• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH INFLASI, KURS, SBI, SBIS TERHADAP NILAI AKTIVA BERSIH (NAB): ANALISIS KINERJA REKSA DANA

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PENGARUH INFLASI, KURS, SBI, SBIS TERHADAP NILAI AKTIVA BERSIH (NAB): ANALISIS KINERJA REKSA DANA "

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH INFLASI, KURS, SBI, SBIS TERHADAP NILAI AKTIVA BERSIH (NAB): ANALISIS KINERJA REKSA DANA

SYARIAH PASAR UANG

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

MUKHAMAD BUSTOMI FAJARI 165020501111028

JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

2020

(2)

LEMBAR PERNYATAAN PENERBITAN JURNAL

Artikel Jurnal dengan judul :

Pengaruh Inflasi, Kurs, SBI, SBIS terhadap Nilai Aktiva Bersih (NAB): Analisis Kinerja Reksa Dana Syariah Pasar Uang”

Yang disusun oleh :

Nama : Mukhamad Bustomi Fajari

NIM : 165020501111028

Fakultas : Ekonomi dan Bisnis Jurusan : S1 Ilmu Ekonomi

Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi akan diterbitkan oleh institusi lain.

Malang, 22 Mei 2020 Dosen Pembimbing,

Yenny Kornitasari., S.E., M.E.

NIP 2015078810012001

(3)

PENGARUH INFLASI, KURS, SBI, SBIS TERHADAP NILAI AKTIVA BERSIH (NAB): ANALISIS KINERJA REKSA DANA SYARIAH PASAR UANG

Mukhamad Bustomi Fajari

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya Email: mukhamadbustomi98@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh faktor makroekonomi berupa Inflasi, Kurs, SBI, dan SBIS terhadap Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana syariah jenis pasar uang. Reksa dana syariah yang mempertimbangkan aspek sosial dan religiusitas dalam kegiatan investasinya menjadi representasi yang ideal dari adanya fenomena Socially Responsibie Invesment (SRI). Nilai Aktiva Bersih (NAB) yang menjadi sinyal dari kinerja reksa dana syariah selalu mengalami pertumbuhan yang signifikan dengan pertumbuhan tertinggi terjadi di reksa dana pasar uang mencapai 139,10%. Padahal kondisi variabel makro ekonomi yang dapat mempengaruhi NAB selalu mengalami fluktuatif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis regresi data panel. Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa secara parsial Uji T menyatakan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel Inflasi, Kurs, dan SBI. Pengaruh negatif inflasi disebabkan adanya cost push inflation pada saat periode penelitian. Pengaruh positif kurs terjadi karena adanya deflasi dan capital inflow. Pengaruh SBI relevan dengan teori suku bunga.

Sementara untuk variabel SBIS tidak berpengaruh signifikan oleh karena jumlah volume pembeliannya yang sangat kecil. Sedangkan dalam Uji F, secara simultan semua variabel independen memiliki pengaruh terhadap variabel dependen dengan tingkat R-Square sebesar 0.510311

Kata kunci: NAB, Makroekonomi, Pasar Uang, Reksa Dana Syariah

A. PENDAHULUAN

Dalam dekade terakhir ini, perkembagan dunia investasi tidak sebatas pada orientasi profit maximum saja.

Tanggung jawab sosial serta religiusitas menjadi hal penting yang semakin dipertimbangkan. Socially Responsible Investment (SRI) saat ini telah berkembang pesat di seluruh dunia. SRI merupakan proses investasi yang mengkombinasikan antara keuangan investor dengan pertimbangan lingkungan, sosial, dan etika. Representasi dari nilai ini adalah investasi berbasis prinsip syariah, dimana dalam operasionalnya harus terbebas dari unsur gharar, maysir, dan riba (Utami, 2017). Menurut Uddin (2019), reksa dana syariah merupakan bagian dari reksa dana tanggung jawab sosial yang berlaku screening negatif dalam proses seleksi portofolionya untuk mengecualikan aset yang gagal memenuhi kriteria agama tertentu. Reksa dana syariah secara khusus menjadi representasi dari SRI, karena dalam hal ini reksa dana syariah memang dilarang untuk berinvestasi di perusahaan tertentu seperti industri minuman keras, narkotika, dan perjudian, yang notabene memiliki dampak negatif terhadap lingkungan maupun sosial. Berbeda dengan reksa dana konvensional yang tidak ada batasan aturan tertentu dalam melakukan investasi (Hernandez, 2019).

Menurut Nofie (2008), Net Asset Value atau NAB adalah harga wajar dari portofolio suatu reksa dana setelah dikurangi biaya operasional atau kewajiban, kemudian dibagi dengan jumlah saham atau unit penyertaan yang telah beredar dan dimiliki oleh investor. Dalam standar mengukur kinerja sebuah reksa dana, Metode Sharpe yang dikembangkan oleh William F. Sharpe (1966) adalah salah satu standar internasional yang digunakan. Dimana dalam model ini variabel Nilai Aktiva Bersih (NAB) dimasukkan sebagai variabel utama untuk menghitung Sharpe Ratio.

Ketentuan yang berlaku adalah semakin tinggi nilai Sharpe Ratio, maka semakin baik kinerja suatu reksa dana, demikian pula sebaliknya (Waridah, 2016). Berdasarkan data statistik Pasar Modal Syariah 2019 yang dikelola Direktorat Pasar Modal Syariah-Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pertumbuhan reksa dana syariah dari tahun ke tahun secara simultan selalu mengalami peningkatan. data Infovesta Utama memberikan keterangan pertumbuhan reksa dana syariah secara parsial sejak awal tahun hingga Oktober 2019, reksa dana pasar uang syariah mengalami pertumbuhan paling tinggi dengan prosentase 139,10% menjadi Rp 9,15 triliun. Sebaliknya pertumbuhan paling rendah dialami oleh reksa dana saham syariah yang turun 24,55% menjadi Rp 8,05 triliun. Sementara itu, reksa dana campuran syariah juga turun 17,03% menjadi Rp 3,38 triliun. Selanjutnya, reksa dana pendapatan tetap syariah hanya tumbuh satu digit sehingga jumlahnya menjadi Rp 7,19 triliun. Pertumbuhan reksa dana ini bisa dilihat dari besarnya angka Net Asset Value yang dihasilkan setiap bulannya.

(4)

Sementara itu, tinggi rendahnya tingkat NAB dipengaruhi oleh berbagai faktor ekonomi. Faktor makro ekonomi seperti inflasi, nilai tukar (kurs), BI Rate merupakan faktor utama yang berpengaruh terhadap NAB dari investasi yang dilakukan di reksa dana (Utami, 2017: 57). Menurut Sukwalaty dkk (2009), inflasi dapat berdampak positif maupun negatif terhadap investasi. Ketika inflasi naik, laba perusahaan dapat menurun akibat adanya kenaikan harga barang maupun jasa secara umum dan terus menerus sehingga permintaan menurun. kenaikan inflasi dapat pula bedampak positif manakala tingkat kenaikannya rendah dan berjalan lambat. Faktor selanjutnya adalah nilai kurs. Menurut Setiaji (2018), naik turunya nilai kurs rupiah yang tidak stabil dapat berpengaruh pada tingkat kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia. Dampaknya, kondisi ini bisa menyebabkan terjadinya capital out flow ketika para investor asing menarik modal mereka sehingga berimbas pada menurunnya harga saham. Sertifikat Bank Indonesia (SBI dan SBIS), baik yang konvensional maupun syariah juga menjadi faktor makro yang dapat mempengaruhi NAB.

