• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Penerapan Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "View of Penerapan Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Proceeding International Conference on Lesson Study Universitas Muhammadiyah Gresik

E-ISSN : xxxx-xxxx

DOI : ………..

Vol 1 No 1: Fostering a Learning Community Engagement Though a Lesson Study

128

Penerapan Problem Based Learning untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik

Elys Qotrunnada Munawaroh1, Ustin2

1Universitas Muhammadiyah Gresik, 2UPT SMP Negeri 9 Gresik

ARTICLE INFO ABSTRAk

Keywords:

Pembelajaran Matematika;

Problem Based Learning;

Kemampuan Berpikir Kritis

Berpikir kritis saat ini menjadi salah satu keterampilan yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan Dalam pembelajaran matematika, peserta didik yang kritis akan terbantu dalam memecahkan masalah matematika.

Sebaliknya seorang peserta didik yang biasa menyelesaikan masalah matematika akan cenderung berpikir kritis.

Berdasarkan observasi awal, kemampuan berpikir kritis peserta didik berada dalam kriteria rendah. Penerapan pembelajaran matematika yang monoton sehingga tidak melatih peserta didik untuk berpikir kritis menjadi faktor utama. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan langkah-langkah penerapan probem based learning untuk meningkatkan kemampuan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas VII-C UPT SMPN 9 Gresik yang berjumlah 32 siswa. Teknik pengumpulan data melalui observasi dan tes. Penelitian ini menggunakan teknik analisis data deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Kemampuan berpikir krtitis peserta didik siklus I mendapatkan rerata 62,21% dengan kriteria kurang kritis.

Kemampuan berpikir krtitis peserta didik pada siklus II rerata meningkat menjadi 78,32% dengan kriteria kritis.

Meningkatnya kemampuan berpikir kritis juga memberi dampak pada ketuntasan belajar peserta didik. Pada siklus I persentase ketuntasan peserta didik sebesar 44%, dan pada siklus II meningkat mencapai 75%. Hasil penelitian ini menunjukkan penerapan problem based learning dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Corresponding Author:

Elys Qotrunnada Munawaroh

Universitas Muhammadiyah Gresik; [email protected]

(2)

129 PENDAHULUAN

Pelajaran matematika sangat penting digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pelajaran matematika, peserta didik dibekali dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, kreatif, serta kemampuan bekerjasama, sehingga peserta didik dapat memahami dan memecahkan masalah dengan baik . Dalam memecahkan masalah matematika hal yang terpenting yang harus ditekankan pada peserta didik adalah kemampuan berfikir kritisnya. Berpikir kritis saat ini menjadi salah satu kecakapan hidup (life skill) yang perlu dikembangkan melalui proses pendidikan (Zubaidah, 2018). Melalui kemampuan berpikir seseorang akan dapat mencermati dan mencari solusi atas segala permasalahan yang dihadapi dalam kehidupannya. Oleh karena itu, pendidikan abad 21 menuntut peserta didik memiliki keteramplan berpikir kritis yang baik (Zubaidah, 2018).

Walker (dalam Yulianti & Gunawan, 2019) menyatakan bahwa berfikir kritis merupakan suatu proses yang dilalui dari proses pemecahan masalah dan kolaborasi dengan tujuan agar peserta didik memperoleh pengetahuan pengetahuan baru. Menurut Karim (2011) kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika di sekolah atau pun perguruan tinggi, yang menitik beratkan pada sistem, struktur, konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan unsur lainnya Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa berfikir kritis adalah suatu proses berfikir yang dilalui dalam memecahkan masalah sehingga memperoleh pengetahuan yang baru.

Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang bertujuan pada penarikan kesimpulan tentang kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri tentang apa yang akan kita lakukan. Bukan sekedar memperoleh jawaban dan nilai semata, namun yang lebih utama adalah pertanyaan menegenai jawaban, fakta, atau informasi yang ada (Safrida et al., 2018). Jika guru dan pelajar menyadari pentingnya hal ini, maka jaminan akan kemampuan berpikir kritis yang tinggi, sudah dalam genggaman Dalam pembelajaran matematika peserta didik yang kritis akan terbantu dalam memecahkan masalah matematika. Sebaliknya seorang peserta didik yang biasa menyelesaikan masalah matematika akan cenderung berpikir kritis. Peserta didik yang berpikir kritis adalah peserta didik yang mampu mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengonstruksi argumen serta mampu memecahkan masalah (Afifah et al., 2019).

Selama kegiatan observasi sebelum tindakan, peneliti menemukan fakta bahwa ketika peserta didik diberikan tugas untuk mengerjakan soal latihan sebagian besar peserta didik kurang tepat dalam mengerjakan soal sehingga banyak jawaban peserta didik yang salah. Ini menunjukkan masih rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik dalam mengerjakan soal- soal latihan matematika, kurang optimalnya kemampuan berpikir kritis peserta didik menyebabkan hasil belajar peserta didik juga rendah.

Di temukan masalah dalam proses pembelajaran, yaitu guru masih mendominasi kelas, cenderung ceramah, kurang memberi motivasi, dan rendahnya volume suara guru dalam penyampaian materi. Guru cenderung menjelaskan materi yang ada dibuku paket dan kemudian memberikan soal latihan, sementara peserta didik hanya mencatat apa yang disampaikan guru tanpa ada respon balik, menyalin dan menghafal rumus-rumus yang diberikan. Kondisi pembelajaran seperti ini mengakibatkan peserta didik tidak terlatih untuk berpikir kritis dalam menyelesaikan soal- soal.

Informasi mengenai rendahnya pemahaman dan kemampuan berpikir kritis di atas tentunya tidak dapat dibiarkan begitu saja. Akan tetapi perlu dilakukan sebuah upaya tindak lanjut dalam rangka untuk perbaikan, salah satunya adalah dengan menerapkan suatu metode pembelajaran yang inovatif dan dapat mengaktifkan peserta didik di dalam kelas.

Keterampilan berpikir kritis dapat ditingkatkan dengan model pembelajaran. Namun demikian, tidak semua model pembelajaran secara otomatis dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis.

Hanya model pembelajaran tertentu yang akan meningkatkan keterampilan berpikir kritis.

(Pambudiarso et al., 2018) mengemukakan bahwa dalam mengembangkan kemampuan berpikir kritis peserta didik diperlukan adanya proses pembelajaran matematika yang banyak melibatkan peserta didik secara aktif khususnya dalam proses pembelajaran di kelas. Dalam pembelajaran matematika

(3)

130

salah satu model yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik adalah model pembelajaran Problem-based Learning.

Problem Based Learning (PBL) merupakan salah satu model pembelajaran yang memungkinkan peserta didik dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis, karena di dalam PBL peserta didik dihadapkan pada masalah sebagai stimulus yang menjadi fokus dan harus dipecahkan dalam aktivitas belajar (Arfin et al., 2015). PBL mempersiapkan peserta didik untuk berpikir kritis dan analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pelajaran yang sesuai (Yulianti & Gunawan, 2019).

Sintak model pembelajaran berbasis masalah menurut Arends (2007) yaitu : (1) orientasi peserta didik kepada masalah; (2) mengorganisasi peserta didik untuk belajar; (3) membimbing penyelidikan individual maupun kelompok; (4) mengembangkan dan menyajikan hasil karya; (5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Manfaat dari model pembelajaran berbasis masalah menurut Ibrahim (dalam Trianto, 2007) yaitu membantu peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis, pemecahan masalah dan keterampilan intelektual, serta belajar berperan sebagai orang dewasa.

