E-ISSN. 2623-1271 Volume 6, Nomor 1, Juni 2023 Halaman: 19 – 28
Pengaruh Variasi Suhu Dan Waktu Sintering Terhadap Karakteristik Tulang Ikan Tuna Menggunakan Sintesis
Coprecipitation
Ba’id Fahrun Nisa’*1, Djoko Kustono2, Wahono3
1,2,3Departemen Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5, Malang, 65145, Indonesia
e-mail: ba’[email protected], [email protected]2, [email protected]3
Abstrak: Pemanfaatan limbah berfungsi menghemat sumber daya alam. Limbah ikan tuna dapat digunakan sebagai material komposit. Pada pembuatan komposit diperlukan proses sintering. Proses sintering yang sering digunakan ialah sintering menggunakan sintesis coprecipitation karena biaya yang murah dan proses yang sederhana. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh variasi suhu dan waktu sintering terhadap karakteristik (fasa, bentuk butir, dan ukuran butir) tulang ikan tuna. Rancangan penelitian yaitu kuantitatif dengan pendekatan experimental. Berdasarkan penelitian dan pengujian yang dilakukan, fasa yang baik, bentuk butir yang paling homogen, dan ukuran butir yang tergolong nanopartikel dan homogen adalah sintering pada suhu 900oC selama 180 menit.
Kata kunci:.Suhu, Waktu, Sintering, Fasa, Bentuk Butir, Ukuran Butir, Tulang Ikan Tuna
Abstract: The utilization of waste serves to save natural resources. Tuna fish waste can be used as a composite material. The manufacture of composites required a sintering process. The sintering process that is often used is sintering using coprecipitation synthesis because of its low cost and simple process. This study aims to determine the effect of variations in temperature and sintering time on the characteristics (phase, grain shape, and grain size) of tuna fish bones. The research design is quantitative with a experimental approach.
Based on the research and tests, the good phase, grain shape was most homogeneous, and grain size of nanoparticles was at sintering 900℃ for 180 minutes.
Keywords—Temperature, Time, Sintering, Phase, Grain Shape, Grain Size, Tuna Fish Bone
Di era seperti sekarang ini, pemanfaatan limbah sangat melimpah untuk diterapkan. Penerapan pemanfaatan limbah berfungsi untuk menghemat sumber daya alam. Pemanfaatan limbah organik dapat menghemat sumber daya alam dan juga untuk mendapatkan produk yang berguna, dapat diperbarui, serta produk yang dapat meningkatkan nilai jual yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Begitu juga pemanfaatan limbah dalam industri perikanan. Banyak industri perikanan yang belum memanfaatkan limbah tulang ikan yang mengandung banyak kalsium dengan sempurna. Pemanfaatan limbah sisa olahan ikan tersebut perlu dikembangkan sehingga tidak menjadikan sumber pencemaran lingkungan (Susanto, Ridho, & Sulistiono, 2019).
Tulang ikan tuna mengandung beberapa unsur yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai material bahan. Tulang ikan tuna memiliki kandungan mineral 60 sampai dengan 70% dengan komponen penyusun berupa 30% protein kolagen dan sebagian besar bioapatit, termasuk hidroksiapatit, carbonated apatite atau dahlite (Riyanto, Maddu & Rahman, 2013 dalam Mutmainnah, Chadijah, & Rustiah, 2017). Terdapat contoh dari usaha yang bisa dilakukan guna memanfaatkan limbah dari tulang ikan tuna yaitu dengan cara mengolah hidroksiapatit pada tulang ikan tuna. Serbuk hidroksiapatit ialah biomaterial yang didefinisikan dengan ion kalsium yang terkandung dalam ikatan yang dapat dicampur dan dikombinasikan dengan hidrogen, orthophosphates, hidroksida atau pyrophosphates (Shah, 2008).
Material komposit adalah material yang sedang banyak dikembangkan saat ini. Pengembangan material komposit juga diiringi dengan pengembangan biomaterial komposit. Hal ini dilakukan karena biomaterial merupakan bahan yang ramah lingkungan serta komposit memiliki sifat material yang baik. Komposit merupakan material baru berupa paduan dari dua
struktur mikro dan sifat mekanik yang sama struktur makronya tetapi berbeda struktur mikronya. Dari perpaduan sifat material- material penyusun komposit tersebut maka dapat dilihat sifat komposit itu sendiri (Safrudin & Widyastuti, 2014). Komposit memiliki sifat yang kompleks dan kuat sehingga baik digunakan untuk material bahan.
Biomaterial tulang ikan tuna dapat dimanfaatkan sebagai penguat material komposit dan terdistribusikan secara merata dalam matriksnya. Hal ini karena serbuk tulang ikan tuna memiliki kandungan terbesar kalsium yang dapat dimanfaatkan sebagai penguat dalam industri polimer karena harganya relatif murah, tidak beracun, dan memiliki titik leleh yang tinggi.
Kandungan kalsium yang terdapat pada tulang ikan berupa kalsium karbonat (CaCO3) dapat dimanfaatkan untuk material pengganti kalsium karbonat komersil yang baik (Perdana, Hadi, Gusti, & Prastiawa, 2018). Penguat (reinforcing) yang dimaksud dapat berupa serat maupun partikel, yang berfungsi sebagai penguat dari matriks. Partikel disini dapat berupa serbuk hasil dari proses sintering. Komposit dengan penguat partikel ini disebut Particulate Composite.
Dalam pengolahan tulang ikan menjadi material komposit, diperlukan proses sintering. Sintering merupakan proses metalurgi serbuk yang berfungsi menyempurnakan susunan katalis. Sintering adalah proses pemanasan material serbuk nanomaterial yang telah mengalami proses sintesis hingga permukaan kering dan selanjutnya dilakukan proses crushing.