Penelitian Ali (2012) mengemukakan bahwa dalam jangka pendek, SBI berpengaruh kuat terhadap NAB dari syaria mutual fund dengan korelasi negatif. Di sisi lain, SBI berpengaruh signifikan terhadap NAB reksa dana syariah dengan korelasi positif dalam jangka panjang. Di samping itu, menurut Ali (2012), variabel makro SBIS juga berpengaruh signifikan dan berkorelasi positif terhadap NAB reksa dana syariah baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Ketika SBIS meningkat, kondisi ini akan menjadi insentif bagi manajer investasi untuk menginvestasikan dana kelolaannya ke dalam instrumen SBIS, sehingga diharapkan return bagi para investor juga akan meningkat.

Meskipun data menunjukkan nilai NAB yang selalu meningkat, namun realitanya, faktor makro ekonomi tersebut selalu mengalami fluktuatif. BPS mencatat pertumbuhan inflasi sejak 2009 sebesar 2,7%, meningkat di tahun 2010 menjadi 6,96%. Kemudian turun di tahun 2011 menjadi 3,79%, naik menjadi 4,30% di tahun 2012, naik signifikan menjadi 8,36% di tahun 2013 dan 2014. Selanjutnya turun drastis di tahun 2015 menjadi 3,35%, mencapai 3,02%

pada 2016, meningkat pada 2017 menjadi 3,61%, dan kembali menurun pada 2018 menjadi 3,13%. Sementara itu, hingga November 2019, BPS mencatat angka inflasi mencapai 3%. BPS juga mencatat pertumbuhan kurs yang fluktuatif. Bank Indonesia merilis nilai rata-rata suku bunga SBI pada tahun 2015 sebesar 6.65%. Menurun menjadi 6.00 % pada tahun 2016. Hingga tahun 2018 tingkat SBI masih bertahan di angka 6.00%. Selanjutnya pada tahun 2019 mengalami penurunan kembali menjadi 5.91%. Kondisi ini juga terjadi pada SBIS yang dicatat oleh Bank Indonesia.

B. TINJAUAN PUSTAKA Reksa Dana Syariah

Reksa dana merupakan suatu wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat yang memiliki modal dan keinginan kuat untuk berinvestasi, akan tetapi memiliki waktu dan pengetahuan yang terbatas (Eduardus, 2010). Menurut undang-undang pasar modal nomor 8 tahun 1995, reksa dana adalah wadah yang digunakan untuk menghimpun dana dari pemodal untuk diinvestasikan pada portofolio efek oleh manajer investasi.

Nilai Aktiva Bersih (NAB)

Nilai Aktiva Bersih (NAB) atau Net Aset Value (NAV) adalah harga wajar dari portofolio suatu reksa dana setelah dikurangi biaya operasional atau kewajiban kemudian dibagi jumlah saham atau unit penyertaan yang telah beredar dan dimiliki oleh investor (Nofie, 2008). Konsep NAB adalah nilai aktiva dari reksa dana setelah dikurangi kewajiban reksa dana tersebut (Raharjo, 2004). Aktiva atau kekayaan reksa dana dapat berupa kas, deposito, SBI, SPBU, saham, obligasi, right, surat berharga komersial, dan lain sebaginya. Sedangkan kewajiban reksa dana dapat berupa fee manajer, fee bank custodian, fee broker, pajak serta efek yang belum dilunasi. NAB menjadi salah satu patokan ukuran yang utama dalam melihat hasil kinerja dari suatu reksa dana.

Inflasi

Inflasi adalah kecenderungan harga untuk naik secara umum dan terus menerus (Mankiw, 2006). Dalam prespektif Islam, menurut para ekonom muslim, inflasi berakibat buruk bagi perkekonomian (Rafiq al-Masri, 1996). Hal ini dikarenakan inflasi dapat memiliki pengaruh negatif terhadap perekonomian. Inflasi juga dapat berdampak positif maupun negatif terhadap investasi. Ketika inflasi naik, laba perusahaan dapat menurun akibat adanya kenaikan harga barang maupun jasa secara umum dan terus menerus sehingga permintaan menurun. Hal ini akan berdampak pada menurunya bagi hasil yang akan dibagikan kepada investor. Namun, kenaikan inflasi bisa pula bedampak positif ketika tingkat kenaikannya rendah dan berjalan relatif lambat. Adanya dampak positif dari inflasi ini selaras dengan apa yang dikatakan teori Philips (Philips Theory). A.W. Philips menyatakan bahwa inflasi disebabkan oleh kenaikan permintaan agregat. Dengan tingginya permintaan, produsen akan meningkatkan kapasitas produksinya sehingga keuntungan akan naik. Hal ini disebabkan karena peningkatan harga barang di pasar lebih tinggi daripada peningkatan biaya

(5)

produksi perusahaan sehingga profit perusahaan akan meningkat. Adanya peningkatan profitabilitas yang terjadi di perusahaan ini selanjutnya akan meningkatkan NAB reksa dana.

Kurs

Nilai tukar uang (exchange rates) atau yang lebih dikenal degan sebutan kurs mata uang adalah catatan (quotation) harga pasar dari mata uang asing (foreign currency) dalam harga mata uang domestik (domestic currency) atau resiprokalnya, yakni harga mata uang domestik dalam mata uang asing (Douglas, 1982). Nilai tukar termasuk variablel makro ekonomi yang turut mempengaruhi validitas harga saham. Hal ini disebabkan karena kurs yang fluktuatif dianggap dapat berimbas pada faktor produksi perusahaan. Jika nilai tukar melemah, maka biaya produksi akan meningkat sebab harga bahan produksi yang memerlukan impor akan naik. Harga jual ekspor juga akan menurun sehingga keuntungan menurun. Hal ini akan berdampak pada menurunnya NAB suatu reksa dana. Akan tetapi, di sisi lain penurunan nilai tukar rupiah juga bisa berdampak positif bagi beberapa sektor diantaranya tambak, industry pariwisata, agen tour dan travel, kelautan dan perikanan, pertanian sawit, minyak kelapa dan sektor lainnya (Junaedi, 2013).

SBI

Menrut Surat Edaran Bank Indonesia tahun 2004, yang dimaksud dengan Sertifikat Bank Indonesia atau SBI adalah surat berharga dalam mata uang Rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan atas utang berjangka waktu pendek. Haryanto dan Riyanto (2007), menjelaskan bahwa suku bunga SBI memiliki hubungan negatif terhadap risiko sistematik pasar modal. Artinya, semakin rendah tingkat suku bunga SBI maka semakin tinggi risiko sistematik dari instrumen investasi di pasar modal. Sementara itu, dalam pengaruhnya terhadap Nilai Aktiva Bersih (NAB) suatu reksa dana, tingkat suku bunga SBI berpengaruh secara tidak langsung terhadap tingkat NAB yang akan dibagikan kepada investor. Hal ini seperti yang diungkapkan menurut Ali (2012), bahwa peningkatan SBI dalam jangka pendek berpengaruh pada NAB reksa dana syariah yang akan menurun. Hal ini dapat terjadi karena ketika SBI meningkat, sebagian besar masyarakat cenderung akan mengalihkan dananya dari reksa dana syariah ke instrumen SBI.

Sedangkan dalam jangka panjang, peningkatan pada suku bunga SBI juga akan memicu peningkatan dari NAB reksa dana syariah karena meningkatnya SBI dalam jangka panjang selalu diiringi dengan peningkatan SBIS dalam tren yang relatif sama. Hal ini menjadikan insentif bagi investor yang memiliki dana terbatas untuk berinvestasi di reksa dana syariah, sehingga akan berimbas pada NAB yang meingkat.