METODE

Penelitian ini merupakan PTK (penelitian tindakan kelas) yang dilaksanakan selama dua siklus dengan empat tahap kegiatan, yakni tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, tahap observasi, dan tahap refleksi. Pelaksanaaan penelitian yakni Maret 2023, adapun subyek dalam penelitian ini yakni siswa dari kelas VII C UPT SMP Negeri 9 Gresik tahun ajaran 2022/2023 yang berjumlah 32 siswa. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan kualitatif.

Berhasil atau tidaknya penelitian ini bisa diketahui melalui data yang diperoleh melalui tes tulis.

Instrumen tes tulis tersebut memuat beberapa indikator kemampuan berpikir kritis menurut Fisher (2008) yakni: 1) mengidentifikasi masalah; 2) menyusun sejumlah alternatif pemecahan masalah; 3) membuat kesimpulan; 4) mengumpulkan berbagai informasi yang relevan; 5) mengungkapkan pendapat, dan; 6) mengevaluasi argumen. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

Adapun untuk menghitung presentase rerata kemampuan berpikir kritis pada penelitian ini menggunakan rumus:

1) Menghitung skor perolehan siswa di tiap indikator (𝑁𝑥) berdasarkan pedoman penskoran tiap indikator berpikir kritis.

2) Menghitung persentase tiap indikator dengan cara:

𝑁𝑛 = Σn

Σmax n × 100%

Keterangan:

n = 1,2,3,4,5,6 (indikator berpikir kritis) 𝑁𝑛 = Nilai persentase indikator n Σn = Perolehan skor indikator n Σmax n = Skor maksimal indikator n

3) Mencari rata-rata skor kemampuan berpikir kritis seluruh indikator (NA) dengan cara 𝑁𝐴 = 𝑁1 + 𝑁2 + 𝑁3 + 𝑁4 + 𝑁5 + 𝑁6

6 × 100%

Data yang diperoleh dianalisis dengan berpedoman pada kriteria kemampuan berpikir kritis pada tabel berikut.

Tabel 1. Klasifikasi Kemampuan Berpikir Kritis

Presentase Kriteria

87,5% ≥ 𝑁𝐴 ≤ 100% Sangat Kritis 75% ≥ 𝑁𝐴 < 87,5% Kritis 62,5% ≥ 𝑁𝐴 < 75% Cukup Kritis 50% ≥ 𝑁𝐴 < 62,5% Kurang Kritis

0% ≥ 𝑁𝐴 < 50% Tidak Kritis

Sumber: Ngalim Purwanto (dalam Pambudiarso et al., 2018)

(4)

131

Penelitian dikatakan berhasil jika telah mencapai indikator keberhasilan. Indikator keberhasilan pada penelitian ini adalah: 1) persentase ketuntasan peserta didik ≥70%; 2) rerata presentase kemampuan berpikir kritis mencapai kriteria kritis (≥75%).

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Kondisi awal penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis kelasVII C UPT SMPN 9 Gresik masih rendah. Hal ini ditunjukkan dari hasil perolehan tes awal kemampuan berpikir kritis

Tabel 2. Hasil tes kemampuan berpikir kritis pra siklus

No. Indikator Berpikir Kritis Persentase Pra Siklus Kriteria

1. Mengidentifikasi masalah 50,31% Kurang Kritis

2. Menyusun sejumlah alternatif pemecahan masalah 24,06% Tidak Kritis

3. Membuat kesimpulan 30,16% Tidak Kritis

4. Mengumpulkan berbagai informasi yang relevan 41,04% Tidak Kritis

5. Mengungkapkan pendapat 39,69% Tidak Kritis

6. Mengevaluasi argument 49,38% Tidak Kritis

Rata-rata 39,11% Tidak Kritis

Tabel 2 merupakan hasil tes kemampuan berpikir kritis pada saat pra siklus. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik masih rendah.

Kegiatan perencanaan dalam siklus I dan II dilakukan mulai dari menyusun modul ajar sampai dengan menyusun lembar tes kemampuan berpikir kritis. Selanjutnya pelaksanaan penelitian dilakukan sesuai dengan rencana awal yaitu dalam satu siklus terdiri dari dua kali pertemuan.

