KEASWAJAAN Oleh : Tim Fasilitator A. DEFINISI (Pengertian)
1. Etimologi (Bahasa)
Aswaja secara bahasa terbagi menjadi tiga kata : Ahlun yang berarti keluarga, golongan atau pengikut. Assunnah berarti segala sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW, baik berupa perbuatan (Fi’liyah), ucapan (Qouliyah), maupun persetujuan/ketetapan (Taqririyah) Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Aljama’ah adalah sekumpulan orang-orang yang berkomitmen mengikuti ajaran atau sunnah Nabi SAW. Yakni, apa yang telah
disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW.
2. Terminologi (Istilah)
Jadi untuk pengertian istilahnya, bisa disimpulkan bahwa Ahlussusnnah Wal Jama’ah ialah sekelompok atau golongan yang berpegang teguh pada apa yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
B. HISTORISITAS (Sejarah Aswaja Sebagai Paham Keagamaan)
Dalam akar sejarahnya, Aswaja memiliki pembagian fase yang menjadikannya banyak dianut dan diklaim oleh berbagai aliran paham keagamaan Islam. Adapun fase itu terbagi menjadi 3 fase : Pertama, fase teologi. Kedua, fase sosial-politik. Dan Ketiga, fase ideologi. Dari setiap fase memiliki karakteristik yang khusus. Pertama, fase teologi. Fase ini terbagi lagi 2 fase ; yakni fase teologi substansif (tidak dikabarkan melalui hadits Nabi) dan fase teologi formal.1
1. Fase Teologi
Fase teologi substansif ditandai dengan umat manusia yang selalu mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Hal ini terjadi sejak Nabi Muhammad diangkat menjadi rasul pada usia 40 tahun 6 bulan dan 8 hari. Ini fase awal di mana umat manusia diminta untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad yang kemudian dikenal dengan Islam. Jadi dahulu kala siapapun yang mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya mereka dianggap beraliran Aswaja. Setelah sahabat banyak bermunculan mengikuti Nabi, umat manusia juga diminta untuk mengikuti ajaran sahabat yang terlebih dahulu diajarkan oleh Nabi. Pada fase teologi substantif ini, kalimat Aswaja sama sekali tidak muncul, tetapi secara substantif umat manusia diajak untuk mengikuti ajaran Muhammad dan para sahabat, sehingga meski tidak secara formal muncul kalimat “Ahlussunnah Wal Jama’ah”, tetapi umat manusia sudah diminta untuk mengikuti ajaran Nabi dan sahabatnya yang secara substantif berarti
“Ahlussunnah Wal Jama’ah”. Pada fase ini, orang-orang yang menyatakan masuk Islam secara otomatis adalah pengikut Aswaja.
Sedangkan di fase teologi formal, berawal dari kejadian saat menjelang peristiwa wafatnya Nabi Muhammad SAW. Pada saat itu Nabi Muhammad SAW mengabarkan bahwa hari esok umatnya akan terpecah belah. Dengan perincian, kaum Yahudi terpecah menjadi 71
1 Nur Sayyid Santoso Kristeva, Handbook Discussion Sekolah Aswaja PMII, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet.
1, 2014), hal. 60
golongan, kaum Nasrani terpecah menjadi 72 golongan, dan kaum (umat) Islam terpecah menjadi 73 golongan. Sebagaimana hadist yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi.
ِتَقّرَفَتَو ،ًةَق ْرِف َنْيِعْبَسَو ِنْيَتْنِث ْوَأ ىَدْحِإ ىَلَع ُدْوُهَيْلا َقَرَتْفِا :َمّلَسَو ِهْيَلَع ُ اا ىّلَص ِا ُلْوُسَر َلاَق :َلاَق َةَرْيَرُه ْيِبَأ ْنَع
ًةَقْرِف َنْيِعْبَسَو ٍثَلَث ىَلَع ْيِتّمُأ ُقِرَتْفَتَو ًةَقْرِف َنْيِعْبَسَو ِنْيَتْنِث ْوَأ ىَدْحِإ ىَلَع ىَراَصّنلا.
