• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN REFLEKTIF ASESMEN ALTERNATIF BAGI GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN REFLEKTIF ASESMEN ALTERNATIF BAGI GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI "

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN: 2580-5843 (Online) 2549-8371 (Print)

https://ejournal.unisba.ac.id/index.php/golden_age/article/view/9866

PENGEMBANGAN MODEL PELATIHAN REFLEKTIF ASESMEN ALTERNATIF BAGI GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI

Edi Hendri Mulyana1, Sumardi2, Risa Yuliani3

(1) (2) (3) Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Universitas Pendidikan Indonesia Kampus

Tasikmalaya

DOI: 10.29313/ga:jpaudv6i1.9866

Abstract

The purpose of this research is to develop an alternative assessment reflective training model as outlined in the training implementation guide. This Research and Development process follows the steps of the ADDIE model. The results of the Research and Development show that the training guide products are categorized as very valid and very feasible.

In addition, the effective training model used is seen from the evaluation results Level 1: Perception in the very good category, Level 2: Learning in the high category, and Level 3: Performance in the very good category.

Keywords: Alternative Assessment Reflective Training Model; Early Childhood Education Teacher.

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan model pelatihan reflektif asesmen alternatif yang dituangkan dalam panduan pelaksanaan pelatihan. Proses Penelitian dan Pengembangan ini mengikuti langkah-langkah model ADDIE. Hasil Penelitian dan Pengembangan menunjukkan produk panduan pelatihan dengan kategori sangat valid dan sangat layak. Selain itu, model pelatihan efektif digunakan dilihat dari hasil evaluasi Level 1 : Persepsi dengan kategori sangat baik, Level 2 : Belajar dengan kategori tinggi, dan Level 3 : Kinerja dengan kategori sangat baik.

Kata Kunci: Model Pelatihan Reflektif Asesmen Alternatif; Guru Pendidikan Anak Usia Dini.

Copyright (c) 2022 Edi Hendri Mulyana, Sumardi, Risa Yuliani.

 Corresponding author :

Email Address : risayuliani@upi.edu

Received May 30, 2022. Accepted July 01, 2022. Published July 01, 2022.

(2)

DOI: 10.29313/ga:jpaudv6i1.9996

PENDAHULUAN

Guru memiliki tugas dan peran dalam melakukan penilaian atau asesmen. Tugas guru dalam melakukan asesmen menjadi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan dengan proses pembelajaran. Kegagalan guru dalam menguasai konsep dan teknik asesmen akan berakibat fatal bagi anak, terutama dalam menstimulus potensi anak dalam kegiatan belajar sehari-hari. Asesmen yang dilakukan guru diproyeksikan sebagai proses pengumpulan informasi tentang anak dari beberapa teknik, untuk selanjutnya ditafsirkan sebagai bahan keputusan dalam memperbaiki proses dan hasil belajar anak. (Wortham, 2014). Guru diberikan kewenangan untuk mengkonstruksikan asesmennya sendiri. Namun, teknik asesmen yang digunakan guru tidak boleh didasarkan pada teknik “tradisional” berupa tes saja, tetapi harus dikembangkan dan dikombinasikan juga dengan teknik “alternatif” lainnya, seperti kinerja, proyek, portofolio, penilaian sikap, dan penilaian produk.

(Putri dkk., 2019). Apalagi asesmen pada anak usia dini, tidak mengenal tes, ujian, apalagi tes objektif, namun dilakukan dengan mengamati, mencatat, dan mendokumentasikan segala sesuatu tentang anak, baik perkembangannya, perilakunya maupun hasil pekerjaannya. (Novianti dkk., 2013). Berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa asesmen tradisional berupa tes tidak digunakan untuk menggali informasi tentang perkembangan dan pencapaian anak, sehingga penting bagi guru untuk mempertimbangkan alternatif penilaian lain yang lebih autentik.

Transisi penilaian tradisional menuju penilaian multidimensi menginterpretasikan perpindahan praktik penilaian tradisional menuju penilaian lebih autentik. Penilaian autentik atau asesmen autentik dapat mencakup asesmen alternatif berupa asesmen kinerja yang dilakukan dalam konteks realistis. (Al-Mahrooqi & Denman, 2018). Selaras dengan peralihan Kurikulum 2006 yang disebut Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan/ KTSP ke Kurikulum 2013 menunjukkan perubahan pelaksanaan paradigma pendidikan dari behavioris ke konstruktivis. (Cronjé, 2019).

Peralihan ini memberikan beberapa konsekuensi pada setiap aspek proses belajar mengajar, termasuk asesmen yang dilakukan oleh guru. Teori behavioris yang memandang bahwa transmisi pengetahuan dari guru kepada siswa yang menunjukkan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered), sementara konstruktivis difokuskan pada pembangunan pengetahuan oleh siswa yang terlibat aktif dalam pembelajaran (student-centered). Dalam KTSP, asesmen pembelajaran lebih menekankan pada produk dan cenderung hanya memprioritaskan aspek kognitif saja. Hal ini bertentangan dengan Kurikulum 2013 yang memandang penilaian tidak hanya mengukur aspek kognitif siswa, tetapi juga mencakup aspek lainnya yaitu afektif dan psikomotorik.

