PENGARUH MEKANISME GOOD CORPORATE GOVERNANCE DAN UKURAN PERUSAHAAN TERHADAP PRAKTIK MANAJEMEN LABA (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia)
Vincentia B. Nevayesiana
Dr. Lilik Purwanti, M.Si., Ak., CSRS., CA.
Universitas Brawijaya, Jl. MT. Haryono 165, Malang E-mail: [email protected]
Abstract
This study aims to examine the effect of the mechanisms of good corporate governance and firm size on earnings management practices. Good corporate governance mechanisms used are managerial ownership, institutional ownership, independent board, and independent audit committee. The population of the study is manufacturing companies listed in the Indonesia Stock Exchange during 2012-2014. A purposive sampling method is used to select samples and 19 companies are selected as samples. Multiple linear regression analysis using SPSS is employed as a data analysis method. The results show that institutional ownership and independent audit committee affect earnings management practices, while managerial ownership, independent board, and firm size has no effect on earnings management practices.
Keywords: Good Corporate Governance, firm size, earnings management practices.
1. Pendahuluan
Perusahaan menerbitkan laporan keuangan secara konsisten setiap tahunnya. Laporan keuangan digunakan oleh perusahaan sebagai media untuk berkomunikasi dengan para pemegang kepentingan (stakeholders). Tujuan bagi setiap pemegang kepentingan perusahaan pun berbeda. Penanam modal (investor) membutuhkan laporan keuangan untuk menentukan keputusan investasi yang harus diambil. Pemegang saham memiliki tujuan lain dalam melihat laporan keuangan, yaitu untuk mengetahui dan menilai kemampuan perusahaan pada pembayaran dividen. Bagi karyawan, informasi ini diperlukan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, manfaat pensiun, dan kesempatan kerja. Penentuan keputusan pemberian pinjaman bagi perusahaan oleh pihak kreditur tentunya memerlukan informasi melalui laporan keuangan, serta pemegang kepentingan yang lain.
Perusahaan terdiri dari dua pihak, yaitu pemilik perusahaan/pemegang saham (principal) dan pengelola perusahaan/pihak manajemen (agent). Pemilik perusahaan adalah seseorang atau badan hukum yang secara sah memiliki satu atau lebih saham pada perusahaan. Pengelola perusahaan adalah seseorang atau lebih yang telah dipercayai oleh pemilik untuk mengelola dan mencapai target perusahaan. Hubungan antara pemilik dan pengelola perusahaan ini selanjutnya disebut dengan hubungan keagenan. Hubungan keagenan yang muncul di dalam perusahaan sering kali memicu timbulnya konflik. Konflik yang terjadi disebabkan perbedaan kepentingan antara pemilik dan pihak manajemen.
Keduanya sama-sama menginginkan kesejahteraan dan kemakmuran bagi kehidupan pribadinya.
Pihak manajemen selaku pengelola perusahaan yang setiap harinya terlibat dalam aktivitas-aktivitas internal perusahaan. Aktivitas internal yang terjadi tentunya dapat mudah diketahui oleh pihak manajemen. Kecenderungan ini yang membedakan pihak manajemen
dengan pemilik perusahaan. Pemilik perusahaan hanya akan mendapat informasi jika pihak manajemen melaporkan secara mendetail. Adanya perbedaan pengetahuan antara pihak manajemen dengan para pemilik dan pemegang kepentingan perusahaan yang berada di luar perusahaan ini dapat mengakibatkan adanya asimetri informasi. Keadaan yang terjadi tersebut dapat menimbulkan kesempatan bagi pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba (earnings management). Jensen dan Meckling (1976) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyebutkan bahwa manajemen laba muncul sebagai dampak masalah keagenan yang terjadi karena adanya ketidakselarasan kepentingan antara pemilik (principal) dan manajemen perusahaan (agent) atau yang disebut dengan agency conflict. Sebagai agen, manajer secara moral bertanggung jawab untuk mengoptimalkan keuntungan para pemilik, namun di sisi lain manajer juga mempunyai kepentingan memaksimumkan kesejahteraan mereka. Ada kemungkinan yang besar bahwa agen tidak selalu bertindak demi kepentingan terbaik prinsipal.
Seiring berjalannya waktu, kesempatan yang dimiliki oleh pihak manajemen semakin besar untuk melakukan manajemen laba. Keadaan ini makin lama makin mendapat sorotan dari berbagai pihak. Sorotan yang paling utama adalah mengenai efektivitas jalannya tata kelola perusahaan. Tata kelola perusahaan (bahasa Inggris: corporate governance) adalah rangkaian proses, kebiasaan, kebijakan, aturan, dan institusi yang memengaruhi pengarahan, pengelolaan, serta pengontrolan suatu perusahaan atau korporasi (Wikipedia, 2015). Adanya GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan, dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan (KNKG, 2006).
Konsep Good Corporate Governance ini mengusung prinsip-prinsip yang dapat membawa perusahaan dalam suatu mekanisme yang lebih transparan dan bertanggung jawab.
Mekanisme yang dihadirkan melibatkan adanya pengawasan terhadap kinerja manajemen.
Para pemegang kepentingan dapat menjamin akuntabilitas dari manajemen yang berpondasikan pada peraturan yang ada. Aktivitas yang dilakukan ini memiliki tujuan untuk mendorong terciptanya pasar efisien. Peningkatan yang dialami dapat terwujud dengan sangat baik, minimal peningkatan bertahap yang teratur.