Pertemuan pertama di tiap-tiap siklus adalah pemberian tindakan atau pelaksanaan pembelajaran.

Pelaksanaan pembelajaran pada siklus I memiliki tujuan pembelajaran yakni 1) menemukan luas permukaan kubus dan balok, 2) menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan luas permukaan kubus dan balok. Kemudian pada siklus II tujuan pembelajarannya adalah 1) menemukan volume kubus dan balok, 2) menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan volume kubus dan balok.

Pada kegiatan pendahuluan, guru membuka pelajaran dengan mengajak peserta didik untuk menyanyikan lagu indonesia raya, mengaji dan berdo’a sebagai kegiatan pembiasaan pembelajaran pada jam pertama. Kemudian guru menanyakan kabar dan perasaan pesera didik. Guru mengecek kehadiran peserta didik dan kesesiapan belajar peserta didik. Guru memberikan apersepsi, kemudian guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan di capai, model pembelajaran yang akan digunakan, dan teknik penilaian. Guru memberikan motivasi dan pertanyaan pemantik.

Pada tahap orientasi peserta didik pada masalah, guru memberikan masalah. Dari persoalan yang disajikan peserta didik diminta untuk membaca, mempelajari bahan bacaan maupun buku peserta didik. Pada tahap mengorganisasikan peserta didik, guru membagi peserta didik dalam 8 kelompok. Pembentukan kelompok disesuaikan dengan kemampuan awal peserta didik. Peserta didik membentuk kelompok sesuai dengan intruksi guru. Guru memberikan permasalahan kepada setiap kelompok dalam bentuk LKPD (Lembar Kerja Peserta Didik). Guru memberikan penjelasan mengenai teknis pengerjaan LKPD, kemudian peserta didik membagi tugas dalam kelompoknya.

Pada tahap membimbing penyelidikan individu maupun kelompok, Peserta didik mengidentifikasi masalah yang diberikan dalam LKPD tiap siklus dalam kelompoknya masing- masing. Peserta didik mengerjakan LKPD sesuai instruksi guru dengan membaca bahan bacaan. Guru memfasilitasi peserta didik yang bertanya atau serching sebagai referensi.

Pada tahap menyajikan hasil kerja kelompok, peserta didik memaparkan hasil diskusi kelompok mereka terkait LKPD yang sudah dikerjakan secara bergantian. Kelompok yang presentasi

(5)

132

adalah kelompok yang memiliki kemampuan awal rendah. Guru menjadi fasilitator saat peserta didik melaksanakan presentasi. Guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memberikan pertanyaan atau umpan balik konstruktif, akan tetepi tidak ada peserta didik yang berani bertanya.

Pada tahap menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah, Guru melaksanakan klarifikasi atas beberapa miskonsepsi selama kegiatan pembelajaran. Peserta didik dan guru bersama- sama menyimpulkan materi. Peserta didik diberikan penguatan terkait kesimpulan materi yang dipelajari.

Pada kegiatan penutup, peserta didik dan guru melakukan refleksi tentang pembelajaran. guru menyampaikan kepada peserta didik bahwa untuk pertemuan selanjutnya akan ada tes terkait materi yang telah dipelajari, kemudian meminta peserta didik untuk membaca materi. Pembelajaran ditutup dengan guru mengucapkan terimakasih dan salam.

Pada pertemuan kedua baik siklus I maupun siklus II adalah pelaksanaan tes untuk mengetahui kemampuan berpikir kritis peserta didik di tiap siklus. Berikut tabel 3 merupakan data hasil tes kemampuan berpikir kritis dari siklus I dan siklus II.

