• Tidak ada hasil yang ditemukan

pengaturan tindak pidana dalam undang-undang cukai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "pengaturan tindak pidana dalam undang-undang cukai"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

INDONESIA

MUHAMMAD IQBAL RUSALDI NPM. 16810492

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah Untuk mengetahui bentuk-bentuk tindak pidana penyelundupan barang impor tanpa cukai yang dilakukan oleh perseorangan dan mengetahui sanksi hukum terhadap para pelaku tindak pidana cukai di Indonesia.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan yuridis normatif, yaitu suatu penelitian yang berdasarkan pada penelitian kepustakaan guna memperoleh data sekunder di bidang hukum. Adapun digunakannya metode penelitian hukum normatif, yaitu melalui studi kepustakaan adalah untuk menggali asas asas, norma, teori dan pendapat hukum yang relevan dengan masalah penelitian melalui inventarisasi dan mempelajari bahan-bahan hukum primer, sekunder, dan tertier.

Tindak pidana penyelundupan dalam rangka kegiatan impor seperti yang diatur dalam Pasal 102 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang- Undang Kepabeanan, dilakukan dengan menggunakan modus sarana transportasi jalur laut (kapal laut), udara (pesawat udara), dan lewat darat (kendaraan bermotor dan pelintas batas). Tindak pidana penyelundupan (smuggling atau Smokkle) merupakan pelanggaran dalam ekspor atau impor, dengan tidak memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan menimbulkan kerugian bagi negara. Kerugian negara tersebut dapat diketahui seperti kekurangan uang yang nyata yang berasal dari pungutan negara yang tidak dibayar atau disetor kepada kas negara oleh penyelundup.

Mengenai pengaturan sanksi terhadap pelaku tindak pidana penyelundupan diatur dalam ketentuan Pasal 102, Pasal 102 A dan Pasal 102 B Undang-Undang Kepabeanan.

Penerapan sanksi pidananya yakni berupa pidana penjara dan pidana denda yang bersifat kumulatif, namun terdapat kelemahan dalam Undang-Undang ini yakni belum diaturnya konsep “pengembalian kerugian negara” secara jelas. Rumusan sanksi pidana penyelundupan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 102, Pasal 102 A, dan Pasal 102 B Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tersebut di atas pada dasarnya menerapkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan pidana denda yang bersifat kumulatif, dengan mengutamakan sanksi pidana penjara terlebih dahulu dan kemudian diikuti dengan sanksi pidana denda secara kumulatif.

Kata Kunci : Tindak Pidana, Undang-Undang Cukai

(2)

PENDAHULUAN

Abad ke-20 ini, hampir tidak ada suatu negara pun yang menganggap sebagai negara modern tanpa menyebutkan dirinya "negara berdasar atas hukum". Sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan hukum secara bertahap menuju ke arah kesimpulan bahwa negara merupakan negara yang akan mewujudkan harapan para warga negara akan kehidupan yang tertib, adil, dan sejahtera jika negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan main.

Setiap warga negara, baik penyelenggara negara dan masyarakat wajib untuk mentaati hukum yang berlaku (hukum positif). Di Islam juga mengajarkan pada pemeluknya agar patuh dan mentaati terhadap semua hal yang telah diperintahkan oleh kepala negara (pemerintah) selama perintah itu tidak bertentangan dengan hukum syaria’.

Maka wajib bagi kita sebagai warga negara untuk mentaatinya. Sebagaimana kita ketahui bahwa penyelundupan mengandung unsur kejahatan, perbuatan kotor, penipuan, penggelapan barang atau yang lainnya, dan itu merupakan penghianatan kepada negara karena lolos dari pajak atau bea cukai.

Pelanggaran atas hukum akan dikenai sanksi sebagai upaya paksa untuk melaksanakan hukum. Setiap warga negara juga mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan hukum, sebagaimana ketentuan Pasal 28D ayat (l) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa: "Setiap orang ber-hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". Kata hukum berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk tunggal. Kata jamaknya adalah “Alkas”, yang selanjutnya diambil alih dalam bahasa indonesia menjadi “Hukum”. Di dalam pengertian hukum terkandung pengertian bertalian erat dengan pengertian yang dapat melakukan paksaan. Bahwa secara umum hukum dapat diberi defenisi sebagai himpunan peraturan-peraturan yang di buat oleh yang berwenang, dengan tujuan untuk mengatur tata kehidupan bermasyarakat yang mempunyai ciri memerintah dan melarang serta mempunyai sifat memaksa dengan menjatuhkan sanksi hukuman bagi mereka yang melanggarnya.