SBIS

Menurut peraturan Bank Indonesia Nomor: 10/11/PBI/2008, SBIS adalah surat berharga berjangka waktu pendek yang diterbitkan oleh Bank Indonesia berdasarkan prinsip syariah. Salah satu tujuan dari diterbitkannya SBIS ini adalah sebagai instrument pengenali moneter yang dilaksanakan dengan menggunakan prinsip syariah. Bagi bank syariah, SBIS dijadikan sebagai alat investasi, sebagaimana halnya dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) di bank konvensional. SBIS bisa dikatakan mempunyai hubungan negatif terhadap Financing to Deposit Ratio (FDR). Dimana pada saat SBIS naik, maka akan memberikan insentif bagi bank untuk membelinya karena risiko yang akan dihadapi bank pada penempatan dana SBIS lebih kecil daripada penyaluran pembiayaan. Sedangkan pada saat bonus SBIS turun, bank syariah tidak membelinya, akan tetapi tetap menyalurkan dananya kapada masyarakat .

Hubungan negatif antara SBIS dengan NAB reksa dana menurut Agustina (2015) disebabkan karena SBIS juga berfungsi sebagai instrument investasi. Ketika SBIS turun, tingkat equivalen rate nisbah simpanan dan deposito mudharabah akan turun sehingga investor cenderung akan meilih reksa dana sebagai instrumen investasi lain yang lebih menguntungkan. Sebaliknya, ketika SBIS naik investor lebih tertarik berinvestasi melalui instrument SBIS daripada reksa dana. Sementara menurut Ali (2012), SBIS justru memiliki hubungan positif terhadap NAB reksa dana.

Bagi manajer investasi, kondisi SBIS yang sedang naik menjadi alternatif penyaluran investasi yang menarik.

Harapannya, ketika SBIS naik maka return yang akan dibagikan pada investor juga akan semakin meningkat. Namun demikian, bagi Setyarini (2015) menyatakan bahwa SBIS tidak begitu berpengaruh terhadap NAB reksa dana. Hal ini disebabkan karena sebagian besar penyaluran reksa dana diinvestasikan dalam bentuk saham, bukan SBIS.

Index Sharpe Ratio sebagai Pengukur Kinerja Reksa Dana

Jika Nilai Aktiva Bersih (NAB) menjadi parameter dalam mengukur kinerja reksa dana, maka index Sharpe Ratio adalah besaran ukuran dari kinerjanya itu sendiri. Menurut Tanderlilin (2010), index sharpe adalah ukuran atas premi risiko dari setiap unit risiko pada portofolio. Dasar perhitungan dari metode ini adalah dengan menggunakan garis pasar modal sebagai patok duga, dan membagi premi risiko dengan satandar deviasi atas suatu protofolio. Dalam berinvestasi tidak hanya berpatokan pada reaten yang dihasilkan saja, namun juga diperlukan analisis yang cermat atas risiko yang mungkin terjadi. Sharpe Ratio menjadi jawaban dalam mengetahui ukuran atas harapan reaten yang

(6)

tinggi dengan risiko yang optimal. Rahma (2016) menjelaskan bahwa index Sharpe Ratio dapat mengukur kinerja suatu reksa dana dengan memperhitungkan risiko secara keseluruhan, sehingga membantu investor dalam menganalisis portofolio yang akan dipilih. Dengan kata lain, semakin tinggi Sharpe Index, maka semakin baik kinerja reksa dana begitu pula sebaliknya. Adapun untuk menghitung sharpe index menggunakan persamaan sebagai berikut 𝑆̂𝑝 =𝑅̅𝑝− 𝑅̅𝑓

𝜎𝑝

Keterangan :

𝑆̂𝑝 = Sharpe Index dari suatu portofolio

𝑅̅𝑝 = Rata-rata return portofolio selama periode yang diamati 𝑅̅𝑓 = Rata-rata risk free rate selama periode yang diamati

𝜎𝑝 = Standar deviasi return portofolio selama periode yang diamati

Dalam perhitungannya, nilai NAB menjadi salah satu parameter yang penting untuk mengasilkan nilai dari index Sharpe Ratio. Simbol 𝑅̅𝑝 dalam rumus Sharpe Ratio merupakan hasil rata-rata return selama periode pengamatan, dimana nilai return bulanannya diperoleh dari perhitungan (NABt – NABt-1) / NABt-1 . Selanjutnya, hasil return bulanan tersebut dicarai nilai rata-ratanya selama satu tahun sehingga ketemulah nilai 𝑅̅𝑝. Manakala kita sudah mengetahui sharpe index dari hasil perhitungan metode Sharpe, maka selanjutnya kita dapat membandingkan kinerja antara satu portofolio dengan portofolio yang lainnya. Metode sharpe membantu kita untuk membuat peringkat dari berbagai portofolio berdasarkan kinerjanya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan calon investor dalam menyeleksi mana portofolio yang terbaik. Dengan kata lain, index Sharpe Ratio menjadi sinyal atas kualitas dari portofolio reksa dana.

C. METODE PENELITIAN Jenis Penelitian

Jenis peneliian ini adalah asosiatif dengan pendekatan kuantitatif. Pada sifat pendekatan kuantitatif, metode penelitian didasarkan pada filsafat positivisme yang dipakai untuk meneliti sampel serta populasi khusus. Selanjutnya, analisis data dengan sifat statistik bertujuan agar menguji hipotesis yang sudah ditentukan. Menurut Uhar (2014), metode ini bertujuan untuk menganalisis data-data yang bersifat angka, selanjutnya dianalisis melalui penggunaan statistic. Pendekatan kuantitatif dipilih karena penelitian ini bertujuan untuk mengatahui adanya efek dan hubungan antar dua variabel maupun lebih, yakni menjelaskan dan menganalisis bagaimana pengaruh dari variabel makroekonomi seperti inflasi, kurs, suku bunga SBI, serta SBIS terhadap Net Asset Value reksa dana syariah jenis pasar uang selama periode 2015-2019.

Variabel Penelitian

Adapun dalam penelitian ini terdiri dari dua jenis variabel sebagai berikut:

a. Variabel dependen (variabel Y), yaitu Nilai Aktiva Bersih (NAB) reksa dana syariah jenis pasar uang.

b. Variabel independen (variabel X), yaitu tingkat inflasi (X1), nilai tukar/ kurs (X2), suku bunga Sertifikat Bank Indonesia/ SBI (X3), dan Sertifikat Bank Indonesia Syariah/ SBIS (X4)

Definisi Operasional Variabel

Variabel dependen adalah peubah terikat yang dipengaruhi oleh peubah bebas. Nilai Aktiva Bersih (NAB) dipilih sebagai variabel dependen dalam riset ini.

Variabel Definisi Parameter Skala

NAB Ukuran patokan atas aset bersih dari suatu portofolio reksa dana syariah.