Artinya: Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda : “ Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan.” (HR. Tirmidzi).
Dalam pembahasan diatas terkait terpecahnya permasalahan pemahaman agama, umat Nabi Muhammad SAW terpecah menjadi 73 golongan yang mana terdapat matan (teks
redaksional) hadist menyebutkan, bahwa semuanya akan masuk neraka, kecuali satu
golongan, yakni golongan yang mengikuti Nabi Muhammad dan sahabatnya. Hadist ini yang kemudian oleh warga Nahdliyin digunakan sebagai hujjah terkait dengan madzab Aswaja.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (No. Hadis : 2641).2
:ملسو هيلع ا ىلص ا لوسر لاق :لاق امهنع ا يضر ورمع نب ا دبع نع
ِِنْيَتْنِث ىَلَع ْتَقّرَفَت ليِئاَرْسِإ يِنَب ّنِإَو
،ةّلِم َنيِعْبَسَو ةَدِحاَو ةّلِم ّلِإ راّنلا يِف ْمهّلُك ،ةّلِم َنيِعْبَسَو ث َلَث ىَلَع يِتّمُأ قِرَتْفَتَو
َلاَق ؟ ّا لوُسَر اَي َيِه ْنَم : اوُلاَق ، اَم:
يِباَحْصَأَو ِهْيَلَع اَنَأ Artinya: Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash Radhiyallahu anhuma dia berkata:
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda : “ Dan sesungguhnya Bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua kelompok, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga kelompok (aliran paham keagamaan) , semuanya di neraka kecuali satu.” Para sahabat bertanya : “ Siapakah mereka wahai Rasulullah?.” Rasulullah menjawab : “ Kelompok (aliran paham keagamaan) yang mengikuti jalanku dan para sahabatku.” (HR.
Tirmidzi).
2. Fase Sosial-Politik Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, kepala negara atau pemimpin dari negara Islam yang dibuat oleh Nabi Muhammad adalah Abu Bakar Ash Shidiq. Abu Bakar dipilih sebagai pemimpin melalui sebuah musyawarah yang demokratis. Nabi Muhammad sema sekali tidak menunjuk pemimpin yang akan menggantikannya, sehingga pada akhirnya para sahabat menunjuk Abu Bakar sebagai pemimpin. Selanjutnya, pasca-Abu Bakar wafat,
kepemimpinan digantikan oleh Umar Bin Khattab yang dikenal dengan beberapa ijtihadnya yang melampaui ajaran tekstual Nabi. Pasca-Umar Bin Khattab wafat, kepemimpinannya diganti diganti oleh Ustman Bin Affan melalui sebuah pemilihan juga.Sejak Utsman Bin Affan wafat karena dibunuh pemberontak, kemelut muncul yang akhirnya perang antar- mukmin terjadi.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib yang menjadi khalifah saat itu harus berhadapan perang melawan Sayyidah Aisyah, mertuanya sendiri, yang menuntut qishas darah Utsman bin Affan. Dalam perang yang dikenal sebagai perang Jamal ini, puluhan sahabat besar dan hapal Alqur’an gugur terbunuh oleh sesama Muslim akibat provokasi dan konspirasi kaum munafiq Yahudi (Abdulah ibn Saba’ dkk.). Berikutnya, pecah perang Shiffin antara pasukan Ali berhadapan dengan pasukan Muawaiyah yang kemudian memunculkan peristiwa Tahkîm
2 https://markazsunnah.com/hadis-perpecahan-umat/
(Arbitrase). Ide Tahkîm dari kubu Muawiyah menjelang kekalahan pasukannya yang disetujui Ali ini, kemudian menyulut perpecahan di antara pasukan Ali, yang dari sini selanjutnya melahirkan sekte Islam Syi’ah yang mendukung kebijakan Ali dan sekte Khawarij yang menolak kebijakannya.