Pemanasan pada sintering dilakukan dibawah titik lebur material. Kalsium karbonat (CaCO3) terdiri atas kandungan Ca sebanyak 40,04%, kandungan C sebanyak 12%, kandungan O2 sebanyak 47,96%, kandungan CaO sebanyak 56,03%, dan kandungan CO2 sebanyak 43,97% dengan berat molekul 100,09 gr/mol, yang memiliki massa jenis zat 2,8 gr/cm3, serta titik leleleh sebesar 825oC (Haryona, Djusmaini, & Ramli, 2015). Pada saat serbuk padat mengalami sintering, material mengalami perubahan kekerasan dan kekuatan patahan, kekuatan dan pengaruh elastisitas, konduktivitas listrik dan termal, ukuran dan bentuk partikel, ukuran dan bentuk pori, permeabilitas gas dan cairan, struktur kristal, serta kandungan kimianya. (Daulay, 2009 dalam Rifai & Hartono, 2016).
Sebelum dilakukannya proses sintering, tulang ikan tuna perlu dilakukan sintesis untuk menghomogenkan partikel yang terkandung dan juga mengubah ukuran partikel menjadi nanopartikel. Metode sintesis yang paling banyak digunakan adalah sintesis coprecipitation. Hal ini dikarenakan sintesis ini sederhana dengan biaya operasional yang murah. Nanopartikel yang dihasilkan dari metode coprecipitation adalah polidispersif dengan morfologi berbentuk bulat (Permana et al., 2017).
Dalam melakukannya, sintesis ini merupakan proses pengendapan. Sintesis coprecipitiation dapat dilakukan dengan membentuk endapan yang dikalsinasi atau dipanaskan pada suhu tertentu yang menghasilkan bubuk sebagai produk akhir (Ningsih, 2016). Cara kerja yang digunakan oleh metode sintesis coprecipitation ini yaitu mengendapkan garam logam dengan menggunakan basa karbonat atau hidroksida sebagai pengendap yang selanjutnya dirubah dengan cara pemanasan kedalam bentuk oksidanya (Zainuri, 2013 dalam Nurjanah, 2018).
Setelah melalui proses sintering, perlu adanya mengetahui karakteristik yang terdapat pada material. Karakterisasi pada suatu material digunakan untuk mengetahui fasa dan morfologinya. Perlu adanya pengujian apakah terdapat dekomposisi hidroksiapatit sehingga menghasilkan fasa baru atau hanya fasa hidroksiapatit. Untuk mengetahui sifat struktur yang akan diuji menggunakan XRD (X Ray Diffraction) yaitu untuk melihat fasa yang terdapat pada material. Pengujian difraktometeri serbuk dapat dimanfaatkan untuk mengetahui difraksi pada sampel yang berbentuk polikristal. Lalu untuk analisis pada struktur material pada biomaterial dapat menggunakan alat yang disebut difraktometer (Munasir, Triwikantoro, Zainuri, & Darminto, 2012). Sedangkan uji SEM (Scanning Electron Microscope) untuk mengetahui bentuk dan ukuran struktur material. SEM (Scanning Electron Microscope) adalah salah satu jenis mikroskop elektron yang dinilai dapat memberikan pembesaran tinggi dari bentuk pada permukaan sampel. Pengujian struktur material oleh SEM (Scanning Electron Microscope) menggunakan elektron sebagai pengganti gelombang cahaya sehingga gambar yang dihasilkan memiliki karakteristik secara kualitatif dalam dua dimensi (Cahyana & Marzuki, 2014). Tulang ikan tuna diperkirakan dapat digunakan sebagai bahan komposit yang baik setelah dilakukan sintering. Berangkat dari pertimbangan tersebut, maka peneliti berinisiatif untuk melakukan penelitian pada material tulang ikan tuna dengan judul “Pengaruh Variasi Suhu dan Waktu Sintering Terhadap Karakteristik Tulang Ikan Tuna Menggunakan Sintesis Coprecipitation”.
METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kuantitatif untuk mengetahui perbedaan karakteristik tulang ikan tuna akibat variasi suhu dan waktu sintering menggunakan sintesis coprecipitation. Model pendekatan kuantitatif yang digunakan adalah pre-experimental dengan jenis one-shot case study. Pada penelitian ini analisis yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dan kualitatif.
Analisis deskriptif kuantitatif pada penelitian ini digunakan untuk menganalisis hasil transformasi fasa hidroksiapit dan ukuran butir. Sementara analisis kualitatif yang digunakan dalam penelitian ialah untuk menganalisis hasil penelitian berupa bentuk butir yang tidak dapat dianalisis menggunakan deskriptif kuantitatif.
E-ISSN. 2623-1271 Volume 6, Nomor 1, Juni 2023 Halaman: 19 – 28 Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kimia Teknik, Jurusan Teknik Kimia, Institut Teknologi Nasional Malang.