Untuk mendapatkan nilai NAB menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut:

𝑅𝑖 = 𝑁𝐴𝐵 𝑡 − 𝑁𝐴𝐵 (𝑡 − 1)

𝑁𝐴𝐵 (𝑡 − 1) 𝑥 100%

Sementara untuk penilaian menggunakan Sharpe Ratio Index

Rasio &

Nominal

Menurut Sugiyono (2009), variabel bebas adalah peubah yang memiliki pengaruh atau yang menyababkan terjadinya perubahan dalam variabel dependen. Dalam riset ini, terdapat empat variabel bebas. Adapun penjelasan lebih detail dari setiap variabel independen adalah sebagai berikut:

(7)

Variabel Definisi Parameter Skala Inflasi (X1) Naiknya harga-harga barang

atau jasa secara umum dan berkelanjutan

𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒 𝐿𝑒𝑣𝑒𝑙 − 𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒 𝐿𝑒𝑣𝑒𝑙 (𝑡 − 1)

𝑃𝑟𝑖𝑐𝑒 𝐿𝑒𝑣𝑒𝑙 𝑥 100%

Rasio

Kurs (X2)

Tingkat harga mata uang dari satu negara terhadap mata uang

negara lain 𝐾𝑢𝑟𝑠 𝑇𝑒𝑛𝑔𝑎ℎ = 𝐾𝑢𝑟𝑠 𝐽𝑢𝑎𝑙 + 𝐾𝑢𝑟𝑠 𝐵𝑒𝑙𝑖

2

Rasio

Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) (X3)

Tingkat diskonto/ suku bunga dari Sertifikat Bank Indonesia

𝑟 = 𝑖 − 𝜋 𝑖 = 𝑟 + 𝜋 Keterangan:

r = tingkat suku bunga riil i = tingkat suku bunga nominal π = inflasi

Rasio

Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) (X4)

Tingkat imbal hasil Sertifikat

Bank Indonesia Syariah 𝑁𝐼𝐻 = 𝑖 𝑠𝑏𝑖𝑠 𝑥 (𝑗𝑎𝑛𝑔𝑘𝑎 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢𝑆𝐵𝐼𝑆

360) 𝑥 𝐼𝐻 𝑠𝑏𝑖𝑠 Keterangan:

NIH = Nilai imbal hasil SBIS i sbis = Nilai nominal SBIS IH sbis = Imbalan hasil SBIS

Rasio

Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data skunder (panel data). Data panel merupakan gabungan antara data runtut waktu (time series) dan data silang (cross section). Dipilihnya panel data karena penelitian ini ingin menganalisis beberapa perusahaan reksa dana dalam berbagai waktu secara bersamaan. Menurut Sugiyono (2010), data skunder merupakan sumber data yang diperoleh secara tidak langsung, seperti melalui pihak lain, dokumen, maupun arsip-arsip resmi.

Populasi dan Sampel

Populasi merupakan jumlah secara keseluruhan dari semua unsur yang ciri-cirinya akan diduga (Singarimbun, 1989). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah reksa dana syariah yang telah terdaftar dan dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan pada periode 2015-2019. Purposive sampling menjadi teknik yang dipakai pada pengambilan sampel dalam riset ini. Teknik ini dipilih untuk mendapatkan sampel yang representative atas ketentuan yang telah ditetapkan.

Metode Analisis Data

a. Analisis Regresi Data Panel

Data panel adalah gabungan dari data cross section dan time series. Dalam persamaan model dengan menggunakan data cross section dapat dituliskan sebagai berikut:

𝑌 𝑖 = 𝛼 + 𝛽1𝑋𝑖+ 𝜀𝑖;𝑖 = 1,2,...…𝑁

Yang mana N menunjukkan jumah dari data cross section. Sementara itu, pada persamaan model dengan pendekatan time series bisa dituliskan seperti ini:

𝑖 = 𝛼 + 𝛽1𝑋𝑡+ 𝜀𝑡;𝑡 = 1,2,…𝑇

Dimana T merupakan banyaknya data time series. Sehingga persamaan model yang merupakan kombinasi dari persamaan cross section dan time series dapat dituliskan sebagai berikut:

𝑌𝑖𝑡 = 𝛼 + 𝛽1𝑋𝑖𝑡+ 𝜀𝑖𝑡;𝑖 = 1,2,..…𝑁;𝑡 = 1,2,……𝑇 Keterangan:

Y : Peubah terikat X : Peubah bebas N : Jumlah observasi T : Banyaknya waktu

Dimana N x T adalah jumlah data panel. Maka persamaan model yang akan terbentuk dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

𝑁𝐴𝐵𝑖𝑡 = 𝛼 + 𝛽1Inflasi 𝑖𝑡 + 𝛽2Kurs 𝑖𝑡 + 𝛽3BI Rate𝑖𝑡 + 𝛽3SBIS𝑖𝑡 + 𝜀𝑖𝑡

(8)

Keterangan:

NAB : Nilai Aktiva Bersih 𝛼 : Konstanta

Inflasi : Tingkat inflasi

Kurs : Nilai tukar Rupiah terhadap USD SBI : Tingkat bunga SBI

SBIS : Tingkat pengembalian SBIS b. Model Estimasi Regresi Data Panel

Menurut Widarjono (2009) terdapat tiga model pendekatan yang dapat digunakan dalam mengestimasi model regresi panel data antara lain Commont Effect Model (CEM), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM).

c. Pemilihan Model Regersi Data Panel

Untuk mengestimasi panel data, diperlukan pemilihan model terbaik dari berbagai model yang ada. Oleh karena itu, maka dilakukanlah Chow Test dan Hausman Test guna menemumakan modle mana ynag lebih baik..

Berikut adalah penjelasannya:

1. Uji Chow

Menurut Widorjono (2009), Chow Test merupakan pengujian yang dilakukan guna memilih model terbaik antara Fixed Effect Model (FEM) dengan Common Effect Model (CEM). Pengujian ini memiliki hipotesis sebagai berikut:

H0 : Common Effect Model H1 : Fixed Effect Model

Nilai yang dihasilkan F hitung dan F tabel menjadi dasar pengingkaran pada hipotesis ini. H0 akan ditolak jika F hitung > F tabel yang berarti FEM menjadi model yang lebih baik untuk penelitian.

Sedangkan jika F hitung < F tabel, maka H1 ditolak, yang artinya model CEM lebih tepat untuk digunakan.

2. Uji Hausman

Hausman Test merupakan pengujian untuk menentukan model terbaik antara Fixed Effect Model dangan Random Effect Model. Hipotesis dari pengujian ini adalah:

H0 : Random Effect Model H1 : Fixed Effect Model

Dasar yang digunakan untuk menolak hipotesis ini adalah dengan cara melihat nilai chi square hitung dibandingkan dengan chi square tabel. H0 akan ditolak jika chi square hitung > chi square tabel yang berarti FEM lebih baik untuk menjadi model dalam riset. Sedangkan jika chi square hitung < chi square tabel, berarti model REM lebih tepat untuk digunakan dalam penelitian (H0 diterima).