Berawal dari sini, muncul kelompok Islam baru yang menolak adanya tahkim dikenal dengan Khawarij. Dari sini, golongan Islam sudah pecah menjadi tiga, yaitu Syiah (kelompok pendukung Ali, dari awal, tahkim, hingga akhir hayat Ali), Khawarij (pendukung Ali yang kemudian keluar pasca-peristiwa tahkim. Khawarij adalah golongan yang tidak membela Ali maupun Muawiyah karena berpendapat bahwa keduanya tidak menggunakan hukum Allah atau Al Quran), dan pendukung Muawiyah. Jadi, tiga golongan Islam pada awalnya (terjadi sekitar tahun 40H) yang muncul adalah tiga: Syiah-Ali, Khawarij, dan Muawiyah.
Selanjutnya, untuk menguatkan kekuasaan Muawiyah dengan dalil agama, Muawiyah membuat aliran atau golongan Islam bernama Jabariyah yang mengajarkan bahwa setiap tindakan manusia adalah kehendak Allah. Sehingga, apa yang kita lakukan sudah menjadi takdir Allah. Saat ajaran Jabariyah menyebar, tidak semua ikut aliran ini. Aliran Jabariyah digunakan untuk melegimitasi atas kekuasaan Muawiyah dari tangan Ali, karena peperangan dan kemenangan Muawiyah semuanya sudah ditakdirkan oleh Allah. Dari sini, aliran Islam sudah empat, yaitu Syiah, Khawarij, Muawiyah, dan Jabariyah (kelanjutan dari Muawiyah).
Padahal, aliran Jabariyah secara politis digunakan Muawiyah untuk melegitimasi caranya mengalahkan Ali melalui tahkim atau arbitrase, bukan muncul secara murni sebagai ajaran untuk kemaslahatan umat.
Respons atas kemelut ini, cucu Ali Bin Abi Thalib yang bernama Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib membuat aliran baru yang kemudian dikenal dengan Qodariyah. Aliran Qodariyah mengajarkan kepada umat Muslim bahwa manusia memiliki kehendak dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya. Dalam hal ini, Allah tidak memiliki ikut campur dalam setiap kehendak manusia. Aliran Qodariyah muncul sebagai doktrin untuk melawan dan melakukan kritik terhadap aliran Jabariyah yang kian meresahkan umat. Seiring populernya aliran Qodariyah, paham ini kemudian mengalami metamorfosa menjadi aliran Mu’tazilah yang serba menggunakan logika dalam setiap ijtihadnya (rational minded).
3. Fase Ideologi atau Madzhab
Seiring berkembangnya ajaran Aswaja yang dirasa mampu mengakomodasi kepentingan ibadah-rohaniyah umat Muslim, Islam Aswaja atau orang juga populer menyebutnya Sunni berkembang pesat, hingga ke berbagai penjuru dunia di mana masing- masing kelompok Islam menggunakan ideologi Aswaja. Fase ini kemudian disebut dengan fase ideologi. Pada fase ini, Aswaja menjadi ideologi yang secara formal menjadi visi, spirit bagi perkumpulan atau organisasi keIslaman. Dalam fase ini pula, banyak organisasi yang kemudian saling klaim bahwa dirinya adalah organisasi Islam bermadzab Aswaja.
Prinsip Dasar Aswaja
Jika mencermati ajaran Aswaja, ada 4 prinsip dasar yang senantiasa harus diperhatikan untuk menghidari sikap-sikap tatharruf (ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Inilah yang menjadi esensi (inti) identitas untuk mencirikan ajaran Aswaja dengan sekte-sekte Islam lainnya. Diantaranya;3
1. Tawasuth (Moderat)
3 Youtube Abas Zahrotin, Aswaja Sebagai Manhaj Al Fikr
Ketika terjadi pertarungan antara paham keagamaan dari kaum Khawarij yang sangat tekstualis (segala sesuatu dikembalikan pada Al-Qu’an dan Hadist) dan kaum Mu’tazilah yang sangat liberal, dengan corak ijtihadnya berdasarkan rasio-akal sehat. Maka, kehadiran tawasuth ini berada ditengah-tengah (moderat) dari kedua paham keagamaan tersebut.
