• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Perubahan Respiratory Rate pada Pasien Asma di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024

N/A
N/A
ardi bae

Academic year: 2025

Membagikan " Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Perubahan Respiratory Rate pada Pasien Asma di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024"

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH FISIOTERAPI DADA TERHADAP PERUBAHAN RESPIRASI RATE PADA PASIEN ASMA DI RUMAH SAKIT BINTANG

AMIN HUSADA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2024

PROPOSAL SKRIPSI

Disusun Oleh:

ANDES PRAYOGA 21320067

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG

TAHUN 2024

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma merupakan masalah kesehatan dunia yang serius dan dapat mempengaruhi semua kelompok usia mulai dari anak anak sampai dewasa serta mempengaruhi kualitas hidup penggunanya dan dampak asma dapat merugikan setiap manusia yang mengalaminya, penyakit ini bisa menimbulkan masalah pada jalan nafas dan mengganggu aktifitas sehari hari (Usman, 2015).

Asma merupakan penyakit yang tidak bisa disembuhkan secara total, biasanya dokter merujuk penderita asma kepada fisioterapi yang dapat membantu mengatasi permasalahan yang ditimbulkan akibat asma. Fisioterapi membantu penderita asma untuk dapat tetap aktif dan mendapatkan kebugaran tubuh yang optimal. Fisioterapi dapat membantu mengatasi permasalahan yang ditimbulkan akibat asma. Fisioterapi membantu penderita asma untuk dapat tetap aktif dan mendapatkan kebugaran tubuh yang optimal. Dari berbagai macam modalitas fisioterapi untuk mengatasi asma, secara umum paling banyak digunakan adalah latihan kontrol pernapasan (breathing control), teknik pembersihan saluran napas (sputum clearance techniques), latihan pola pernapasan (active breathing techniques) (Kuswardani, 2017).

Asma telah menyerang lebih dari 5% populasi dunia, dan beberapa indikator menunjukkan bahwa prevalensinya terus meningkat. Prevalensi asma pada anak 8-10% dan pada dewasa 3-5%. Peningkatan prevalensi diperkirakan karena asma yang tidak terdiagnosis, kualitas udara yang buruk dan perubahan gaya hidup masyarakat. Masalah epidemiologi mortalitas dan morbiditas asma

(3)

masih cenderung tinggi, menurut World Health Organization (WHO) bekerjasama dengan organisasi asma di dunia yaitu Global Astma Network (GAN) memprediksikan bahwa jumlah penderita asma di dunia akan mencapai 334 juta, diperkirakan jumlah ini akan terus meningkat 400 juta orang pada tahun 2025 dan terdapat 250 ribu kematian akibat asma pada orang dewasa dan anak-anak (World Health Organization, 2023).

Asma di Indonesia termasuk dalam sepuluh besar penyakit penyebab nyeri dan kematian. Dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 265 juta pada tahun 2021, kejadian asma tertinggi dari hasil survei Riskesdas tahun 2022 mencapai 4,8% dengan jumlah penderita terbanyak adalah perempuan 2,5%

dan laki-laki sebanyak 2,3% (Kemenkes RI, 2021)

Berdasarkan profil Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, tahun 2021 prevalensi anak dengan asma bronchial mencapai 12.034 anak, tahun 2022 prevalensi anak dengan asma bronchial mencapai 12.120 anak dan tahun 2023 mengalami peningkatan kembali hingga mencapai 12.231 anak. Angka kejadian asma setiap tahun meningkat, hal ini dikarenakan banyak faktor seperti genetik, obesitas, alergen makanan, serta lingkungan fisik rumah yang tidak sehat (Riskesdas, 2023).

Asma merupakan suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu yang menyebabkan peradangan dengan manifestasi mengi kambuhan, sesak nafas, dan batuk terutama pada malam hari dan pagi hari. Asma merupakan penyakit yang umumnya mempengaruhi orang-orang dari semua usia, dan dapat mempengaruhi psikologis serta sosial yang termasuk domain dari kualitas

(4)

hidup. Penyakit ini pada umumnya mempunyai tanda gelaja yang khas yang itu sesak nafas, dimana frekuensi sesak nafas pada setiap usia anak berbeda-beda, frekuensi sesak nafas dikatakan ringan jika hanya 1-2x/hari, sedangkan berat jika > 2x/hari (Wong, 2019).

Penatalaksanaan Asma pada anak yang terbaik harus dilakukan pada saat dini dengan berbagai tindakan pencegahan agar penderita tidak mengalami serangan. Penatalaksanaan Asma sendiri terbagi menjadi 2 yaitu penatalaksanaan farmakologi dan nonfarmakologi. Penatalaksanaan farmakologi biasanya diberikan kepada anak yang sering mengalami serangan sesak nafas. Untuk mengontrol Asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat Asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain, inhalasi kortikosteroid, B2 agonis kerja panjang, Antileukotrien dan Teofilin lepas lambat (Potter & Perry, 2019).

Penatalaksanaan secara nonfarmakologi pada anak bisa dilakukan di rumah dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan.

Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan, beberapa penatalaksanaan yang bisa dilakukan di rumah adalah edukasi pencegahan Asma dengan menghindari faktor pencetus (asap dapur, asap rokok, debu pada lingkungan rumah dan hindari alergi makanan) (Mansjoer, 2019).

Fisioterapi dada dalam kasus asma berperan dalam mengurangi keluhan pada pasien yaitu mengurangi derajat sesak nafas, meningkatkan pengembangan ekspansi thoraks, dan mengontrol pola nafas. selain

(5)

mengurangi keluhan pasien, Fisioterapi dapat membantu penderita asma untuk dapat tetap aktif dan mendapatkan kebugaran tubuh yang optimal (Bruurs, et al 2013). Berdasarkan Hasil Literatur review yang dilakukan oleh (Fadilatulsyam, 2020) menunjukan bahwa fisioterapi dada terbukti dapat membantu dalam pengeluaran sekret terhadap bersihan jalan nafas yang signifikan setelah dilakukan fisioterapi dada yang dilakukan pemberian tindakan fisioterapi dada seperti postural drainage, clapping, latihan batuk efektif dan latihan nafas dalam terbukti dapat membantu dalam pengeluaran secret serta pernafasan lebih efektif kembali, karena fisioterapi dada mempunyai peranan penting terhadap bersihan jalan nafas pada pasien asma bronkhial, selain ekonomis, mudah dilakukan, fisioterapi dada tidak menimbulkan adiksi , dapat digunakan kapan saja dan tidak memiliki efek samping pada pasien (Fadilatulsyam, 2020).

