5
Bab II Landasan Teori
II.1 Indoor Environmental Quality (IEQ)
Seiring dengan perkembangan konsep bangunan berkelanjutan, isu mengenai Indoor Environment Quality atau IEQ seringkali dikaitkan dengan kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan. IEQ sendiri dapat didefinisikan sebagai performa bangunan untuk menyediakan lingkungan dalam ruangan yang mampu memenuhi tujuan untuk menunjang kesehatan, kesejahteraan, serta kinerja penghuni dalam melakukan aktivitasnya (Liang dkk., 2014).
Berbagai kajian literatur telah mengidentifikasi karakteristik yang perlu diperhatikan dalam perancangan bangunan dalam kaitannya dengan IEQ, seperti sistem ventilasi, kualitas udara, kenyamanan termal, akustik, dan pencahayaan.
Dalam beberapa penelitian, disebutkan bahwa IEQ juga dipengaruhi oleh luas ruangan, layout ruangan, dan furnishing yang digunakan (Herbig dkk., 2016;
Frontczak dkk., 2012; Kim dkk., 2013). Namun, berbagai studi mengelompokkan aspek IEQ menjadi kualitas udara dalam ruangan (indoor air quality), kenyamanan termal (thermal comfort), kenyamanan akustik (acoustic comfort), dan kenyamanan visual (visual comfort) (Hassanain, 2007; Lai dkk., 2009; Sarbu
& Sebarchievici, 2013; dan Wong dkk., 2008). Keempat parameter ini dianggap sudah dapat merepresentasikan keadaan IEQ pada suatu ruangan, sehingga penelitian ini akan berfokus untuk mengkaji keempat faktor utama ini.
Penilaian terhadap IEQ dapat digunakan pada penelitian objektif maupun subjektif. Pada penelitian objektif, setidaknya dilakukan pengukuran nilai temperatur, kelembaban relatif, kecepatan udara, komposisi kandungan organik, tingkat pencahayaan, dan tingkat kebisingan. Sementara, pada penelitian subjektif, umumnya digunakan metode survei untuk menilai IEQ berdasarkan persepsi penghuni terhadap aspek-aspek IEQ pada bangunan tersebut (Geng dkk., 2018) Berbagai parameter IEQ yang digunakan dalam penelitian terdahulu dapat dilihat pada tabel II.1 dan tabel II.2.
6 Tabel II. 1 Kajian literatur terkait IEQ pada bangunan perkantoran
Kode Judul Penulis (Tahun)
R1 European Indoor Air Quality Audit Project in 56 Office Buildings Bluyssen dkk. (1996) R2 Self-reported health and comfort in ‘modern’ office buildings: first results from the European
OFFICAIR study
Bluyssen dkk. (2016)
R3 The Impact of the Physical Environment on the Psychological Well-Being of Office Workers Klitzman & Stellman (1989)
R4 Indoor environmental quality differences between office types in LEED-certified buildings in the US
Lee & Guerin (2010)
R5 The impact of thermal environment on occupant IEQ perception and productivity Geng dkk. (2017) R6 Post-Occupancy Evaluation and IEQ Measurements from 64 Office Buildings: Critical Factors
and Thresholds for User Satisfaction on Thermal Quality
Park, Loftness, & Aziz (2018)
R7 Windows, view, and office characteristics predict physical and psychological discomfort Aries, Veitch, & Newsham (2010) R8 Effects of dynamic lighting on office workers: First results of a field study with monthly
alternating settings
Kort & Smolders (2010)
R9 The effect of sound on office productivity Mak & Lui (2012)
R10 Does office space occupation matter? The role of the number of persons per enclosed office space, psychosocial work characteristics, and environmental satisfaction in the physical and mental health of employees
Herbig, Schneider, & Nowak (2016)
R11 A longitudinal investigation of work environment stressors on the performance and wellbeing of office workers
Lamb & Kwok (2016)
R12 LEED Building Design and Construction v4.1 (2020)
R13 Greenship Rating Tools Interior Space v.1 (2012)
R14 The WELL Building Standard v.1 (2020)
(Sumber: Olahan Pribadi)
7 Tabel II. 2 Indikator IEQ berdasarkan kajian literatur
Variabel Sub-Indikator Indikator Referensi
Indoor Air Quality Sistem ventilasi yang digunakan
Ventilation system R1; R2; R12; R13; R14
Tersedianya akses ventilasi bagi penghuni R1; R2; R12; R14
Sumber polutan udara dalam ruangan
Pollution sources and control R1; R2; R12; R13; R14 Upaya pemeliharaan kualitas udara
Tingkat kelembapan yang dirasakan
Perception of IAQ R1; R3; R14
Tingkat bau tidak sedap yang dirasakan Tingkat kesegaran udara yang dirasakan
Thermal Comfort Sensasi termal yang dirasakan Thermal sensation R1; R5; R6; R11
Akses pengaturan lingkungan termal Thermal control R2; R4; R6; R10; R12; R13; R14 Visual Comfort Intensitas pencahayaan dalam ruang (artificial)
Light levels R3; R7; R9; R11; R12; R13; R14
Intensitas pencahayaan dalam ruang (daylight) Akses pengaturan sistem pencahayaan (artificial)
Lighting control systems R2; R4; R10; R12; R13; R14 Akses pengaturan sistem pencahayaan (daylight)
Tata visual dalam ruangan
Views quality R2; R7; R12; R13; R14
Kualitas visual dari luar ruangan yang terlihat R2; R7; R12; R13; R14
Acoustic Comfort Sumber kebisingan dari luar ruangan
Noise annoyance R2; R9; R11; R12; R14
Sumber kebisingan dari dalam ruangan
Tingkat privasi dalam ruangan Acoustic privacy R2; R9; R11; R12; R14
(Sumber: Olahan Pribadi)
8 II.1.1. Kualitas Udara dalam Ruangan (Indoor Air Quality)
Menurut Environmental Protection Agency (EPA), Indoor Air Quality atau IAQ dapat didefinisikan sebagai kualitas udara di dalam dan sekitar bangunan, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan.