Hukum mempunyai fungsi : “Menertibkan dan mengatur pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul” dalam perkembangan masyarakat fungsi hukum dapat terdiri dari :

a. Sebagai alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat.

b. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.

c. Sebagai sarana penggerak pembangunan.

d. Sebagai fungsi kritis.

Mengingat banyak berbagai pendapat yang berbeda-beda tentang tujuan hukum, maka untuk mengatakan secara tegas apakah tujuan hukum itu adalah sulit. Ada yang beranggapan bahwa tujuan hukum itu kedamaian, keadilan, kefaedahan, kepastian hukum, dan sebagainya. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa hukum itu merupakan gejala masyarakat. Hukum pidana sifatnya menjadi publik setelah banyak kepentingan dalam kehidupan manusia dirasakan sebagai kepentingan umum atau, dengan kata lain, sifat subjektif hukum pidana berubah menjadi sifat objektif. Hal ini terjadi karena adanya suatu perbuatan yang merugikan orang lain dan dirasakan akibatnya oleh seluruh anggota masyarakat sebagai hal yang mengganggu kepentingan manusia secara menyeluruh

(3)

keamanan, kesejahteraan, dan lainnya yang menyangkut kehidupan masyarakat, sehingga mengakibatkan terganggunya aktivitas dalam kehidupan sehari-hari.

Persoalan dapat muncul manakala masing-masing pihak hanya mau menikmati hak tanpa mau melaksanakan kewajiban masing-masing. Pesatnya perkembangan industri dan perdagangan menimbulkan tuntutan masyarakat agar pemerintah dapat memberikan kepastian hukum dalam dunia usaha. Pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) yang berfugsi sebagai fasilitasi perdagangan harus dapat membuat suatu hukum kepabeanan yang dapat mengantisipasi perkembangan dalam masyarakat dalam rangka memberikan pelayanan dan pengawasan yang lebih cepat, lebih baik, dan lebih murah.

Kejahatan atau tindak pidana yang terjadi dewasa ini tidak terbatas pada kejahatan- kejahatan konvensional seperti perampokan, pencurian, penipuan, penggelapan dan lain sebagainya, melainkan seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat telah menunjukan kemajuan yang sangat signifikan, yakni munculnya kejahatan bentuk baru yang sangat berbahaya dan menimbulkan korban yang jauh lebih besar dibandingkan dengan kejahatan yang konvensional, yaitu kejahatan-kejahatan yang mengancam lingkungan hidup, sumber energi dan pola-pola kejahatan di bidang ekonomi seperti kejahatan perbankan, kejahatan komputer, tindak pidana pencucian uang, penipuan terhadap konsumen berupa barang-barang produksi kualitas rendah yang dikemas indah dan dijajakan lewat advertensi secara besar-besaran dan berbagai pola kejahatan korporasi yang beroperasi lewat penetrasi dan penyamaran, price fixing (memainkan harga barang secara tidak sah), false advertising (penipuan iklan), kejahatan lingkungan hidup (environmental crime), pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, pelanggaran terhadap peraturan perburuhan dan lain sebagainya.

PEMBAHASAN

Seseorang menyelundupkan barang impor apabila pelaku membawa barang impor tanpa adanya berkas atau manifest barang mengenai barang impor yang dibawanya, dan berniat memasukkan barang impor yang dibawanya dengan tidak melapor ke DJBC karena barang impor yang dibawa oleh pelaku tidak diizinkan masuk ke kawasan Indonesia dan/atau barang impor yang dibawa oleh pelaku melewati batas maksimal yang ditentukan oleh undang-undang kepabeanan bagi perseorangan. Diatur dalam UUKepabeanan No.17 Tahun 2006 Pasal 102.

Barang niaga seperti balepres, sepatu bekas, bawang, dan barang-barang lainnya yang dibatasi jumlah bawaannya, serta narkotika yang diselundupkan dengan cara memasukkan barang tersebut ke dalam bagian organ tubuh namun tetap dibawa masuk tanpa adanya manifest barang dikatakan sebagai penyelundupan barang impor. Untuk narkotika yang dilarang di Indonesia tidak ada manifest barang karena obat-obatan tersebut sudah dilarang oleh undang-undang narkotika tentang peredaran dan pelarangannya masuk ke Indonesia. Namun, jika narkotika yang diizinkan oleh Negara untuk masuk ke Indonesia dan digunakan untuk pengobatan oleh pedagang besar farmasi harus mempunyai manifes ekspor dan impor.