Data presurvey yang dilakukan di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung pada bulan November tahun 2024, didapat data sebanyak 87 pasien yang pernah mengalami gangguan pernafasan ringan hingga berat. Pada bulan September terdapat 34 pasien gangguan pernafasan, bulan Oktober terdapat 28 pasien, dan bulan November terdapat 25 pasien dengan gangguan pernafasa. Asuhan keperawatan dengan pemberian fisioterapi dada sudah pernah dilakukan. Pada kesempatan ini peneliti ingin melakukan penelitian untuk membuktikan pengaruh fisioterapi dada pada respirasi pasien dengan gangguan pernafasan.

Berdasarkan latar belakang diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judl “Pengaruh Fisioterapi Dada Terhadap Perubahan

(6)

Respirasi Rate Pada Pasien Gangguan Pernafasan Di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024”

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini yaitu bagaimana bagaimanakah pengaruh fisioterapi dada terhadap perubahan respirasi rate pada pasien gangguan pernafasan di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap perubahan respirasi rate pada pasien gangguan pernafasan di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui rata-rata respirasi rate pada pasien gangguan pernafasan sebelum diberi fisioterapi dada di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024.

2. Untuk mengetahui rata-rata respirasi rate pada pasien gangguan pernafasan sesudah diberi fisioterapi dada di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024.

3. Untuk mengetahui pengaruh fisioterapi dada terhadap perubahan respirasi rate pada pasien gangguan pernafasan di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024.

(7)

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Institusi Pendidikan

Dapat Berfungsi sebagai informasi dan menambah wawasan untuk kemajuan perkembangan ilmu keperawatan mengenai pasien gangguan pernafasan.

1.4.2 Bagi Institusi Pelayanan Kesehatan

Dapat memberikan informasi mengenai asuhan keperawatan pada pasien gangguan pernafasan sehingga diharapkan dapat menambah wawasan serta meningkatkan mutu pelayanan di Rumah Sakit.

1.4.3 Bagi Keperawatan

Sebagai bahan informasi mengenai Asuhan Keperawatan pada pasien dengan gangguan pernafasan sehingga dapat menambah wawasan dan meningkatkan mutu pelayanan perawat yang ada di Rumah Sakit.

(8)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asma

2.1.1 Pengertian Asma

Penyakit asma memiliki pengaruh terhadap paru-paru. Menyebabkan gejala pernapasan seperti mengi, sesak dada (seperti mengencang atau tertekan), sesak napas dan batuk di malam hari atau menjelang pagi (CDC, 2020). Asma yaitu gangguan kesehatan kronis umum pada saluran pernapasan yang kompleks dengan gejala beragam dan sering terjadi (berulang), obstruksi aliran udara, hiperresponsivitas bronkus, dan adanya peradangan yang mendasari (NHLBI, 2007; Hidayati, 2021). Pada individu yang rentan, paparan alergen, sensitivitas alergi, dan infeksi saluran pernafasan merupakan hal yang saling mempengaruhi dalam penyakit asma (NHLBI, 2017; Hidayati, 2021).

Berdasarkan berbagai definisi yang diberikan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa asma bronkial adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan yang disebabkan oleh penyempitan saluran pernafasan, sehingga menyebabkan gangguan pernafasan, dimana tahap inspirasi lebih pendek dibandingkan dengan tahap ekspirasi dan disertai dengan suara mengi.

2.1.2 Etiologi Asma

Etiologi Asma Bronkial menurut (Khasanah, 2020). yaitu:

a. Penyakit (penyakit virus seperti Respiratory Syncytial Infection, RSV) b. Iklim (perubahan suhu secara tiba-tiba dan membahas berat badan)

(9)

c. Inhalansia (bersih, bentuk, serangga, hewan melata mati, bulu binatang, debu, asap, dan knalpot cat)

d. Makanan (putih telur, tiriskan sapi, kacang tanah, coklat, bijibijian, dan tomat)

e. Obat-obatan (ibuprofen)

f. Latihan fisik (olahraga berat, usaha, dan cekikikan yang berlebihan) 2.1.3 Tanda Dan Gejala

Gejala dan keterbatasan aliran udara bisa hilang secara spontan atau sebagai respons terhadap pengobatan, dan terkadang bisa absen selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan pada suatu waktu. Di sisi lain, pasien dapat mengalami serangan episodik (eksaserbasi) asma yang mungkin mengancam jiwa dan membawa beban berat bagi pasien dan masyarakat. Asma biasanya dikaitkan dengan hiperresponsif jalan napas terhadap rangsangan langsung atau tidak langsung, dan dengan jalan napas kronis peradangan. Ciri-ciri ini biasanya tetap ada, meskipun gejala tidak ada atau fungsi paru-paru normal, tetapi mungkin menormalkan dengan pengobatan (GINA, 2015; Hidayati, 2021).

2.1.4 Klasifikasi Asma

Nurarif dan Kusuma (2015; Meda, 2020), membedakan asma menjadi dua, yaitu:

a. Asma bronkial

Penderita asma bronkial, hipersensitif dan hiperaktif terhadap rangsangan dari luar seperti debu rumah, bulu binatang, asap, dan bahan lain penyebab alergi. Gejala kemunculannya sangat mendadak,

(10)

sehingga gangguan asma bisa datang secara tiba-tiba. Jika tidak mendapat pertolongan secepatnya, risiko kematian bisa datang.

Gangguan asma bronkial juga bisa muncul lantaran adanya radang yang mengakibatkan penyempitan saluran pernapasan bagian bawah.

Penyempitan ini akibat berkerutnya otot polos saluran pernapasan, pembengkakan selaput lendir, dan pembentukan timbunan lendir yang berlebihan.

b. Asma kardial

Asma yang timbul akibat adanya kelainan jantung. Gejala asma kardial biasanya terjadi pada malam hari, disertai sesak napas yang hebat. Kejadian ini disebut nocturnal paroxymul dyspnea. Biasanya terjadi pada saat penderita sedang tidur.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Secara umum, tanda-tanda serangan asma biasanya berupa sesak napas (terutama di malam hari), kesulitan bernapas/sesak napas, merasa lelah/lemah saat berolahraga, mengi/batuk setelah beraktivitas, lemas sederhana, mudah marah atau sedih, berkurangnya fungsi paruparu. diukur dengan crest stream meter, indikasi flu/alergi, dan gangguan istirahat.