2. Tawazun (Seimbang)
Prinsip ini memiliki corak bagaimana seseorang tetap menyeimbangkan antara kepentingan dunia juga ibadah untuk akhiratnya. Jadi, tidak beribadah terus-menerus tapi lupa hal-hal duniawi dan tidak juga fokus duniawi terus sampai lupa ibadah akhiratnya.
3. Tasamuh (Toleran)
Dalam menghadapi perbedaan ajaran atau aliran-aliran paham keagamaan Islam yang banyak sekali. Diperlukan sikap tasamuh, dimana tidak menjustifikasi benar atau salah terhadap kelompok atau aliran yang berbeda. Jadi, menghargai dari adanya perbedaan ajaran atau aliran paham keagamaan tersebut.
4. Ta’adul (Adil)
Keadilan ini menjadi penting, karena Islam mengajarkan sikap adil. Misalnya, sikap adil dihadapan hukum yang mana seseorang disikapi atau diperlakukan sama tidak boleh dibedakan dengan lainnya.
C. ASWAJA MENURUT KH. HASYIM ASY’ARI
Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan berpaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari memang tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut. Bahwa pengertian Aswaja versi Nahdlatul Ulama’
merupakan sebuah paham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, dan dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), serta dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid Al- Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
Definisi tersebut sebenarnya merupakan penyederhanaan dari konsep keberagamaan bermadzhab dengan tujuan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah. Hal tersebut bukan berarti menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU sebagai organisasai yang
mengkoordinasikan para pengikut paham Aswaja, bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produk ijtihadnya, maka akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus.
Menurut NU, sistem bermazhab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan,
mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong Ahlussunnah Waljamaah.
Adapun penjelasan KH. Hasyim Asy’ari tentang Ahlussunnah Waljamaah versi Nahdlatul Ulama’ dapat difahami sebagai berikut:
1. Penjelasan aswaja KH Hasyim Asy’ari, jangan dilihat dari pandangan ta’rif (pengertian) menurut ilmu Manthiq yang harus jami’ wa mani’, akan tetapi itu merupakan gambaran yang akan lebih mudah kepada masyarakat untuk bisa mendaptkan pembenaran dan pemahaman secara jelas. Karena secara sudah pasti tentang Ahlussunnah Waljamaah para ulama berbeda secara redaksional, tapi muaranya sama yaitu Maa Ana A’laihi Wa Ashabii.
2. Penjelasan Aswaja versi KH. Hasyim Asy’ari, merupakan implimentasi (penerapan) dari sejarah berdirinya kelompok Ahlussunnah Waljamaah sejak masa pemerintahan Abbasiyah yang kemudian terakumulasi menjadi firqah yang berteologi Asy’ariyah dan Maturidiyah, berfiqh madzhab yang empat dan bertashuwf al-Ghazali dan Junai al-Baghdadi
3. Merupakan “Perlawanan” terhadap gerakan ‘wahabiyah’ (islam modernis)
di Indonesia waktu itu yang mengumandangkan konsep kembali kepada al-quran dan as- sunnah, dalam arti anti madzhab, anti taqlid, dan anti TBC. (Tahayyul, Bid’ah dan Churafaat).
Sehingga dari penjelasan Aswaja tersebut, untuk menegaskan prinsip dasar organisasi, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga
merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut, kemudian
diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan po1itik.
D. ASWAJA SEBAGAI MANHAJUL FIKR (Metode Berfikir) 1. Latar Belakang Aswaja Sebagai Manhaj
Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan) disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap anggota/kader organisasi kita. Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing- masing dalam menjalankan Islam. Dalam tradisi yang dikembangkan, penganut Aswaja didefinisikan sebagai orang yang mengikuti salah satu madzab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'I
ASWAJA Menurut KH. HASYIM ASY'ARI
Bidang Aqidah
menganut pendapat Abu Hasan Al- Asy’ari dan Abu Mansur Al-
Maturidi.
Bidang Fiqh
menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali).