Pengujian material yang dilakukan berupa pengujian SEM (Scanning Electrone Microscope) dan XRD (X-Ray Diffaction) dilakukukan di Laboratorium Sentral Mineral dan Material Maju Universitas Negeri Malang. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Rancangan Penelitian Jenis Pengujian
(Y)
Spesimen Uji
Sintering (X)
Variasi Waktu Variasi Suhu
500oC 700oC 900oC Transformasi
Fasa
1 120 menit A11 A12 A13
2 180 menit B11 B12 B13
3 240 menit C11 C12 C13
Struktur Morfologi
1 120 menit A21 A22 A23
2 180 menit B21 B22 B23
3 240 menit C21 C22 C23
Keterangan:
A11 = Transformasi fasa pada suhu sintering 500oC dan waktu tahan 120 menit A12 = Transformasi fasa pada suhu sintering 700oC dan waktu tahan 120 menit A13 = Transformasi fasa pada suhu sintering 900oC dan waktu tahan 120 menit B11 = Transformasi fasa pada suhu sintering 500oC dan waktu tahan 180 menit B12 = Transformasi fasa pada suhu sintering 700oC dan waktu tahan 180 menit B13 = Transformasi fasa pada suhu sintering 900oC dan waktu tahan 180 menit C11 = Transformasi fasa pada suhu sintering 500oC dan waktu tahan 240 menit C12 = Transformasi fasa pada suhu sintering 700oC dan waktu tahan 240 menit C13 = Transformasi fasa pada suhu sintering 900oC dan waktu tahan 240 menit A21 = Struktur morfologi pada suhu sintering 500oC dan waktu tahan 120 menit A22 = Struktur morfologi pada suhu sintering 700oC dan waktu tahan 120 menit A23 = Struktur morfologi pada suhu sintering 900oC dan waktu tahan 120 menit B21 = Struktur morfologi pada suhu sintering 500oC dan waktu tahan 180 menit B22 = Struktur morfologi pada suhu sintering 700oC dan waktu tahan 180 menit B23 = Struktur morfologi pada suhu sintering 900oC dan waktu tahan 180 menit C21 = Struktur morfologi pada suhu sintering 500oC dan waktu tahan 240 menit C22 = Struktur morfologi pada suhu sintering 700oC dan waktu tahan 240 menit C23 = Struktur morfologi pada suhu sintering 900oC dan waktu tahan 240 menit
Pada penelitian ini, dua kelompok diberi perlakuan (treatment) yang selanjutnya hasilnya dilakukan analisis. Dua kelompok perlakuan tersebut yaitu suhu dan waktu sintering, sedangkan hasil yang dimaksud adalah karakteristik. Perlakuan tersebut ditujukan sebagai variable bebas, lalu hasil yang dilakukan analisis sebagai variable terikat. Variabel kontrol yang digunakan ialah waktu dan kecepatan pengadukan sintesis coprecipitation, sumber fosfor H3PO4, konsentrasi larutan, suhu dan waktu kalsinasi, ukuran serbuk, dan specimen uji tulang ikan tuna.
Tulang ikan tuna diperoleh dari pedagang ikan Pantai Prigi, Desa Tasimadu, Kecamatan Watulimo, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, Indonesia. Berat tulang ikan tuna yang dibutuhkan untuk penelitian ini adalah 300 gram dalam keadaan kering. Tulang ikan tuna dikeringkan hingga bebas air maupun zat pengotor lain dan dihaluskan lalu disaring.
Pengujian transformasi fasa menggunakan X-Ray Diffraction (XRD), dibutuhkan sampel serbuk dengan ukuran minimal 100 mesh dalam jumlah 1 gram. Pengujian struktur morfologi manggunakan Scanning Electron Microscope (SEM), dibutuhkan sampel serbuk bebas air dan minyak dalam jumlah minimal 0,5 gram.
Instrumen penelitian ini berupa alat dan bahan yang digunakan. Adapun alat yang digunakan antara lain furnace, oven, magnetic stirrer, blender, ayakan 100 mesh, gelas kimia, gelas ukur, gelas Erlenmeyer, pipet tetes, pH meter, lumping dan alu, timbangan digital, corong penyaring, desikator, X-Ray Diffraction (Merk: PANalytical, Type: X’Pert PRO), Scanning Electron Microscope (Merk: FEI, Type: Inspect-S50). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain yaitu serbuk tulang ikan tuna, H3PO4 0,6 M, NaOH 1M, aquades, kertas saring Whatman No. 42, silica gel.
penelitian menggunakan tipe participant observation. Dokumentasi yang diambil peneliti ialah foto kegiatan penelitian dan data hasil pengujian guna membuktikan penelitian dan sebagai bukti sebab bersifat stabil, tidak reaktif, alamiah, sehingga mudah ditemukan terhadap teknik kajian isi. Prosedur pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian dilakukan dengan cara mempertimbangkan factor suhu dan waktu sintering serta dengan melihat karakteristik hasil sintering. Prosedur kerja yang dilakukan untuk melakukan proses sintering tulang ikan tuna yaitu: a) Kalsinasi Tulang Ikan Tuna, b) Sintesis CaO menggunakan Metode Coprecipitation, c) Sintering Hidroksiapatit dengan Variasi Suhu dan Waktu.
Berbagai data yang telah diperoleh selanjutnya dilakukan analisis data. Teknik analisis data pada penelitian kuantitatif menggunakan analisis statistik deskriptif. Teknik analisis data yang digunakan pada penelitian kualitataif adalah kualitatif induktif, dimana peneliti melakukan pengamatan, melakukan kategorisasi terhadap informasi, menjelaskan kategori, menjelaskan hubungan kategorisasi, menarik kesimpulan, dan menjelaskan teori (Moleong, Lexy J, 2006:248 dalam Ninik Supriyati, 2015).
HASIL
Data yang terdapat pada penelitian ini berupa grafik, angka, dan gambar yang diperoleh dari hasil uji X-Ray Diffraction (XRD) dan Scanning Electron Microscope (SEM). Pengamatan ini dilakukan untuk melihat perbedaan fasa hidroksiapatit, bentuk, dan ukuran butir tulang ikan tuna yang telah disintering dan disintesis menggunakan metode coprecipitation dengan variasi suhu sintering 500oC, 700oC, dan 900oC serta variasi waktu sintering 120 menit, 180 menit, dan 240 menit.
Deskripsi Identifikasi Fasa Tulang Ikan Tuna
Dari hasil pengujian sampel serbuk tulang ikan tuna yang disintering dengan suhu 500oC, 700 oC, 900oC dan waktu 120, 180, 240 menit tersebut dapat dilihat bahwa pada penelitian ini yang diamati adalah fasa tunggal yaitu fasa hidroksiapatit yang ditunjukkan pada puncak tertinggi. Puncak tertinggi yang diamati adalah puncak yang memiliki intensitas 100%. Tidak ada puncak lain yang diamati dalam pengujian XRD ini. Adapun hasil identifikasi fasa tulang ikan tuna pada penelitian yang telah dilaksanakan dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini.