Bronkospasme, peradangan, dan produksi cairan tubuh merupakan penyebab utama gejala asma seperti kesulitan bernapas, mengi, sesak napas, sesak napas, dan kesulitan melakukan olahraga teratur. Tanda-tanda lain dari serangan asma termasuk mengi parah saat menarik napas dalam dan saat menghembuskan napas, bernapas dengan cepat, nyeri dada, penarikan otot berlebih saat bernapas, kesulitan berbicara, perasaan cemas/panik,

(11)

pucat, keringat dingin, bibir biru pucat, atau kuku biru (sianosis) (Putri, 2021).

Asma memiliki gejala pernapasan seperti sesak dada (seperti mengencang atau tertekan), sesak napas, mengi dan batuk di waktu malam atau menjelang pagi dengan keterbatasan aliran udara ekspirasi. Gejala tersebut dapat sering terjadi dan memburuk pada malam hari, serta dipicu oleh faktor lain seperti aktivitas fisik (olahraga), perubahan cuaca, infeksi virus pernapasan, alergen (debu, bulu binatang, asap rokok).

Indikasi asma dapat berupa batuk yang menguntungkan, sesak napas, dapat terdengar suara napas (mengi), riwayat sensitifitas, dan riwayat asma dalam keluarga. Efek samping ini secara teratur menampilkan ciri-ciri khas termasuk variabel pemicu, kejadian berulang atau tidak teratur, menurun pada malam hari, dan keringanan tanpa batas dengan atau tanpa pengobatan (Putri, 2021).

2.1.6 Patofisiologi

Asma adalah kondisi kronis (jangka panjang) yang mempengaruhi saluran udara di paru-paru. Saluran udara adalah saluran yang membawa udara masuk dan keluar dari paru-paru. Saluran udara pada pasien terkadang bisa meradang dan menyempit. Gambaran asma ini berimplikasi pada diagnosis, manajemen, dan potensi pencegahan penyakit. Gambaran imunohistopatologi asma termasuk infiltrasi sel inflamasi: Neutrofil (terutama pada onset mendadak, eksaserbasi asma yang fatal; asma pekerjaan, dan pasien yang merokok)

1. Eosinofil

(12)

2. Limfosit

3. Aktivasi sel tiang 4. Cedera sel epitel

Peradangan saluran napas berkontribusi pada hiperresponsif jalan napas, pembatasan aliran udara, gejala pernapasan, dan penyakit kronis.

Pada beberapa individu, terjadi perubahan terus-menerus pada struktur saluran napas, termasuk fibrosis sub-basement, hipersekresi lendir, cedera pada sel epitel, hipertrofi otot polos, dan angiogenesis (Hidayati, 2021).

Peradangan memiliki peran sentral dalam patofisiologi asma.

Sebagaimana dicatat dalam definisi asma, peradangan saluran napas melibatkan interaksi berbagai jenis sel dan beberapa mediator dengan saluran udara yang pada akhirnya menghasilkan ciri-ciri patofisiologis penyakit yaitu peradangan bronkial dan pembatasan aliran udara yang mengakibatkan episode berulang batuk, mengi, dan sesak napas. Selain itu, meskipun fenotipe asma yang berbeda ada (misalnya, asma intermiten, persisten, terkait olahraga, sensitif aspirin, atau berat), peradangan saluran napas tetap menjadi pola yang konsisten. Pola inflamasi jalan nafas pada asma tidak selalu bervariasi tergantung pada tingkat keparahan penyakit, persistensi, dan lamanya penyakit. Profil seluler dan respons sel struktural pada asma cukup konsisten (Hidayati, 2021).

(13)

2.1.7 Komplikasi

Komplikasi asma adalah:

a. Pneumotoraks

Pneumothorax adalah suatu kondisi umum yang terjadi ketika tubuh memasuki rongga pleura dan tekanan di dalam pleura meningkat hingga tekanan barometrik.

b. Atelektasis

Atelektasis adalah infeksi paru-paru yang ditandai dengan sesak nafas dan dapat disebabkan oleh berbagai factor.

c. Gagal nafas

Kegagalan pernafasan adalah suatu kondisi di mana paru-paru tidak dapat memperdagangkan oksigen dan karbon dioksida dengan baik.

d. Bronkitis

Bronkitis adalah penyakit yang sangat menarik yang mempengaruhi bronkus (Mathematics, 2016).

2.1.8 Pemeriksaa Penunjang

a. Tes dahak Dalam tes dahak:

1) Permata eosinofil, permata Charcot-Leyden, yang merupakan duri yang mengalami degranulasi.

2) Spiral Curshmann, yaitu sel berbentuk silinder di dalam cabang bronkus.

3) Kedekatan spiral Curschmann, bagian epitel bronkial.

4) Kedekatan neutrofil dan eosinofil.

(14)

b. Tes darah

Pemeriksaan gas darah menunjukkan aliran darah berfluktuasi, namun prognosisnya buruk karena mendekati Moo PaCO2 atau pH, dan peningkatan kadar SGOT dan LDH darah.

c. Pemeriksaan angka kerentanan yang tidak menguntungkan menunjukkan peningkatan kadar IgE selama serangan dan penurunan kadar ketika tidak ada serangan yang terlihat.

d. Pemeriksaan radiografi:

Pada rontgen, pasien asma pada umumnya tampak normal. Selama serangan asma, sinar-X menunjukkan hiperinflasi paru-paru, perluasan porositas radiasi, perluasan ruang interkostal, dan penurunan fungsi lambung.

e. Estimasi kerja paru digunakan untuk penilaian hiperresponsif saluran napas untuk menilai hambatan rute penerbangan, reversibilitas kerusakan paru, dan perubahan fungsi paru (Mathematics, 2016).

2.1.9 Faktor Resiko

Berbagai faktor pemicu dapat memicu serangan asma, antara lain olahraga, alergen, kontaminasi, perubahan suhu ruangan yang tibatiba, atau timbulnya gangguan pernapasan seperti asap rokok, dan lainlain. Selain itu, terdapat variabel lain yang dapat memicu asma, seperti usia, jenis kelamin, kualitas keturunan, status keuangan, dan variabel alam. Asma adalah kelainan klinis yang disebabkan oleh interaksi faktor keturunan dan alami dalam patogenesisnya (Mathematics, 2016).