Bidang Tasawuf
menganut Imam Junaid Al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.
dan Hambali) dalam bidang Fiqih, mengikuti Imam al-Asy’ari dan Maturidi dalam bidang Aqidah dan mengikuti Imam Junaid dan Imam Ghozali dalam bidang Tasawuf, dalam sejarahnya definisi semacam ini dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari.
Namun, proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Pada Tahun 1994, dimotori oleh KH. Said Aqil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab.
Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh.4 Menurut KH. Said Aqil Siradj, Aswaja sering dipahami sebagai suatu mazhab. Jika dipahami sebagai madzhab maka Aswaja akan mengkristal menjadi institusi (lembaga). Jelas pandangan ini paradoks dengan fakta sejrah kelahiran Aswaja. Aswaja itu sebenamya
bukanlah madzhab melainkan hanyalah Manhaj Al-Fikr atau paham yang didalamnya memuat banyak aliran dan mazhab. Kalau pun Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah Wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama yang dimaksud. Sehingga, pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman, mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya.
Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan Ahlussunnah Waljama’ah sebagai Manhaj Al-Fikr (metode berpikir).
Dalam perspektif pendekatan Aswaja sebagai Manhaj bisa dilakukan dengan cara bagaimana melihat Aswaja dalam setting sosial-politik dan kultural saat doktrin tersebut lahir atau dikumandangkan. Dengan demikian, dalam konteks Fikih misalnya, yang harus
dijadikan bahan pertimbangan bukanlah produknya, melainkan bagaimana kondisi sosial politik dan budaya ketika Imam Hanafi, Imam Syafi'i, Imam Malik dan Imam Hambali melahirkan pemikiran Fiqihnya. Dalam pemahaman Teologi/Aqidah dan Tassawuf juga seharusnya demikian. Begitu pula, berangkat dari pola pendekatan pemahaman Aswaja dalam sudut pandang Manhaj Al-Fikr yang paling penting, memahami Aswaja adalah menangkap makna dari latar belakang yang mendasari tingkah laku dalam ber-Islam, bernegara dan bermasyarakat.
Pandangan KH. Said Aqil Siradj tentang Aswaja yang dijadikan sebagai Manhaj Al- Fikr memang banyak mendapatkan tentangan dari berbagai pihak. Apalagi sejak kyai Said mengeluarkan karyanya yang berjudul “Ahlussunnah Waljama’ah; Sebuah Kritik Historis”.
Meskipun banyak sekali yang menentang pemikiran Said Aqil Sirodj dalam memahami Aswaja dalam konteks saat ini, akan tetapi harus diakui bahwa paradigma yang digunakan Said Aqil Siradj dalam menafsiri Aswaja patut untuk dihormati. Karena yang dilakukan merupakan wujud tafsir dalam memahami Aswaja di era Globalisasi.5
Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr. PMII memandang bahwa Ahlussunnah Waljama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek
kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran.
Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan. Inilah makna Aswaja sebagai Manhaj Al-Fikr. Sebagai Manhaj Al-Fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth, tawazun, ta’adul, dan tasamuh.
4 Nur Sayyid Santoso Kristeva, Manifesto Wacana Kiri, (Eye On The Revolution + Revdem Cilacap-Jogjakarta:
Edisi Revisi, Cetakan Kelima, November 2012), hal.127
5 https://www.fauzulandim.com/2013/01/aswaja-menurut-kh-hasyim-asyari-dan-kh.html
PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai Manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman. Bagi PMII, Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun, relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja sebagai Manhaj merupakan pilihan paling tepat, di tengah kenyataan
masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.
2. Metode Berfikir Aswaja
Metode pemikiran Aswaja senantiasa menghidari sikap-sikap tatharruf
(ekstrim), baik ekstrim kanan atau ekstrim kiri. Dari prinsip metode pemikiran seperti inilah, Aswaja membangun pemikiran, sikap, perilaku dan juga gerakan. Metode berfikir tersebut ialah :
a) TAWASUTH (Moderat) : Jalan tengah, Tawassuth merupakan landasan dan bingkai yang mengatur bagaimana seharusnya manusia mengarahkan pemikirannya agar tidak terjebak pada satu pemikiran saja. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, pemikiran moderat ini sangat urgen menjadi semangat dalam mengakomodir beragam
kepentingan dan perselisihan, lalu berikhtiar mencari solusi yang paling ashlah (terbaik).
b) TAWAZUN (Seimbang) : Keseimbangan di sini adalah bentuk hubungan yang tidak berat sebelah, atau menguntungkan pihak tertentu dan merugikan pihak yang lain.