Fakta di lapangan, sebagian besar guru saat ini masih menggunakan pendekatan tradisional yang hanya berfokus pada aspek kognitif anak. Hal ini diperkuat oleh penelitian Haryati &

Retnawati (2016) yang menjabarkan bahwa kebanyakan guru saat ini hanya melakukan asesmen pada aspek kognitif saja, karena dianggap lebih mudah dibandingkan aspek lainnya, serta masih banyak sekolah yang belum memiliki bentuk asesmen untuk aspek afektif dan pisikomotorik. Lebih lanjut hasil penelitian Fadlilah (2021) mengungkapkan bahwa kurangnya pemahaman guru tentang pelaksanaan asesmen informal atau asesmen non tes menjadi salah satu penyebab guru tidak melakukan asesmen pada kinerja anak selama pembelajaran. Alat asesmen yang diasumsikan dapat menilai secara menyeluruh adalah asesmen alternatif atau asesmen kinerja sebagai bentuk dari asesmen autentik. Dengan demikian, berdasarkan paparan di atas dapat disimpulkan bahwa asesmen alternatif merupakan budaya penilaian baru yang berfokus pada peningkatan proses belajar dan kinerja anak. Budaya penilaian ini membahas tentang peralihan pengujian tradisional ke pengujian yang lebih holistik seperti penilaian berbasis kinerja, penilaian berbasis hasil dan penilaian yang berpusat pada siswa dalam situasi otentik. Istilah alternatif digunakan untuk menggambarkan jenis prosedur asesmen sebagai pengganti atau tambahan dari pengujian standar (tes kertas dan pensil) yang lebih bersifat deskriptif dan mengambil berbagai bentuk dan teknik asesmen.

Terdapat tiga alasan mengapa guru tidak menggunakan beragam teknik asesmen. Pertama, beberapa guru memiliki pengetahuan yang terbatas tentang berbagai bentuk dan teknik asesmen.

Kedua, guru merasa tidak punya waktu untuk membuat berbagai perencanaan asesmen. Ketiga, guru merasa kurang mendapatkan pelatihan terkait asesmen. (Kitta, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa dari beberapa alasan mengapa guru tidak melakukan asesmen dengan beragam teknik yaitu dikarenakan kurangnya guru menerima pelatihan terkait asesmen. Guru dalam melaksanakan

(3)

tugasnya memiliki tanggungjawab dalam meningkatkan keterampilannya. Bagaimanapun seorang guru dipandang berbeda dari profesional lainnya, pentingnya guru dalam melakukan perubahan menuju arah yang lebih baik tidak dapat diremehkan. Bahkan, guru dipandang memiliki status yang paling penting dalam mengarahkan keberhasilan siswa. Oleh karena itu, guru profesional adalah guru yang senantiasa dapat meningkatkan pengajaran mereka, sehingga akan lebih banyak siswa yang mendapat manfaat dari pengalaman pendidikan yang berhasil. (Krolak-Schwerdt dkk., 2014).

Salah satu keterampilan yang paling penting dalam kaitannya dengan kemampuan seorang guru yaitu pemahaman tentang asesmen. Oleh karena itu, penting bagi guru untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilannya dalam melakukan asesmen.

Usaha untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru dalam melakukan asesmen, yaitu dengan melaksanakan pelatihan. Pelatihan bagi guru didefinisikan sebagai suatu upaya yang direncanakan untuk membantu guru memperoleh pengetahuan, keterampilan, juga kompetensi yang berkaitan dengan tugasnya sebagai pendidik, sehingga hasil pembelajaran yang diperoleh selama pelatihan dapat segera diimplementasikan dalam bidang pendidikan yang diajarkannya.

(Popova dkk., 2016). Pelatihan bagi guru telah menjadi kebutuhan penting dalam pendidikan, karena kualitas pendidikan bergantung pada kualitas guru dan pengajarannya. Dengan demikian, cara guru dilatih merupakan aspek penting untuk meningkatkan kinerja profesional guru dalam praktik pengajarannya. Tugas guru sebagai tulang punggung pendidikan dalam proses pembelajaran yang berkelanjutan bagi siswa, maka upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan keterampilan mengajar guru sangat dibutuhkan di bidang pendidikan. Selain itu, sudah menjadi kepercayaan umum bahwa pelatihan adalah proses belajar secara berkelanjutan yang berkontribusi dalam meningkatkan keterampilan mengajar dan memperoleh pengetahuan baru di bidang pelajaran, dan pada gilirannya akan membantu meningkatkan pembelajaran anak. (Ene dan Riddlebarger, 2015).

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru PAUD diperoleh informasi bahwa guru pernah mengikuti pelatihan, namun belum pernah mengikuti pelatihan terkait asesmen alternatif.