(15)

Usia merupakan salah satu variabel peluang terjadinya asma pada seseorang. Seiring bertambahnya usia, terdapat penyempitan rute penerbangan, sehingga menyebabkan peningkatan keparahan pada pasien asma (Reichenbach et al., 2019).

2.1.10 Penatalaksanaan

Tujuan penting dari pemberian asma adalah untuk mencapai pengendalian jangka panjang terhadap gambaran klinis infeksi, meningkatkan dan menjaga kualitas hidup, memberdayakan pasien asma untuk menjalani kehidupan normal tanpa hambatan dalam aktivitas sehari- hari. Hal ini dapat diarahkan untuk mencapai dan mempertahankan kondisi asma yang terkendali (Chasana, 2019).

Penanganan asma :

a. Agonis beta: Ini digunakan untuk mengembangkan otot polos bronkial dan meningkatkan pertumbuhan silia. Contoh obat-obatan antara lain epinefrin, albuterol, metaprofenida, iso proterenoliisoetharine, dan terbutaline. Obat-obatan ini biasanya dikelola melalui kursus parenteral dan napas dalam.

b. Bronkodilator: Obat ini mengendurkan otot polos dan mendorong pertumbuhan lendir di saluran pernapasan. Contohnya termasuk aminofilin, teofilin, yang dapat diberikan secara intravena dan oral.

c. Antikolinergik: Contoh obat ini adalah atropin, yang bertindak sebagai bronkodilator, biasanya dikendalikan melalui pernafasan dalam.

(16)

d. Kortikosteroid: Obat ini digunakan untuk mengurangi peradangan dan bronkokonstriksi. Ilustrasinya meliputi hidrokortison, deksametason, prednison, yang dapat diberikan secara intravena dan oral.

e. Inhibitor sel kutub: Contoh obat ini mengandung natrium kromoglikat, yang disalurkan melalui napas dalam untuk bertindak sebagai bronkodilator dan mengurangi gangguan rute penerbangan.

f. Oksigen: Perawatan ini diberikan untuk mempertahankan setengah berat oksigen (PO2) pada tingkat 55 mmHg.

g. Klorfeniramin maleat (CTM): Obat ini digunakan untuk meringankan gejala alergi.

h. Fisioterapi dada: Strategi pernapasan digunakan untuk mengendalikan dispnea dan batuk secara efektif, sehingga meningkatkan izin rute penerbangan. Perkusi dan rembesan postural pada dasarnya berhubungan pada pasien dengan produksi sputum yang tinggi.

2.2 Respirasi Rate

2.2.1 Pengertian Respirasi Rate

Respiratory Rate (RR) atau frekuensi pernapasan adalah kemampuan paru dalam melakukan proses ventilasi yang diukur dalam satu menit (Asmadi, 2016). Mekanisme pernapasan atau ventilasi terdiri dari proses inspirasi dan ekspirasi. Saat inspirasi, udara mengalir dari atmosfer (tekanan tinggi) ke alveoli paru (tekanan rendah) melalui trakea, bronkus, dan bronkiolus, sedangkan saat ekspirasi, udara dalam alveolar (tekanan tinggi) ke luar menuju atmosfer (tekanan rendah) melalui jalan yang sama (Muttaqin, 2014).

(17)

Respiratory Rate (RR) adalah jumlah siklus pernafasan (inspirasi dan ekspirasi penuh) yang dihitung dalam waktu 1 menit atau 60 detik (Perry &

Potter, 2005; Ristanto, 2021). Frekuensi pernafasan merupakan salah satu komponen tanda vital, yang bisa dijadikan indikator untuk mengetahui kondisi pasien, terutama kondisi pasien kritis (Muttaqin, 2010; Smith &

Roberts, 2011; Ristanto, 2021).

Menurut hasil penelitian Bruijns et al. (2014), bahwa frekuensi pernafasan merupakan prediktor yang baik untuk mengetahui outcome pasien cedera kepala, bersama dengan tekanan darah sistolik. Namun, hasil pengukuran RR dipengaruhi oleh banyak faktor, meliputi: latihan atau olah raga, keadaan emosi (kecemasan/takut), polusi udara, ketinggian, obat- obatan (narkotik, amfetamin), suhu, gaya hidup, usia, jenis kelamin, dan nyeri akut (Muttaqin, 2010)

2.2.2 Fisiologi Sistem Pernafasan

Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah suatu proses dalam menghirup udara dari luar yang mengandung oksigen ke dalam tubuh (inspirasi) serta mengeluarkan udara yang mengandung karbondioksida ke luar tubuh (ekspirasi). Proses respirasi terjadi karena adanya tekanan rongga pleura dan paru, proses pergerakan gas kedalam dan keluar paru dipengaruhi oleh tekanan dan volume, volume normal paru diukur melalui penilaian fungsi paru (Arif Muttaqin, 2012) (dikutip dari Meigita, 2020).

(18)

Tabel 2.1 Volume Normal Paru

Singkatan Volume Pengertian Nilai

normal

VC Vital capacity

(kapasitas vital)

Volume udara maksimal setelah inspirasi maksimal

4800 ml IC Inspiratory capacity

(kapasitas inspirasi)

Volume udara maksimal setelah ekspirasi normal

3600 ml IRV Inspiratory Reserve

volume (volume cadangan inspirasi)

Volume udara maksimal setelah inspirasi maksimal

3300 ml

ERV Expiratory reserve volume(Volume cadangan ekspirasi)

Volume udara maksimal setelah ekspirasi normal

1000 ml

FRC Functional residual capacity (Volume residu fungsional)

Volume gas dalam paru pada tahap ekspirasi istirahat

2400 ml

RV Residual Volume

(Volume Residu) Volume udara yang tersisa

setelah ekspirasi maksimal 1200 ml TLC Total lung capacity

(kapasitas paru total)

Volume udara alam paru setelah inspirasi maksimal

6000 ml

VT Tidal Volume

(volume alun nafas)

Volume udara yang dihirup dan dihembuskan pada setiap kali bernafas

500 ml

Sumber : (Arif Muttaqin, 2012) 2.2.3 Proses Pernafasan

Proses pernapasan terdiri dari 3 bagian yaitu ventilasi, difusi gas, dan transportasi gas, yang akan dijelaskan dibawah ini:

1. Ventilasi paru

Ventilasi adalah gerakan udara masuk dan keluar dari paru-paru.

