hukum tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ditinjau lebih dalam lagi tentang makna demokrasi ini ialah cara pemerintahan yang dilakukan oleh dan atas nama seorang diri (misalnya seorang raja yang berkuasa mutlak). Diantara sekian banyak aliran pemikiran yang dinamakan demokrasi, ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok menamakan dirinya demokrasi, tetapi yang pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme. Perbedaan fundamental dari kedua aliran itu ialah bahwa demokrasi konstitusional mencita-citakan sebuah

(30)

pemerintahan yang terbatas kekuasaannya, yaitu suatu negara hukum (rechtstaat). Sebaliknya, demokrasi yang mendasarkan dirinya pada komunisme, mencita-citakan pemerintahan yang tidak boleh dibatasi kekuasaannya (machtsstaat) dan yang bersifat totaliter.15

Ciri khas dari demokrasi konstitusinal, ialah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Kekuasaan negara dibagi sedemikian rupa sehingga kesempatan penyalahgunaan diperkecil, yaitu dengan cara menyerahkannya kepada beberapa orang atau badan dan tidak memusatkan kekuasaan pemerintahan dalam satu tangan atau satu badan. Perumusan yuridis dari prinsip-prinsip ini terkenal dengan rechtsstaat (negara hukum) dan rule of law.

Dalam perkembangannya, paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham demokrasi (kerakyatan). Sebab pada akhirnya, hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat. Atas dasar demokrasi, rechtstaat dikatakan sebagai “negara kepercayaan timbal balik” (de staat van het wederzijds vertrowen), yaitu kepercayaan dari rakyat pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan dan kepercayaan

15 Ni’matul Huda, Op.cit, hlm. 242-243.

(31)

dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaannya dia mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya.16

B. Pemilihan Umum

1. Definisi Pemilihan Umum

Salah satu hasil perubahan UUD 1945 adalah adanya ketentuan mengenai pemilihan umum. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang lebih kuat bagi pemilihan umum sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dengan adanya ketentuan itu dalam UUD 1945, maka lebih menjamin waktu penyelenggaraan pemilu secara teratur regular (per lima tahun) maupun menjamin proses dan mekanisme serta kualitas penyelenggaraan pemilu yaitu langsung, umum, bebas, dan rahasia (luber) serta jujur dan adil (jurdil).

Landasan konstitusional dilaksanakannya pemilihan umum dijewantahkan dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, bahwa: “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-undang Dasar”. Hal ini, tidak terlepas dari konsep kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui pemilihan umum, dengan demikian, pemilihan umum mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat, melalui pemilihan umum, hak-hak masyarakat untuk menentukan siapa wakil-wakilnya yang duduk dipemerintahan dapat tersalurkan dan sangat menentukan sistem pemerintahan.

16 Ibid, hlm. 245-246

(32)

Lebih lanjut, dalam Pasal 22E, Bab VIIB Tentang Pemilihan Umum, UUD 1945, terdapat klausul yang mengatur tentang pemilihan umum, sebagai berikut:

(1) Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali;

(2) Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

(3) Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik;

(4) Peserta pemilihan umum untuk memili anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan;

(5) Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri;

(6) Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

Khusus pada Ayat (6), berbunyi: “Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Karenanya, diundangkanlah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, untuk memenuhi amanah dari konstitusi tersebut.

Secara normatif, pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, disebutkan:

“Pemilihan umum adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan

(33)

Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Selanjutnya, dalam pandangan Soedarsono,17 pemilihan umum disebut sebagai syarat minimal bagi adanya demokrasi dan diselenggarakan dengan tujuan memilih wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis.

Definisi di atas menyebutkan bahwa, pemilihan umum dan demokrasi merupakan dua unsur yang ada dalam sebuah negara yang berlandaskan hukum, yang bertujuan memilih wakil-wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk membentuk pemerintahan demokratis. Kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di dalam lembaga perwakilan untuk menjalankan fungsi kekuasaan masing-masing.

Kedudukan dan fungsi wakil rakyat dalam siklus ketatanegaraan yang begitu penting dan agar wakil-wakil rakyat benar-benar bertindak atas nama rakyat, maka wakil rakyat tersebut harus ditentukan sendiri oleh rakyat, yaitu melalui pemilihan umum.