Gambar `1. Grafik Identifikasi Fasa Tulang Ikan Tuna
Gambar 2. Tinggi Puncak Serbuk Tulang Ikan Tuna 71,38 93,18 74,8
114,14 128,61
173,29 171,83203,27 170,42
0 50 100 150 200 250
500°C 2 jam
500°C 3 jam
500°C 4 jam
700°C 2 jam
700°C 3 jam
700°C 4 jam
900°C 2 jam
900°C 3 jam
900°C 4 jam Tinggi Puncak
E-ISSN. 2623-1271 Volume 6, Nomor 1, Juni 2023 Halaman: 19 – 28 Dari semua sampel yang diuji menggunakan XRD ini, puncak tertinggi didapat dari perlakuan sintering dengan suhu 900oC selama 180 menit yaitu setinggi 203,27 count. Sementara intensitas puncak terendah didapat dari perlakuan sintering dengan suhu 500oC selama 120 menit yaitu sebesar 71,38 count. Semua puncak tertinggi fasa yang terbentuk memiliki intensitas 100% dan merupakan fasa tunggal hidroksiapatit.
Deskripsi Identifikasi Bentuk Butir Serbuk Tulang Ikan Tuna
Identifikasi bentuk butir pada material serbuk tulang ikan tuna ini menggunakan SEM. Data yang diperoleh dari pengujian ini berupa gambar. Hasil yang diperoleh dari pengujian ini adalah untuk mengetahui bentuk butir serbuk tulang ikan tuna yang telah disinterring dengan variasi suhu dan waktu yang telah ditentukan. Pada gambar 3 berikut akan dipaparkan hasil pengujian SEM pada material serbuk tulang ikan tuna pada perbesaran 5000x.
(a) (b)
(c)
(d) (e) (f)
(g) (h) (i)
Gambar 3. Bentuk Butir Serbuk Tulang Ikan Tuna
Pada Gambar 3 di atas menunjukkan berbagai bentuk butir serbuk tulang ikan tuna yang disintering menggunakan variasi suhu dan waktu. Gambar 3(a) menunjukkan bentuk butir tulang ikan tuna dengan perlakuan sintering dengan suhu 500oC selama 120 menit, Gambar 3(b) menunjukkan bentuk butir tulang ikan tuna dengan perlakuan sintering dengan suhu 500oC selama 180 menit, Gambar 3(c) menunjukkan bentuk butir tulang ikan tuna dengan perlakuan sintering dengan suhu 500oC selama 240 menit, Gambar 3(d) menunjukkan bentuk butir tulang ikan tuna dengan perlakuan sintering dengan suhu 700oC selama 120 menit, Gambar 3(e) menunjukkan bentuk butir tulang ikan tuna dengan perlakuan sintering dengan suhu 700oC selama 180 menit, Gambar 3(f) menunjukkan bentuk butir tulang ikan tuna dengan perlakuan sintering dengan suhu 700oC selama 240 menit, Gambar 3(g) menunjukkan bentuk butir tulang ikan tuna dengan perlakuan sintering dengan suhu 900oC selama 120 menit, Gambar 3(h) menunjukkan bentuk butir tulang ikan tuna dengan perlakuan sintering dengan suhu 900oC selama 180 menit, Gambar 3(i) menunjukkan bentuk butir tulang ikan tuna dengan perlakuan sintering dengan suhu 900oC selama 240 menit.
Dari 9 sampel diatas, maka dapat dilihat bahwa serbuk tulang ikan tuna mengalami penggumpalan pada semua sampel dan fasa utama yang terbentuk dilihat dari gambar tersebut adalah fasa hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2). Perlakuan menggunakan sintering suhu 500o dengan waktu tahan 120 menit dan 240 menit memiliki bentuk seperti bongkahan yang tidak
perlakuan sintering suhu 700o dengan waktu tahan 120 menit, 180 menit, dan 240 menit, serta perlakuan sintering suhu 900o dengan waktu tahan 120 menit, 180 menit, dan 240 menit memiliki permukaan yang lebih halus berbentuk persegi dan sedikit homogen.
Deskripsi Identifikasi Ukuran Butir Serbuk Tulang Ikan Tuna
Identifikasi ukuran butir pada material serbuk tulang ikan tuna ini menggunakan SEM. Data yang diperoleh dari pengujian ini berupa gambar dan angka. Hasil yang diperoleh dari pengujian ini adalah untuk mengetahui ukuran butir serbuk tulang ikan tuna yang telah disintering dengan variasi suhu dan waktu yang telah ditentukan.
Dari hasil pengujian SEM pada butir serbuk tulang ikan tuna yang disintering dengan suhu 900oC dalam waktu 240 menit tersebut terlihat gumpalan di semua perbesaran yang digunakan. Dari hasil penelitian ukuran butir serbuk tulang ikan tuna tersebut diambil beberapa sampel ukuran untuk melihat rata-rata ukuran disetiap perbedaan suhu dan waktu sintering.
Berikut adalah hasil perbandingan rata-rata ukuran butir serbuk tulang ikan tuna yang telah dianalisis menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM).