Gerakan dalam pernapasan adalah ekspirasi dan inspirasi, saat inspirasi otot-otot diafragma berkontraksi dan kubah diafragma menurun saat waktu yang bersamaan otot interkosta internal berkontraksi dan mendorong dinding dada sedikit ke arah luar, dengan keadaan seperti inilah udara dalam dada meluas dan tekanan dalam alveoli menurun sehingga udara masuk ke paruparu. Pada saat ekspirasi diafragma dan otot interkosta eksterna relaksasi, diafragma

(19)

naik dinding dada jatuh kedalam ruang di dalam dada hilang.

Pernapasan normal dan tenang terjadi sekitar 16-24 kali per menit.

Kedalaman dan jumlah dari gerakan pernapasan sebagian besar dikendalikan secara biokomiawi (Santa Manurung, dkk 2013;

Meigita, 2020) 2. Difusi gas

Difusi gas adalah suatu gerakan antara udara dan karbondioksida dalam alveoli dan darah dalam kapiler sekitarnya, dalam cara difusi ini gas mengalir dari tempat yang tinggi tekanan partialnya ke tempat yang lebih rendah tekanan parsialnya. Oksigen yang ada dalam alveoli memiliki tekanan parsial lebih tinggi dari oksigen yang berada dalam darah dan karenanya udara dapat mengalir dari alveoli ke dalam darah. Sedangkan karbondioksida memiliki tekanan parsial yang lebih tinggi daripada dalam alveoli sehingga karbonsioksida dapat mengalir masuk dari darah kedalam alveoli.

(Santa Manurung dkk, 2013; Meigita, 2020) 3. Transportasi gas

Transportasi gas adalah pengangkutan oksigen dan karbondioksida oleh darah, oksigen ditransportasi ke dalam darah, di dalam sel-sel darah merah oksigen bergabung dengan hemoglobin dan membentuk oksihemoglobin yang berwarna merah terang sedangkan dalam plasma oksigen sebagian larut dalam plasma. Karbondioksida ditransportasi dalam darah sebagai bentuk natrium bikarbonat dan dalam kalium bikarbonat sel darah merah bergabung dengan

(20)

hemoglobin dan protein plasma (Santa Manurung dkk, 2013; Meigita, 2020)

2.2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Frekuensi nafas

Frekuensi nafas atau frekuensi pernapasan adalah jumlah udara yang keluar masuk ke paru-paru setiap kali bernafas (Wahid., Suprapto, 2013).

Pada umumnya, frekuensi pernafasan manusia setiap menitnya sebanyak 15-18 kali per menit. Cepat atau lambatnya frekuensi nafas dipengaruhi oleh beberapa factor diantaranya:

1. Usia

Semakin bertambahnya usia seseorang akan semakin rendah frekuensi pernafasannya. Hal ini berhubungan dengan energi yang dibutuhkan.

2. Jenis kelamin

Pada umumnya kaum pria memiliki frekuensi pernapasan yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Kebutuhan akan oksigen serta produksi karbondioksida pada pria lebih tinggi dibandingkam wanita.

3. Suhu tubuh

Semakin tinggi suhu tubuh seseorang maka akan semakin cepat frekuensi pernafasannya, hal ini berhubungan dengan peningkatan proses metabolism yang terjadi dalam tubuh.

4. Posisi atau kedudukan tubuh

Frekuensi pernafasan Ketika sedang duduk akan berbeda dibandingkan dengan Ketika sedang berjongkok atau berdiri. Hal ini

(21)

berhubungan dengan energi yang dibutuhkan oleh organ tubuh sebagai tumpuan berat badan tubuh.

5. Aktivitas

Seseorang yang aktivitas fisiknya tinggi seperti olahragawan akan membutuhkan lebih banyak energi daripada orang yang diam atau santai, oleh karena itu, frekuensi pernafasan orang tersebut juga lebih tinggi. Gerakan dan frekuensi pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdapat di otak. Selain itu, frekuensi pernafasan di stimulus oleh konsentrasi karbondioksida (CO2) dalam darah.

2.2.5 Pengukuran Frekuensi nafas

Frekuensi pernapasan orang dewasa normal yang cukup istirahat bernapas 12–20 kali per menit, yaitu diukur berapa siklus inspirasi dan ekspirasi yang terjadi dalam waktu 1 menit (Rehatta, 2015). Sehingga menurut (Rehatta, 2015), frekuensi nafas dibagi menjadi: 1. Bradipnea atau pernapasan lambat (kurang dari 12 per menit) 2. Normal jika frekuensi pernapasan 12-20x/ menit 3. Takipnea atau pernpasan cepat (lebih dari 20 kali per menit).

2.3 Pengaruh Fisioterapi Dada 2.3.1 Pengertian Fisioterapi Dada

Fisioterapi dada adalah terapi membantu pasien untuk memobilisasi sekresi saluran nafas melalui perkusi, getaran dan drainase postural (Bulechek dkk, 2013; Eltrikanawati, 2023). Menurut Muttaqin (2012;

Eltrikanawati, 2023) teknik fisioterapi dada adalah teknik yang terdiri dari drainase postural (postural drainage), perkusi dan vibrasi dada, latihan

(22)

pernafasan/latihan ulang pernafasan dan batuk efektif. Menurut Jonhson (2015; Eltrikanawati, 2023) fisioterapi dada adalah terapi yang terdiri dari drainase postural, perkusi dada, dan vibrasi dada.

Fisioterapi dada merupakan kumpulan teknik atau tindakan pengeluaran sputum yang digunakan baik secara mandiri maupun kombinasi agar tidak terjadi penumpukan sputum yang mengakibatkan tersumbatnya jalan nafas (Aryayuni, 2015; Pangesti, 2020). Oleh karena itu, penulis memilih studi literatur mengenai tindakan fisioterapi dada untuk mengatasi masalah keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan nafas pada anak dengan penyakit di sistem pernafasan.

Teknik fisioterapi dada meliputi; drinase postural, perkusi dan vibrasi dada, latihan pernafasan/latihan ulang pernafasan dan batuk efektif bertujuan untuk membuang sekresi bronkhial, memperbaiki ventilasi dan meningkatkan efisiensi otot-otot pernafasan. Fisioterapi dada juga diartikan suatu cara yang digunakan untuk mengeluarkan cairan yang berlebihan dari paru-paru dengan menggunakan gaya gravitasi yang dikombinasikan dengan manual perkusi, tekanan pada dada, batuk efektif dan latihan pernafasan. Fisioterapi dada adalah salah satu dari pada fisioterapi yang sangat berguna bagi penderita penyakit respirasi baik yang bersifat akut maupun kronis (Smeltzer & Bare, 2013; Eltrikanawati, 2023).