Uji Hipotesis a. Uji F

Uji F dilakukan untuk menilai apakah peubah independen yang dipakai dalam model mampu menerangkan perubahan dari peubah dependen secara simultan. Untuk melakukan pengujian ini, digunakan suatu tabel Analysis of Variance (ANOVA) dengan memperhatikan nilai signifikansi < 5%. Dasar hipotesisnya adalah apabila score signifikansi < 5% maka H0 diterima, yang berarti variabel bebas mampu menjelaskan variabel terikat. Sedangkan apabila score signifikansi > 5% maka H0 ditolak.

b. Uji T

Untuk melihat apakah koefisien regresi signifikan atau tidak, maka dilakukan uji T. Nilai t hitung dalam Uji T dipakai untuk menguji pengaruh variabel bebas secara terpisah terhadap variabel dependennya. Pengujian ini dapat diketahui melalui penggunaaan tabel one tail atau two tail. Hipotesis null yang akan diuji adalah apakah suatu parameter sama nilainya dengan nol, atau dapat dirumuskan sebagai berikut:

H0 : β1 = 0

Artinya, suatu variabel independen secara parsial bukanlah merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen. Sedangkan hipotesis alternatifnya adalah parameter suatu variabel tidak sama dengan nol, atau dapat dirumuskan:

H𝑎1 : β1 ≠ 0

Artinya bahwa variabel independen secara parsial merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel dependen.

c. Coefficient Determination Test (R2)

(9)

Koefisien determinasi menunjukkan sebesar apa kekuatan variabel bebas dalam menjelaskan ragam perubahan pada peubah terikatnya. Untuk mendapatkan hasil yang baik, perlu menggunakan koefisien determinasi yang disesuaikan. Hal ini disebabkan karena koefisien determinasi memiliki kelamahan, yakni adanya bias terhadap jumlah variabel bebas yang dimasukkan dalam model regresi. Setiap penambahan satu variabel bebas dan pengamatan dalam model akan meningkatkan nilai R2 meskipun variabel yang dimasukkan tidak memiliki pengaruh yang signfikian terhadap variabel terikatnya. Maka, untuk mengatasi kelemahan tersebut digunakan koefisen determinasi yang telah disesuaikan, Adjusted R square (R2 adj), artinya, bahwa koefisien tersebut telah dikoreksi dengan memasukkan unsur jumlah variabel dan ukuran sampel yang digunakan. Dengan demikian, nilai koefisien determinasi yang disesuaikan dapat naik ataupun turun akibat adanya penambahan variabel baru dalam model (Sulisyanto, 2011).

D.PEMBAHASAN Hasil Estimasi Regresi Data Panel

a. Statistik Deskriptif

NAB (Rp)

INFLASI

(%) KURS (Rp) SBI (%) SBIS (%)

Mean 1.072,52 3,99000 13.731,00 6,42000 6,20500

Median 1.060,57 4,40500 13.615,00 6,50000 6,31000

Minimum 336,80 2,48000 12.625,00 5,91000 5,19000

Maximun 1.437,76 7,26000 15.227,00 7,15000 7,15000

b. Hasil Uji Chow

Uji Chow dilakukan untuk memiluh salah satu model terbaik antara common effect model ataukah fixed effect model. Berdasarkan hasil uji Chow di Tabel 4.4 score dari Prob. Cross-section Chi-square menunjukkan angka 0.0000. Kaidah yang berlaku pada Chow Test adalah jika nilai Prob. Cross-section Chi-square < 0,05 maka kita akan lebih memilih Fixed Effect daripada Common Effect. Sedangkan jika nilai Prob. Cross-section Chi-square > 5% maka lebih baik menggunakan Common Effect daripada Fixed Effect. Hasi pengujian berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan nilai Prob. Cross-section Chi-square < 0,05 yang artinya dalam penelitian ini menggunakan model Fixed Effect lebih baik daripada model Common Effect .

c. Hasil Uji Hausman Redundant Fixed Effects Tests Equation: Untitled

Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 24.023141 (7,468) 0.0000

Cross-section Chi-square 147.352769 7 0.0000

Correlated Random Effects - Hausman Test Equation: Untitled

Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 0.000000 4 1.0000

* Cross-section test variance is invalid. Hausman statistic set to zero.

Sumber: Eviews8, 2020 (diolah) Sumber: Eviews8, 2020 (diolah)

(10)

Berdasarkan hasil pengujian, diketahui bahwa Uji Hausman yang dilakukan tidak valid. Hal ini disebabkan oleh salah satu variabel independen dari data penelitian yang tidak memenuhi syarat adanya random effect. Program Eviews alam secara otomatis menolak adanya Hausman Test apabila dalam data penelitian tidak memenuhi syarat adanya random effect sehingga dapat disimpulkan bahwa model Fixed Effect adalah yang lebih baik

d. Hasil Fixed Effect Model

Dapat diketahui bahwa hasil nilai R-Square sebesar 0.510311, menunjukkan bahwa kemampuan variabel predictor kuat dalam menjelaskan variabel respon karena nilainya lebih dari 0.5. Sementara itu, untuk variabel yang berpengaruh secara siginfikan hanya terjadi pada variabel X1 (inflasi), X2 (kurs), dan X3 (SBI). Hal ini ditunjukkan dengan nilai Prob. masing-masing sebesar 0.0000 (X1), 0.0000 (X2), dan 0.0018 (X3) < 0.05 Sedangkan untuk variabel X4(SBIS) menunjukkan nilai Prob. sebesar 0.0607 > 0.05 yang artinya variabel predictor tidak kuat dalam menjelaskan variabel respon Y. Sehingga model regresi berdasarkan hasil regresi pada tabel 4.9 adalah sebagai berikut: Y = -156.4952 + -71.41486X1+ 160.5375 X2+ -167.3546 X3+ 62.29978 X4 + e

e. Uji F

Pengujian ini dilakukan dengan cara membandingkan nilai probabilitas F hitung dengan signifikansi. Apabila probobilitas F hitung memili score < 5%, maka variabel dalam model mempengaruhi variabel terikat secara simultan.

Dari tabel 4.9, dapat diketahui bahwa probabilitas F hitung memiliki score 0.000000 < 5% yang artinya terdapat pengaruh dari variabel bebas berupa Inflasi, Kurs, SBI, dan SBIS terhadap variabel terikat secara simultan.

f. Uji T

Pengujian ini dilaksanakan dengan memeriksa score probabilitas statistik dari setiap variabel. Jika score probabilitas

< 0.05 maka masing-masing variabel indpenden memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen.

a. Variabel Inflasi Dependent Variable: Y Method: Panel Least Squares Date: 05/20/20 Time: 10:54 Sample: 2015M01 2019M12 Periods included: 60 Cross-sections included: 8

Total panel (balanced) observations: 480

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C -156.4952 256.7388 -0.609550 0.5425

X1 -71.41486 7.911782 -9.026394 0.0000

X2 160.5375 19.84585 8.089222 0.0000

X3 -167.3546 53.30207 -3.139739 0.0018

X4 62.29978 33.12903 1.880519 0.0607

Effects Specification

Cross-section fixed (dummy variables)

R-squared 0.510311 Mean dependent var 1072.519

Adjusted R-squared 0.498801 S.D. dependent var 271.1835

S.E. of regression 191.9854 Akaike info criterion 13.37740

Sum squared resid 17249727 Schwarz criterion 13.48174

Log likelihood -3198.575 Hannan-Quinn criter. 13.41841

F-statistic 44.33718 Durbin-Watson stat 0.605819

Prob(F-statistic) 0.000000

(11)

Mengacu pada tabel 4.9 memperlihatkan tingkat koefisien sebesar -71.41486 dan memiliki probabilitias sebesar 0.0000 < 0,05. Hal ini menandakan bahwa variabel inflasi memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap NAB secara signifikan. Nilai tersebut menjelaskan bahwa penurunan pada variabel inflasi sebesar satu satuan akan meningkatan NAB sebesar 71,41 poin. Sehingga keputusan yang diambil adalah menerima H0 dan menolak H1 dimana inflasi berpengaruh signfikan terhadap NAB reksa dana syariah.

b. Variabel Kurs

Dari tabel 4.9 dapat diketahui variabel kurs menunjukkan tingkat koefisiensi sebesar 160.5375 dan memiliki probabilitias 0.0000 < 5%. Hasil ini menandai bahwa terdapat pengaruh yang signfikan dari variabel kurs terhadap NAB dengan arah positif. Nilai tersebut mengandung arti bahwa setiap penngkatan pada variabel kurs sebesar satu satuan maka akan meningkatkan NAB sebanyak 160,53 poin. Keputusan yang dipilih dalam hal ini adalah menolak H1 dan menerima H0.