Tabel 3. Hasil tes kemampuan berpikir kritis siklus I dan siklus II

No. Indikator Berpikir Kritis Siklus 1 Kriteria Siklus 2 Kriteria 1. Mengidentifikasi masalah 88,13% Sangat Kritis 92,50% Sangat Kritis 2. Menyusun sejumlah alternatif

pemecahan masalah

61,09% Kurang Kritis 70,31% Kritis 3. Membuat kesimpulan 47,29% Tidak Kritis 70,31% Kritis 4. Mengumpulkan berbagai informasi

yang relevan

91,88% Sangat Kritis 98,44% Sangat Kritis 5. Mengungkapkan pendapat 37,19% Tidak Kritis 74,90% Kritis 6. Mengevaluasi argument 47,71% Tidak Kritis 63,44% Kritis

Rata-rata 62,21% Kurang Kritis 78,32% Kritis

Berdasarkan Tabel 3, diperoleh data kemampuan berpikir kritis. Pada data siklus I indikator 1 mengidentifikasi masalah memperoleh persentase 88,13% dengan kriteria “sangat kritis”, kemudian pada siklus II indikator 1 mengidentifikasi masalah memperoleh persentase 92,50% dengan kriteria

“sangat kritis”. Pada data siklus I indikator 2 menyusun sejumlah alternatif pemecahan masalah memperoleh persentase 61,09%dengan kriteria “kurang kritis”, kemudian pada siklus II indikator 2 menyusun sejumlah alternatif pemecahan masalah memperoleh persentase 70,31% dengan kriteria

“kritis”. Pada data siklus I indikator 3 membuat kesimpulan memperoleh persentase 47,29% dengan kriteria “tidak kritis”, kemudian pada siklus II indikator 3 membuat kesimpulan memperoleh persentase 70,31% dengan kriteria “kritis”. Pada data siklus I indikator 4 mengumpulkan berbagai informasi yang relevan memperoleh persentase 91,88% dengan kriteria “sangat kritis”, kemudian pada siklus II indikator 4 mengidentifikasi masalah memperoleh persentase 98,44% dengan kriteria “sangat kritis”. Pada data siklus I indikator 5 mengungkapkan pendapat memperoleh persentase 37,19%

dengan kriteria “tidak kritis”, kemudian pada siklus II indikator 5 mengungkapkan pendapat memperoleh persentase 74,90% dengan kriteria “kritis”. Pada data siklus I indikator 6 mengevaluasi argumen memperoleh persentase 47,71% dengan kriteria “tidak kritis”, kemudian pada siklus II indikator 6 mengevaluasi argumen memperoleh persentase 63,44% dengan kriteria “kritis”.

Persentase rata-rata pada siklus I didapatkan sebesar 62,21% dengan kriteria “kurang kritis”, kemudiaan pada siklus II didapatkan persentase rata-rata sebesar 78,32% dengan kriteria “kritis”.

Untuk persentase ketuntasan siklus I dan siklus II disajikan pada tabel 4 Tabel 4. Persentase Ketuntasan Siklus I dan Siklus II

Ketuntasan Siklus I Siklus II

Tuntas 44% 75%

Belum tuntas 56% 25%

(6)

133

Berdasarkan Table 4, diperoleh persentase ketuntasan peserta didik. Pada data siklus I didapatkan persentase ketuntasan sebesar 44%, dan belum tuntas mendapatkanpersentase 56%. Pada data siklus II didapatkan persentase ketuntasan sebesar 75%, dan belum tuntas mendapatkanpersentase 25%.

Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis yang dipaparkan pada data hasil penelitian dapat diketahui bahwa penerapan pembelajaran dengan model problem based learning mampu meningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VII C UPT SMPN 9 Gresik. Keberhasilan tersebut dapat diketahui dari hasil perbandingan niliai tes kemampuan berpikir kritis siklus I dan siklus II. Penelitian ini dilakukan dalam 2 siklus yang terdiri pelaksanaan tindakan siklus I dan pelaksanaan tindakan siklus II.