Konsentrasi polutan yang tinggi dalam udara berpotensi membawa dampak jangka pendek maupun jangka panjang terhadap kesehatan penghuni.
Berikut adalah beberapa sumber polusi udara di dalam ruangan menurut EPA:
1. Hasil pembakaran bahan bakar dan produk tembakau (rokok)
2. Bahan bangunan dan perabot seperti: insulasi yang mengandung asbes rusak; pelapis lantai yang baru dipasang; dan furnitur yang terbuat dari pressed-wood tertentu
3. Produk pembersihan dan pemeliharaan rumah tangga 4. Sistem pemanas dan pendingin
5. Kelembaban berlebih
6. Polutan yang masuk dari luar ruangan seperti radon dan pestisida
Dalam beberapa tahun terakhir, isu terkait IAQ di lingkungan kerja semakin menjadi perhatian karena sebagian besar pekerja kantor bekerja dengan terpapar polutan dari peralatan kantor, seperti komputer, mesin fotokopi, dan printer yang menghasilkan ozon serta komponen organik lainnya (Carrer & Wolkoff, 2018;
Tran dkk., 2020). Aktivitas penghuni di dalamnya juga secara tidak langsung berperan dalam pembentukan virus, bakteri, jamur, dan debu (Tran dkk., 2020).
Dalam upaya pengendalian sumber pencemar di dalam ruangan, standar Greenship Interior Space menerapkan kriteria adanya jadwal pemeliharaan kebersihan untuk pengondisian udara dari debu, kotoran, dan jamur.
Selain pembersihan rutin, menurut Daisey dalam Horr dkk. (2016), langkah utama yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan kualitas udara dalam ruangan adalah dengan meningkatkan laju pertukaran udara (ventilation rate) yang kemudian dapat mengurangi konsentrasi polutan udara. Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Tran dkk. (2020) bahwa upaya meningkatkan sistem ventilasi pada bangunan tidak hanya dapat meningkatkan efisiensi energi tetapi juga menyediakan IAQ yang lebih baik serta mengurangi berbagai potensi masalah kesehatan.
9 Sistem sertifikasi bangunan hijau LEED yang dikembangkan oleh US Green Building Council menerapkan beberapa syarat ventilasi yang harus dipenuhi sebagai kriteria performa IAQ, diantaranya adalah setidaknya menyediakan satu dari tiga monitoring system di dalam ruangan (exhaust airflow, ventilasi natural, atau konsentrasi CO2) serta menerapkan peraturan dilarang merokok di dalam ruangan hingga jarak 7,5 meter dari area bangunan. Mengadopsi standar ASHRAE 62.1-2016, kriteria IAQ pada sertifikasi LEED juga menetapkan tolok ukur tersedianya jendela yang dapat dioperasikan (openable windows) pada 75%
ruang yang biasa ditempati untuk menyediakan akses ke udara luar.
Persepsi penghuni bangunan terhadap apa yang dirasakannya terhadap kualitas udara di dalam suatu ruangan menjadi suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dalam evaluasi IAQ (Finell dkk., 2017). Penyertaan evaluasi subjektif penghuni terhadap IAQ sudah dilakukan sejak lama, seperti Klitzman dan Stellman (1989) serta Bluyssen dkk. (1996) yang melakukan penelitian IAQ pada 56 bangunan perkantoran Eropa dengan menanyakan persepsi penghuni terhadap IAQ menggunakan dryness scale atau skala kelembapan (1=kering hingga 7=lembap), stuffiness scale atau skala kesegaran udara (1=segar hingga 7=pengap), dan odour scale atau skala bau tidak sedap (1=tidak berbau hingga 7=sangat berbau).