Ukuran perusahaan merupakan salah satu indikator yang digunakan investor dalam menilai aset maupun kinerja perusahaan. Besar kecilnya suatu perusahaan dapat dilihat dari total aktiva (asset) yang dimiliki oleh perusahaan. Perusahaan memiliki skala yang bisa disebutkan ke dalam tiga kategori pada umumnya, yaitu perusahaan kecil (small firm), perusahaan menengah (medium firm), dan perusahaan besar (large firm). Perusahaan tentunya akan semakin mempertimbangkan untuk menerapkan good corporate governance apabila perusahaan tersebut sudah dimiliki oleh banyak pihak.
Praktik manajemen laba dapat dipengaruhi oleh ukuran perusahaan. Semakin besar perusahaan yang dikelola, maka semakin kompleks pula mekanisme corporate governance yang akan diterapkan karena pengawasan yang dilaksanakan akan semakin ketat.
Pengawasan yang dilakukan akan mencegah praktik manajemen laba. Praktik manajemen laba merupakan salah satu faktor yang dapat mengurangi kredibilitas laporan keuangan (Agusti dan Pramesti, 2011). Pada intinya, semakin besar perusahaan yang dikelola oleh manajemen, maka semakin tinggi pula kredibilitas laporan keuangan yang dihasilkan oleh manajemen. Kredibilitas laporan keuangan yang tinggi menunjukkan praktik manajemen laba yang kecil.
Mengamati hal tersebut, peneliti ingin melihat bagaimana mekanisme good corporate governance yang terdiri dari kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan komisaris independen, dan komite audit independen serta ukuran perusahaan terhadap praktik manajemen laba. Penelitian ini bertujuan untuk menguji secara empiris pengaruh mekanisme good corporate governance dan juga menguji secara empiris pengaruh ukuran perusahaan terhadap praktik manajemen laba pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia. Dengan harapan nantinya penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan perusahaan serta dapat pula digunakan sebagai acuan bagi penelitian dengan topik yang berkaitan mengenai praktik manajemen laba.
2. Tinjauan Pustaka dan Perumusan Hipotesis 2.1 Teori Agensi
Perspektif mengenai hubungan keagenan adalah hal yang paling dasar untuk memahami corporate governance. Perusahaan merupakan mekanisme yang memberikan kesempatan kepada berbagai partisipan untuk berkontribusi dalam bentuk modal, keahlian serta tenaga kerja dalam rangka memaksimumkan keuntungan jangka panjang. Partisipan- partisipan yang berkontribusi pada modal disebut sebagai pemilik (principal). Partisipan- partisipan yang berkontribusi dalam keahlian dan tenaga kerja disebut pengelola perusahaan (agent). Adanya dua partisipan tersebut (prinsipal dan agen) menyebabkan timbulnya permasalahan tentang mekanisme yang harus dibentuk untuk menyelaraskan kepentingan yang berbeda di antara keduanya.
Eisenhardt (1989) dalam Ujiyantho dan Pramuka (2007) menyatakan bahwa teori agensi menggunakan tiga asumsi sifat manusia yaitu: (1) manusia pada umumya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari risiko (risk averse).
2.2 Asimetri Informasi
Asimetri informasi adalah suatu keadaan yang muncul ketika manajer lebih mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa depan dibandingkan pemegang saham dan stakeholder lainnya. Manajer sebagai pengelola perusahaan tentunya lebih banyak mengetahui tentang apa yang terjadi dan informasi apa saja yang ada di dalam perusahaan dibandingkan dengan para pemilik (pemegang saham).
Laporan keuangan disusun oleh manajemen perusahaan dengan tujuan untuk menyediakan informasi mengenai kinerja dan posisi keuangan dari perusahaan tersebut.
Dengan laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, para pemegang saham dan pihak berkepentingan yang lainnya dapat mengukur, menilai, dan mengevaluasi kinerja manajemen, serta sejauh mana manajemen berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan dari para pemegang saham. Laporan keuangan menunjukkan sejauh mana manajemen dapat mengelola sumber daya yang telah dipercayakan para pemegang saham kepadanya. Apabila masih terdapat ketidakseimbangan perolehan informasi, maka hal ini akan menimbulkan adanya suatu keadaan yang disebut dengan asimetri informasi (asymmetric information).
2.3 Good Corporate Governance
Perusahaan yang menginginkan kelangsungan jangka panjang dan bisa selalu memenuhi kepentingan para stakeholder-nya harus mampu untuk melaksanakan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance. Secara umum, istilah good corporate governance merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari "nilai-nilai" yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri (soft definition) (BPKP, 2002). Asas GCG yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan diperlukan untuk mencapai kesinambungan usaha (sustainability) perusahaan dengan memperhatikan pemangku kepentingan (stakeholders) (KNKG, 2006).
Empat mekanisme corporate governance yang sering digunakan sebagai indikator dalam berbagai penelitian mengenai corporate governance dan bertujuan untuk mengurangi konflik keagenan, yaitu (Rachmawati dan Hanung, 2007):
1. Kepemilikan manajerial, yaitu persentase saham yang dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan.
2. Kepemilikan institusional, yaitu kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh investor institusional dan merupakan pihak di luar perusahaan (stakeholder).
3. Dewan komisaris independen, yaitu dewan yang memiliki peranan terhadap aktivitas pengawasan sebagai puncak dari sistem pengelolaan internal perusahaan.
4. Komite audit independen, yaitu komite yang bertanggung jawab untuk mengawasi laporan keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal (termasuk audit internal).