Gambar 4. Diagram Ukuran Butir Serbuk Tulang Ikan Tuna
Berdasarkan Diagram 4 di atas, diperoleh rata-rata ukuran butir serbuk hidroksiapatit tulang ikan tuna pada suhu 500oC, 700oC, dan 900oC selama 120 menit, 180 menit, dan 240 menit. Grafik ukuran rata-rata butir menunjukkan suhu 500oC, 700oC, dan 900oC selama 120 terjadi penurunan ukuran pada suhu 700oC dan mengalami kenaikan pada suhu 900oC. Lalu ukuran rata-rata butir pada suhu 500oC, 700oC, dan 900oC selama 180 menit mengalami kenaikan ukuran butir pada suhu 700oC dan mengalami penurunan pada suhu 900oC. sementara ukuran rata-rata butir pada suhu 500oC, 700oC, dan 900oC selama 240 menit mengalami kenaikan ukuran butir pada suhu 700oC dan mengalami penurunan pada suhu 900oC.
PEMBAHASAN
Perbedaan Fasa Serbuk Tulang Ikan Tuna
Identifikasi fasa hidroksiapatit pada serbuk tulang ikan tuna ini menggunakan X-Ray Diffraction (XRD). Identifikasi ini dilakukan untuk mengetahui puncak tertinggi disetiap perbedaan pengaruh perlakuan yang diberikan. Berikut adalah perbandingan hasil uji fasa serbuk tulang ikan tuna.
Tabel 2. Hasil Perbandingan Pengujian Fasa Serbuk Tulang Ikan Tuna Suhu Waktu Titik Puncak
[°2Th.]
Ketinggian [cts]
Titik Pelebaran [°2Th.]
Jarak Antar Atom [Å]
Intensitas [%]
500℃
120 menit 31.9371 71.38 0.5510 2.80229 100.00
180 menit 31.8035 93.18 0.3149 2.81376 100.00 240 menit 31.8463 74.80 0.6298 2.81007 100.00 700℃
120 menit 31.2986 114.14 0.2362 2.85798 100.00
180 menit 31.8092 128.61 0.1968 2.81327 100.00
240 menit 31.8301 173.29 0.0984 2.81147 100.00 900℃
120 menit 31.2364 171.83 0.1574 2.86353 100.00
180 menit 31.2147 203.27 0.1574 2.86548 100.00
240 menit 31.2561 170.42 0.1378 2.86177 100.00
0 1000 2000 3000 4000 5000
500°C 700°C 900°C
120 menit 180 menit 240 menit
E-ISSN. 2623-1271 Volume 6, Nomor 1, Juni 2023 Halaman: 19 – 28 Dari Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan difraksi yang tidak terlalu signifikan pada serbuk tulang ikan tuna yang disintering menggunakan variasi suhu dan waktu. Puncak difraksi tertinggi dengan intensitas 100% terletak pada posisi o2Th sebesar 31,9371o, 31,8035o, 31.8463o, 31.2986o, 31.8092o, 31.8301o, 31.2364o, 31.2147o, dan 31.2561o. Hasil difraktogram yang diperoleh pada penelitian ini dibandingkan dengan standar ICSD ( Inorganic Crystal Structure Database) No. 01-074-9780 bahwa terdapat senyawa hidroksiapatit yang terbentuk (Anggresani, Afrina, Hadriyati, & Sanuddin, 2020).
Hal itu juga diperkuat dengan penelitian yang dilakukan yang dilakukan oleh Adrian, Yelmida, & Zultiniar (2017), bahwa hasil difraktogram menunjukkan serapan pada sudut 2θ yang mirip dengan pola difraksi sinar-X hidroksiapatit standar dari data JCPDS 01-086-0740 (Joint Committee on Powder Diffraction Standards) pada sudut 2θ: 31,9o dan 32,2o.
Berdasarkan Tabel 2 di atas, pola difraksi hidroksiapatit yang dihasilkan menempati posisi o2Th tertinggi masing- masing memiliki intensitas puncak 71.38, 93.18, 74.80, 114.14, 128.61, 173.29, 171.83, 203.27, dan 170.42 counts. Pada seluruh sampel tidak menunjukkan puncak asing yang terbentuk. Puncak tertinggi yang terbentuk menunjukkan adanya fasa tunggal pada sampel. Hal ini membuktikan bahwa bahan dasar telah mulai berdifusi dengan sesamanya dan bereaksi sehingga membentuk suatu senyawa baru yaitu hidroksiapatit (Mardiyanto & Syahfandi, 2018). Namun, terdapat puncak-puncak kecil yang masih terdapat di dalam sampel. Puncak ini mengindikasikan adanya fasa pengotor. Fasa pengotor dapat diindikasikan melalui puncak-puncak kecil yang masih ada di dalam sampel (Suud, 2018). Pengotor yang dimaksud adalah bahan-bahan lain pembentuk fasa hidroksiapatit yang belum membentuk hidroksiapatit dengan sempurna. Bahan dasar ini dapat berupa protein yang masih menempel pada tulang ikan, dan fasa CaO yang belum membentuk hidroksiapatit dengan sempurna. Adanya puncak kecil ini dapat berpengaruh pada kandungan senyawa yang terdapat di dalam sampel. Fasa pengotor yang berbentuk heksagonal akan memengaruhi kemurnian sampel (Hanafi, 2020). Hal ini berarti akan berpengaruh juga terhadap pembentukan fasa hidroksiapatit.
Perlakuan yang memiliki intensitas tertinggi (203.27) pada nilai o2Th 31.2174o dimiliki oleh fasa yang diberi perlakuan sintering dengan suhu 900oC dengan waktu tahan selama 180 menit. Hal ini membuktikan bahwa pada perlakuan sintering ini, fasa hidroksiapatit yang terbentuk lebih sempurna dibandingkan dengan perlakuan sintering yang lain. Penambahan suhu dan waktu sintering memang memengaruhi ketinggian intensitas puncak fasa yang terbentuk, tetapi terdapat faktor luar yaitu pengotor yang dapat memengaruhi kemurnian sampel yang menjadikan perlakuan pada suhu tertinggi dan waktu terlama yaitu pada suhu 900oC dan waktu tahan 240 menit belum memiliki intensitas puncak tertinggi. Sehingga pada perlakuan sintering pada suhu 900oC dan waktu tahan 180 menit bahan dasar paling banyak yang terbentuk menjadi senyawa hidroksiapatit yang diindikasikan dengan adanya intensitas puncak tertinggi yang ada di dalam sampel.