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan menggunakan indikator pollution sources and control, ventilation system, serta perception of indoor air quality sebagai indikator variabel kualitas udara dalam ruangan (X1). Dengan mengetahui ketiga parameter ini, rekomendasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk memastikan kualitas udara yang baik dengan mengoptimalkan sistem ventilasi dan pemantauan polutan udara (Bluyssen dkk., 1996).
II.1.2. Kenyamanan Termal (Thermal Comfort)
Berdasarkan standar ASHRAE 55: Thermal Environmental Conditions for Human Occupancy, kenyamanan termal merupakan kondisi dimana seseorang merasa nyaman dan puas dengan lingkungan termal di sekitarnya. Hoof dkk., (2010) menuliskan bahwa lingkungan termal sendiri dapat diartikan sebagai karakteristik lingkungan yang memengaruhi pertukaran panas antara tubuh manusia dengan
10 lingkungan. Untuk seseorang dapat bekerja secara maksimal, lingkungan sekitarnya harus menunjang kenyamanan termal (Horr dkk., 2016).
Terdapat enam faktor utama dalam ASHRAE 55 yang menentukan kenyamanan termal, yaitu: tingkat metabolisme, insulasi pakaian, temperatur udara, temperatur radian, kecepatan udara, dan kelembapan udara. Baik dalam standar ASHRAE 55 maupun standar Europa EN 15251, kenyamanan termal diukur dengan mengadopsi model kenyamanan termal Fanger (1970). Model ini digunakan untuk memprediksi sensasi termal dari sekelompok besar orang yang terpapar ke lingkungan termal tertentu (predicted mean vote – PMV) yang kemudian menjadi dasar estimasi persentase orang yang tidak puas dengan lingkungan tersebut (predicted percentage of dissatisfied – PPD).
Meskipun model Fanger dan model adaptif lainnya didasarkan pada data empiris dari pengaturan lingkungan yang berbeda, keduanya sama-sama menerapkan penilaian subjektif terhadap thermal sensation atau sensasi termal (Schweiker dkk., 2017). Selain dari sensasi termal, persepsi kenyamanan termal dapat diukur dengan skala kepuasan, akseptabilitas, dan preferensi keadaan termal (Hoof dkk., 2010). Namun, Schweiker dkk. (2017) menambahkan bahwa skala sensasi termal dinilai menjadi parameter yang paling berkaitan erat dengan model PMV.
Gambar II.1 Skala pengukuran sensasi termal dalam ASHRAE 55 (Sumber: Schweiker dkk., 2017)
Dalam kajiannya, Kim dkk. (2018) menuliskan bahwa tersedianya sistem pengaturan dan penyesuaian kondisi termal juga menjadi salah satu faktor penting dalam upaya mengoptimalkan kenyamanan termal. Pengaturan termal atau thermal control ini menjadi salah satu kriteria IEQ yang umum digunakan dalam perencanaan konstruksi berkelanjutan, seperti dalam standar Greenship Interior
11 Space yang menyertakan tolok ukur ketersediaan sistem pengendalian suhu udara ruangan secara individu di semua ruang multi-penghuni yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan dan preferensi masing-masing kelompok penghuni. Dalam penelitiannya, Park dkk. (2018) menggunakan level kemudahan akses individu dalam mengatur thermostat sebagai variabel thermal control, apakah alat pengaturan suhu dipasang dalam jangkauan penghuni atau tidak serta apakah dapat dioperasikan secara manual atau otomatis.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan menggunakan dua indikator dalam pengukuran tingkat kenyamanan termal (X2), yaitu thermal sensation atau sensasi termal yang dirasakan responden serta thermal control atau akses responden dalam mengatur keadaan termal di sekitarnya.
II.1.3. Kenyamanan Visual (Visual Comfort)
Kenyamanan visual didefinisikan dalam standar Eropa EN 12665 sebagai kondisi subjektif dari kesejahteraan visual yang disebabkan oleh lingkungan visual.
Kenyamanan visual yang dirasakan penghuni dalam suatu ruangan berkaitan erat dengan pencahayaan pada ruangan tersebut. Dalam beberapa dekade terakhir, berbagai studi dilakukan untuk menilai aspek-aspek kenyamanan visual dengan menganalisis kebutuhan manusia akan pencahayaan lingkungan sekitarnya, seperti intensitas, keseragaman, dan kesilauan cahaya (Carlucci dkk., 2015).
Lebih lanjut, Carlucci dkk. (2015) menjelaskan bahwa kualitas visual yang baik ditentukan oleh intensitas pencahayaan yang memadai bagi penghuni untuk melakukan aktivitasnya. Keseragaman cahaya juga berkontribusi untuk menghindari tekanan visual akibat perlunya frekuensi adaptasi mata yang terlalu sering, seperti dari pencahayaan yang terlalu terang seketika berubah menjadi gelap ataupun sebaliknya. Dalam penelitian oleh Lamb & Kwok (2016), penilaian subjektif penghuni terhadap pencahayaan di ruang kantornya diukur menggunakan light levels scale (terlalu gelap hingga terlalu terang). Skala yang sama juga telah digunakan oleh Kort & Smolders (2010) dengan menambahkan skala frekuensi terganggunya penghuni akibat pencahayaan alami maupun buatan di kantornya (tidak pernah hingga sangat sering).