2.4 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan adalah suatu skala di mana perusahaan dapat diklasifikasikan besar kecilnya berdasarkan berbagai cara, antara lain: total aktiva, log size, nilai pasar saham, dan lain-lain. Pada dasarnya, ukuran perusahaan hanya terbagi dalam tiga kategori yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium size), dan perusahaan kecil (small firm).
2.5 Manajemen Laba
Manajemen laba sebagai suatu proses mengambil langkah yang disengaja dalam batas prinsip akuntansi yang berterima umum baik didalam maupun diluar batas Generally Accepted Accounting Principles (GAAP).
Manajemen laba memiliki pola tertentu dalam praktiknya (Rahmawati, 2012:117), yaitu:
1. Taking a bath, dilakukan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan dan tidak bisa dihindari pada periode berjalan, dengan cara mengakui biaya-biaya pada periode- periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan.
2. Income minimization, dilakukan saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang bisa diambil bisa berupa pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat dan sebagainya. Cara ini mirip dengan taking a bath, namun kurang ekstrim.
3. Income maximization, yaitu memaksimalkan laba agar memperoleh bonus yang lebih besar. Demikian pula dengan perusahaan yang mendekati suatu pelanggaran kontrak hutang jangka panjang, manajer perusahaan tersebut akan cenderung untuk memaksimalkan laba.
4. Income smoothing, merupakan bentuk manajemen laba yang paling sering dilakukan dan paling populer. Lewat income smoothing, manajer menaikkan atau menurunkan laba untuk mengurangi fluktuasi laba yang dilaporkan sehingga perusahaan terlihat stabil dan tidak beresiko tinggi.
2.6 Penelitian Terdahulu dan Penrumusan Hipotesis
1. Pengaruh Kepemilikan Manajerial Terhadap Praktik Manajemen Laba
Kepemilikan manajerial merupakan saham yang dimiliki manajemen dengan harapan manajer akan berlaku sesuai keinginan pemilik guna memotivasi kinerja manajer (Marpaung dan Latrini, 2014). Adanya kepemilikan manajerial dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara pemegang saham luar dengan
manajemen. Dengan demikian, manajer akan bertindak secara hati-hati dalam mengambil keputusan karena mereka akan turut menanggung hasil dari keputusan yang diambil. Pandangan lain menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan manajerial maka semakin tinggi kemungkinan terjadinya manajemen laba (Boediono, 2005).
H1: Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
2. Pengaruh Kepemilikan Institusional Terhadap Praktik Manajemen Laba
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, dan kepemilikan institusi lain (Tarjo 2008 dalam Sumanto et al. 2014). Pengawasan yang dilakukan oleh investor institusional akan menjamin kemakmuran pemegang saham sehingga praktik manajemen laba dapat bersifat efisien, tidak selalu oportunis. Apabila manajemen laba tersebut bersifat efisien maka kepemilikan institusional yang tinggi justru akan meningkatkan manajemen laba (berhubungan positif), tetapi apabila manajemen laba yang dilakukan perusahaan bersifat oportunis maka kepemilikan institusional yang tinggi akan mengurangi manajemen laba (berhubungan negatif) (Siregar dan Utama, 2005).
H2: Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
3. Pengaruh Dewan Komisaris Independen Terhadap Praktik Manajemen Laba
Dewan komisaris independen adalah anggota dewan komisaris yang tidak terafiliasi dengan direksi, anggota dewan komisaris lainnya dan pemegang saham pengendali, serta bebas dari hubungan bisnis atau hubungan lainnya yang dapat mempengaruhi kemampuannya untuk bertindak independen atau bertindak semata-mata demi kepentingan perusahaan. Berdasarkan teori keagenan, semakin besar jumlah komisaris independen, maka semakin baik mereka bisa memenuhi peran mereka dalam mengawasi dan mengontrol tindakan-tindakan para direktur eksekutif. Dewan komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen. Hal ini akan mengurangi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang mungkin dilakukan manajemen, karena pengawasan yang dilakukan oleh anggota komisaris lebih baik dan bebas dari berbagai kepentingan intern dalam perusahaan (Chtourou et al., 2001 dalam Prastiti dan Meiranto, 2013).
H3: Dewan komisaris independen berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
4. Pengaruh Komite Audit Independen Terhadap Praktik Manajemen Laba
Komite audit terdiri dari sedikitnya tiga orang, diketuai oleh komisaris independen perusahaan dengan dua orang eksternal yang independen serta menguasai dan memiliki latar belakang akuntansi dan keuangan. Teori keagenan berpendapat bahwa komite audit independen memberikan pengawasan yang efektif terhadap manajemen. Komite audit memiliki peran dalam mengawasi pihak manajemen (agen) agar tidak melakukan tindakan yang dapat menguntungkan dirinya sendiri sehingga dapat merugikan pemilik perusahaan (prinsipal). Salah satu dari karakteristik komite audit yang dapat meningkatkan fungsi pengawasan adalah independensi. Anggota komite audit yang independen akan memastikan pelaporan keuangan yang lebih berkualitas.