Tindakan fisioterapi dada dilakukan secara mandiri dan hati-hati karena organ anak masih dalam masa pertumbuhan. Sebelum dilakukan tindakan fisioterapi dada, perawat melakukan auskultasi yang berfungsi untuk mendengarkan suara pernafasan klien dan untuk mengetahui

(23)

penumpukan sputum pada saluran pernafasan pasien sehingga memudahkan perawat dalam memposisikan pasien. Setelah mengatur posisi pasien, tindakan selanjutnya adalah perkusi dan vibrasi (Pangesti, 2020).

Perkusi dan vibrasi dalam tindakan fisioterapi dada berguna untuk membuat sputum yang menempel pada saluran pernafasan mampu lepas dan keluar. Perkusi dilakukan dengan menggunakan 3 jari atau 4 jari salah satu tangan yang dirapatkan jadi satu lalu menepuk perlahan bagian dada dan punggung pasien secara perlahan dari bawah ke atas, lalu setelah itu dilanjutkan dengan vibrasi dengan menggunakan tiga atau empat jari tadi dan digetarkan perlahan dari bagian bawah ke atas. Setelah dilakukan perkusi dan vibrasi maka yang terakhir dilakukan adalah mengeluarkan sputum dengan cara mencondongkan pasien ke depan dari posisi semifowler, lalu letakkan kedua jari di bawah procexus xipoideus dan dorong dengan jari saat mendorong udara, lalu pasien dianjurkan menahan 3-5 detik kemudian hembuskan perlahan-lahan melalui mulut (Pangesti, 2020).

2.3.2 Tujuan Fisioterapi Dada

Tujuan pokok dari fisioterapi dada yaitu mengembalikan fungsi otot pernapasan, membantu membersihkan lendir/dahak yang menempel pada bronkus, menghindari penumpukan lendir, menurunkan resistensi jalan nafas, menghilangkan obstruksi jalan nafas, meningkatkan pertukaran gas, menurunkan kerja pernafasan, dan merangsang batuk (Supriatin, 2024).

(24)

2.3.3 Indikasi Fisioterapi Dada

Fisioterapi dada dilakukan pada pasien Eltrikanawati (2023):

1) Berbaring lama 2) Batuk tidak efektif

3) Atelektasis, pneumonia, asma, penyakit paru kronis, cystic fibrosis 4) Terdapat suara ronkhi, menghirup benda asing

2.3.4 Kontra Indikasi

Kontraindikasi perkusi dan perkusi adalah pasien dengan keadaan 1) Fraktur tulang iga

2) Edema paru, mengalami pendarahan paru, terpasang WSD, trombocytopeni

3) Operasi pada daerah dada

2.3.5 Postural Drainage, Perkusi & Vibrasi Dada 1. Postural Drainage

Postural drainase adalah jenis fisioterapi dada dilakukan dengan menetapkan posisi tertentu yang memungkinkan sekresi bronkial mengalir dari bronkiolus yang terkena ke dalam bronkus dan trakea dan sehingga lendir dapat dikeluarkan. Jenis postural drainase ini menargetkan semua segmen paru-paru, saat kepala diturunkan bronkus lobus bawah dan lobus tengah mengalir lebih efektif ketika kepala diangkat, bronkus lobus atas mengalir lebih efektif. Pasien sering ditempatkan dalam lima posisi, satu untuk setiap lobus paru-paru untuk dikeringkan, kepala tertunduk, postur pronasi, lateral kanan dan kiri, dan duduk tegak. Pasien diberitahu untuk tetap tenang di setiap posisi

(25)

selama 10-15 menit dan menahan napas perlahan, sebelum menghembuskan napas dengan lembut melalui bibir yang dirapatkan untuk menjaga jalan napas tetap terbuka sehingga dapat membantu dalam berbagai posisi. Sebelum makan (untuk menghindari mual, muntah, dan aspirasi) dan menjelang tidur, drainase postural biasanya dilakukan 2-4 kali sehari (Istanti, 2016; Sukmana M, 2020).

2. Perkusi dan Vibrasi Dada

Perkusi dan vibrasi dada dilakukan untuk mengeluarkan sekret berat yang sulit dikeluarkan/batuk, digunakan perkusi dan gerakan dada. Prosedur ini menghilangkan semua lendir dari bronkiolus dan bronkus, dilakukan dengan mengetuk ringan dinding dada dengan gerakan berirama di atas segmen paru-paru yang bersentuhan dengan telapak tangan. Untuk menghasilkan iritasi kulit dan sentuhan langsung, pakaian lembut, kain, atau handuk dapat diletakkan di atas daerah dada dilakukan selama 3-5 menit untuk setiap lokasi. Selama prosedur, pasien bernapas secara diafragma untuk mendorong relaksasi. Vibrasi, gerakan ini membantu lendir dengan meningkatkan kecepatan udara yang dikeluarkan dari saluran udara kecil. Terapi harus dilanjutkan sampai pernapasan pasien, mobilisasi sekresi, dan suara napas normal, serta rontgen dada normal (Istanti, 2016; Sukmana, 2020)

2.4 Penelitian Terkait

1. Rahman, T., & Izakiyah, N. (2024). Gambaran Bersihan Jalan nafas Pada Pasien Asma yang Mendapatkan Terapi Fisioterapi Dada di RS. Moh Noer Pamekasan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hampir setengah

(26)

responden (47%) bersihan jalan nafas cukup efektif, bersihan jalan nafas tidak efektif sebanyak (33%) dan sebagian kecil (20%) bersihan jalan nafas efektif. Sebagian besar pasien asma yang mendapatkan terapi fisioterapi dada mengalami bersihan jalan nafas cukup efektif.