Perbedaan Bentuk Butir Serbuk Tulang Ikan Tuna
Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, dapat dilihat bahwa serbuk tulang ikan tuna yang diberikan perlakuan sintering dengan variasi suhu dan waktu yang berbeda membentuk aglomerasi atau penggumpalan. Hal ini selaras dengan pernyataan Adrian et al. (2017), bahwa hasil karakterisasi cangkang telur ayam mengandung hidroksiapatit yang diamati menggunakan SEM berbentuk aglomerat atau penggumpalan. Berikut adalah tabel perbedaan bentuk butir serbuk tulang ikan tuna yang dilakukan dengan variasi suhu dan waktu sintering.
Tabel 3. Perbedaan Bentuk Butir Serbuk Tulang Ikan Tuna
500oC 120 menit 500oC 180 menit 500oC 240 menit
• Aglomerasi
• Permukaan kasar
• Pori sedikit
• Batas butir kecil
• Berbentuk bongkahan
• Aglomerasi
• Permukaan halus
• Pori banyak
• Batas butir besar
• Bentuk belum jelas
• Aglomerasi
• Permukaan kasar
• Pori sedikit
• Batas butir kecil
• Berbentuk bongkahan 700oC 120 menit 700oC 180 menit 700oC 240 menit
• Aglomerasi
• Permukaan halus
• Pori sedikit
• Batas butir kecil
• Bentuk belum jelas
• Aglomerasi
• Permukaan halus
• Pori banyak
• Batas butir besar
• Bentuk lebih jelas
•
• Aglomerasi
• Permukaan halus
• Pori sedikit
• Batas butir kecil
• Bentuk belum jelas
• Aglomerasi
• Permukaan halus
• Pori sedikit
• Batas butir kecil
• Bentuk lebih jelas
• Aglomerasi
• Permukaan halus
• Pori sedikit
• Batas butir kecil
• Bentuk lebih jelas dan lebih
homogen
• Aglomerasi
• Permukaan halus
• Pori sedikit
• Batas butir kecil
• Bentuk lebih jelas
Penggumpalan pada hasil pengujian sampel ini dikarenakan masih adanya fasa CaO yang belum berubah menjadi hidroksiapatit yang sempurna (Wiana Puspita & Edi Cahyaningrum, 2017). Hasil pengujian SEM pada seluruh sampel belum adanya keseragaman bentuk dan ukuran butir. Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Hakim (2018) disitasi dari Rahmayuni zein et al. (2020) bahwa ketidakseragaman ini dipengaruhi oleh penumpukan zat lain. Zat lain yang dimaksud adalah zat awal pembentuk hidroksiapatit dan juga zat pengotor lain yang terdapat di dalam sampel.
Pada suhu 900oC memiliki pori yang lebih sedikit dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Pada suhu ini semakin lama waktu tahan maka terjadi penurunan kerapatan, sehingga pori yang dihasilkan lebih sedikit. Penurunan kerapatan terjadi dikarenakan butir yang mendekati ukuran nanometer memiliki luas permukaan yang besar memungkinkan meningkatnya volume (Kurniawan, Nikmatin, & Maddu, 2012). Namun, pada waktu tahan tertinggi apabila dilihat dari bentuk butirnya belum mendekati kehomogenan bentuk bentuk butir. Hal ini dikarenakan adanya fasa pengotor yang terbentuk sehingga memengaruhi kehomogenan bentuk butir. Bentuk butir yang mendekati homogen diperoleh dari perlakuan sintering menggunakan suhu 900oC dengan waktu tahan 180 menit yang memiliki bentuk mendekati butiran bulat dan hanya dipisahkan oleh sedikit pori.
Butiran-butiran ini terdistribusi dengan merata serta diantara butiran-butiran saling bersentuhan sehingga menghasilkan bentuk yang lebih homogen (Adi Puspa & Asmi, 2014). Sehingga apabila dilihat dari bentuk butir setiap sampel, maka sampel dengan perlakuan sintering 900oC dengan waktu tahan 180 menit adalah material yang paling baik untuk dijadikan bahan penguat komposit.
Perbedaan Ukuran Butir Serbuk Tulang Ikan Tuna
Identifikasi ukuran butir serbuk tulang ikan tuna ini dilakukan menggunakan Scanning Electrone Microscope (SEM).
Identifikasi ukuran butir ini dilakukan dengan membandingkan ukuran butir serbuk tulang ikan tuna yang diberikan perbedaan perlakuan dalam penentuan suhu dan waktu sintering. Berikut merupakan pembahasan hasil uji SEM dari material serbuk tulang ikan tuna yang disintering dengan variasi suhu 500oC, 700oC, dan 900oC serta variasi waktu 120 menit, 180 menit, dan 240 menit.
Tabel 4. Rerata dan Standar Deviasi Ukuran Butir Serbuk Tulang Ikan Tuna Data Ukuran Butir (nm)
𝑿̅ & 𝑺𝑫 Waktu Tahan Suhu Sintering
500oC 700oC 900oC
𝑿̅
120 menit 3847,75 78,9 219,4
SD 683,1 27,1 85,6
𝑿̅
180 menit 65,4 567,4 298
SD 12,8 124,9 27,1
𝑿̅
240 menit 926,4 193,6 325
SD 191,2 102 79,3
Dapat dilihat dari Tabel 4 di atas terdapat perbedaan rerata ukuran butir serbuk tulang ikan tuna pada setiap variasi suhu dan waktu sintering. Perbedaan ukuran butir ini berkaitan erat dengan perlakuan panas pada material atau sintering.