Pada data yang terdapat pada tabel 2, indikator 1 mengidentifikasi masalah memperoleh persentase 50,31% dengan kriteria “kurang kritis”, indikator 2 menyusun sejumlah alternatif pemecahan masalah memperoleh persentase 24,06% dengan kriteria “tidak kritis, indikator 3 membuat kesimpulan memperoleh persentase 30,16% dengan kriteria “tidak kritis”, indikator 4 mengumpulkan berbagai informasi yang relevan memperoleh persentase 41,04% dengan kriteria “tidak kritis”, indikator 5 mengungkapkan pendapat memperoleh persentase 39,69% dengan kriteria “tidak kritis”, indikator 6 mengevaluasi argumen memperoleh persentase 49,38% dengan kriteria “tidak kritis”.

Persentase ketuntasan peserta didik pada kondisi awal juga masih sangat rendah, yang mana hanya terdapat 25% peserta didik di kelas yang menapai nilai ketuntasan.

Setelah pelaksanaan tindakan pada siklus I Siswa sudah dapat mengidentifikasi soal dengan baik, siswa sudah mulai mengikuti kegiatan tanya jawab bersama saat pembelajaran dan mampu menganalisis saat dilibatkan dalam pembelajaran.

Berdasarkan Tabel 3, indikator 1 mengidentifikasi masalah memperoleh persentase 88,13%

dengan kriteria “sangat kritis, indikator 2 menyusun sejumlah alternatif pemecahan masalah memperoleh persentase 61,09% dengan kriteria “kurang kritis”, indikator 3 membuat kesimpulan memperoleh persentase 47,29% dengan kriteria “tidak kritis”, indikator 4 mengumpulkan berbagai informasi yang relevan memperoleh persentase 91,88% dengan kriteria “sangat kritis”, indikator 5 mengungkapkan pendapat memperoleh persentase 37,19% dengan kriteria “tidak kritis”, indikator 6 mengevaluasi argumen memperoleh persentase 47,71% dengan kriteria “tidak kritis”, kemudian pada siklus II indikator 6 mengevaluasi argumen memperoleh persentase 63,44% dengan kriteria “kritis”.

Rerata persentase kemampuan berpikir kritis peserta didik siklus I adalah 62,21% dengan kriteria

“kurang kritis”. Apabila dibandingkan dengan indikator keberhasilan yang telah ditetapkan dalam penelitian ini yaitu rerata persentase kemampuan berpikir kritis minimal pada kriteria kritis (≥ 75%) dan persentase peserta didik yang telah memenuhi nilai KKM yaitu ≥ 75%, maka siklus I ini belum berhasil. Hal tersebut terjadi karena siswa belum terbiasa menggunakan model ini.

Dengan menggunakan kegiatan refleksi pada siklus I, maka dilakukan perencanaan untuk perbaikan di tindakan pada siklus II. Setelah dilakukan pelaksanaan siklus II, hasil tes siklus II menunjukkan peningkatan dengan perolehan hasil rata- rata sebesar 78,32% yang masuk dalam kriteria kritis. Hasil tes menunjukkan bahwa siswa sudah lebih baik dalam menyelesaikan soal tes kemampuan berpikir kritis. Hal ini didapatkan karena siswa sudah mengerjakan soal secara sistematis.

Sejalan dengan pendapat Agoestanto (2016) bahwa pada saat pembelajaran pertama dengan model PBL, peserta didik akan memerlukan waktu yang cukup lama dalam menyesuaikan diri.

Dibandingankan dengan siklus I, indikator berpikir kritis dalam hal mengidentifikasi masalah mengalami peningkatan lebih baik mencapai persentase 92,50% dengan kriteria sangat kritis.