12 Dalam upaya mengoptimalkan kenyamanan visual, sangat penting untuk suatu ruangan menyediakan sistem pengaturan pencahayaan yang dapat diakses dengan mudah oleh penghuninya. Menurut Shen dkk. (2014), hal ini diperlukan tidak hanya untuk membentuk lingkungan visual yang nyaman tetapi juga sebagai upaya memaksimalkan efisiensi penggunaan energi. Shen dkk. (2014) menuliskan beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam upaya menyediakan sistem pengaturan cahaya, baik itu secara manual maupun secara otomatis.
Tabel II. 3 Strategi lighting control system Control Type Control Strategy
Manual control Strategy 1: Manual control of lights and no blinds
Independent control Strategy 2: Independent open-loop blind, closed-loop dimming control
Strategy 3: Independent open-loop blind, closed-loop dimming control, occupancy and HVAC mode shared with blind system
Strategy 4: Independent closed-loop blind, closed-loop dimming control
Strategy 5: Independent closed-loop blind, closed-loop dimming, occupancy and HVAC mode shared with blind system
Integrated control Strategy 6: Fully integrated lighting and daylighting control with blind tilt angle control without blind height control Strategy 7: Fully integrated lighting and daylighting control with blind tilt angle and height control
(Sumber: Shen dkk., 2014)
Selain kualitas pencahayaan, kenyamanan visual yang dirasakan penghuni juga dipengaruhi oleh views quality atau kualitas visual di dalam maupun luar ruangan.
Sebagai contoh, standar Greenship Interior Space menerapkan kriteria adanya sarana penghubung antara ruang di dalam dan ruang di luar untuk mendapatkan pemandangan ke arah luar. Melengkapi kriteria ini, standar LEED mensyaratkan bahwa penghuni setidaknya dapat melihat pemandangan alami (natural views), perkotaan (urban environment), atau karya seni (arts). Aries dkk. (2010) menggunakan impression scale yang diadopsi dari De Laet dkk. (2002) untuk mengukur persepsi penghuni terhadap views quality pada ruang kantornya.
Dengan mengadopsi penelitian terdahulu, penelitian ini akan menggunakan indikator light levels, lighting control systems, serta views quality dalam pengukuran variabel kenyamanan visual (X3).
13 II.1.4. Kenyamanan Akustik (Acoustic Comfort)
Rindel dalam Vardaxis dkk. (2018) mendefinisikan kenyamanan akustik sebagai sebuah kondisi di mana tidak ada suara yang tidak diinginkan sehingga manusia dapat melakukan aktivitasnya tanpa terganggu. Sementara, kenyamanan akustik pada suatu bangunan adalah kapasitas bangunan untuk melindungi penghuni dari kebisingan serta ketersediaan lingkungan akustik yang sesuai dengan tujuan dirancangnya bangunan tersebut (Horr dkk., 2016). Dengan demikian, perspektif penghuni menjadi aspek yang sangat penting dalam melakukan penilaian terhadap kenyamanan akustik (Vardaxis dkk., 2018).
Pada lingkungan kerja, permasalahan terkait kenyaman akustik umumnya bersumber dari dua kategori utama, yaitu gangguan dari berbagai kebisingan dan kurangnya privasi komunikasi (Horr dkk., 2016). Karena kantor dan ruang kerja semakin dirancang untuk mendorong interaksi karyawan, penghuni dapat mengalami penurunan tingkat privasi dan kenyamanan akustik, terutama ketika pengguna dengan jenis pekerjaan yang berbeda berada dalam satu ruang kerja (WELL Building Standard v1). Sebagai dampaknya, mereka yang bekerja di ruangan dengan tata ruang terbuka atau open-office dinilai lebih mudah terpapar stres dan memiliki produktivitas rendah (Kamarulzaman dkk., 2011). Sebuah penelitian oleh Haapakangas dkk. (2018) juga menemukan bahwa pemindahan karyawan dari private-office (ruang kerja pribadi tertutup) ke open-office (ruang kerja bersama terbuka) berdampak negatif terhadap kepuasan terhadap IEQ serta meningkatkan tingkat distraksi dan stres.
Dalam penelitiannya, Mak & Lui (2012) serta Lamb & Kwok (2016) menggunakan indikator noise annoyance untuk mengetahui frekuensi terganggunya pekerja kantor dengan tingkat kebisingan di sekitarnya. Responden penelitian diminta untuk menilai seberapa sering mereka terganggu dengan suara penghuni lainnya (seperti percakapan, langkah kaki, dan aktivitas manusia lainnya) maupun suara yang tidak berasal dari penghuni (seperti mesin atau peralatan kantor, suara pintu, background noise, dan suara yang berasal dari luar).