Semakin tinggi suhu sintering maka partikel-partikel akan lebih memadat dan terjadi pertumbuhan butir (Nurhayati, Syarif, &
Setiawan, 2012). Hal ini menyebabkan ukuran butir semakin besar sehingga pori-pori yang dihasilkan semakin kecil.
Pada Tabel 4 tersebut juga terdapat standar deviasi atau penyimpangan data terhadap rata-rata. Semakin rendah nilai standar deviasinya berarti banyak data yang mendekati rata-rata sehingga dapat dikatakan data semakin homogen. Standar deviasi terkecil dimiliki oleh perlakuan sintering pada suhu 500oC dengan waktu tahan 180 menit yang memiliki nilai standar deviasi sebesar 12,8. Namun, pada perlakuan ini ukuran butir yang dihasilkan terlalu kecil yaitu sebesar 65,4 sehingga belum dapat dikatakan sebagai nanopartikel. Pendapat ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani, et al (2012)
E-ISSN. 2623-1271 Volume 6, Nomor 1, Juni 2023 Halaman: 19 – 28 dengan menggunakan hidroksiapatit dari tulang ikan didapatkan ukuran partikel kisaran 100 nm hingga 1000 nm yang disebut dengan nanopartikel (Rahmayuni zein et al., 2020). Oleh karena itu, ukuran yang lebih homogen ditunjukkan dengan nilai standar deviasi yang kecil serta rerata ukuran butir yang dapat dikatakan sebagai nanopartikel dimiliki oleh perlakuan sintering pada suhu 900oC dengan waktu tahan 180 menit yang memiliki rerata ukuran butir sebesar 298 nm dengan nilai standar deviasi sebesar 27,1.
Pada semua sampel masih menunjukkan ketidak homogenan ukuran butir. Menurut Hakim (2018) disitasi dari Rahmayuni zein et al. (2020) bahwa tidak homogenan ini dipengaruhi oleh penumpukan zat lain. Zat lain tersebut adalah zat awal pembentukan hidroksiapatit dan juga zat pengotor yang ada di dalam sampel. Hal itulah yang membuat ukuran semua sampel serbuk tulang ikan tuna tidak dapat homogen. Namun, dari nilai standar deviasi dan rerata yang dihasilkan dapat dilihat bahwa ukuran butir yang paling homogen terdapat pada perlakuan sintering suhu 900oC dengan waktu tahan 180 menit.
PENUTUP
Berdasarkan hasil dalam penelitian dan pengujian yang telah dilakukan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan yaitu sebagai berikut:
Hasil pengujian fasa hidroksiapatit tulang ikan tuna pada semua sampel terdapat fasa hidroksiapatit yang terbentuk.
Hal ini sesuai dengan data dari standar ICSD ( Inorganic Crystal Structure Database) No. 01-074-9780 dan diperkuat dengan data standar JCPDS (Joint Committee on Powder Diffraction Standards) No. 01-086-0740. Puncak tertinggi terdapat pada perlakuan sintering 900oC selama 180 menit dengan ketinggian 203,27 counts, yang membuktikan bahwa pada perlakuan sintering tersebut hidroksiapatit yang terbentuk lebih sempurna dibandingkan dengan perlakuan sintering yang lain dikarenakan pada perlakuan sintering yang lain masih terdapat banyak fasa pengotor yang memengaruhi kemurnian fasa hidroksiapatit yang terbentuk. Fasa pengotor tersebut dihasilkan dari fasa awal pembentuk hidroksiapatit berupa CaO maupun protein yang masih terdapat pada sampel.
Hasil pengujian bentuk butir hidroksiapatit tulang ikan tuna pada semua sampel membentuk aglomerasi atau penggumpalan serta memiliki ketidakseragaman bentuk butir. Penggumpalan dan ketidakseragaman ini terjadi karena adanya senyawa zat pembentuk yang belum membentuk hidroksiapatit secara sempurna ketika dilakukan proses sintering. Sementara perlakuan sintering yang menghasilkan bentuk butir paling homogen, permukaan butir halus, memiliki pori sedikit, batas butir kecil, dan bentuk yang lebih jelas dibandingkan dengan perlakuan sintering yang lain terdapat pada perlakuan sintering suhu 900oC selama 180 menit
Hasil pengujian ukuran butir hidroksiapatit tulang ikan tuna menunjukkan tidak semua sampel memiliki ukuran nanopartikel (100 s.d. 1000 nm). Pada perlakuan sintering suhu 500oC selama 120 menit ukuran butir terlalu besar dan pada perlakuan sintering suhu 500oC selama 180 menit dan perlakuan sintering suhu 700oC selama 120 menit ukuran butir terlalu kecil sehingga belum dapat dikategorikan sebagai nanopartikel. Namun pada sampel yang lain sudah dapat dikategorikan sebagai nanopartikel. Berdasarkan standar deviasi yang diperoleh dari data ukuran butir, standar deviasi terendah dimiliki oleh perlakuan sintering suhu 500oC selama 180 menit, suhu 700oC selama 120 menit, dan perlakuan sintering suhu 900oC selama 180 menit. Hal ini membuktikan bahwa ukuran butir pada perlakuan sintering tersebut lebih homogen dibandingkan dengan perlakuan sintering yang lain. Oleh karena itu, maka sampel yang memiliki ukuran butir yang dapat dikategorikan sebagai nanopartikel dan memiliki ukuran butir yang homogen terdapat pada perlakuan sintering suhu 900oC selama 180 menit.
DAFTARRUJUKAN
Adi Puspa, K., & Asmi, D. (2014). Sintesis dan Karakterisasi Biokeramik Hidroksiapatit Bahan Tulang Sapi pada Suhu 800- 1100. Teori Dan Aplikasi Fisika, 02(02), 125–130.