Lebih lanjut, Ibnu Tricahyo dalam bukunya “Reformasi Pemilu”, mendefinisikan Pemilihan Umum sebagai:

”Secara universal Pemilihan Umum adalah instrumen mewujudkan kedaulatan rakyat yang bermaksud membentuk pemerintahan yang

17 Soedarsono, 2005, Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal demokrasi:

penyelesaian sengketa hasil pemilu 2004 oleh Mahkamah Konstitusi RI, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Konstitusi RI, Jakarta, hlm. 1

(34)

absah serta sarana mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan rakyat”.18

Di Indonesia, pemilihan umum diartikan sebagai sarana untuk mengikutsertakan rakyatnya dalam penyelenggaraan negara. Kedaulatan rakyat dijalankan oleh wakil rakyat yang duduk dalam parlemen sebagai wakil rakyat dengan sistem perwakilan (representative democracy) atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yang mana wakil-wakil rakyat tersebut ditentukan dan dipilih dalam Pemilu (general election) secara berkala.

Jimly Asshiddiqie19, menjelaskan penyelenggaraan pemilu harus dilaksanakan secara berkala. Hal itu penting karena:

a. Mendapat atau aspirasi rakyat mengenai berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis, dan berkembang dari waktu ke waktu. Dalam jangka waktu tertentu dapat saja sebagian besar rakyat berubah pendapatnya mengenai sesuatu kebijakan negara;

b. Selain pendapat rakyat bisa berubah dari waktu ke waktu, kondisi kehidupan bersama dalam masyarakat dapat pula berubah, baik karena dinamika dunia internasional atau karena faktor dalam negeri sendiri, baik dari faktor internal maupun eksternal manusia;

c. Perubahan-perubahan aspirasi dan pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah penduduk dan

18 Ibnu Tricahyono, 2009, Reformasi Pemilu Menuju Pemisahan Pemilu Nasional dan Lokal, In Trans Publishing, Malang, hlm. 6

19 Jimly Asshiddiqie, Op.cit, hlm: 378

(35)

rakyat yang dewasa. Karena itu, terutama kepada pemilih baru (new voters) atau pemilih pemula, belum tentu mempunyai sikap yang sama dengan orangtua mereka sendiri;

d. Pemilu perlu diadakan secara teratur untuk maksud menjamin terjadinya pergantian kepemimpinan negara, baik dicabang kekuasaan eksekutif maupun legislatif.

Sejalan dengan itu, maka tujuan pemilihan umum ditegaskan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang berbunyi:

“Pengaturan penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk:

a. Memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis;

b. Mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas;

c. Menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;

d. Memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan pemilu; dan

e. Mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.”

Lebih lanjut, Jimly Asshiddiqie20 menguraikan tujuan penyelenggaraan pemilihan umum yang dibagi menjadi 4, yaitu:

1. Untuk memungkinkan terjadinya peralihan kepemimpinan pemerintahan secara tertib dan damai;

2. Untuk memungkinkan terjadinya pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan rakyat di lembaga perwakilan;

20 Jimly Asshiddiqie, 2011, Pengantar Ilmu hukum Tata Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 418-419

(36)

3. Untuk melaksanakan prinsip kedaulatan rakyat;

4. Untuk melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.

Dari keempat tujuan penyelenggaraan di atas, dapat dikatakan bahwa pemilihan umum itu tidak saja penting bagi warga negara, partai politik, tetapi juga pejabat penyelenggaraan negara. Bagi penyelenggaran negara yang diangkat melalui pemilihan umum yang jujur berarti bahwa pemerintahan itu mendapat dukungan yang sebenarnya dari rakyat.

Sebaliknya, jika pemerintahan tersebut dibentuk dari hasil pemilihan umum yang tidak jujur, dukungan rakyat itu hanya bersifat semu.21

2. Pemilihan Umum Kepala Daerah a. Definisi Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan Kepala Daerah (selanjutnya disebut pilkada) merupakan perwujudan dari Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945. Selain itu, menurut Pasal 18 Ayat (4), Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Melalui pilkada, rakyat suatu daerah dapat menentukan siapa yang akan menduduki jabatan sebagai kepala daerah.

Berdasar pada, Pasal 1 Ayat (1) UU No. 8 tahun 2015 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota menjadi Undang-Undang. Bahwa Pemilihan Gubernur dan

21 Ibid

(37)

Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Serta Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah provinsi dan kabupaten/kota untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.