c. Variabel SBI

Mengacu dari tabel 4.9 variabel SBI menampakkan tingkat koefisiensi sebesar -167.3546 dengan probabilitas sebesar 0.0018 < 5%. Hasil score ini mengindikasikan bahwa variabel SBI berpengaruh signifikan terhadap NAB dengan arah negatif. Nilai tersebut mengandung arti bahwa setiap penurunan SBI sebesar satu satuan akan meningkatkan NAB sebesar 167,35 poin. Maka keputusan yang diambil adalah menoak H1 dan menerima H0

dimana terdapat pengaruh signifikan dari SBI terhadap NAB reksa dana syariah.

d. Variabel SBIS

Berdasarkan tabel 4.9 variabel kurs menunjukkan tingkat koefisiensi sebesar 62.29978 dan memiliki probabilitias sebesar 0.0607 > 0,05. Hal ini memperlihatkan tidak adanya pengaruh yang signfikan dari SBIS terhadap NAB. Meski demikian kedua variabel ini memiliki hubungan dengan arah positif. Sehingga keputusan yang diambil adalah menerima H1 dan menolak H0 dimana SBIS tidak berpengaruh signfikan terhadap NAB reksa dana syariah

Interpretasi Hasil dan Pembahasan a. Pengaruh Inflasi terhadap NAB

Berdasarkan hasil perhitungan pada tabel 4.9 variabel Inflasi menunjukkan tingkat koefisiensi sebesar - 71.41486 dan memiliki score probabilitas 0.0000 < 5%. Maka hasil ini mengindikasikan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel inflasi terhadap NAB dengan arah yang negatif. Dengan kata lain, hasil ini menjelaskan bahwa setiap peningkatan pada variabel inflasi sebesar satu-satuan akan menurunkan NAB sebesar 71,41 poin. Hasil negatif ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Gunawan dan Wibowo (2012), yang menyatakan bahwa inflasi berpengaruh pada return saham dengan arah yang negatif. Hasil peneilitian yang sama juga ditemukan oleh Eghosa (2015) yang menunjukkan bahwa “inflation or price level change has a negative, but weak effect on stock returns in Nigeria”. Penelitian yang dilakukan oleh Susetyo (2003) juga mengemukakan bahwa pengaruh inflasi terhadap kinerja reksa dana saham memiliki arah negatif.

Terjadinya inflasi di suatu negara tentu menjadi perhatian tersendiri bagi para investor agar lebih berhati-hati dalam berinvestasi. Secara ritel terjadinya inflasi akan menurunkan pendapatan investor, sehingga mereka kurang tertarik untuk berinvestasi. Hubungan negatif antara inflasi dan NAB reksa dana disebabkan oleh adanya cost push inflation. Inflasi jenis ini terjadi karena naiknya harga barang-barang mentah yang diperlukan untuk melakukan produksi barang atau jasa. Selain itu, cost push inflation juga terjadi sebab depresiasi nilai tukar rupiah. Meskipun rata-rata tingkat inflasi dalam periode penelitian tergolong rendah (kurang dari 10%), namun kenaikan harga barang-barang mentah serta depresiasi nilai tukar rupiah dalam lima tahun terakhir cukup berpengaruh terhadap biaya produksi perusahaan yang selanjutnya akan berdampak pada perolehan profit. Ketika profit mengalami penurunan maka akan berpengaruh terhadap return reksa dana yang dibagikan. Hal ini lah yang menjadikan inflasi dan NAB reksa dana memiliki hubungan negatif.

b. Pengaruh Kurs terhadap NAB

Berdasarkan tabel 4.9, variabel Kurs menunjukkan tingkat koefisiensi sebesar 160.5375 dan memiliki probabilitias sebesar 0.0000 < 0,05. Maka variabel Kurs berpengaruh signifikan terhadap NAB dengan arah positif. Artinya, hasil ini menjelaskan bahwa setiap peningkatan pada variabel Kurs sebesar satu-satuan akan meningkatkan NAB sebesar 160.53 poin. Hasil ini menguatkan penelitian oleh Auora (2013) yang menemukan bahwa kurs berpengaruh positif terhadap indeks LQ-45. Hasil serupa juga ditemukan oleh penelitian Utami (2017) yang menyatakan bahwa secara parsial inflasi dan kurs memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap NAB reksa dana syariah. Penelitian oleh Citraningtiyas (2016) juga menemukan pengaruh positif kurs terhadap Net Asset Value dari reksa dana syariah baik dalam long-term maupun short- trem.

(12)

Pengaruh positif dari kurs dapat dijelaskan bahwa terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS akan memberikan stimulus bagi investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Hal ini akan meningkatkan capital inflow yang masuk. Berdasarkan catatan historis Bank Indonesia, arus modal asing (capital inflow) yang masuk ke Indonesia jauh lebih besar dan berlangsung lebih lama daripada arus modal keluar (capital outflow). Selama periode 2011-2019, rata-rata capital inflow mencapai angka 229,1 triliun Rupiah, lebih banyak daripada rata-rata outflow yang hanya sebesar 29,2 triliun Rupiah (cncbcindonesia.com, 2020).

c. Pengaruh SBI terhadap NAB

Tabel 4.10 Rata-rata pertumbuhan SBI dan NAB Reksa Dana Syariah

Data dari Tabel 4.10 menunjukkan tren pertumbuhan suku bunga SBI dengan NAB reksa dana syariah berbanding terbalik. Sepanjang lima tahun terakhir selama periode penelitian, suku bunga SBI memiliki tren rata-rata pertumbuhan yang menurun, meskipun pada dua tahun terakhir mengalami peningkatan. Secara rinci, masing-masing pertumbuhannya adalah sebesar 6,86% di tahun 2015, menurun menjadi 6,45% di tahun 2016.

Kemudian menurun lagi menjadi 6,00% di tahun 2017. Selanjutnya, dua tahun terakhir mengalami peningkatan yakni sebesar 6,38% dan 6,42%.

Sedangkan pada NAB reksa dana syariah menunjukkan tren rata-rata pertumbuhan yang semakin meningkat.

Tren ini ditunjukkan dengan rata-rata NAB di tahun 2015 sebesar Rp 804,41 mengalami peningkatan di tahun berikutnya menjadi Rp 1.059,28. Kemudian kembali mengalami kenaikan di tahun 2017 menjadi Rp 1.111,31.

Peningkatan terus terjadi hingga dua tahun berikutnya. Masing-masing bernilai Rp 1.168,01 dan Rp 1.219,58.