Selain pengukuran terhadap tingkat kebisingan yang dirasakan penghuni, Artan &
Tekce (2019) juga menggunakan indikator acoustic privacy atau tingkat privasi
14 yang dirasakan oleh pekerja di ruang kantornya. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen responden penelitian merasa tidak puas dengan lingkungan kerjanya karena kurangnya tingkat privasi.
Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini akan mengadopsi penelitian terdahulu dan menggunakan indikator noise annoyance serta acoustic privacy dalam pengukuran variabel kenyamanan akustik (X4).
II.2 Kesehatan Mental
Penelitian Global Burden of Disease oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1996 menunjukkan bahwa mental illness atau penyakit mental menjadi salah satu isu utama terkait kesehatan di seluruh dunia. Namun, bebas dari penyakit mental tidak menjadi tolok ukur seseorang dapat dikatakan sehat secara mental. Terkait hal ini, WHO (2006) mendefinisikan kesehatan mental sebagai keadaan sejahtera di mana setiap individu dapat menyadari potensinya sendiri, dapat mengatasi tekanan kehidupan yang normal, dapat bekerja secara produktif dan bermanfaat, serta mampu memberikan kontribusi bagi komunitasnya (Bergefurt dkk, 2022).
Keyes dalam Galderisi dkk. (2015) menuliskan bahwa kesehatan mental terdiri dari tiga komponen sebagai berikut:
1. Kesejahteraan emosional (emotional well-being): mencakup kebahagiaan, minat dalam hidup, dan kepuasan;
2. Kesejahteraan psikologis (psychological well-being): menyukai sebagian besar dari kepribadian diri sendiri, kepandaian dalam mengelola tanggung jawab kehidupan sehari-hari, memiliki hubungan yang baik dengan orang lain, dan kepuasan terhadap kehidupan sendiri;
3. Kesejahteraan sosial (social well-being) : mengacu pada fungsi positif dan kemampuan untuk berkontribusi kepada masyarakat (kontribusi sosial), perasaan menjadi bagian dari komunitas (integrasi sosial), percaya bahwa masyarakat terus berkembang menjadi tempat yang lebih baik (aktualisasi sosial), serta dapat memahami cara masyarakat bekerja (koherensi sosial) Menurut teori dual-factor model yang ditemukan oleh Greenspoon & Saklofske
15 (2001), kesehatan mental dapat ditentukan dengan dua pendekatan yang bersifat positif dan negatif (Suldo, 2008). Pendekatan positif dalam hal ini menjelaskan bahwa karakteristik individu yang sehat secara mental adalah mereka yang memiliki ketiga karakteristik positif sebagai berikut: kesenangan sebagai suatu pengalaman positif yang melibatkan adanya kenikmatan, memiliki rasa cinta sebagai ekspresi perasaan positif dalam relasi dengan orang lain, serta memiliki kemampuan untuk menikmati berbagai pengalaman dalam hidupnya yang dengan perasaan gembira. Sementara, pendekatan negatif menjelaskan bahwa individu yang sehat secara mental adalah mereka yang terhindar dari perasaan cemas, depresi, dan kehilangan control (Aziz dkk., 2021).
Gambar II.2 Model klasifikasi kesehatan mental menurut Keyes (2013) (Sumber: Keyes, 2013)
Berdasarkan model kesehatan mental yang ditulis oleh Keyes (2013), seseorang dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat kesehatan mental dan penyakit mental yang dialaminya. Pengelompokkan ini kemudian menghasilkan empat kelompok berbeda, yaitu: high mental health, high mental illness, low mental health, dan low mental illness. Flourishing adalah kondisi bebas dari gangguan mental seperti depresi dan disertai dengan tingkat kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial yang tinggi. Sementara, langushing adalah sebuah kondisi dimana individu tidak memiliki kesejahteraan emosional, psikologis, dan sosial, tetapi mereka tidak sakit mental (Keyes, 2006). Model ini kembali menguatkan berbagai definisi sebelumnya yang menyatakan bahwa tidak adanya penyakit mental tidak dapat disamakan dengan kondisi seseorang yang sehat secara mental.
16 II.2.1. Kesehatan Mental di Tempat Kerja
Mendukung pernyataan para ahli mengenai kesehatan mental, Forooraghi dalam Bergefurt dkk. (2022) menuliskan bahwa kesehatan mental di lingkungan kerja tidak hanya mencakup keadaan pekerja yang bebas dari penyakit mental, namun juga mencakup adanya faktor-faktor yang menunjang kesehatan dan motivasi pekerja. Kantor yang sehat dapat diartikan sebagai tempat kerja yang setidaknya tidak merugikan kesehatan dan kesejahteraan karyawan, dan idealnya, menunjang kedua hal tersebut secara aktif (Colenberg dkk., 2021).