(4)

Larangan dan pembatasan atau latas ini lebih didasarkan atas adanya konvensi internasional di mana Indonesia sebagai anggota World Customs Organization maupun World Trade Organization dan praktik kepabeanan internasional, telah meratifikasi dan menerapkan ketentuan-ketentuan konvensi dalam sistem perundang-undangan nasionalisnya. Larangan dan pembatasan ini meliputi ekspor dan impor adalah sesuai dengan praktik kepabeanan internasional, pengawasan lalulintas barang dilaksanakan oleh instansi pabean. Untuk mencapai efektivitas dan koordinasi pengawasan, instansi teknis yang berkaitan dengan barang/produk barang wajib menyampaikan peraturan atas larangan dan pembatasan kepada Menteri Keuangan untuk dilaksanakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Barang yang dilarang atau dibatasi impor atau ekspornya dinyatakan tidak memenuhi syarat yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan kepabeanan atau bersifat merusak, membahayakan masyarakat. Obat-obatan terlarang dibatasi dan bahan berbahaya. Melaksanakan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan oleh undangundang dalam kaitan pelabuhan sebagai tempat transit. Mengawasi keluar masuknya barang apakah telah dilengkapi dokumen-dokumen resmi dan membawa barang-barang yang illegal sesuai dengan yang tertera dalam dokumen barang. Oleh sebab itu, perihal pelaksana fungsi bea dan cukai dianggap penting adanya, karena mengingat Bea Cukai selaku penanggungjawab dalam pengawasan/pemeriksaan keluar masuk barang, dokumen ekspor/impor dan tindakan pabean lainnya.

a. Perbuatan yang dilakukan oleh orang atau atas nama suatu badan hukum;

b. Yang memenuhi perumusan undang-undang;

c. Yang oleh undang-undang diancam dengan pidana ( starft );

d. Yang melawan atau bertentangan dengan hukum;

e. Yang merugikan negara/masyarakat;

f. Yang dilakukan di bidang kepabeanan.

Aspek-aspek hukum pidana pada hukum pabean juga dapat dilihat dari ketentuan dalam KUHP itu sendiri, yakni tercantum dalam Pasal 103 KUHP yang menyebutkan : ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Berpijak pada Pasal 103 KUHP tersebut jelas berlaku sebagai ketentuan umum termasuk perbuatan-perbuatan di bidang kepabeanan sepanjang undang-undang pabean tidak menyatakan lain. Dengan demikian, dalam hal undang-undang pabean menyatakan lain, ketentuan tersebut berlaku sebagai ketentuan khusus.

Pengaturan Hukum Tentang Penyeludupan barang illegal/tanpa cukai cara di mana warga negara diatur oleh aturan hukum dan bukan dengan kekuatan orang lain. “Setiap Peraturan mempunyai tujuan yang hendak dicapai oleh pembuatnya, kalau kita meninjau tata aturan pada hukum positif maka tujuan pembuatannya tidak lain adalah ketenteramaan masyarakatnya, yaitu mengatur sebaik-baiknya dan menentukan batas-batas hak dan kewajiban bagi setiap anggota masyarakat dalam hubungannya satu sama yang lain.“

Hukum adalah proposisi hukum yang memperlakukan sama terhadap semua orang yang berada dalam situasi yang sama. “Hukum adalah Skema yang d buat untuk menata (Prilaku) manusia, tetapi manusia itu sendiri cenderung terjatuh di luar skema yang diperuntukkan

(5)

memengaruhi dan membentuk prilakunya.”

Hukum diperlukan baik untuk individu sebagai bagian dari Negara sebagai orang yang mempunyai hak dan kewajiban. Penyelundupan adalah pelanggaran dalam ekspor atau impor, khususnya barang-barang yang ditetapkan kena bea masuk atau pajak yang telah ditetapkan bea dan cukai. Oleh karena itu, sanksi yang paling tepat diberikan kepada penyelundup adalah penyitaan barang atau dikenakan untuk membayar denda tiga kali lipat nilai mereka atau suatu jumlah yang ditetapkan oleh hukum (yang paling mana saja lebih besar), Bangsa Indonesia tidak akan berkompromi ataupun mentoleransi setiap tindak pidana penyelundupan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab.