2. Jubair, J., Taufiqurrahman, T., & Kurniadi, K. (2020). Pengaruh Fisioterapi Dada terhadap Perubahan Respirasi Rate Pada Pasien Asma di Rumah Sakit Patut Patuh Patju Nusa Tenggara Barat. Penelitian ini terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Teknik Probability sampling dengan metode alokasi random sampling digunakan untuk mendapatkan 30 responden yang terbagi dalam 2 kelompok. Uji Independent menunjukkan p value 0,001 yang berarti terdapat pengaruh yang signifikan fisioterapi dada terhadap respiration rate (RR) antara kelompok intervensi dan kontrol. Hasil penelitian setelah diberikan intervensi meningkatkan angka respirasi (RR) pasien yang mendapat fisioterapi dada, sehingga terapi efektif diterapkan pada pasien asma, terutama yang memiliki asma.

3. Faelani, S. P. G., Septiana, Y., Sutanto, I. A., Hudiyawati, D., & Hayati, F.

D. N. (2025). Pengaruh Pemberian Posisi Semi Fowler terhadap Saturasi Oksigen pada Pasien Pneumonia dengan Ventilator. Hasil Penelitian:

Setelah dilakukan fisioterapi dada selama 3 hari didapatkan hasil peningkatan pengeluaran sputum rata-rata + 5,5 ml.

(27)

2.5 Kerangka Teori

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Sumber : (Wahid., Suprapto, 2013.,Eltrikanawati, 2023)

Asma Mempengaruhi

Respirasi Rate

Faktor yang mempengaruhi pernafasan:

1. Usia

2. Jenis kelamin 3. Suhu tubuh 4. Posisi 5. Aktivitas

Fisioterapi Dada

Fisioterapi dada dilakukan pada pasien :

1) Berbaring lama 2) Batuk tidak efektif

3) Atelektasis, pneumonia, asma, penyakit paru kronis, cystic fibrosis

4) Terdapat suara ronkhi, menghirup benda asing

Perbaikan Respirasi Rate

(28)

2.6 Kerangka Konsep

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Pretes Intervensi Postes

2.7 Hipotesis

Ha : ada pengaruh fisioterapi dada terhadap perubahan respirasi rate pada pasien asma di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024.

H0 : tidak ada pengaruh fisioterapi dada terhadap perubahan respirasi rate pada pasien asma di Rumah Sakit Bintang Amin Husada Bandar Lampung Tahun 2024.

Respirasi Rate Pretes Respirasi Rate

Postes Fisioterapi Dada

(29)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian Dan Rancangan Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian kuantitatif, jenis penelitian ini merupakan jenis penelitian untuk mendapatkan gambaran yang akurat dari sebuah karakteristik masalah yang mengklasifikasikan suatu data dan pengambilan data yang berhubungan dengan angka-angka baik yang diperoleh dari hasil pengukuran maupun nilai suatu data yang diperoleh (Notoatmodjo, 2018)

2. Rancangan Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan desain penelitian metode Pra Eksperimental dengan pendekatan One group Pretes-Postes. Ciri dari desain penelitian One grop Pretes-Postes adalah melihat hasil akhir dari kelompok yang telah diberi intervensi (Notoatmodjo, 2018).

Gambar 3.1

Rancangan Penelitian One group Pretes-Postes Pretes Intervensi Postes

Q1 X Q2

Keterangan :

Q1 : Respirasi rate sebelum intevensi X : Intervensi (Fisioterapi Dada) Q2 : Respirasi rate sesudah intevensi

28

(30)

3.2 Responden Dalam Penelitian 1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan dari objek penelitian. Pemilihan populasi dan sampel merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi berhasil atau tidaknya suatu penelitian (Notoadmodjo, 2018).

2. Sampel

Sampel adalah sebagian objek yang diteliti dan dianggap mewakili populasi (Notoatmodjo, 2018).

3. Teknik Sampling

Tehnik sampling pada penelitian ini adalah purposive sampling yang berarti pengambilan sampel yang berdasarkan atas suatu pertimbangan tertentu seperti sifat-sifat populasi ataupun ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya (Notoatmodjo, 2018).

a. Kriteria inklusi:

Karakterisitik umum subjek penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Notoatmodjo, 2018).

1. Pasien dirawat inap di RS Pertamina Bintang Amin 2. Pasien dengan diagnosa asma

3. Pasien bersedia dijadikan responden b. Kriteria Eksklusi:

Menghilangkan atau mengeluarkan subjek yang memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab (Notoatmodjo, 2018).

1. Pasien dengan perawatan ICU

2. Pasien sudah pernah melakukan fisioterapi dada

(31)

3. Responden dengan saturasi oksigen buruk 4. Responden dengan asma berat

4. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di RS Pertamina Bintang Amin 2. Waktu Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan setelah proposal disetujui.

3.3 Alat Ukur Penelitian

3.3.1 Instrumen Fasilitas Dan Kepuasan Pasien 1. Alat Ukur Penelitian

a) Pengisian kusioner berdasarkan data diri responden yang mencakup nama, usia, jenis kelamin, Pendidikan

3.4 Prosedur Pengumpulan Data

Menurut (Notoatmodjo, 2018) pengolahan data dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1) Editing

Pada tahap ini peneliti melakukan koreksi kuesioner dan melakukan pentabulasian data excel berdasarkan hasil skoring kuesioner fasilitas keperawatan dan kepuasan pasien.

2) Tabulating

Setelanjutnya setelah data terkumpul dan dimasukkan pada lembar kerja eksel. Peneliti melakukan pengecekan data dan menyusun berdasarkan variable penelitian dan data demografi responden.

(32)

3) Coding

Pada tahap ini peneliti melakukan pengkodingan berdasarkan nilai mean pervariabel

4) Cleaning

Kegiatan pengecekan kembali data yang entri kedalam komputer agar tidak terdapat kesalahan

3.5 Pertimbangan Etik (Ethical Consideration)

Persetujuan komite etik diperoleh dari Komisi Etik Penelitian kesehatan Universitas Malahayati. Peneliti menjelaskan beberapa informasi mengenai informed consent yang terdiri dari penjelasan tentang perlindungan peserta dengan mempertimbangkan kerahasiaan dan pernyataan bahwa semua informasi yang diberikan hanya untuk tujuan akademis.