Di era reformasi pemilihan umum merupakan usaha untuk mengurangi praktik-praktik yang dianggap tidak demokratis pada masa orde baru. Salah satu hal yang direformasi adalah pelaksanaan dari pemilu itu sendiri. Seiring dengan perkembangan politik dan ketatanegaraan Indonesia yang memungkinkan dipilihnya Presiden dan Wakil Presiden secara langsung sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945, mulai tahun 2005 dilakukan pula pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung, selain dimaksudkan untuk menyelaraskan dengan pemilihan Presiden secara langsung. Selain itu, seperti diungkapkan Warsito Utomo, semestinyalah pemilihan pemilihan daerah secara langsung juga diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan kesadaran masyarakat daerah untuk menggunakan

(38)

haknya serta membatasi kekuasaan dan kewenangan Badan Legislatif di daerah.22

Selanjutnya, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa, pemilihan kepala daerah secara langsung diselenggarakan secara langsung ditentukan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2012 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah. Khususnya dalam Bab III mengatur mengenai penyelenggaraan pemilihan pada Pasal 4 ayat (1) menyatakan,

“Pemilihan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)”.

Komisi pemilihan umum daerah dalam pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan metamorphosis dari KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota. KPUD merupakan lembaga yang bertanggungjawab terhadap berbagai bidang dan aspek perencanaan, penyelenggaraan, dan pengendalian penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Pasal 5 mengatur mengenai tugas dan wewenang KPUD dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah.

Pasal 5

KPUD sebagai penyelenggara pemilihan mempunyai tugas dan wewenang:

a. Merencanakan penyelenggaraan pemilihan;

22 Mexsasai Indra, 2011, Dinamika Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Refika Aditama, Bandung, hlm. 264

(39)

b. Menetapkan tata cara pelaksanaan pemilihan sesuai dengan tahapan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan;

c. Mengkoordinasikan, menyelenggarakan, dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pemilihan;

d. Menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye, serta pemungutan suara pemilihan;

e. Meneliti persyaratan partai politik atau gabungan partai politik yang mengusulkan calon;

f. Meneliti persyaratan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diusulkan;

g. Menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi syarat;

h. Menerima pendaftaran dan mengumumkan tim kampanye;

i. Mengumumkan laporan sumbangan dana kampanye;

j. Menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil pemilihan;

k. Melakukan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan pemilihan;

l. Membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya; dan m. Menetapkan kantor akuntan public untuk mengaudit dana

kampanye dan mengumumkan hasil audit.

b. Syarat Pencalonan Kepala Daerah

Pasal 7 Ayat (2), UU No. 10 Tahun 2016 Tentang perubahan kedua atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi Undang-Undang, sebagai berikut:

Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil

(40)

Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;

c. berpendidikan paling rendah sekolah lanjutan tingkat atas atau sederajat;

d. berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

e. mampu secara jasmani, rohani, dan bebas dari penyalahgunaan narkotika berdasarkan hasil pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim;

f. tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;

g. tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

h. tidak pernah melakukan perbuatan tercela yang dibuktikan dengan surat keterangan catatan kepolisian;

i. menyerahkan daftar kekayaan pribadi;

j. tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara;

(41)

k. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;

l. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dan memiliki laporan pajak pribadi;

m. belum pernah menjabat sebagai Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama untuk Calon Gubernur, Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati, Calon Wakil Bupati, Calon Walikota, dan Calon Wakil Walikota;

n. belum pernah menjabat sebagai Gubernur untuk calon Wakil Gubernur, atau Bupati/Walikota untuk Calon Wakil Bupati/Calon Wakil Walikota pada daerah yang sama;

o. berhenti dari jabatannya bagi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, dan Wakil Walikota yang mencalonkan diri di daerah lain sejak ditetapkan sebagai calon;

p. tidak berstatus sebagai penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota;

q. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan;

r. menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil serta Kepala Desa atau sebutan lain sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan; dan

s. berhenti dari jabatan pada badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai calon.

(42)

c. Tahapan Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan Kepala Daerah diselenggarakan melalui 2 (dua) tahapan yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan.

Adapun tahapan-tahapan yang dimaksud adalah:

Tahapan persiapan, meliputi:

1. perencanaan program dan anggaran;

2. penyusunan peraturan penyelenggaraan Pemilihan;

3. perencanaan penyelenggaraan yang meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan Pemilihan;

4. pembentukan PPK, PPS, dan KPPS;

5. pembentukan Panwas Kabupaten/Kota, Panwas Kecamatan, PPL, dan Pengawas TPS;

6. pemberitahuan dan pendaftaran pemantau Pemilihan;

7. penyerahan daftar penduduk potensial Pemilih; dan 8. pemutakhiran dan penyusunan daftar Pemilih.