H4: Komite audit independen berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
5. Pengaruh Ukuran Perusahaan Terhadap Praktik Manajemen Laba
Semakin besar ukuran perusahaan, biasanya informasi yang tersedia untuk investor dalam pengambilan keputusan sehubungan dengan investasi dalam saham perusahaan tersebut semakin banyak. Semakin besar ukuran perusahaan, maka semakin besar tuntutannya untuk melaporkan pelaporan keuangan secara lebih kredibel karena basis investornya yang lebih besar. Perusahaan yang lebih besar kurang memiliki dorongan untuk melakukan manajemen laba dibandingkan perusahaan-perusahaan kecil karena perusahaan besar dipandang lebih kritis oleh pihak luar. Namun, terdapat beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa semakin besar perusahaan, maka semakin besar pula insentifnya untuk melakukan manajemen laba. Karena itu, diduga bahwa ukuran perusahaan mempengaruhi besaran manajemen laba perusahaan, dimana jika manajemen laba tersebut oportunis maka semakin besar perusahaan semakin kecil manajemen laba (berhubungan negatif), tapi jika manajemen laba efisien maka semakin besar ukuran perusahaan semakin tinggi manajemen labanya (berhubungan positif) (Siregar dan Utama, 2005).
H5: Ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktik manajemen laba.
3. Metode Penelitian 3.1 Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah perusahaan-perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Perusahaan yang menjadi sampel dalam penelitian ini dipilih dengan teknik purposive sampling. Dalam penelitian ini peneliti memilih sampel dengan kriteria sebagai berikut:
1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun 2012- 2014.
2. Perusahaan menerbitkan laporan keuangan secara konsisten dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014.
3. Perusahaan menerbitkan laporan keuangan dengan satuan mata uang rupiah (Rp.).
4. Perusahaan menghasilkan laba secara rutin selama tahun 2012 sampai dengan tahun 2014.
5. Perusahaan memiliki data yang lengkap terkait dengan kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan komisaris independen, komite audit independen, dan ukuran perusahaan.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka sampel dalam penelitian ini sebanyak 19 perusahaan dari 130 perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEI. Sehingga total sampel penelitian ini berjumlah 57 sampel.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel bebas merupakan suatu variabel yang dipilih serta diukur oleh peneliti untuk menentukan adanya suatu hubungan pada keadaan atau kejadian yang diteliti oleh peneliti.
Variabel ini dapat mempengaruhi variabel lain. Adapun variabel bebas pada penelitian ini adalah mekanisme good corporate governance yang diproksikan menjadi 4 hal, yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan komisaris independen, dan komite audit independen dan juga variabel ukuran perusahaan.
Variabel terikat (dependent variable) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel lain, dan variabel ini menjadi perhatian utama oleh para peneliti (Sekaran, 2006:116).
Adapun variabel terikat pada penelitian ini adalah praktik manajemen laba yang diproksikan dalam discretionary accrual yang dihitung dengan menggunakan Model Jones Modifikasian.
3.3 Metode Analisis Data
Metode analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan analisis regresi linear berganda untuk pengujian hipotesis. Analisis regresi linear berganda adalah hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel independen (X1, X2, dan X seterusnya) dengan variabel dependen (Y). Analisis ini untuk mengetahui arah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen apakah masing-masing variabel independen berhubungan positif atau negatif dan untuk memprediksi nilai dari variabel dependen apabila nilai variabel independen mengalami kenaikan atau penurunan. Penelitian ini untuk menguji pengaruh dari persentase kepemilikan manajerial (X1), persentase kepemilikan institusional (X2), persentase dewan komisaris independen (X3), persentase komite audit independen (X4), ukuran perusahaan (X5) yang merupakan variabel independen. Dalam penelitian ini dengan variabel dependennya yaitu discretionary accrual yang merupakan proksi dari praktik manajemen laba (Y).
4. Hasil Penelitian dan Pembahasan 4.1 Hasil Statistik Deskriptif
Statistik deskriptif dilakukan untuk memberikan deskripsi dari variabel penelitian mengenai nilai minimum, nilai maksimum, rata-rata (mean), dan standar deviasi. Hasil statistik deskriptif disajikan dalam tabel di bawah ini:
Tabel 1. Hasil Statistik Deskriptif
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Praktik Manajemen Laba 57 0,06 0,47 0,1916 0,09705
Kepemilikan Manajerial 57 0,00 0,23 0,0452 0,06631
Kepemilikan Institusional 57 0,40 1,00 0,7381 0,19305
Dewan Komisaris Independen 57 0,25 0,75 0,3710 0,08984
Komite Audit Independen 57 0,33 0,67 0,5819 0,13033
Ukuran Perusahaan 57 25,58 32,08 28,1842 1,82911
Variabel terikat praktik manajemen laba memiliki nilai terendah sebesar 0,06. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perilaku praktik manajemen laba yang rendah dalam perusahaan sampel. Nilai tertinggi praktik manajemen laba sebesar 0,47 menunjukkan perilaku manajemen yang mengelola laba dengan pola menaikkan laba. Rata-rata manajemen laba yang dilakukan perusahaan adalah sebesar 0,1916 dari total akrual yang dilakukan perusahaan sampel atau dapat diartikan bahwa rata-rata perusahaan sampel melakukan manajemen laba dengan cara menaikkan laba perusahaan sebesar 19,16% dari total aktiva perusahaan pada t-1. Hal tersebut menandakan bahwa perusahaan sampel mempunyai variasi yang relatif tinggi dalam melakukan praktik manajemen laba.
Variabel bebas kepemilikan manajerial nilai terendah sebesar 0,00 dan nilai sebesar tertinggi 0,23. Nilai tersebut merepresentasikan bahwa kepemilikan manajerial tertinggi hanya mencapai 23%. Rata-rata dari kepemilikan manajerial adalah 0,0452 yang menunjukkan bahwa perusahaan sampel memiliki 4,52% kepemilikan manajerial. Nilai tersebut menunjukkan kepemilikan yang relatif kecil. Kepemilikan manajerial yang rendah ini menunjukkan bahwa rata-rata perusahaan sampel sahamnya dimiliki oleh pihak lain yang bukan pihak manajemennya.