Peneliti dalam melaksanakan penelitian ini, yang melibatkan klien sebagai responden harus memperhatikan prinsip etik penelitian yaitu prinsip hak asasi manusia yang merujuk pada 5 (lima) aspek sesuai panduan American Nurse Association [ANA] (2001) dalam Wood & Haber (2010), yaitu:

1. Right to self-determination (Hak untuk menentukan pilihan)

Responden sebagai subjek penelitian memiliki hak asasi dan kebebasan untuk menentukan pilihan ikut atau menolak terlibat dalam penelitian. Tidak boleh ada pemaksaan atau tekanan bagi responden untuk bersedia ikut dalam penelitian. Selain itu responden berhak mendapatkan informasi yang lengkap tentang tujuan dan manfaat penelitian serta prosedur pelaksanaan penelitian. Setelah mendapatkan penjelasan dan

(33)

melalui pertimbangan yang baik maka responden menentukan apakah menolak atau bersedia ikut penelitian dengan menuangkannya melalui formulir Informed Consent yang ditanda tangani oleh responden.

2. Right to privacy and dignity (Hak privasi dan martabat)

Responden dalam penelitian ini memiliki hak untuk mendapatkan privasi dalam hal menentukan waktu, tempat dan kondisi lingkungan yang menjamin privasi responden. Peneliti tetap menjamin privasi responden pada saat responden memberikan informasi yang bersifat pribadi dan menjaga kerahasiaan informasi pribadi dari responden terkait sikap, tingkah laku, dan pendapat responden.

3. Right to anonymity and confidentiality (Hak kerahasiaan identitas)

Prinsip ini mengandung pengertian bahwa responden memiliki hak untuk tidak diketahui identitas pribadinya serta dijaga kerahasiaan pribadinya dari data yang telah diberikan oleh responden. Peneliti tidak mencantumkan nama responden dalam kuesioner penelitian tetapi hanya berupa kode responden untuk tujuan identifikasi. Selain itu peneliti menjamin kerahasiaan dari keseluruhan informasi yang diberikan responden dalam kuesioner dan tidak akan dipublikasikan.

4. Right to fair treatment (Hak atas perlakuan adil)

Peneliti dalam memilih responden harus memperhatikan prinsip keadilan yang berarti peneliti tidak melakukan diskriminasi saat memilih responden penelitian. Pemilihan responden dilakukan secara adil berdasarkan tujuan penelitian, bukan karena alasan-alasan tertentu. Semua responden

(34)

yang telah ditentukan sesuai kriteria inklusi diperlakukan sama selama penelitian berlangsung.

5. Right to protection from discomfort and harm (Hak untuk mendapat perlakuan baik).

Prinsip ini mengandung makna bahwa sebuah penelitian yang dilakukan hendaknya tidak menimbulkan ketidaknyamanan dan kerugian bagi responden. Pada saat penelitian dilaksanakan peneliti tetap memperhatikan kondisi fisik klien.

3.6 Analisa Data

1. Variabel Penelitian

Variabel mengandung pengertian ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain (Notoatmodjo, 2018).

2. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah batasan pada variabel yang diamati atau diteliti untuk mengarahkan kepada pengukuran atau pengamanatan terhadap variabel-variabel yang bersangkutan serta pengembangan instrumen atau alat ukur (Notoatmodjo, 2018).

Tabel 3.3 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur Skala Ukur Variabel Independen

1 Fisioterapi Dada

Fiisiioteirapii dada meinggunakan priinsiip graviitasii untuk meimbantu meingaliirkan seikreit keiluar darii

SOP SOP - -

(35)

paru-paru dan meinyeibabkan reifleik batuk.

Peilaksanaan fiisiioteirapii pada rumah sakiit dapat meinjadii tanggung jawab peirawat maupun fiisiioteirapiis reispiirasii, Fiisiioteirapii dada teirmasuk draiinasei postural, peirkusii dan viibrasii dada, latiihan

peirnafasan/latiihan ulang peirnafasan dan batuk eifeiktiif beirtujuan untuk meimbuang seikreisii bronkhiial, meimperbaiki ventilasii dan meiniingkatkan eifiisiieinsii otot- otot peirnafasan Variabel Dependen

2 Respirasi Rate

Frekuensi nafas atau frekuensi

pernapasan adalah intensitas

memasukkan atau mengeluarkan udara per menit, dari dalam keluar tubuh atau dari luar ke dalam tubuh

Lembar kuisioner

Mengisi kuisione r

Normal 12-20x/ menit

Interval

3. Analisa Univariat

Menggunakan analisis univariat berfungsi untuk meringkas kumpulan data hasil pengukuran sedemikian rupa sehingga kumpulan data tersebut berubah menjadi informasi yang berguna. Analisa univariat dilakukan masing-masing variabel yang diteliti. Analisis univariat adalah analisa yang dilakukan menganalisis tiapvariable dari hasil penelitian, dengan

(36)

melihat mean dari jawaban yang diberikan oleh responden (Notoadmodjo, 2018).

4. Analisa Bivariat a. Uji Normalitas

Sebelum melakukan analisis data dengan uji t berpasangan, data terlebih dahulu akan diuji normalitas. Tujuan uji normalitas adalah untuk mengetahui apakah distribusi sebuah data mengikuti atau mendekati distribusi normal. Uji normalitas yang digunakan menggunakan uji shapiro-wilk test dan Kolmogorof-Smilnov Test.

Bila jumlah sampel 50 maka menggunakan kolmogorof-smilnov test.

Kesimpulan hasil analisa data berdistribusi normal jika p > 0,05 dan data tidak berdistribusi normal jika p < 0,05.

b. Paired T-Test

Syarat penggunaan uji t berpasangan (pairet t test) adalah skala variable berbentuk interval atau rasio, serta mempunyai distribusi normal. Pengguna uji t berpasangan pada penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh variable dependen dengan variable independennya. Uji-t berpasangan (paired t-test) adalah salah satu metode pengujian hipotesis dimana data yang digunakan tidak bebas (berpasangan). Pengambilan keputusan H0 diterima atau di tolak dengan melihat taraf signifikan. Bila p value > a (0,05), maka H0 diterima dan H1 ditolak, jika p value < a (0,05), maka H0 ditolak dan H1 diterima. Bila t hitung > t table maka H1 diterima atau Ho ditolak.

c. Dependent T-Test

(37)

Syarat penggunaan uji t-tes dependen adalah skala variabel berbentuk interval atau rasio, serta mempunyai distribusi normal.

Hasil akhir dilakukan menggunakan SPSS cara membandingkan P (sig 2 tailed) dengan nilai a (0,05).

Gambar

Tabel 2.1 Volume Normal Paru
Gambar 2.1 Kerangka Teori
Gambar 2.2 Kerangka Konsep
Tabel 3.3 Definisi Operasional

Referensi

Dokumen terkait