Tahapan penyelenggaraan, meliputi:

1. pengumuman pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil

Walikota;

(43)

2. pendaftaran pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

3. penelitian persyaratan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

4. penetapan pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta pasangan Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota;

5. pelaksanaan Kampanye;

6. pelaksanaan pemungutan suara;

7. penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara;

8. penetapan calon terpilih;

9. penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil Pemilihan; dan 10. pengusulan pengesahan pengangkatan calin terpilih.

3. Sistem Pemilihan Umum di Indonesia

Pemilihan umum atau pemilu, yang pada tahun 1955 untuk pertama kalinya, merupakan sebuah babak baru yang kemudian digunakan pemerintah sebagai ajang pembuktian kepada masyarakat dan sebagai wujud nyata untuk menarik partisipasi rakyat ikut andil dalam menata dan membangun kokohnya pemerintahan di Indonesia.

(44)

Dalam pelaksanaan pemilu, terdapat beberapa sistem pemilihan yang dapat diterapkan. Sistem pemilihan umum (pemilu) berbeda antara satu sama lain. Tergantung dari sudut mana hal itu dilihat. Dari sudut kepentingan rakyat, apakah rakyat dipandang dari sudut individu yang bebas untuk menentukan pilihan, dan sekaligus mencalonkan diri sebagai calon wakil rakyat, atau rakyat hanya dipandang sebagai anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak menentukan wakilnya di lembaga perwakilan rakyat, pun tidak berhak untuk mencalonkan diri sebagai wakil rakyat.

Berdasarkan hal tersebut, sistem pemilu dapat dibedakan menjadi dua formula, yaitu;

a. Sistem Pemilihan Mekanis;

Sistem ini mencerminkan pandangan yang bersifat mekanis yang melihat rakyat sebagai massa individu-individu yang sama. Baik aliran liberalisme, sosialisme, maupun komunisme, yang sama- sama mendasarkan diri pada pandangan mekanis.

Liberalisme lebih mengutamakan individu sebagai kesatuam otonom dan menadang masyarakat sebagai suatu kompleks hubungan-hubungan antarindividu yang bersifat kontraktual, sedangkan pandangan sosialisme khususnya komunisme, lebih mengutamakan totalitas kolektif masyarakat dengan mengecilkan peranan individu. Namun, dalam semua aliran pemikiran diatas, individu tetap dilihat sebagai penyandang hak pilih yang bersifat

(45)

aktif dan memandang korps pemilih sebagai massa individu- individu, yang, masing-masing memiliki satu suara dalam setiap pemilihan, yaitu suaranya masing-masing secara sendiri-sendiri.23

b. Sistem Pemilihan Organis

Sistem pemilihan ini menempatkan rakyat sebagai suatu individu- individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan social (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga social (universitas). Kelompok-kelompok dalam masyarakat dilihat sebagai suatu organisme yang terdiri atas organ- organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalitas organisme, seperti komunitas atau persekutuan- persekutuan hidup, yang mempunyai hak pilih untuk mengutus wakil-wakilnya kepada badan-badan perwakilan masyarakat.

Apabila dikaitkan dengan sistem perwakilan, pemilihan sistem organis ini dapat dihubungkan dengan sistem perwakilan fungsional (function representation) yang dikenal dengan sistem parlemen dua kamar, seperti di Inggris dan Irlandia.

Menurut sistem mekanis, lembaga perwakilan rakyat merupakan lembaga perwakilan kepentingan umum rakyat sepenuhnya.

Sedangkan menurut sistem yang kedua (organis), lembaga perwakilan

23 Irvan Mawardi, 2011, Pemilu dalam Cengkraman Oligarki (Fenomena Kegagalan Demokrasi Prosedural), Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Sosial, Makassar, hlm: 291-292

(46)

rakyat itu mencerminkan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan-persekutuan hidup itu masing-masing.

Pelaksanaan pemilihan yang bersifat mekanis dapat dilaksanakan dengan berbagai sistem. Secara umum dan garis besar, dikenal dengan dua sistem yaitu:

a. Perwakilan Distrik/Mayoritas (Single Member Constituencies)

Dalam sistem ini, wakil rakyat dari suatu daerah ditentukan oleh siapa yang memperolah suara terbanyak atau suara mayoritas untuk daerah itu, meskipun kemenangannya bersifat relatif (tidak mutlak). Dibeberapa literatur pun menyebutkan sistem distrik merupakan sistem pemilihan yang paling tua, didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam parlemen. Untuk keperluan pemilihan negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam parlemen ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak menang, sedangkan suara- suara yang diberikan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecilpun selisih kekalahannya.