Variabel bebas kepemilikan institusional memiliki nilai terendah sebesar 0,40.
Kepemilikan institusional memiliki nilai terendah 40%. Jika dibandingkan, nilai terendah kepemilikan institusional masih lebih tinggi dari nilai tertinggi kepemilikan manajerial. Nilai tertinggi kepemilikan manajerial sebesar 1,00 atau sebesar 100% saham perusahaan
manufaktur dimiliki oleh pihak institusi. Nilai yang mencapai 100% dikarenakan kepemilikan saham institusional mencapai 99,73% dan mengalami pembulatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepemilikan institusional mendominasi saham perusahaan manufaktur di Indonesia selama tahun 2012-2014.
Variabel bebas dewan komisaris independen memiliki nilai minimum sebesar 0,25 dan nilai maksimum sebesar 0,75. Nilai tertinggi sebesar 75% menunjukkan bahwa dewan komisaris independen yang terlibat sudah mencapai lebih dari setengah keseluruhan anggota dewan komisaris perusahaan. Dewan komisaris independen memiliki rata-rata sebesar 0,3710. Nilai rata-rata sebesar 37,10% menunjukkan bahwa dewan komisaris independen yang terlibat dalam perusahaan masih cenderung kecil.
Variabel bebas komite audit independen memiliki nilai terendah sebesar 0,33 dan nilai tertinggi sebesar 0,67. Nilai terendah komite audit independen sebesar 33% tersebut sudah memenuhi kriteria dalam pembentukan komite audit. Rata-rata dari komite audit independen sebesar 0,5819 atau 58,19% menunjukkan bahwa mayoritas anggota dari komite audit perusahaan sampel merupakan anggota yang independen.
Variabel bebas ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan logaritma natural dari total aset perusahaan sampel. Nilai terendah dari variabel ukuran perusahaan adalah sebesar 25,58. Nilai tertinggi dari ukuran perusahaan sebesar 32,08 dan rata-ratanya sebesar 28,1842. Nilai-nilai tersebut menunjukkan ukuran perusahaan memiliki rentang yang panjang. Perusahaan sampel memiliki ukuran perusahaan yang cukup bervariasi.
4.2 Hasil Uji Asumsi Klasik 1. Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan dengan uji One Sample Kolmogorov-Smirnov, melihat derajat kemiringan pada grafik histogram, dan melihat penyebaran data pada normal probability plot (normal p-plot). Berikut ini hasil uji normalitas:
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Unstandardized Residual
N 57
Normal Parametersa,b Mean .0000000
Std. Deviation .08080235 Most Extreme
Differences
Absolute .099
Positive .099
Negative -.083
Test Statistic .099
Asymp. Sig. (2-tailed) .200
Berdasarkan tabel di atas dapat terlihat bahwa nilai Asymp.Sig. (2-tailed) bernilai 0,200. Adapun syarat pengambilan keputusan bahwa suatu data berdistribusi normal apabila nilai Asymp. Sig. (2-tailed) pada uji Kolmogorov-Smirnov bernilai lebih dari 0,05. Maka data dalam penelitian ini berdistribusi normal (0,200> 0,05).
2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolonearitas dengan menggunakan Variance Inflation Factor (VIF). Apabila nilai Tolerance < 0,10 maka menunjukkan adanya multikolinieritas. Apabila Tolerance > 0,10 maka tidak terjadi multikolinieritas. Berikut ini hasil uji multikolinearitas:
Tabel 3. Hasil Uji Multikolinearitas
Coefficientsa
Model
Collinearity Statistics Tolerance VIF
1 KM .678 1.474
KI .717 1.394
DKI .931 1.075
KAI .657 1.522
UP .625 1.600
a. Dependent Variable: DACC
Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa semua nilai tolerance di atas 0,10 dan semua nilai VIF berada di bawah 10 sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi gejala multikolinearitas antar variabel independen.
3. Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas adalah uji untuk terjadinya gangguan yang muncul dalam fungsi regresi yang mempunyai varian yang tidak sama dari pengamatan yang satu ke pengamatan yang lainnya. Cara menguji heteroskedastisitas adalah dengan melihat ada atau tidaknya pola tertentu, misalnya bergelombang, melebar kemudian menyempit, pada grafik scatterplot. Berikut hasil uji heteroskedastisitas:
Gambar 1. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Berdasarkan gambar dapat dijelaskan bahwa diagram tampilan scatterplot menyebar dan tidak membentuk pola tertentu baik di atas maupun di bawah nilai 0 sehingga dapat disimpulkan model regresi tidak mengalami gejala heteroskedastisitas.
4. Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi dalam penelitian ini menggunakan uji Durbin-Watson (DW-test).
Berikut hasil uji autokorelasi:
Tabel 4. Hasil Uji Autokorelasi
Model
Std. Error of the
Estimate Durbin-Watson
1 .08467 2.091
Dari tabel di atas terlihat nilai Durbin-Watson (d) sebesar 2,091 yang berada di antara dU sebesar 1,811 dan 4-dU sebesar 2,189, maka dapat disimpulkan data tidak terdapat gejala autokorelasi.