Berdasarkan pentingnya asesmen alternatif di PAUD maka dinilai penting bagi peneliti untuk melakukan penelitian berkenaan pelatihan asesmen alternatif secara terstruktur meliputi fase-fase penting dalam proses pembelajaran hingga pengimplementasian hasil pelatihan dalam pembelajaran. Kebutuhan guru terhadap pelatihan terkait asesmen sejalan dengan harapan dan antusiasme guru untuk mengikuti pelatihan asesmen alternatif. Program pelatihan yang pernah diikuti guru selama ini tidak pernah dilakukan tindak lanjut pasca pelatihan. Maka berdasarkan permasalahan tersebut dinilai sangat penting untuk mengembangkan model pelatihan asesmen alternatif, agar proses belajar mengajar yang dilakukan guru dapat terlaksana dengan baik sesuai dengan tuntutan mengenai pentingnya pelaksanaan asesmen alternatif di PAUD. Program pelatihan dikatakan berhasil apabila setelah pelatihan guru mengimplementasikan hasil pelatihan dalam pengajarannya. Model pelatihan yang dikembangkan oleh peneliti adalah model pelatihan reflektif untuk memudahkan guru dalam memahami dan menguasai keterampilan melaksanakan asesmen alternatif. Pelaksanaan pelatihan bukan akhir dari penelitian dan pengembangan ini, akan tetapi dilakukan dilakukan tindak lanjut pasca pelatihan. Dengan demikian, tindak lanjut dalam penelitian ini adalah melakukan praktik reflektif atau memonitoring kinerja guru dalam melakukan asesmen setelah mengikuti pelatihan. Pelaksanaan pelatihan reflektif didasarkan pada kebutuhan guru untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas dan perannya dalam menilai proses dan hasil belajar anak dengan asesmen alternatif.

Atas dasar pentingnya pengembangan model pelatihan reflektif asesmen alternatif bagi guru PAUD maka peneliti melakukan penelitian dan pengembangan dengan judul “Pengembangan Model Pelatihan Reflektif Asesmen Alternatif bagi Guru Pendidikan Anak Usia Dini”. Proses penelitian dan pengembangan ini mengikuti langkah-langkah “Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation”, juga dikenal sebagai ADDIE. Struktur model pelatihan asesmen alternatif akan dikembangkan dalam bentuk panduan pelaksanaan pelatihan reflektif asesmen alternatif. Pelatihan asesmen alternatif ini bersifat berkelanjutan, sehingga model pelatihan dapat di adopsi oleh semua guru Pendidikan Anak Usia Dini dimana pun karena tidak dibatasi oleh wilayah dalam penyelesaian masalah penelitian ini.

(4)

DOI: 10.29313/ga:jpaudv6i1.9996

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian mix method yaitu dengan mengkombinasikan pengumpulan data kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan secara bersamaan dengan menggunakan rumusan masalah deskriptif. Pendekatan mix method dipandang sebagai metode penelitian di mana seorang peneliti atau tim peneliti menggabungkan unsur pendekatan penelitian kuantitatif dan kualitatif baik dalam pengumpulan data maupun analisis data dengan tujuan untuk memperoleh keluasan dan kedalaman pemahaman serta pembuktian. (Creswell dan Clark, 2018). Metode kuantitatif dan kualitatif dalam penelitian ini digabungkan dalam setiap tahap Penelitian dan Pengembangan model ADDIE (Analysis, Design, Development, Implementation, Evaluation). Model ADDIE mempresentasikan tahapan pengembangan pelatihan yang sistematis mulai dari analisis, desain, pengembangan, implementasi, hingga evaluasi. Model ini juga dikenal sebagai salah satu model yang paling umum digunakan dalam bidang desain instruksional sebagai panduan untuk menghasilkan desain yang efektif dan secara subtansial dapat digunakan dalam pengembangan produk pembelajaran. (Widyastuti, 2019). Model ADDIE merupakan salah satu model Penelitian dan Pengembangan/ Research and Developmnet (R&D) yang bertujuan untuk mengembangkan produk sehingga dapat digunakan di bidang pendidikan. Produk tersebut dapat berupa kurikulum, metode pemebelajaran, media, bahan ajar, instrumen penilaian, model pelatihan, dan lain sebagainya. (Silalahi, 2018). Partisipan dalam penelitian ini adalah guru Pendidikan Anak Usia jenjang Pendidikan formal yang menyelenggarakan Pendidikan bagi anak usia 4-6 Tahun.

Produk yang dihasilkan berupa panduan pelaksanaan pelatihan reflektif asesmen alternatif.

Meskipun tahapan pada model ADDIE ditulis dalam urutan linier, namun sebenarnya itu berulang dan siklus. Semua tahapan berpotongan dan saling mempengaruhi, sehingga setiap tahapan tidak dapat dilakukan secara terpisah. Misalnya, perubahan dalam tahap analisis akan berdampak pada tahap evaluasi, seperti halnya perubahan dalam tahap pengembangan akan berdampak pada desain.

Oleh karena itu, setiap tahap dapat dikerjakan secara bersamaan.

Gambar 1. Tahapan Pengembangan Model Pelatihan Reflektif Asesmen Alteratif Adaptasi dari Model ADDIE

Tahap pertama ini adalah tahap analisis kebutuhan pelatihan atau Training Needs Analysis (TNA). Adapun kegiatan pada tahap ini : (1) Melakukan studi literatur, yang mencakup komptensi guru dalam asesmen, konsep dasar asesmen alternatif dan model pengembangan pelatihan (2)

(5)

Merancang dan memvalidasi instrumen angket analisis kebutuhan pelatihan, pedoman wawancara, dan studi dokumentasi perangkat asesmen kepada ahli. (3) Melakukan studi lapangan ke lembaga PAUD sebagai sasaran penelitian; (3) Melakukan analisis hasil studi literatur dan studi lapangan.