Sementara potensi menurunnya kesehatan mental disebabkan oleh tuntutan lingkungan (environmental demands), berbagai aspek yang bersumber dari lingkungan (environmental resources) dapat berkontribusi terhadap munculnya dampak jangka pendek seperti perasaan positif (positive mood) maupun jangka panjang seperti meningkatnya keterlibatan kerja (work engagement) (Bergefurt dkk., 2022). Individu yang memiliki work engagement yang tinggi dapat dilihat sebagai individu yang berenergi, berdedikasi tinggi, dan merasa bertanggung jawab untuk berkontribusi dalam pekerjaannya (Bergefurt dkk., 2022). Individu dengan karakteristik seperti ini tentunya cenderung akan lebih termotivasi dalam bekerja. Dengan demikian, isu terkait faktor-faktor yang memengaruhi kesehatan mental pekerja merupakan hal yang penting untuk dikaji.
II.2.2. Indikator Kesehatan Mental
Berbagai instrumen penelitian telah dikembangkan dalam pengukuran kesehatan mental individu, seperti Positive Mental-Health Scale (PMH-Scale), Warwick- Edinburgh Mental Well-being Scale (WEMWBS-Scale), dan WHO-5 Well-Being Index. Di antara berbagai instrumen yang ada, WHO-5 Well-Being Index merupakan salah satu indikator yang paling banyak digunakan untuk mengetahui persepsi tingkat kesehatan mental seseorang sejak tahun 1998 dan indeks ini sudah diterjemahkan ke dalam 30 bahasa (Topp dkk., 2015).
WHO-5 Well-Being Index adalah sebuah skala pengukuran subjective well-being yang terdiri dari 5 butir pernyataan untuk kemudian diisi berdasarkan apa yang dirasakan responden dalam kurun waktu 14 hari terakhir. Skala yang digunakan
17 adalah skala frekuensi 0 sampai 5 dan kemudian dikonversi menjadi skala persentase dengan mengalikan masing-masing skor dengan 4 (Topp dkk., 2015).
Gambar II.3 Butir dalam WHO-5 Well-Being Index (Sumber: Topp dkk., 2015)
Sebagai alat pengukuran yang telah digunakan secara luas, indikator WHO-5 Well-Being Index ini telah teruji validitas dan reliabilitasnya selama bertahun- tahun. Kuesioner yang diadopsi dari indikator ini juga telah banyak digunakan sebagai alat pengukuran kesehatan mental pekerja kantor dalam kaitannya dengan kualitas lingkungan fisik ruang kantor, seperti yang dilakukan oleh Herbig dkk.
(2016) dan Li dkk. (2019) yang mengadopsi versi Jerman dari indeks ini. Dengan kredibilitas yang tinggi serta kesesuaiannya dengan konteks penelitian, indikator WHO-5 Well-Being Index akan digunakan sebagai alat ukur variabel bebas persepsi kesehatan mental (Y) dalam penelitian ini.
II.3 IEQ dan Kesehatan Mental
Mengingat bahwa pekerja kantor menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bekerja di dalam ruangan, berbagai penelitian menemukan adanya pengaruh dari karakteristik lingkungan kerja terhadap kesehatan mental para pekerja. Seperti pada kajian literatur Bergefurt dkk. (2022) yang bertujuan untuk menyelidiki pengaruh IEQ terhadap kesehatan mental, ditemukan bahwa karakteristik IEQ pada ruang kantor menentukan tingkat konsentrasi, produktivitas, suasana hati, bahkan tingkat depresi yang dirasakan oleh pekerja.
Berbagai indikator kesehatan mental yang digunakan dalam penelitian dengan tujuan serupa dapat dilihat pada tabel II.3.
18 Tabel II. 4 Indikator kesehatan mental pada berbagai penelitian terkait pengaruh IEQ di lingkungan kerja
No Judul Penulis (Tahun) Indikator Kesehatan Mental
Konsentrasi Mood Stress Kelelahan (burnout)
Kekesalan (irritability) 1 The physical office workplace as a resource for mental
health – A systematic scoping review
Bergefurt dkk.