4.3 Hasil Analisis Regresi Linear Berganda
Analisis regresi linear berganda ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh antara variabel independen dan dependen. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah praktik manajemen laba yang diproksikan dengan discretionary accruals dan variabel independen penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan komisaris independen, komite audit independen, dan ukuran perusahaan.
Berikut hasil analisis regresi linear berganda:
Tabel 5. Hasil Analisis Regresi Linear Berganda Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) .018 .254 .071 .943
KM .364 .207 .249 1.759 .085
KI .145 .069 .288 2.091 .041
DKI -.120 .131 -.111 -.921 .362
KAI -.228 .107 -.306 -2.125 .038
UP .008 .008 .152 1.030 .308
a. Dependent Variable: DACC
Adapun model regresi yang terbentuk adalah sebagai berikut:
Y = 0,018 + 0,364 X1 + 0,145 X2 – 0,120 X3 – 0,228 X4 + 0,008 X5
Dari tabel di atas, maka dapat dijelaskan bahwa:
1. Koefisien regresi variabel kepemilikan manajerial (X1) diperoleh tingkat signifikansi sebesar 0,085 (dengan taraf signifikansi α=0,05). Berdasarkan nilai tersebut, maka hipotesis ke-1 ditentang oleh bukti empiris sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis ditolak.
2. Koefisien regresi variabel kepemilikan institusional (X2) diperoleh tingkat signifikansi sebesar 0,041 (dengan taraf signifikansi α=0,05). Berdasarkan nilai tersebut, maka hipotesis ke-2 didukung oleh bukti empiris sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima.
3. Koefisien regresi variabel dewan komisaris independen (X3) diperoleh tingkat signifikansi sebesar 0,362 (dengan taraf signifikansi α=0,05). Berdasarkan nilai tersebut, maka hipotesis ke-3 ditentang oleh bukti empiris sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis ditolak.
4. Koefisien regresi variabel komite audit independen (X4) diperoleh tingkat signifikansi sebesar 0,038 (dengan taraf signifikansi α=0,05). Berdasarkan nilai tersebut, maka hipotesis ke-4 didukung oleh bukti empiris sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis diterima.
5. Koefisien regresi variabel ukuran perusahaan (X5) diperoleh tingkat signifikansi sebesar 0,152 (dengan taraf signifikansi α=0,05). Berdasarkan nilai tersebut, maka hipotesis ke-5 ditentang oleh bukti empiris sehingga dapat disimpulkan bahwa hipotesis ditolak.
Uji-F digunakan untuk melihat bagaimanakah pengaruh semua variabel independen (kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan komisaris independen, komite audit independen, dan ukuran perusahaan) secara bersama-sama terhadap variabel dependen (praktik manajemen laba/DACC). Uji-F digunakan untuk menguji apakah model regresi dalam penelitian merupakan model yang baik atau tidak baik. Model yang baik adalah model yang memiliki nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 sehingga model regresi dapat digunakan untuk melakukan prediksi atau peramalan.
Tabel 6. Hasil Uji-F
Model F Sig.
1 Regression 4.513 .002
Residual Total
Dari tabel diatas dapat terlihat bahwa F hitung bernilai 4,513 lebih besar dari pada nilai F tabel yaitu 2,397 dan nilai Sig. sebesar 0,002 lebih kecil dari pada 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel independen yaitu GCG yang diproksikan dalam ukuran dewan komisaris, ukuran dewan direksi, ukuran komite audit, dan persentase kepemilikan asing tidak berpengaruh secara signifikan terhadap manajemen laba secara simultan atau serempak sehingga model dapat digunakan untuk melakukan prediksi atau peramalan.
4.4 Koefisien Determinasi (R2)
Koefisien determinasi (R2) digunakan untuk mengukur persentase variasi perubahan variabel dependen yang dijelaskan oleh semua variabel independennya. Selain itu, koefisien determinasi juga dapat digunakan untuk mengukur besar proporsi keragaman total di sekitar nilai tengah yang dapat dijelaskan oleh garis regresi. Berikut hasil uji koefisien determinasi:
Tabel 7. Hasil Uji Koefisien Determinasi
Model R R Square
Std. Error of the Estimate
1 .554a .307 .08467
Dari tabel di atas menunjukan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,307.
Dari nilai 0,307 tersebut dapat menjelaskan sumbangan atau kontribusi dari variabel-variabel bebas (kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan komisaris independen, komite audit independen, dan ukuran perusahaan) yang disertakan dalam persamaan regresi terhadap variabel praktik manajemen laba adalah sebesar 30,7%, sedangkan 69,3% lainnya disumbangkan oleh variabel lainnya yang tidak dimasukkan ke dalam persamaan ini.
4.5 Pembahasan Hasil Penelitian
Berdasarkan pengujian hipotesis ke-1, peneliti tidak dapat membuktikan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh terhadap praktik manajemen laba. Hasil ini mendukung penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Adi (2008), Novrianto (2008), Werdhiwiyanti (2008), dan Respiningsih (2009). Praktik manajemen laba sangat ditentukan oleh motivasi manajer dalam mengelola perusahaan. Besaran praktik manajemen laba akan berbeda tergantung dari motivasi manajemen tersebut. Adanya kepemilikan saham oleh pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Hasil penelitian yang tidak berhasil membuktikan adanya pengaruh kepemilikan manajerial terhadap praktik manajemen laba menunjukkan adanya masalah keagenan. Timbulnya masalah keagenan ini bisa disebabkan karena proporsi kepemilikan oleh pihak manajemen sangat kecil. Kondisi ini mendorong manajer untuk
melakukan tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri dan tidak memaksimalkan nilai perusahaan saat pengambilan keputusan.