Adapun instrumen yang digunakan pada tahap ini yaitu angket analisis kebutuhan pelatihan, pedoman wawancara, dan studi dokumentasi perangkat asesmen. Data angket diolah menggunakan Pemodelan Rasch pada program Winsteps. Analisis angket dilakukan untuk memperoleh data mengenai model pelatihan yang pernah diikuti, kinerja guru dalam asesmen alternatif dan kebutuhan pelatihan asesmen alternatif. Kemudian data hasil wawancara dianalisis secara kualitatif dengan mendeskripiskan percakapan yang dilakukan dengan guru. Sementara data hasil studi dokumentasi perangkat asesmen dianalisis secara kuantitatif . Dimana lembar studi dokumentasi ini berupa rating scale 1 - 5. Hasil keseluruhan analisis digabungkan untuk mengetahui apakah saling menguatkan, melemahkan, atau memperluas satu sama lain.

Tahap selanjutnya mendesain/ merancang model pelatihan reflektif asesmen alternatif, sehingga menghasilkan draf awal atau prototype-1 model pelatihan asesmen alternatif yang dituangkan dalam panduan pelaksanaan pelatihan yang dilengkapi dengan materi asesmen alternatif.

Panduan pelaksanaan model pelatihan reflektif asesmen alternatif, tersusun secara garis besar meliputi: pendahuluan, penyelenggaraan pelatihan, dan penutup. Pendahuluan meliputi: Dasar pemikiran, Analisis kebutuhan, Tema pelatihan, Sasaran pelatihan, Tujuan dan Hasil yang Diharapkan, Penyelanggara pelatihan, Waktu dan tempat pelatihan. Penyelenggaraan pelatihan meliputi: Topik pelatihan, Materi pelatihan, Metode pelatihan, Media pelatihan, Model pelatihan, Fasilitator, Tahapan pelatihan, Evaluasi, dan penutup. Selain itu kegiatan pada tahap ini meliputi : (1) Menentukan sasaran pelatihan asesmen alternatif yaitu guru-guru PAUD dengan ketentuan:

guru pada jenjang PAUD jalur pendidikan formal berbentuk Taman Kanak-Kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) dan bentuk lain yang sederajat, yang menggunakan program untuk anak usia 4 - 6 Tahun, pengalaman mengajar minimal 5 tahun, dan syarat minimal pendidikan yaitu lulusan SLTA.

(2) Menetapkan kompetensi yang ingin dicapai melalui pelaksanaan model pelatihan asesmen alternatif; dan (3) Merancang alat evaluasi.

Pada tahap pengembangan, produk panduan pelatihan reflektif asesmen alternatif divalidasi oleh tiga ahli, yaitu ahli pengembangan model, ahli asesmen, dan dosen mata kuliah evaluasi pembelajaran sebagai ahli pedagogik. Kegiatan ini dilakukan guna memperoleh tingkat validitas dan kelayakan model pelatihan sebelum diimplementasikan atau diuji cobakan. Kategoti tingkat validitas produk panduan pelatihan diperoleh dari perhitungan : Skor maksimum (SMax) = Skor tertinggi x Jumlah kriteria , SMax= 5 × 26 = 130. Skor minimal (SMin) = Skor terendah x Jumlah kriteria, SMin = 1 x 26 = 26. Menentukan rentang (r) = 130 – 26 = 104. Kelas interval (k) terdiri dari 5 kriteria yaitu : sangat valid, valid, cukup valid, tidak valid, sangat tidak valid. Sementara panjang kelas interval (P)= r/k=104/5=20.8 dibulatkan menjadi 21. Sementara untuk kategori tingkat kelayakan produk panduan pelatihan diperoleh dari perhitungan nilai rerata.

Tabel 1. Pengkategorian Skor Tingkat Kevalidan dan Kelayakan Produk Panduan Pelatihan Reflektif Asesmen Alternatif

No Tingkat Kevalidan Tingkat Kelayakan

Nilai Kategori Nilai Kategori

1 110 – 130 Sangat Valid 4.2 – 5.0 Sangat Layak

2 89 – 109 Valid 3.4 – 4.1 Layak

3 68 – 88 Cukup Valid 2.6 – 3.3 Cukup Layak

4 47 – 67 Tidak Valid 1.8 – 2.5 Tidak Layak

5 26 – 46 Sangat Tidak Valid 1 – 1.7 Sangat Tidak Layak Tahap implementasi merupakan tahap uji coba produk yang telah dikembangkan untuk mengetahui tingkat efektifitas model pelatihan yang ditinjau dari segi respon peserta terhadap pelatihan, hasil belajar peserta, dan kinerja peserta pasca pelatihan. Evaluasi yang dimaksud terdiri

(6)

DOI: 10.29313/ga:jpaudv6i1.9996

dari tiga level yaitu Level 1 Persepsi (perception), Level 2 Belajar (learnig), dan Level 3 Kinerja (performance) yang diadopsi dari Branch (2020). Adapun kategori yang ditetapkan adalah sebagai berikut

Tabel 2. Pengkategorian Hasil Persentase dan Skor Soal Tes No Pengkategorian Hasil Persentase No Soal Tes

Nilai Kategori Nilai Gain Kategori

1 81 – 100% Sangat Baik

1 𝑔 > 0,7 Tinggi

2 61 – 80% Baik

3 41 – 60% Cukup

2 0.3 < 𝑔 ≤ 0,7 Sedang

4 21 – 40% Kurang

5 0 - 20% Sangat Kurang 3 𝑔 ≤ 0.3 Rendah

Evaluasi level 1 : Persepsi (perception), mengukur respon peserta terhadap penyeleggaraan pelatihan, yaitu persepsi guru terhadap tujuan pelatihan, materi pelatihan, metode, media, waktu pelatihan, sumber daya yang digunakan selama pelatihan, kenyamanan lingkungan fisik pembelajaran, atau gaya fasilitator dalam menyampaikan materi pelatihan. Teknik evaluasi yang digunakan berupa angket respon guru dengan skala likert : Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Cukup Setuju (CS), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).