Adrian, M., Yelmida, A., & Zultiniar. (2017). Sintesis Hidroksiapatit dari Precipitated Calcium Carbonate (PCC) Cangkang Telur Ayam Melalui Proses Sol Gel dengan Variasi Rasio Ca/P dan Konsentrasi Asam Nitrat, 4(2), 2–5.
Anggresani, L., Afrina, R., Hadriyati, A., & Sanuddin, M. (2020). Pengaruh Variasi Waktu Tahan Sintering Terhadap Hidroksiapatit Berpori dari Tulang Ikan Tenggiri (Scomberomorus guttatus). Jurnal Katalisator, 5(1), 54–63.
Cahyana, A., & Marzuki, A. (2014). Analisa SEM (Scanning Electron Microscope) pada Kaca TZN yang dikristalkan Sebagian. Prosiding Mathematics and Sciences Forum 2014, 23–26.
Hanafi, I. (2020). ANALISIS PENGARUH VARIASI WAKTU DAN SUHU SINTERING TERHADAP PEMBENTUKAN FASA DAN SIFAT LISTRIK MATERIAL SUPERKONDUKTOR FeSe.
Haryona, D., Djusmaini, D., & Ramli. (2015). Pengaruh Temperatur Kalsinasi Terhadap Karakteristik Kalsium Karbonat
17–24.
Kurniawan, D., Nikmatin, S., & Maddu, A. (2012). Sintesis nanopartikel serat rami dengan metode ultrasonikasi untuk aplikasi filler bionanokomposit. Jurnal Biofisika, 8(2), 34–41.
Mardiyanto, M., & Syahfandi, A. (2018). Metode Sol Gel Untuk Sintesis Bahan Piezoelektrik Ramah Lingkungan Bismut Natrium Titanat. Jurnal Sains Materi Indonesia, 14(2), 142–146. Retrieved from http://jurnal.batan.go.id/index.php/jsmi/article/view/4436
Munasir, M., Triwikantoro, T., Zainuri, M., & Darminto, D. (2012). Uji XRD dan XRF pada Bahan Mineral (Batuan dan Pasir) Sebagai Sumber Mineral Cerdas (CaCO3 Dan SiO2). Jurnal Penelitian Fisika Dan Aplikasinya (JPFA), 2(1), 20.
https://doi.org/10.26740/jpfa.v2n1.p20-29
Mutmainnah, M., Chadijah, S., & Rustiah, W. O. (2017). Hidroksiapatit dari Tulang Ikan Tuna Sirip Kuning (Tunnus albacores) dengan Metode Presipitasi. Al-Kimia, 5(2), 119–126. https://doi.org/10.24252/al-kimia.v5i2.3422
Ningsih. (2016). Sintesis Anorganik. Sintesis Anorganik.
Ninik Supriyati. (2015). Metode Penelitian Gabungan (Mixed Methods), 1–24.
Nurhayati, S., Syarif, D. G., & Setiawan, A. (2012). PENGARUH SUHU SINTER TERHADAP KARAKTERISTIK KERAMIK CALSIA STABILIZED ZIRCONIA DENGAN PENAMBAHAN NATRIUM KARBONAT UNTUK ELEKTROLIT PADAT. Indonesian Journal of Materials Science, (April), 99–102.
Nurjanah, S. (2018). Sintesis dan Karakterisasi Nanopartikel Magnetik Fe3O4 Pasir Besi Glagah Kulon Progo dengan Metode Kopresipitasi.
Perdana, M., Hadi, S., Gusti, rahman erix, & Prastiawa. (2018). Analisa Sifat Fisik dan Mekanik dari Green Composite Material dari Limbah Styrofoam, Ampas Tebu dan Cangkang Telur sebagai Rangka Drone. Jurnal Momentum, 20(1), 38–44. https://doi.org/10.21063/JM.2018.V20.1.38-44
Permana, B., Saragi, T., Saputri, M., Safriani, L., Rahayu, I., & Risdiana. (2017). Sintesis Nanopartikel ZnO dengan Metode Kopresipitasi. Jurnal Teknik POMITS, 07(02), 1–7.
Rahmayuni zein, U., Anggresani, L., & Yulianis. (2020). Pengaruh Waktu Sintering terhadap Hidroksiapatit Berpori Tulang Ikan Tenggiri dengan Proses Sol-Gel. Chempublish Journal, 5(1), 46–56. https://doi.org/10.22437/chp.v5i1.8686
Rifai, M., & Hartono, S. (2016). Pengaruh Proses Sintering Pada Temperatur 800˚C Terhadap Kekerasan dan Kekuatan Bending Pada Produk Gerabah. Http://Jurnal.Unimus.Ac.Id, 16(2), 1–9.
Safrudin, M., & Widyastuti. (2014). The Effect of Sintering Temperature Variations and Sintering Time on the Density and Hardness of the Mmc W-Cu Through Powder Metallurgy Process. Jurnal Teknik Pomits, 3(1), 44–49.
Shah, I. W. (2008). Penyediaan Serbuk Hidroksiapatit Melalui Kaedah Pemendakan.
Susanto, A. H., Ridho, R., & Sulistiono. (2019). Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna Dalam Pembuatan Cilok Sebagai Sumber Kalsium. Lemuru No 1 25-33 ISSN 2685-7227, 1, 25–32.
Suud, F. A. (2018). KARAKTERISASI KERAMIK NANO ZIRKON DENGAN PENAMBAHAN B2O3.
Wiana Puspita, F., & Edi Cahyaningrum, S. (2017). Sintesis Dan Karakterisasi Hidroksiapatit Dari Cangkang Telur Ayam Ras (Gallus Gallus) Menggunakan Metode Pengendapan Basah. UNESA Journal of Chemistry, 6(2), 100–106.