Kemudian dalam indikator menyusun sejumlah alternatif pemecahan masalah juga mengalami peningkatan mencapai 70,31% dengan kriteria kritis. Sejalan dengan pendapat

Model pembelajaran problem based learning (PBL) merupakan pembelajaran yang menitik beratkan pada kegiatan pemecahan masalah (Yulianti & Gunawan, 2019). Pada indikator membuat kesimpulan juga mengalami peningkatan mencapai 70,31% dengan kriteria kritis. Dibandingkan siklus

(7)

134

I, siswa sudah lebih baik dalam mengidentifikasi masalah dan juga mampu menyusun alternatif pemecahan masalah hingga mampu menarik kesimpulan dengan tepat. Hal ini sejalan dengan pendapat Pambudiarso et al. (2018) bahwa pembelajaran Problem-based Learning dapat membantu mengembangkan kemampuan berpikir kritis siswa, karena pada kegiatan pembelajaran Problem-based Learning siswa terlibat penuh dalam kegiatan proses pembelajaran melalui pemecahan masalah di sekolah dasar, salah satunya siswa dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis sebagai langkah dalam menyelesaikan permasalahan serta dapat mengambil kesimpulan berdasarkan apa yang mereka pahami. Orang yang berpikir kritis akan mencari, menganalisis dan mengevaluasi informasi, membuat kesimpulan berdasarkan fakta kemudian melakukan pengambilan keputusan (Saputra, 2020)

Pada indikator mengumpulkan berbagai informasi yang relevan mengalami peningkatan di siklus II mencapai 98,44% dengan kriteria sangat kritis. Hal itu menunjukkan bahwa model problem based lerning mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam mengumpulkan informasi terkait dengan masalah yang diberikan, sejalan dengan pendapat Fristadi and Bharata (2015) bahwa dalam pembelajaran PBL siswa menggali informasi yang terkait dengan masalah, membuat konjektur, dan menggeneralisasi konsep dan prosedur matematika.

Pada indikator mengungkapkan pendapat di siklus II mengalami peningkatan yang cukup besar mencapai 79,90% dengan kriteria kritis. Pada indikator mengevaluasi argumen

Setelah diterapkanya model pembelajaran Problem Based Learning selama 2 siklus, kemampuan berpikir kritis peserta didik mengalami peningkatan dan telah mencapai indikator keberhasilan, ditunjukan dengan hasil rerata tes kemampuan berpikir kritis peserta didik yang meningkat mecapai 78,32% dengan kriteria kritis dan sebanyak 75% peserta didik yang mencapai nilai KKM. Hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa melalui penerapan problem based learning menyebabkan peserta didik mampu menjawab pertanyaan sesuai dengan jawaban yang diharapkan, hal itu mengakibatkan hasil tes kemampuan berpikir kritis mengalami peningkatan. Kemudian pada proses kegiatan peserta didik dalam mengikuti pembelajaran dengan sintaks Problem Based Learning, siswa cenderung lebih aktif dapat menentukan permasalahan, mengemukakan hipotesis awal, menumpulkan data dan dapat menyimpulkan sendiri pemecahan masalah yang yang termuat dalam kegiatan pembelajaran. Hal itu sejalan dengan pendapat (Ayuningsih et al., 2019) dalam proses belajar mengajar, siswa dituntut untuk aktif mencari atau menemukan sendiri permasalahannya dan dalam menyelesaikan soal uraian siswa dituntut untuk dapat mengidentifikasi pertanyaan sehingga memacu siswa untuk berpikir kritis yang dapat mempengaruhi meningkatnya hasil belajar.

. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis hasil data penelitian, dapat disimpulkan bahwa penerapan problem based learning sudah disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik untuk mengembangkan kemampuan brpikir kritis yang dimilikinya. Sebelum diberikan tindakan, kemampuan berpikir kritis peserta didik hanya mendapatkan rerata persentase sebesar 39,11% dengan kriteria tidak kritis, dengan jumlah 25%

peserta didik yang tuntas. Pada siklus I kemampuan berpikir kritis peserta didik yang minimal berada dalam kriteria kritis meningkat mencapai 57%, dan persentase ketuntasan mencapai 44%. Pada siklus II kemampuan berpikir kritis peserta didik yang minimal berada dalam kriteria kritis meningkat kembali mencapai 78%, dengan persentase ketuntasan sebesar 75%.