Pengaruh negatif dari variabel SBI ini sejalan dengan teori tingkat suku bunga. Dimana teori ini memiliki slope negatif atau berbanding terbalik dengan pertumbuhan investasi. Artinya, apabila suku bunga turun, investasi cenderung akan naik dan apabila suku bunga naik investasi justru akan menurun. Dalam penelitian ini, cara kerja suku bunga SBI dalam mempengaruhi NAB sesuai dengan teori suku bunga.

d. Pengaruh SBIS terhadap NAB

Sebagian dari penelitian-penelitian terdahulu yang menjadi rujukan dalam riset ini menunjukkan hasil bahwa variabel SBIS memiliki pengaruh negatif. Ketika SBIS naik, tingkat equivalen rate nisbah simpanan dan deposito mudharabah juga akan naik sehingga investor cenderung akan memilih SBIS sebagai instrumen investasinya karena lebih menguntungkan. Hal ini menyebabkan tingkat demand reksa dana syariah menjadi menurun (Agustina, 2015). Sedangkan dalam penelitian ini, hubungan SBIS dengan NAB reksa dana syariah menunjukkan hasil tidak signifikan. Sejalan dengan penelitian Setyarini (2015) menununjkkan hasil bahwa SBIS tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap NAB reksa dana. Hal ini dikarenakan mayoritas penyaluran reksa dana diletakkan dalam instrument saham, bukan SBIS. Dalam penelitian ini, tidak adanya pengaruh yang signifikan dari SBIS dikarenakan sedikitnya volume jumlah pembelian SBIS jika dibandingkan dengan SBI.

e. Penilaian Hasil Kinerja Delapan Reksa Dana Pasar Uang

MI1 MI2 MI3 MI4 Tertinggi RD Terbaik

2015 -46,85836415 -70,7814 -215,46156 -2,107107 2015 RD 4

2016 -85,83868696 -2,52287 -121,353 -9,0466 2016 RD 2

2017 -58,4730832 -0,29966 -52,2045 -38,566 2017 RD 2

2018 -65,366036 -56,3384 -109,741 -3,12917 2018 RD 6

Tahun Suku Bunga SBI (persen) NAB Reksa Dana Syariah (Rupiah)

2015 6,86 804,41

2016 6,45 1.059,28

2017 6,00 1.111,31

2018 6,38 1.168,01

2019 6,42 1.219,58

Sumber: Bank Indonesia dan reksadana.id, data diolah (2020)

(13)

2019 -0,4580174 -1,12536 -28,2607 -44,8294 2019 RD 1

Best SR -0,4580174 -0,29966 -28,2607 -2,107107 2019

Best Year 2019 2017 2019 2015 2018

MI5 MI6 MI7 MI8 Tertinggi RD Terbaik

2015 -21,129673 -30,63457019 -15,4992008 -15,14458699 2015 RD 4 2016 -226,1173049 -9,760320142 -259,841 -27,13935146 2016 RD 2 2017 -82,0007937 -64,53084452 -260,757 -47,6141105 2017 RD 2 2018 -10,57086526 0,264117022 -1,23154 -6,18E+01 2018 RD 6 2019 -26,7053 -23,88405137 -15,1433 -25,42837273 2019 RD 1 Best SR -10,57086526 0,264117022 -1,23154 -15,14458699 2019

Best Year 2018 2018 2018 2015 2018

Berdasarkan Tabel 4.11 dapat diketahui kinerja dari delapan reksa dana syariah pasar uang dengan hasil perhitungan Sharpe Ratio bahwa sepanjang periode penelitian (2015 – 2019), reksa dana BNI-AM Dana Lancar Syariah tercatat pernah mengalami kinerja terbaik paling banyak, yakni sebanyak dua kali di tahun 2016 dan 2017. Sementara di tahun sebelumnya, kinerja terbaik diraih oleh reksa dana Insight Money Syariah. Kemudian, setelah tahun 2017 secara berurut-urutan kinerja terbaik dicapai oleh reksa dana Mega Dana Kas Syariah di tahun 2018, dan reksa dana Bahana Likuid Syariah di tahun 2019.

E.KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada BAB IV tentang pengaruh variabel makroekonmi (Inflasi, Kurs, SBI, SBIS) terhadap Net Aset Value dari reksa dana syariah jenis pasar uang sepanjang tahun 2015 – 2019, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Terjadi pengaruh negatif yang signifikan dari variabel inflasi terhadap Net Asset Value reksa dana syariah jenis pasar uang . Hal ini disebabkan inflasi yang terjadi selama periode penelitian merupkan jenis cost push inflation yang disebabkan oleh naiknya harga-harga barang mentah yang diperlukan produksi barang dan jasa. Kenaikan harga barang-barang mentah serta depresiasi nilai tukar selama periode penelitian memilki pengaruh yang cukup serius terhadap biaya produksi sehingga akan berdampak pada perolehan profit. Ketika profit mengalami penurunan, maka return reksa dana juga akan berpengaruh yang selanjutnya akan berimbas pada tingkat NAB. Oleh sebab itu, inflasi memiliki arah hubungan negatif dengan Net Asset Value dari reksa dana syariah pasar uang. Artinya, ketika inflasi naik, peringkat NAB akan cenderung menurun dan ketika inflasi turun, NAB akan cenderung mengalami kenaikan.

2. Variabel makroekonomi Kurs bepengaruh positif dan signifikan terhadap Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa dana syariah jenis pasar uang periode 2015-2019. Kurs atau nilai tukar berpengaruh positif dapat dijelaskan bahwa peningkatan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, akan mendorong terjadinya aliran masuk (capital inflow) ke Indonesia akibat meningkatnya permintaan akan rupiah. Capital inflow ini kemudian akan meningkatkan NAB reksa dana syariah. Dengan kata lain, kenaikan pada kurs cenderung akan menaikkan NAB dan ketika kurs turun, maka NAB juga akan cenderung menurun.

3. Secara parsial SBI berpengaruh signifikan dengan arah yang negatif terhadap NAB reksa dana syariah jenis pasar uang periode 2015-2019. Hal ini disebabkan ketika suku bunga SBI meningkat, berinvestasi di SBI menjadi lebih menarik dibandingkan di reksa dana syariah karena profit yang dihasilkan lebih tinggi. Sejalan dengan teori suku bunga yang memiliki slope negatif terhadap investasi. Artinya, ketika SBI naik, maka NAB cenderung akan menurun, dan ketika SBI menurun, tingkat NAB cenderung akan meningkat.

4. Dalam penelitian ini tidak terdapat pengaruh dari variabel SBIS terhadap Net Asset Value reksa dana syariah jenis pasar uang secara signifikan pada periode 2015-2019. Hal ini disebabkan selama periode penelitian, volume jumlah pembelian SBIS kalah jauh dengan SBI. Selain itu, penyaluran investasi reksa dana syariah lebih banyak dilakukan pada instrumen lain selain SBIS sehingga variabel SBIS tidak signifikan terhadap NAB reksa dana syariah pasar uang. Namun demikian, hubungan kedua variabel menunjukkan arah yang positif. Penjelasan hubungan yang positif dapat diterangkan ketika tingkat SBIS naik, kondisi ini menjadi kesempatan yang menarik bagi manajer investasi reksa dana Syariah untuk menyalurkan dana investasinya.

Ketika dana investasi reksa dana yang ditempatkan di SBIS sedang dalam kondisi tingkat SBIS yang tinggi, maka akan meningkatkan return yang dihasilkan, sehingga NAB reksa dana syariah juga meningkat.

(14)

UCAPANTERIMAKASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu sehingga panduan ini dapat terselesaikan.Ucapan terima kasih khusus kami sampaikan kepada Asosiasi Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya dan Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya yang memungkinkan jurnal ini bisa diterbitkan.

DAFTARPUSTAKA

Adrian Sutedi, Pasar Modal Syariah: Sarana Investasi Keuangan Berdasarkan Prinsip Syariah.

Ali Kasyifurrohman “Analisis Pengaruh Makro Ekonomi Terhadap Reksadana Syariah di Indonesia”, Skripsi,FEM,ITB,2012

Antonio, Syafi’i. 2006. Riba dalam Prespektif Agama dan Sejarah.

Arifin, Zainal. 2003. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta. Alfabet.