(2022)
✔ ✔ ✔ ✔
2 The Impact of the Physical Environment on the Psychological Well-Being of Office Workers
Klitzman &
Stellman (1989)
✔ ✔ ✔ ✔
3 Windows, view, and office characteristics predict physical and psychological discomfort
Aries, Veitch, Newsham (2010)
✔ ✔ ✔
4 The effects of air temperature on office workers’ well- being, workload and productivity-evaluated with subjective ratings
Lan, Lian, Pan (2010)
✔ ✔ ✔ ✔
5 The relationship between interior office space and employee health and well-being – a literature review
Colenberg, Jylhä, Arkesteijn (2021)
✔ ✔ ✔ ✔ ✔
6 Does office space occupation matter? The role of the number of persons per enclosed office space, psychosocial work characteristics, and environmental satisfaction in the physical and mental health of employees
Herbig,
Schneider, Nowak (2016)
✔ ✔
7 A longitudinal investigation of work environment stressors on the performance and wellbeing of office workers
Lamb & Kwok (2016)
✔ ✔ ✔
8 Blue-enriched white light in the workplace improves self- reported alertness, performance and sleep quality
Viola dkk. (2008) ✔ ✔ ✔ ✔
(Sumber: Olahan Pribadi)
19 II.3.1. Indoor Air Quality dan Kesehatan Mental
Dalam kajian Beemer dkk. (2021), dituliskan bahwa isu terkait pentingnya upaya optimalisasi IAQ dalam kaitannya dengan kesehatan sudah dimulai sejak tahun 1850 oleh Griscom. Namun hingga saat ini, sebagian besar penelitian yang berkaitan dengan kualitas udara masih berfokus pada kualitas udara luar atau outdoor air quality. Sedangkan, studi menunjukkan bahwa manusia terpapar lebih banyak polutan ketika berada di dalam ruangan, yang kemudian berpotensi memengaruhi kesehatan fisik maupun mental penghuninya (Beemer dkk., 2021).
Lebih lanjut, penelitian yang dilakukan oleh Power dalam Beemer dkk. (2021) menemukan adanya pengaruh signifikan dari tingginya konsentrasi polutan PM (particulate matter) terhadap meningkatnya gejala depresi dan kegelisahan.
Dalam survei yang dilakukan oleh Radon dkk. (2004), responden dengan keluhan sering mencium bau tidak sedap dalam rumahnya memiliki skor emotional quality of life yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang tidak melaporkan hal serupa.
Pada lingkup penelitian di lingkungan kerja, ditemukan bahwa tingginya kadar polutan berbahaya di ruang kerja berkaitan erat dengan menurunnya kondisi mental pekerja, seperti gejala mood disorders dan kegelisahan (Morrow dalam Beemer dkk., 2021). Dalam penelitian tersebut, 71% individu yang bekerja dengan terpapar kadar polutan tinggi memenuhi kriteria diagnosa sebagai individu yang memerlukan penanganan psikologis.
Banyak studi juga menyimpulkan hal sebaliknya, yaitu bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan dari IAQ terhadap kesehatan mental penghuni bangunan seperti stress, mood, dan perasaan kesal. Namun, penelitian lebih lanjut sangat penting untuk dilakukan agar perancangan bangunan ke depannya dapat memperhatikan aspek-aspek yang dapat diperbaiki demi tercapainya tujuan dan fungsi bangunan untuk menunjang kesejahteraan penghuni (Beemer dkk., 2021).
II.3.2. Thermal Comfort dan Kesehatan Mental
Horr dkk. (2016) menuliskan bahwa untuk seseorang dapat bekerja secara maksimal, lingkungan sekitarnya harus menunjang kenyamanan termal.
20 Mendukung pernyataan ini, sebuah penelitian oleh Lan dkk. (2010) membuktikan bahwa lingkungan kerja yang tidak menunjang kenyamanan termal penghuninya menyebabkan tingkat motivasi kerja yang rendah dan pada akhirnya berpengaruh terhadap produktivitas perusahaan.
Dalam penelitiannya, Lan dkk. (2010) juga mengukur bagaimana suasana hati atau mood pekerja dalam kondisi suhu ruangan yang berbeda dengan menggunakan instrumen pengukuran Profile of Mood States (POMS). Ditemukan bahwa ketika suhu ruangan mencapai 28 derajat, perasaan negatif seperti kesal, tegang, dan rasa cepat lelah juga meningkat. Sementara, tingkat perasaan negatif yang paling rendah ditemukan ketika suhu ruangan berada di jangkauan 17 sampai 21 derajat.
Keterkaitan antara kenyamanan termal dengan kesehatan mental pekerja kantor tidak hanya ditemukan dengan pengukuran objektif seperti temperatur ruangan, namun berbagai studi yang menggunakan parameter subjektif juga mendapatkan temuan serupa. Seperti pada penelitian oleh Newsham dkk. (2013), ditemukan bahwa peningkatan persepsi tingkat kenyamanan termal yang dirasakan pekerja disertai dengan peningkatan perasaan positif (positive mood) dan kualitas tidur.
Lebih lanjut, Ali dkk. (2015) dan Lipczynska dkk. (2018) menemukan adanya pengaruh dari persepsi tingkat kenyamanan termal terhadap tingkat konsentrasi pekerja (Bergefurt dkk., 2022).
II.3.3. Visual Comfort dan Kesehatan Mental
Berbagai studi menunjukkan bahwa kenyamanan visual memengaruhi tingkat kinerja, kenyamanan, serta kesehatan penghuni (Veitch dalam Horr., 2016).