Evalusi Level 2 : Learning (Belajar), mengukur kemampuan peserta peserta dalam melakukan tugas-tugas yang ditunjukkan dalam setiap tujuan dan sasaran. Teknik evaluasi yang digunakan pada level ini yaitu ujian/ soal tes pengetahun tentang asesmen alternatif. Adapun teknik analisis pada level ini dilakukan dengan dengan melihat nilai Gain (membandingkan antara nilai pre-test dan post- test).

Evaluasi level 3 : Performance (Kinerja), mengukur kinerja guru pasca pelatihan. Dengan kata lain evaluasi level 3 ini dilakukan untuk mengetahui peserta pelatihan benar-benar menerapkan hasil pelatihan di lingkungan kerjanya atau tidak. Teknik evaluasi yang digunakan pada level ini adalah lembar studi dokumentasi perangkat asesmen yang dilakukan pada dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan rubrik asesmen.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengolahan data pada angket analisis kebutuhan pelatihan dengan 15 pernyataan yang terdiri dari 9 pernyataan positif dan 6 pernyataan negatif dan menggunakan skala penilaian 1 - 5.

Oleh karena itu, skala penilaian pada penyataan positif yaitu: 1=Sangat tidak sesuai, 2=Tidak sesuai, 3=Cukup sesuai, 4=Sesuai, 5=Sangat sesuai. Sebaliknya pernyataan negatif diberi skala: 5 = Sangat tidak sesuai, 4 =Tidak sesuai, 3 = Cukup sesuai, 2=Sesuai, 1=Sangat sesuai.

Analisis pertama adalah Summery Statistic yang secara umum proses ini akan memberikan informasi mengenai kualitas instrumen (item), responden (person), dan hubungan responden dengan setiap pernyataan pada angket. Pada Summary Statistics dapat diperoleh informasi mengenai nilai Person Measure, Alpha Cronbach, Person Reliability dan Item Reliability, INFIT MNSQ, OUTFIT ZSTD dan OUTFIT MNSQ, OUTPIT ZSTD, serta Separation. (Sumintono dan Widhiarso, 2015). Nilai Person Measure merupakan nilai rata-rata seluruh responden dalam menjawab setiap soal dalam angket. Berdasarkan Gambar 2. didapat nilai Person Measure -0.35 yang artinya pernyataan dalam angket mewakili keadaan responden karena nilai rata-rata lebih kecil dari nilai logit 0.0. Nilai Alpha Cronbach yang menunjukkan ukuran realiabilitas/ interaksi antara responden dan item secara keseluruhan didapat nilai 0.73 artinya bagus. Nilai Person Reliability dan Item Reliability secara berturut-turut didapat nilai 0.73 dan 0.98 yang artinya konsistensi jawaban dari responden cukup, namun kualitas item-item dalam instrumen istimewa.

(7)

Tabel 3. Pengkategorian Alpha Cronbach, Person Reliability dan Item Reliability No Alpha Cronbach Person Reliability dan Item Reliability

Nilai Kategori Nilai Kategori

1 < 0.5 Buruk < 0.67 Lemah

2 0.5 – 0.6 Jelek 0.67 – 0.80 Cukup

3 0.6 – 0.7 Cukup 0.80 – 0.90 Bagus

4 0.7 – 0.8 Bagus 0.91 – 0.94 Bagus Sekali

5 >0.8 Bagus Sekali >0.94 Istimewa

Gambar 2. Summary Statistic

Nilai INFIT MNSQ dan OUTFIT MNSQ pada Tabel Measured Person secara berturut-turut menunjukkan nilai yang mendekati ideal yaitu 0.98 dan 0.96, karena semakin mendekati nilai 1.00 maka semakin baik. Sementara nilai INFIT ZSTD dan OUTFIT ZSTD menunjukkan angka -0.6 dan -0.12 yang artinya kualitas interaksi responden dalam menjawab soal angket semakin baik, karena angka tersebut semakin mendekati nilai 0.0. Demikian pula pada tabel measured item. Nilai Separation pada item adalah 6.62. Semakin besar nilai Separation, maka kualitas item dalam instrumen dalam hal keseluruhan responden semakain bagus. Berdasarkan tabel statistis di atas menginformasikan rata-rata skor 44.3 dari 75 skor maksimal, hal tersebut menunjukkan bahwa guru membutuhkan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan melaksanakan asesmen alternatif.

(8)

DOI: 10.29313/ga:jpaudv6i1.9996

Gambar 3. Item Measure

Istilah measure atau abilitas pada Rasch diartikan sebagai tingkat kesulitan. Namun dalam penelitian ini nilai measure diartikan dengan tingkat kebutuhan pengembangan model pelatihan reflektif asesmen alternatif yang diuraikan menjadi aspek model pelatihan yang pernah diikuti, kinerja guru dalam asesmen alternatif, dan kebutuhan pelatihan asesmen alternatif. Setiap aspek tersebut diuraikan kembali menjadi beberapa pernyataan, yaitu : Penyataan Positif Model pelatihan yang pernah diikuti dikodekan dengan PM, pernyataan Negatif Model pelatihan yang pernah diikuti dikodekan dengan NM, pernyataan Positif kinerja guru dalam Asesmen alternatif dikodekan dengan PA, pernyataan Negatif kinerja guru dalam Asesmen alternatif NA, pernyataan Positif kebutuhan pelatihan asesmen alternatif PK, dan pernyataan Negatif Kebutuhan pelatihan asesmen alternatif NK. Sementara 1, 2, 3 dst merupakan urutan pernyataan pada setiap aspek.