Tetapi, masing-masing pihak mampu menempatkan diri sesuai dengan fungsinya, tanpa mengganggu fungsi dari pihak yang lain.
c) TASAMUH (Toleransi) : Bersikap toleran (menghargai) terhadap perbedaan
pandangan. Dalam konteks ini, tidak dibenarkan kita memaksakan keyakinan, apalagi hanya sekedar pendapat kita kepada orang lain. Contohnya, bergaul dengan semua teman tanpa membedakan agamanya.
d) TA’ADUL (Adil) : Adil adalah sikap proporsional berdasarkan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam kehidupan sosial, bisa dicontohkan sebagai rakyat sebagai komponen yang paling penting dalam negara demokrasi harus mendapatkan keadilan dari pemerintah, sesuai dengan hak-haknya dengan terimplementasikan undang- undang sebagaimana semestinya, tanpa diskriminasi.
E. TANTANGAN NALAR ASWAJA DALAM ZAMAN KONTEMPORER
Tantangan yang dihadapi saat menggunakan nalar Aswaja dalam konteks kekinian dan masa yang akan datang adalah fenomena berkembangnya ideologi Trans-nasional (lintas negara). Secara garis besar, baik yang berbasis sekuler (duniawi) maupun yang berbasis
agama (Islam). Dua besar ideologi dimaksud adalah liberalisme di satu pihak dan radikalisme di pihak lainnya. 6
Kedua ideologi di atas, menjadi ancaman serius bagi kesinambungan nalar Aswaja yang moderat, toleran, seimbang dan adil itu. Gempuran kekuatan liberal misalnya, telah nyata-nyata menghantam sendi-sendi pertahanan nilai yang dikembangkan oleh para ulama Aswaja selama berabad-abad. Nilai-nilai liberal tidak hanya mempengaruhi sistem ekonomi masyarakat, tetapi lebih jauh dari itu, telah merasuk dalam sistem sosial dan sangat mungkin sistem keagamaan. Liberalisme meniscayakan nilai-nilai kebebasan dalam hal apapun dengan menjadikan nalar manusia sebagai pusatnya, dengan tentu saja meniadakan bimbingan wahyu.
Sedangkan ideologi radikal, selain merugikan citra Islam seperti yang dikembangkan Aswaja yang damai dan rahmatan lil-‘alamin, juga menjadi hambatan bagi jalan dakwah dan persatuan umat Islam. Karena pada sisi yang lain, perkembangan ideologi radikal juga sangat mungkin dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam yang sebenarnya untuk memecah belah dan kemudian melemahkan kekuatan umat Islam untuk menebarkan misi dakwahnya tersebut.
Sebab, apabila umat Islam terpecah dan saling bermusuhan, maka sama dengan memberikan jalan yang lapang bagi kekuatan musuh-musuh Islam untuk menguasai dunia Islam dari sistem ekonomi, sosial dan politiknya.
Apalagi sekarang, maraknya dunia digital yang gampang merubah pola pikir netizen melalui propaganda media, entah mulai dari media berbasis kabar berita maupun media sosial seperti, youtube, instagram, threads, dan media sosial lainnya, tentu hal yang sedemikian semata-mata hanya bertujuan menghasut netizen agar mengikuti aliran tersebut. Oleh karena itu, patut berhati-hati dalam menggunakan media sosial dan harus semakin bijak dalam menghadapi berbagai postingan di media sosial yang belum tentu jelas sumbernya.
6 DR. H. Achmad Muhibbin Zuhri, Pengembangan Nilai-nilai Aswaja dan Tantangannya Dewasa Ini, akamawa.unusa.ac.id