Tindak pidana penyelundupan merupakan perbuatan yang melanggar hukum, yang dapat merusak pertumbuhan perekonomian negara, dan juga dapat suatu perbuatan yang dapat mengacau perekonomian. Pengaturan terkait masalah tindak pidana penyelundupan di Indonesia sesungguhnya telah ada sejak zaman Hindia Belanda, yaitu di atur dalam Staatsblads No. 240 Tahun 1882, kemudian berturut-turut Undang-Undang No. 7 Drt.

Tahun 1955 jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1958, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995, dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006. Yang dimaksud tindak pidana penyelundupan menurut Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden Nomor 73 Tahun 1967 adalah perbuatan tindak pidana yang berhubungan dengan pengeluaran barang atau uang dari Indonesia ke luar negeri (ekspor) atau pemasukan barang atau uang dari luar negeri ke Indonesia (impor).

Indonesia telah mengatur sanksi pidana penyelundupan dalam ketentuan Pasal 102, Pasal 102 A dan Pasal 102 B Undang-Undang Kepabeanan, khususnya tindak pidana penyelundupan di bidang impor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah); dan tindak pidana penyelundupan di bidang ekspor dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah); dan tindak pidana penyelundupan yang mengakibatkan terganggunya sendi-sendi perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) dan paling banyak Rp 100.000.000.000,00 (seratus milyar rupiah).

Rumusan sanksi pidana penyelundupan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 102, Pasal 102 A, dan Pasal 102 B Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tersebut di atas pada dasarnya menerapkan sanksi pidana berupa pidana penjara dan pidana denda yang bersifat kumulatif, dengan mengutamakan sanksi pidana penjara terlebih dahulu dan kemudian diikuti dengan sanksi pidana denda secara kumulatif. Namun apabila sanksi denda tersebut tidak dapat dibayar maka dapat diganti menjadi pidana kurungan sesuai dengan ketentuan Pasal 30 KUHP, sehingga hal ini sangat merugikan negara. Undang- Undang kepabeanan belum mengatur konsep pengembalian kerugian negara secara tegas sebagaimana negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan China yang sudah berhasil

(6)

mengatasi tindak pidana penyelundupan karena telah menggunakan dan mengutamakan konsep “pengembalian kerugian negara”, maka dari itu pemerintah perlu melakukan pembaruan terhadap Undang-Undang kepabeanan, khususnya mengenai formulasi sanksi pidana atas tindak pidana penyelundupan, dengan mengutamakan dan berdasarkan konsep

“pengembalian kerugian negara” yang lebih bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

KESIMPULAN

Undang-

Undang

kepabeanan belum mengatur konsep pengembalian kerugian negara secara tegas sebagaimana negara-negara seperti Singapura, Malaysia, dan China yang sudah berhasil mengatasi tindak pidana penyelundupan karena telah menggunakan dan mengutamakan konsep “pengembalian kerugian negara”, maka dari itu pemerintah perlu melakukan pembaruan terhadap Undang-Undang kepabeanan, khususnya mengenai formulasi sanksi pidana atas tindak pidana penyelundupan, dengan mengutamakan dan berdasarkan konsep “pengembalian kerugian negara” yang lebih bermanfaat bagi kepentingan bangsa dan negara Indonesia.

Pemerintah beserta aparat yang berwenang lebih intensif dalam melakukan razia dan pengawasan terhadap setiap barang impor yang masuk ke Indonesia. Serta penguatan terhadap aparat agar tidak terjerumus dalam wilayah kepentingan para penguasaha yang berpotensi terjadi kerugian negara dalam hal cukai.

REFERENSI

H. Zainuddin Ali. 2018. Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Kristian. Hukum Pidana Korporasi, Nuansa Aulia, Bandung , 2014.

Moh. Nashiruddin A. Ma’mun. ”Tinjauan Hukum Islam terhadap Tindak Pidana Penyelundupan”. dalam Jurnal Ummul Qura Vol. IV, No. 2, Agustus 2014.

R.Soeroso. 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

Suteki dan Galang Taufani. 2018. Metodologi Penelitian Hukum (Filsafat, Teori dan Praktik). Depok : Rajawali Pers.

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 12 b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal 7 Pasal 12 b