Berdasarkan Gambar 3. hasil pengolahan Item Measure Data menunjukkan bahwa pernyataan yang memiliki nilai measure paling tinggi adalah NK2 (pernyataan negatif pada aspek kebutuhan pelatihan asesmen alternatif) dengan nilai logit 4.84. Pada NK2 memuat pernyataan

“Saya belum pernah mengikuti pelatihan terkiat asesmen alternatif”, sehingga dapat disimpulkan bahwa keseluruhan guru belum pernah mengikuti pelatihan terkait asesmen alternatif. Sementara pernyataan PK3 (pernyataan positif pada aspek kebutuhan pelatihan asesmen alternatif) yang memiliki nilai measure paling rendah yaitu -6.91. Pada PK3 memuat pernyataan “saya membutuhkan pelatihan terkait asesmen alternatif”.

Lebih lanjut mengenai kinerja guru dalam melaksanakan asesmen alternatif, peneliti melakukan studi dokumentasi pada dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan rubrik asesmen. Lembar studi dokumentasi ini menggunakan skala penilaian 1-5 dengan deskripsi:

1= tidak terdapat aspek yang dinilai, 2= terdapat aspek yang dinilai, namun tidak relevan, 3=

terdapat aspek yang dinilai serta relevan, 4= terdapat aspek yang dinilai, relevan, dan lengkap, 5=

terdapat aspek yang dinilai, relevan, lengkap, dan rapi. Hasil analisis keseluruhan guru pada indikator RPP dan rubrik asesmen masih dalam kategori cukup dengan rata-rata presentase 42 %.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa guru masih kurang memiliki keterampilan merencanakan asesmen, guru hanya merencanakan format penilaian produk/ hasil saja tanpa merencanakan format penilaian proses/ kinerja anak seperti rubrik asesmen.

Hasil wawancara memperkuat bahwa guru membutuhkan model pelatihan yang memadai untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam merencanakan dan melaksanakan asesmen alternatif. Mekanisme program pelatihan yang pernah diikuti oleh guru tidak dilakukan analisis kebutuhan terlebih dahulu, sehingga guru asal mengikuti. Terlebih lagi tidak dilakukan tindak lanjut pasca pelatihan, sehingga guru tidak termotivasi untuk mengimplementasikan hasil pelatihan.

Sebuah studi juga mengungkapkan bahwa kegagalan sebuah program pelatihan bagi guru disebabkan oleh (a) program pelatihan bersifat topdown yang dirancang oleh pusat tanpa didasarkan pada kebutuhan nyata guru di lapangan, (b) mengeneralisasi masalah yang dihadapi, padahal permasalahan setiap guru bersifat lokal dan kontekstual, (c) penyelenggaraan pelatihan masih

(9)

berorientasi pada proyek dan berbasis anggaran bersifat masal. (Nugroho, 2017). Tindak lanjut pasca pelatihan jarang dilakukan oleh penyelenggara pelatihan. Padahal tindak lanjut pasca pelatihan bernilai sangat penting bagi pengembangan program pelatihan, peserta pelatihan, hingga lingkungan kerja peserta pelatihan. (Rafiq, 2015). Oleh karena itu penyelenggara pelatihan harus memperhatikan mulai dari pra pelatihan, pelaksanaan pelatihan, hingga pasca pelatihan.

Guru Pendidikan Anak Usia Dini adalah mereka yang mengkhususkan diri dalam pembelajaran dan perkembangan anak sejak lahir hingga usia enam tahun. Dalam pembelajaran, guru memiliki peran dan tanggung jawab mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penilaian, hingga evaluasi. Oleh karena itu, berharga atau tidaknya pembelajaran dan tercapai atau tidak tujuan pendidikan bergantung pada kemampuan guru dalam menjalankan tugas dan perannya sebagai pendidik profesional. (Maiza & Nurhafizah, 2019). Dalam menghadapi tantangan pelaksanan asesmen alternatif, maka guru diharapkan memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakannya. Untuk itu guru perlu banyak belajar tentang bagaimana mengelola pembelajaran termasuk melakukan asesmen. Guru yang profesional ditunjukkan dengan sikap yang selalu berusaha mengembangkan diri dalam praktik pengajarannya, sehingga dapat memberikan pembelajaran yang berkualitas kepada anak. Menjadi seorang profesional dibutuhkan waktu untuk dikuasai dan itu akan diperoleh melalui pelatihan. (Cain & Harris, 2013).

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tahap analisis bahwa guru membutuhkan model pelatihan asesmen alternatif untuk memudahkan guru dalam memahami dan menguasai keterampilan melaksanakan asesmen alternatif yang dilakukan tindak lanjut pasca pelatihan. Oleh karena itu tahap selanjutnya adalah merancang model pelatihan reflektif asesmen alternatif yang dituangkan dalam panduan pelaksanaan pelatihan yang dilengkapi dengan materi pelatihan tentang perencanaan asesmen alternatif berupa rubrik asesmen. Rubrik merupakan salah satu alat untuk menilai tugas kinerja anak yang kompleks dan sulit untuk diukur dengan tes. Dengan kata lain rubrik adalah format penilaian proses/ kinerja anak yang menggunakan kriteria rinci dan penskoran.