Berdasarkan pengujian hipotesis ke-2, peneliti berhasil membuktikan adanya pengaruh positif kepemilikan institusional terhadap praktik manajemen laba. Hasil ini mendukung penelitian yang sebelumnya telah dilakukan oleh Werdhiwiyanti (2008) dan Respiningsih (2009) yang juga menemukan bukti bahwa kepemilikan insitusional berpengaruh positif terhadap praktik manajemen laba. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ujiyantho dan Pramuka (2007), Adi (2008), Novrianto (2008) dan Pujiastuti (2009). Praktik manajemen laba dapat bersifat efisien, tidak selalu oportunis. Apabila manajemen laba dapat bersifat efisien maka kepemilikan institusional yang tinggi justru akan meningkatkan manajemen laba (berhubungan positif), tetapi apabila manajemen laba yang dilakukan perusahaan bersifat oportunis maka kepemilikan institusional yang tinggi akan mengurangi manajemen laba (berhubungan negatif) (Siregar dan Utama, 2005). Hasil pengujian yang menunjukkan arah pengaruh positif memperlihatkan fakta pada pasar modal Indonesia bahwa kepemilikan institusional yang tinggi dapat menyebabkan mekanisme manajemen laba yang efisien, sehingga kepemilikan institusional yang tinggi juga akan meningkatkan praktik manajemen laba.
Berdasarkan pengujian hipotesis ke-3, peneliti tidak berhasil membuktikan secara empiris pengaruh dari dewan komisaris independen terhadap praktik manajemen laba.
Penelitian ini melengkapi hasil penelitian Pujiastuti (2009) dan Respiningsih (2009). Hasil ini tidak konsisten dengan hasil penelitian oleh Ujiyantho dan Pramuka (2007), Adi (2008), Novrianto (2008), dan Werdhiwiyanti (2008). Pertama, pengangkatan dewan komisaris independen bertujuan hanya untuk melakukan pemenuhan regulasi saja. Kedua, persentase dewan komisaris independen yang menjabat dalam perusahaan sampel rata-rata hanya mencapai 37,10% sehingga kebijakan yang diambil masih didominasi oleh dewan komisaris non independen. Komposisi dewan komisaris perusahaan yang masih didominasi oleh pihak internal perusahaan mengakibatkan pengawasan dari pihak independen masih belum efektif.
Pengawasan yang belum efektif ini mengakibatkan dewan komisaris menjadi tidak independen.
Berdasarkan pengujian hipotesis ke-4, peneliti berhasil membuktikan bahwa komite audit independen berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Hasil ini melengkapi penelitian yang telah dilakukan oleh Adi (2008) dan Prastiti dan Meiranto (2013). Hasil ini tidak dapat menyempurnakan penelitian dari Novrianto (2008). Peraturan tentang komite audit menyatakan bahwa mayoritas dari anggota komite audit harus berasal dari luar perusahaan. Rata-rata dari perusahaan sampel memiliki komite audit independen sebesar 58,19%. Jumlah itu sudah melampaui setengah dari jumlah keseluruhan anggota komite audit. Mayoritas anggota komite audit yang berasal dari luar ini diharapkan mampu untuk menjadi badan pengawas yang independen. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan yang berarti komite audit independen dapat menjadi mekanisme good corporate governance.
Berdasarkan pengujian hipotesis ke-5, peneliti tidak dapat membuktikan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap praktik manajemen laba. Hasil ini konsisten dengan penelitian oleh Gunawan et al. (2015). Hasil ini bertolak belakang dengan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini (2013) dan Agusti dan Pramesti (2009). Penyebab dari hasil yang tidak signifikan diduga karena ukuran perusahaan belum tentu dapat memperkecil kemungkinan terjadinya manajemen laba, karena perusahaan besar lebih banyak memiliki aset dan memungkinkan banyak aset yang tidak dikelola dengan baik sehingga kemungkinan kesalahan dalam mengungkapkan total aset dalam perusahaan tersebut. Keinginan melakukan praktik manajemen laba tidak terdorong karena ukuran perusahaan melainkan karena motivasi-motivasi yang lain. Ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap praktik
manajemen laba. Hal tersebut menunjukkan bahwa segala macam ukuran perusahaan dapat melakukan praktik manajemen laba.
5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah variabel independen yang memiliki pengaruh terhadap variabel praktik manajemen laba hanya variabel kepemilikan institusional dan komite audit independen. Variabel kepemilikan manajerial, dewan komisaris independen, dan ukuran perusahaan tidak memiliki pengaruh terhadap variabel praktik manajemen laba. Pengujian yang dilakukan secara bersama-sama atas variabel independen terhadap variabel dependen menunjukkan bahwa model penelitian ini dapat digunakan untuk melakukan prediksi atau peramalan.
Penelitian ini memiliki keterbatasan koefisien determinasi yang relatif rendah yaitu sebesar 30,7% yang mengindikasikan bahwa variabel-variabel lain di luar penelitian ini memiliki lebih banyak pengaruh terhadap praktik manajemen laba.
Bagi peneliti selanjutnya yang ingin menggunakan topik ini untuk diteliti, maka ada baiknya jika penelitian selanjutnya dapat menambahkan variabel yang dapat memproksikan mekanisme good corporate governance, seperti ukuran dewan komisaris, kepemilikan asing.