Misalnya dalam distrik dengan jumlah suara 100.000, ada dua calon yakni, A dan B. calon A memperoleh 60.000 dan B 40.000, maka calon A memperoleh kemenangan, sedangkan jumlah suara

(47)

40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serikat, dan India. Kelebihan dari sistem ini, setiap calon dari suatu distrik, biasanya adalah warga dari daerah itu sendiri, atau meskipundatang dari daerah lain, tetapi yang pasti bahwa orang itu dikenal baik oleh warga daerah yang bersangkutan. Salah satu negara yang menganut sistem pemilu ini adalah Malaysia.

b. Sistem Perwakilan Berimbang (Proportional Representation atau sering disebut Multi-Member Constituency)

Menurut sistem ini, presentase kursi dilembaga perwakilan rakyat, dibagikan kepada tiap-tiap partai politik, sesuai presentase jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politk. Sistem yang dianut oleh Indonesia ini dapat dilihat kedalam beberapa modifikasi yang pada dasarnya menganut prinsip bahwa setiap pemilih mempunyai satu suara dan setiap anggota parlemen mewakili jumlah penduduk tertentu. Sisa suara dalam setiap daerah pemilihan tidak hilang tetapi dapat digabung dengan jumlah suara dari partai yang sama, meskipun suara tersebut diperoleh dari daerah pemilihan yang berlainan. Setiap partai politik akan memperoleh kursi di parlemen secara proporsional dengan perolehan suara yang didapat. Dengan sistem ini, partai-partai kecil masih mungkin memperoleh kursi di lembaga legislatif.

(48)

Selain Indonesia, sistem ini banyak diterapkan pada negara- negara yang mempraktikkan demokrasi, seperti di Amerika Latin, Amerika, dan beberapa negara di Eropa Barat, seperti Austria, Bulgaria, Denmark, Finlandia, Swedia, dan Swiss. Argumentasi dari penerapan sistem proporsional adalah kenyataan bahwa dalam sistem ini perolehan suara dalam suatu partai secara nasional berbanding langsung dengan perolehan kursi yang diperoleh di lembaga legislatif.24

Walaupun beberapa pakar berpendapat bahwa sistem proporsional ini dikenal rumit cara perhitungannya, namun sistem ini dapat dilaksanakan dengan variasi yang berbeda-beda yang secara garis besar dibagi lagi menjadi dua, yaitu:

1) Pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, ketiga dan seterusnya dari dapil yang bersangkutan.

Jumlah perimbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan, dan segera jumlah keutamaan pertama dipenuhi, dan apabila ada sisa suara, maka kelebihan suara itu dapat dipindahkan kepada calon pada urutan berikutnya dan demikian seterusnya. Dengan kemungkinan penggabungan suara itu, maka partai politik yang kecil dimungkinkan mendapat kursi di lembaga perwakilan rakyat, meski semula tidak mencapai jumlah imbangan suara yang ditentukan. Namun,

24 Marulak Pardede, Implikasi Sistem Pemilihan Umum di Indonesia, Jurnal Rechtsvinding: Media Pembinaan Hukum Nasional. Volume 3 Nomor 1, April 2014: 88-89

(49)

konsekuensinya, penghitungan suara gak berbelit-belit dan membutuhkan kecermatan yang seksama, metode ini dikenal dengan nama single transferable vote dengan hare system; dan 2) Pemilih diminta memilih di antara daftar-daftar calon yang berisi

sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu, yang dikenal dengan metode list system.

Namun, terlepas kelebihan dan kekurangannya, sistem pemilihan perwakilan berimbang atau perwakilan proporsional ini diakui mempunyai banyak kelebihan dibandingkan dengan sistem distrik.

Misal, tidak adanya suara yang hilang dan diabaikan dalam mekanisme penentuan wakil rakyat yang akan terpilih, dan dinilai lebih demokratis dan mengakibatkan lembaga perwakilan rakyat bersifat lebih nasional daripada kedaerahan. Walaupun dilangsir bahwa Indonesia, Nigeria, Bosnia dan Iran menganut sistem gabungan antara sistem pemilu distrik dan proporsional.

C. Komisi Pemilihan Umum (KPU)

Pasal 1 angka (7), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menjelaskan bahwa:

“Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi pemilihan Umum, Badan Pengawas pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan

(50)

Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat”.

Selanjutnya, Pasal 1 angka (8), Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyebutkan, bahwa: “Komisi Pemilihan Umum, selanjutnya disingkat KPU, adalah lembaga penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri dalam melaksanakan pemilu”.