Asyraf Wajdi Dusuki. 2009. “Sharia Parameters on Islamic Foreign Exchange Swa as Hedging Mechanism in Islamic Finance”.

Aurora, Tona, dan Riyadi, Agus. Pengaruh Inflasi, Suku Bunga, dan Kurs Terhadap Indeks LQ-45 di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Dinamika Manajemen, Vol. 1 No. 3, 2013

Avonti, Amos Amoroso dan Hudi Prawoto. 2004. Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah/US$ dan Tingkat Suku Bunga SBI Terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Jakarta. Jurnal Akuntansi Bisnis.

Azwar, Saifuddin. 2007. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Bodie, Zvi, Kane Alex, J. Marcus Alan. 2014. Invesment. 9th ed. Jakarta : McGraw-Hill.

Cahyono, Jaka E. 2002. Cara Jitu Meraih Untung dari Reksa Dana. 3rd ed. Jakarta. PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia.

F. Scott Valpey. Structuring Islamic Equity Funds: Shari’a Board, Purification, Portofolio Management, and Perfirmance Issue.

Gunawan, T. dan Wibowo, A. S. A. 2012. Pengaruh Rasio Camel, Inflasi dan Nilai Tukar Uang terhadap Return Saham. Diponegoro Journal of Accounting,

Haryanto, Desi dan Riyatno. 2007. “Pengaruh Suku Bunga Sertiikat Indonesia dan Nilai Kurs terhadap Resiko Sistematis Saham Perusahaan di BEJ”. Jurnal Keuangan dan Bisnis, 5:24-40

Heri Sudarso, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah Edisi 3, (Yogyakarta: Ekonisa, 2008 HUDA 2007

Huda, Nurul, Heykal Mohammad. 2015. Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan Praktis. 3rd ed. Jakarta.

Prenademedia Group.

Junaedi Angkouw, Perubahan Nilai Tukar Rupiah Pengaruhnya Terhadap Ekspor Minyak Kelapa Kasar (COO) di Sulawesi Utara, (Manado: Skripsi, 2013), hal.9

Karim, Adiwarman A. 2015. Ekonomi Makro Islami. 3rd ed. Jakarta. Rajawali Pers.

M. Obaidullah. Regulation of Stock Market in an Islamic Economy.

Ma’ruf Amin. Era Baru Ekonomi Islam Indonesia: Dari Fikih ke Praktik Ekonomi Islami.

Mankiw, N. Gregory, Quaq Euston, Wilson Peter. 2014. Pengantar Ekonomi Makro. Edisi Asia, Vol. 2. Jakarta.

Salemba Empat.

Marpaung, Fahry Gusmandana. 2016. Pengaruh Inflasi, Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan Nilai Tukar Rupiah terhadap NAB Reksa Dana Syariah Periode 2011-2014.

Medan: Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara.

McTaggart, Douglas.,Findlay, Christoper, Parkin, Michael. 2003. Economics 4th. edition. United State of America:

Addison-Wesley

Mufidah, Layyinatul Aini. 2016. Analisis Pengaruh Inflasi, BI Rate, Jumlah Uang yang Beredar terhadap Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah.

Nopirin. 2009. Ekonomi Moneter. Buku 2. Edisi 1. Jakarta. BPFE

Nurlaili, Nunuk. 2012. “Pengaruh Indeks Harga Saham Gabungan dan BI Rate Terhadap Nilai Aktiva Bersih Reksadana Saham”. Tesis. Program Pascasarjana UT, Jakarta.

Pasaribu dan Kowanda, 2014. Pengaruh Suku Bunga Sertifikat Bank Indonesia, Tingkat Inflasi, Indeks Harga Saham Gabungan, dan Bursa Asing Terhadap Pengembalian Reksa Dana Saham. Jurnal Akuntansi dan Manajemen. Vol. 25, No. 1, April 2014 Hal. 53-65

(15)

Putra, Arief Rahman Satya. 2017. Analisis Pengaruh Sertifikat Bank Indonesia Syariah, Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, Jumlah Uang Beredar, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan BI Rate terhadap Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah. UMY

Rachman, Ainur. 2015. Pengaruh Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, BI Rate terhadap Net Asset Value Reksa Dana Saham Syariah. JESTT, Vol. 2, (No. 12) : 986-1001.

Rahardjo, Sapto. (2004). Panduan Investasi Reksa Dana Pilihan Bijak Berinvestasi dan Mengembangkan Dana.

Jakarta. Elex Media Komputindo

Rahayu, Tika Octafiany. 2017. Analisis Faktor Eksternal dan Faktor Internal yang Mempengaruhi Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Campuran. Jakarta: Skripsi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Syarif Hidayatullah.

Rena Agustina. 2015. “Analisis Pengaruh Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Inflasi Dan Jakarta Islamic Index (JII) Terhadap Nilai Aktiva Bersih (NAB) Danareksa Syariah Berimbang”

Sadono Sukirno, Makro Ekonomi Teori Pengantar edidi ketiga, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 178 Sari, Wahyuni Kartika, Tandika Dikdik, Azib. 2017. Pengaruh Index Harga Saham Gabungan (IHSG), Inflasi dan

Nilai Tukar Rupiah terhadap Net Asset Value (NAV) Reksa Daba Syariah (Studi Kasus pada Bapepam Periode 2012-2016). Prosiding Manajemen, Vol. 3, (No. 2) : 750-755

Setiaji, Freedy. 2018. Skripsi. Pengaruh Inflasi dan Kurs Rupiah terhadap Net Asset Value (NAV) Reksdana Syariah Campuran Indonesia Tahun 2014-2016. UIN Raden Intan Lampung

Setyarini, Febrian Dwi. 2013. Pengaruh SBIS, Inflasi, Nilai Tukar Rupiah, Jumlah yang Beredar dan IHSG terhadap Nilai Aktiva Bersih Reksa Dana Syariah Periode 2009-2013. Yogyakarta: Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Soemitra, Andri. 2014. Masa Depan Pasar Modal Syariah di Indonesia. Jakarta. Prenademedia Group.

Uddin, Gazi Salah, Hernandez Jose Arreola, Labidi Chiraz, Troster Victor, Yoon Seong-Min. 2019. The impact if financial and economic factors on Islamic mutual fund performance: Evidence from multiple fund categories. Journal of Multinational Financial Management, Vol. 10, (No. 12) : 1-12.

Utami, Herlina, Ratna Dwi, Nandri Ayu. 2017. Pengaruh Inflasi, Kurs dan BI Rate terhadap Nilai Aktiva Bersih (NAB) Reksa Dana Syariah di Indonesia (Periode 2010-2016). Jurnal An-Nisbah, Vol. 04, (No. 01) : 51- 73.

Waridah, Winda, Mediawati Elis. 2016. Analisis Kinerja Reksa Dana Syariah. Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan, Vol. 4, (No. 2) : 1077-1086.

Yulian, Indah. 2010. Investasi Produk Keuangan Syariah. Malang. UIN Maliki Press.

Referensi

Dokumen terkait

Judul Jurnal Ilmiah (Artikel) : Pengaruh Moderasi Size Terhadap Hubungan Antara Family Control dengan Nilai dan Kinerja Perusahaan2. Nama Penulis : Edy Suprianto

LEMBAR HASIL PENILAIAN SEJAWAT ATAU PEER REVIEW KARYA ILMIAH: JURNAL ILMIAH Judul Jurnal Ilmiah artikel : Pengaruh Koneksi Politik, Struktur Kepemilikan Dan Leverage Terhadap