Selain itu, penelitian selanjutnya dapat menambahkan faktor-faktor lain seperti pertumbuhan penjualan, profitabilitas, dan umur perusahaan.
Peneliti merasa periode penelitian yang digunakan masih terlalu singkat, yaitu tiga tahun. Alangkah lebih baik jika peneliti selanjutnya menambahkan rentang waktu penelitiannya demi hasil yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Adi, Fensian Bhakti. 2008. Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Praktik Perataan Laba. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
Agusti, Restu dan Pramesti, Tyas. 2011. Pengaruh Asimetri Informasi, Ukuran Perusahaan, dan Kepemilikan Manajerial Terhadap Manajemen Laba. Jurnal Ekonomi. Volume 17 Nomor 1.
Anggraini, Anggi Ratna. 2013. Pengaruh Siklus Hidup dan Ukuran Perusahaan Terhadap Manajemen Laba. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
Astika, Ida Bagus P. 2010. Manajemen Laba dan Motif yang Melandasinya. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis. Volume 5 Nomor 1.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. 2002. Good Corporate Governance.
Jakarta. Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
Barus, Andreani C. dan Sembiring, Yosephine N. 2012. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi Manajemen Laba di Seputar Right Issue. Jurnal Wira Ekonomi Mikroskil.
Volume 2 Nomor 01.
Boediono, Gideon Setyo B. 2005. Kualitas Laba: Studi Pengaruh Mekanisme Corporate Governance dan Dampak Manajemen Laba dengan Menggunakan Analisis Jalur.
Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo.
Efferin, S., Darmadji, Stefanus H., dan Tan, Y. 2012. Metode Penelitian Akuntansi;
Mengungkap Fenomena dengan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate Dengan Program SPSS. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Gunawan, I Ketut, Darmawan, Nyoman Ari Surya dan Purnamawati, I Gusti Ayu. 2015.
Pengaruh Ukuran Perusahaan, Profitabilitas, dan Leverage Terhadap Manajemen Laba
pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI). Journal S1 Ak Universitas Pendidikan Ganesha. Volume 03 Nomor 01.
Komite Nasional Kebijakan Governance. 2006. Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia. Jakarta. Komite Nasional Kebijakan Governance.
Kusumaningtyas, Metta. 2012. Pengaruh Independensi Komite Audit dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba. Prestasi. Volume 9 Nomor 1.
Marpaung, Catherine Octorina dan Latrini, Ni Made Yeni. 2014. Pengaruh Dewan Komisaris Independen, Komite Audit, Kualitas Audit dan Kepemilikan Manajerial Pada Perataan Laba. Jurnal Akuntansi. Volume 7 Nomor 2.
Muliati, Ni Ketut. 2011. Pengaruh Asimetri Informasi dan Ukuran Perusahaan Pada Praktik Manajemen Laba di Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
Tesis. Denpasar: Universitas Udayana.
Novrianto, Ananta Dimaz. 2008. Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance dan Motivasi Manajemen Laba Terhadap Praktik Manajemen Laba. Skripsi. Malang:
Universitas Brawijaya.
Prastiti, Anindyah dan Meiranto, Wahyu. 2013. Pengaruh Karakteristik Dewan Konisaris dan Komite Audit Terhadap Manajemen Laba. Diponegoro Journal of Accounting. Volume 2 Nomor 4.
Pujiastuti, Anggraini. 2009. Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Praktik Manajemen Laba. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
Rachmawati, Andri dan Triatmoko, Hanung. 2007. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Laba dan Nilai Perusahaan. Simposium Nasional Akuntansi X.
Makassar.
Rahmawati, DR. Hj, MSi, Ak. 2012. Teori Akuntansi Keuangan; Dilengkapi dengan Hasil Penelitian Empiris di Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Respiningsih, Wita. 2009. Pengaruh Good Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
Rusli, Iskandar. 2009. Pengaruh Aset dan Manajemen Inventory Terhadap Manajemen Laba.
Jurnal Ilmu Administrasi dan Organisasi Bisnis & Birokrasi. Volume 16 Nomor 3.
Siregar, Sylvia V. N. P. dan Siddharta Utama. 2005. Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management). Simposium Nasional Akuntansi VIII. Solo.
Subramanyam, K. R. dan Wild, John J. 2014. Analisis Laporan Keuangan. Jakarta: Salemba Empat.
Sulvianti, Vivi dan Kurnia, Mahendra Putra. 2013. Implementasi Prinsip Good Corporate Governance (GCG) Pada PT.Pelita Jaya Prima di Tarakan. Jurnal Beraja Niti. Volume 2 Nomor 11.
Sumanto, Bowo dan Kiswanto, Asrori. 2014. Pengaruh Kepemilikan Institusional dan Ukuran Dewan Komisaris Terhadap Manajemen Laba. Accounting Analysis Journal.
Volume 3 Nomor 1.
Sutedi, Adrian. 2012. Good corporate Governance. Jakarta: Sinar Grafika.
Werdhiwiyanti, Swesti. 2008. Pengaruh Mekanisme Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba. Skripsi. Malang: Universitas Brawijaya.
Wikipedia. Tata Kelola Perusahaan (Online).
(https://id.wikipedia.org/wiki/Tata_kelola_perusahaan, diakses pada tanggal 21 Juni 2015)
Ujiyantho, Muh. Arief dan Pramuka, Bambang Agus. 2007. Mekanisme Corporate Governance, Manajemen Laba dan Kinerja Keuangan. Simposium Nasional Akuntansi X. Makassar.