Materi pelatihan terdiri dari ruang lingkup Kurikulum 2013 PAUD, definisi asesmen alternatif, prasyarat asesmen alternatif, instrumen asesmen alternatif, cara menyusun asesmen alternatif, dan rubrik asesmen alternatif. Selanjutnya merancang alat evaluasi berupa angket respon peserta terhadap penyelenggaraan pelatihan yang memuat indikator tujuan pelatihan, materi pelatihan, metode pelatihan, waktu pelatihan dan instruktur pelatihan. Alat evaluasi angket dan soal tes pengetahuan asesmen alternatif divalidasi oleh ahli tanpa ada revisi.

Panduan pelatihan yang telah dirancang, selanjutnya divalidasi oleh para ahli (validator) untuk menguji tingkat validitas dan kelayakan model awal pelatihan (panduan pelatihan). Hasil penilaian dari tiga validator diperoleh nilai rata-rata 119 dan an nilai rerata sebesar 4.6. Dengan demikian, sesuai dengan perhitungan di atas maka dapat dinyatakan bahwa tingkat validitas dan kelayakan model dari beberapa aspek menunjukkan bahwa model pelatihan reflektif asesmen alternatif berada pada kriteria sangat valid dan sangat layak untuk digunakan.

Pada tahap implementasi, hasil pengembangan model pelatihan dilaksanakan dalam pembelajaran untuk mengetahui tingkat efektivitas pelatihan dan pengaruhnya terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan asesmen alternatif. Oleh karena itu dilakukan beberapa evaluasi, yaitu : Evaluasi level 1: persepsi (perception) dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas pelatihan melalui angket respon peserta pelatihan terhadap penyelenggaraan pelatihan. Aspek yang mendapatkan persentase rata-rata terbesar adalah aspek materi sebesar 96 % , hal ini menunjukkan bahwa materi pelatihan relevan dengan pekerjaan peserta pelatihan, kegiatan selama pelatihan mampu memotivasi guru untuk mengimpelentasikan hasil pelatihan sehingga mampu meningkatkan pengetahuan dan keterampilan guru dalam melaksanakan asesmen alternatif. Secara keseluruhan pelaksanaan model pelatihan reflektif asesmen alternatif yang ditinjau dari aspek tujuan, materi, metode, media, waktu, dan instruktur memperoleh rata-rata persentase 93 % dengan kriteria sangat baik. Sementara evaluasi level 2 : belajar (learning) digunakan untuk mengukur hasil belajar peserta melalui kegiatan pre-test dan post-test. Berdasarkan perhitungan nilai Gain menunjukkan bahwa model pelatihan reflektif asesmen alternatif berpengaruh pada kategori tinggi terhadap peserta dengan rata-rata nilai Gain 0.8.

(10)

DOI: 10.29313/ga:jpaudv6i1.9996

Pada tahap evaluasi dilakukan tindak lanjut pasca pelatihan atau melakukan evaluasi pada level 3 : kinerja (performance) untuk mengetahui apakah guru mengimplementasikan hasil pelatihan atau tidak. Evaluasi pada kinerja guru ini dilakukan dengan studi dokumentasi pada RPP dan rubrik asesmen, kemudian hasil studi dokumentasi ini dibandingkan dengan hasil studi dokumentasi sebelum pelatihan.

Gambar 4. Perbandingan Hasil Studi Dokumentasi Sebelum dan Setelah Pelatihan Pada Gambar 4. dapat dijelaskan bahwa seluruh responden mengalami peningkatan kemampuan dalam merencanakan asesmen alternatif sebelum dan sesudah pelatihan, yaitu : diantara 10 responden terdapat 6 peserta dengan kategori sangat baik (02T, 04R, 07T, 08T, 09T, 10T), dan 4 peserta dengan kategori baik (01T, 03T, 05R, 06R). Secara keseluruhan keterampilan guru dalam merencanakan asesmen alternatif berada pada kategori sangat baik yaitu 81 %.

SIMPULAN

Implementasi model pelatihan reflektif asesmen alternatif dapat meningkatkan kemampuan guru secara signifikan dalam melakukan asesmen alternatif di PAUD. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa guru kurang memiliki kemampuan dalam melaksanakan asesmen sehingga sangat membutuhkan pelatihan reflektif. Dasar kebutuhan tersebut menghasilkan pengembangan model pelatihan reflektif untuk kemudian diimplementasikan melalui pelaksanaan pelatihan hingga pelaksanaan tindak lanjut. Hasil pengukuran pre test dan post test menunjukkan perubahan kemampuan guru menjadi lebih baik. Selain itu pengukuran terhadap implementasi hasil pelatihan melalui analisis RPP dan rubrik asesmen yang dibuat oleh guru menunjukkan hasil yang baik dengan kecenderungan angka meningkat. Respon peserta terhadap pelaksanaan pelatihan juga menginformasikan bahwa pelatihan reflektif sesuai dengan kebutuhan guru.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Mahrooqi, R., & Denman, C. (2018). Alternative Assessment. The TESOL Encyclopedia of English Language Teaching, February, 1–6. https://doi.org/10.1002/9781118784235.eelt0325 Branch, R. M. (2020). Instructional Design: The ADDIE Approach. In Encyclopedia of Creativity,