Secara khusus, Kort dan Smolders (2010) menemukan adanya pengaruh dari kualitas pencahayaan yang berbeda terhadap persepsi kesehatan mental penghuni.
Mendukung pernyataan ini, Carlucci dkk. (2015) menuliskan bahwa kualitas pencahayaan menjadi sebuah aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya mengoptimalkan kenyamanan visual.
Sebagai contoh, Rugal dalam Kort dan Smolders (2010) menemukan bahwa intensitas pencahayaan (light levels) yang memadai berperan dalam mendukung
21 penghuni tetap terjaga (alertness), tidak cepat merasa lelah, dan lebih berenergi dalam melakukan aktivitasnya. Dalam penelitian terdahulu, Grunberger dkk.
(1993) juga mendapatkan temuan serupa, di mana responden penelitian yang berada dalam ruangan dengan tingkat pencahayaan yang baik menunjukkan kemampuan berkonsentrasi yang lebih tinggi daripada mereka yang bekerja dalam ruangan dengan intensitas cahaya yang kurang memadai, disertai dengan mood yang lebih stabil dan tingkat alertness lebih tinggi.
Selain daripada tingkat pencahayaan, kenyamanan visual dalam kaitannya dengan kesehatan mental juga ditentukan oleh kualitas visual yang tersedia, baik di dalam maupun di luar ruangan. Sebagai contoh, berbagai penelitian menemukan bahwa pemandangan alam (natural scenes) berpotensi memulihkan penghuni dari kelelahan mental (Aries dkk., 2010). Dalam penelitiannya, Aries dkk. (2010) berkesimpulan bahwa tersedianya pemandangan alam yang hijau dapat mengurangi ketidaknyamanan dan menunjukkan impresi bangunan kantor yang lebih baik daripada bangunan yang hanya menyediakan akses ke pemandangan perkotaan.
Namun, karena tidak semua pemandangan perkotaan itu buruk ataupun memberikan impresi yang kurang menarik, penting untuk melakukan evaluasi kualitas visual berdasarkan persepsi penghuni. Penilaian subjektif penghuni terhadap kualitas visual di lingkungannya dapat menjadi indikasi tingkat kenyamanan visual yang telah tercapai dalam ruangan tersebut (Aries dkk., 2010).
II.3.4. Acoustic Comfort dan Kesehatan Mental
Pada lingkungan kerja, isu terkait kenyaman akustik umumnya terjadi akibat gangguan dari berbagai sumber kebisingan dan minimnya tingkat privasi (Horr dkk., 2016). Dalam kaitannya dengan kesehatan mental, studi menunjukkan bahwa paparan terhadap kebisingan berpotensi menyebabkan rendahnya tingkat konsentrasi dan performa kerja serta meningkatkan frekuensi terganggunya penghuni dalam beraktivitas akibat tingkat privasi yang kurang memadai (WELL Building Standard).
Dalam penelitiannya, Mak & Lui (2012) serta Lamb & Kwok (2016)
22 menggunakan indikator noise annoyance untuk mengetahui frekuensi terganggunya pekerja kantor dengan tingkat kebisingan di sekitarnya. Responden penelitian diminta untuk menilai seberapa sering mereka terganggu dengan suara penghuni lainnya (seperti percakapan, langkah kaki, dan aktivitas manusia lainnya) maupun suara yang tidak berasal dari penghuni (seperti mesin atau peralatan kantor, suara pintu, background noise, dan suara yang berasal dari luar).
Dari penelitan ini, Mak & Lui (2012) menemukan bahwa suara yang dianggap paling menganggu oleh para responden penelitian adalah suara percakapan, suara telepon berbunyi, dan suara mesin atau peralatan kantor.
Berbagai penelitian yang dalam kajian oleh Bergefurt dkk. (2022) menunjukkan bahwa keluhan responden akan tingkat kebisingan yang tinggi berkaitan erat dengan peningkatan gejala stress dan kelelahan. Sebaliknya, Bergefurt juga menemukan bahwa dalam berbagai penelitian, responden dengan tingkat kepuasan terhadap kualitas lingungan akustik yang baik cenderung mengalami peningkatan konsentrasi (Jegen dkk., 2017) yang pada akhirnya juga menjadi faktor pendukung meningkatnya produktivitas dalam bekerja (Chadburn dkk., 2017; Lou
& Ou, 2019; Wiik, 2011).
II.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dapat diartikan sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang kemudian akan diuji secara empiris untuk dibuktikan kebenarannya (Sugiyono, 2017). Berdasarkan berbagai landasan teori yang relevan dengan penelitian ini, maka disusunlah hipotesis sebagai berikut:
H1: Indoor Air Quality memengaruhi persepsi kesehatan mental secara positif H2: Thermal Comfort memengaruhi persepsi kesehatan mental secara positif H3: Visual Comfort memengaruhi persepsi kesehatan mental secara positif H4: Acoustic Comfort memengaruhi persepsi kesehatan mental secara positif