Berdasarkan hasil temuan pra tindakan, siklus I, dan siklus II, maka penelitian ini mampu mendeskripsikan penerapan problem based learning untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik degan 5 tahapan pembelajaran, yakni: 1) orientasi peserta didik pada masalah; 2) mengorganisasikan peserta didik; 3) membimbing penyelidikan individu maupun kelompok; 4) menyajikan hasil kerjakelompok; 5) menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

(8)

135 REFERENCES

Afifah, E. P., Wahyudi, W., & Setiawan, Y. (2019). Efektivitas Problem Based Learning dan Problem Solving Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas V dalam Pembelajaran Matematika.

MUST: Journal of Mathematics Education, Science and Technology, 4(1), 95.

https://doi.org/10.30651/must.v4i1.2822

Agoestanto, K. U. & A. (2016). Implementation of the PBL learning model on students’ critical thinking skills and discipline. National Seminar on Mathematics X Semarang State University, 532–538.

https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/prisma/article/view/21570/10269 Arends, R. I. (2007). Learning to Teach. Pustaka Pelajar.

Ayuningsih, D., Kristin, F., & Anugraheni, I. (2019). Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning (Pbl) Untuk Meningkatkan Hasil Belajar Dan Berpikir Kritis Matematika. Jurnal Cakrawala Pendas, 5(2), 94–99. https://doi.org/10.31949/jcp.v5i2.1351

Fisher, A. (2008). Berpikir Kritis. Erlangga.

Fristadi, R., & Bharata, H. (2015). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Dengan Problem Based Learning. Seminar Nasional Matematika Dan Pendidikan Matematika UNY 2015, 597–602.

Karim, A. (2011). Penerapan Metode Penemuan Terbimbing dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Pemahaman Konsep dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Sekolah Dasar.

Seminar Nasional Matematika Dan Terapan, 32. https://d1wqtxts1xzle7.cloudfront.net/49219245/37- 52-1-PB-with-cover-page-

v2.pdf?Expires=1642251245&Signature=f4Qn1phch0U2jNZMRRDkKVo-

r3oco6KJJzMiwAm2Berpikir kritis adalah proses berpikir yang terjadi pada diri seseorang dan dimaksudkan untuk mengambil

Pambudiarso, H., Kristin, F., & Anugraheni, I. (2018). Penerapan Model Pembelajaran Pbl Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Pada Mata Pelajaran Matematika Siswa Kelas 5 Sd.

Uksw.Edu, 1, 197–206.

Safrida, L. N., Ambarwati, R., & Adawiyah, R. (2018). ANALISIS KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA. 6(April), 10–16.

Saputra, H. (2020). Kemampuan Berfikir Kritis Matematis. Perpustakaan IAI Agus Salim Metro Lampung, 2(April), 1–7.

Trianto. (2007). Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik. Prestasi Pustaka Publisher.

Yulianti, E., & Gunawan, I. (2019). Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL): Efeknya Terhadap Pemahaman Konsep dan Berpikir Kritis. Indonesian Journal of Science and Mathematics Education, 2(3), 399–408. https://doi.org/10.24042/ijsme.v2i3.4366

Zubaidah, S. (2018). Mengenal 4C: Learning and Innovation Skills untuk Menghadapi Era Revolusi Industri 4.0. 2nd Science Education National Conference, October 2018, 1–18.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian dilakukan untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan berpikir kritis dengan menggunakan model Problem Based Learning PBL pada pembelajaran tematik terpadu peserta didik di

Penelitian ini bertujuan untuk mengenalisis kemampuan memecahkan masalah dan hasil belajar kognitif pada peserta didik dengan penerapan model pembelajaran problem based learning PBL