Pembentukan Komisi Pemilihan Umum (KPU), merupakan bentuk restorasi yang paling pesat dalam hal independensi penyelenggaraan pemilihan umum pasca-orde baru. UUD 1945 pra-amandemen memang menyantumkan perihal adanya lembaga yang akan mengurusi pemilihan umum, tetapi kemudian praktiknya memperlihatkan ketiadaan independensi dari lembaga pemilihan umum tersebut. Melalui Tap MPR No. XIV/MPR/1998, pemilu pertama dalam masa reformasi dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Meskipun presiden masih menjadi pembentuk Komisi Pemilihan Umum.

Pada praktiknya, seiring dengan perubahan ketiga UUD 1945, KPU berubah menjadi sangat independen dengan klausul yang diatur pada Pasal 22E Ayat (5), berbunyi: “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri”.25 Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai salah satu lembaga independen yang bersifat sekunder atau penunjang (auxiliary) yang mendapatkan kewenangannya dari UUD 1945. Namun, hanya kewenangan pokoknya saja, bahwa sebagai penyelenggara pemilihan

25 Zainal Arifin Mochtar, Op.cit, hlm 108-109

(51)

umum. Barulah, dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017, secara eksplisit menyebutkan tugas, wewenang dan kewajiban KPU.

Adapun, tugas, wewenang dan kewajiban KPU ialah, sebagai berikut:

Pasal 12 KPU bertugas:

a. merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal;

b. menyusun tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN;

c. menyusun Peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu;

d. mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan, dan memantau semua tahapan pemilu;

e. menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi;

f. memutakhirkan data pemilih berdasarkan data pemilu terakhir dengan memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar pemilih;

g. membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi penghitungan hasil suara serta wajib menyerahkannya kepada saksi Peserta pemilu dan Bawaslu;

h. mengumumkan calon anggota DPR, calon anggota DPD, dan Pasangan calon terpilih serta membuat berita acaranya;

i. menindaklanjuti dengan segera putusan Bawaslu atas temuan dan laporan adanya dugaan pelanggaran atau sengketa Pemilu;

j. menyosialisasikan penyelenggaraan pemilu dan/atau yang berkaitan dengan tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat;

k. melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan pemilu; dan

l. melaksanakan tugas lain dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(52)

Pasal 13

KPU berwenang:

a. menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLLI;

b. menetapkan Peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu;

c. menetapkan peserta pemilu;

d. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi perghitungan suara tingkat nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Provinsi untuk Pemilu Presiden dan Wakil presiden dan untuk pemilu anggota DPR serta hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap KPU provinsi untuk pemilu membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat hasil penghitungan suara;

e. menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil pemilu dan mengumurnkannya;

f. menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota untuk setiap partai politik peserta pemilu anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD Kabupaten/Kota;

g. menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian perlengkapan;

h. membentuk KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan PPLN;

i. mengangkat, membina, dan memberhentikan anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, dan anggota PPLN;

j. menjatuhkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota KPU Provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPLN, anggota KPPSLN, dan Sekretaris Jenderal KPU yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu yang sedang

Referensi

Dokumen terkait

bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, khususnya terhadap tarif retribusi izin usaha perikanan

Tujuan Pembelajaran Umum : Mahasiswa mampu menjelaskan metoda dan teknik pembuatan bahan dekorasi patiseri Jumlah Pertemuaan : 2 (satu) kali. Pertemuan Tujuan Pembelajaran

Setiap elemen mesin yang berputar, seperti cakra tali, puli sabuk mesin, piringan kabel, tromol kabel, roda jalan, dan roda gigi, dipasang berputar terhadap poros dukung yang

Sebenarnya perubahan sistem kapitalisme saat itu bukan hanya sekedar memberikan hak-hak rakyat yang selama ini terampas oleh keserakahan kaum kapitalis sebagaimana alasan diatas,

This study aims to determine the benefits of the use of hedges on the exposure of transactions а nd determine the currency to be selected by PT Multibint а ng Indonesi а to

3) Soft copy Hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota tingkat Oesa (Formulir Model OAA KWK); 4) Soft copy dokumen yang

merupakan penelitian awal dari penelitian biodegradasi zat warna azo menggunakan bioreaktor membran konsekutif aerob-anoksik yang terdiri dari reaktor kontak dan stabilisasi

Kebijakan Pemerintah Pusat dalam program visi dan misi Nawa Cita lewat Kementerian Perhubungan dan Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Kota Jayapura dalam program