Invention, Innovation and Entrepreneurship. https://doi.org/10.1007/978-3-319-15347- 6_300893

Cain, T., & Harris, R. (2013). Teachers’ action research in a culture of performativity. Educational Action Research, 21(3), 343–358. https://doi.org/10.1080/09650792.2013.815039

Creswell, J. W., & Clark, V. L. P. (2018). Designing and conducting mixed methods research. In HERD: Health Environments Research & Design Journal (Third edit, Vol. 12, Issue 1). SAGE Publications, Inc. https://doi.org/10.1177/1937586719832223

Cronjé, J. C. (2019). Blending Behaviourism and Constructivism : A Case Study in Support of a New Definition of Blended Learning. UNISA Press, 41(1), 1–19.

https://doi.org/10.25159/2663-5895/8314

Ene, E., & Riddlebarger, C. (2015). Intensive Reflection in Teacher Training: What is it Good For? Journal of Academic Writing, 5(Schön 1983), 157–168.

0%

100%

01T 02T 03T 04R 05R 06R 07T 08T 09T 10T

44% 44% 41% 41% 42% 41% 41% 43% 39% 41%

78% 83% 77% 81% 80% 79% 81% 83% 81% 82%

Persentase (%)

Kode Responden

Perbandingan Hasil Studi Dokumentasi Sebelum dan Setelah Pelatihan

Sebelum Pelatihan Setelah Pelatihan

(11)

https://doi.org/10.18552/joaw.v5i1.160

Fadlilah, A. N. (2021). Hambatan Pelaksanaan Asesmen Informal Dalam Pembelajaran Paud.

Cakrawala Dini: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 12(1), 62–72.

https://doi.org/10.17509/cd.v12i1.28675

Haryati, L. F., & Retnawati, H. (2016). Keterlaksanaan penilaian berdasarkan KTSP pelajaran matematika kelas X. Jurnal Matematics Paedagogic, I(1).

www.jurnal.una.ac.id/indeks/jmp%0Amempersiapkan

Kitta, S. (2014). Science Teachers’ Perceptions of Classroom Assessment in Tanzania: An Exploratory Study. International Journal of Humanities Social Sciences and Education (IJHSSE), 1(12), 2349. www.arcjournals.org

Krolak-Schwerdt, S., Glock, S., & Böhmer, M. (2014). Teachers’ professional development:

Assessment, training, and learning. Teachers’ Professional Development: Assessment, Training, and Learning, January 2014, 1–177. https://doi.org/10.1007/978-94-6209-536-6

Maiza, Z., & Nurhafizah, N. (2019). Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Pendidikan Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 3(2), 356. https://doi.org/10.31004/obsesi.v3i2.196

Novianti, R., Puspitasari, E., & Chairilsyah, D. (2013). Pemetaan Kemampuan Guru Paud Dalam Melaksanakan Asesmen Perkembangan Anak Usia Dini Di Kota Pekanbaru. Sorot, 8(1), 95.

https://doi.org/10.31258/sorot.8.1.2353

Nugroho, P. J. (2017). Pengembangan Model Pelatihan Inovatif Untuk Meningkatkan

Kompetensi Guru. Sekolah Dasar, 26(2), 101–115.

http://journal2.um.ac.id/index.php/sd/article/view/1487/

Popova, A., Evans, D. K., & Arancibia, V. (2016). Training Teachers on the Job: What Works and How to Measure It. Training Teachers on the Job: What Works and How to Measure It, October.

https://doi.org/10.1596/1813-9450-7834

Putri, N. S. E., Pratolo, B. W., & Setiani, F. (2019). The Alternative Assessment of EFL Students’

Oral Competence: Practices and Constraints. Ethical Lingua: Journal of Language Teaching and Literature, 6(2), 72–85. https://doi.org/10.30605/25409190.v6.72-85

Rafiq, M. (2015). Training Evaluation in an Organization using Kirkpatrick Model: A Case Study of PIA. Journal of Entrepreneurship & Organization Management, 04(03).

https://doi.org/10.4172/2169-026x.1000151

Silalahi, A. (2018). Development Research (Penelitian Pengembangan) dan Research &

Development (Penelitian & Pengembangan) Dalam Bidang Pendidikan/Pembelajaran.

Research Gate, July, 1–13. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.13429.88803/1

Sumintono, B., & Widhiarso, W. (2015). Aplikasi Pemodelan Rasch pada Assessment Pendidikan (Cetakan I). Trim Komunikata.

Widyastuti, E. (2019). Using the ADDIE model to develop learning material for actuarial mathematics Using the ADDIE model to develop learning material for actuarial mathematics.

https://doi.org/10.1088/1742-6596/1188/1/012052

Wortham, S. C. (2014). Assessment in Early Childhood Education Sixth Edition (Sixth). Pearson Education Limited.

(12)

DOI: 10.29313/ga:jpaudv6i1.9996

Referensi

Dokumen terkait

FOCUS ISSUE ARTICLE Strategies for ultrahigh outputs generation in triboelectric energy harvesting technologies: from fundamentals to devices Jeong Min Baik and Jin Pyo Lee School of

Indonesian Journal of International Law Indonesian Journal of International Law Volume 10 Number 1 Article 1 10-31-2012 ASEAN AND THE CONVENTION ON THE RIGHTS OF PERSONS ASEAN AND