• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Dan Ruang Lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Pengertian Dan Ruang Lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

18 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dan Ruang Lingkup Kekerasan Dalam Rumah Tangga 1. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Sebuah rumah tangga dengan keluarga inti (nuclear family) hanya terdiri atas suami, istri, dan anak-anak. Lazim pula dijumpai dalam masyarakat sebuah rumah tangga yang terdiri dari anggota-anggota keluarga yang lain seperti mertua, ipar, dan sanak saudara atas dasar pertalian darah maupun perkawinan suami istri bersangkutan. Selain itu, di dalam rumah tangga modern di kehidupan perkotaan umumnya diramaikan lagi dengan kehadiran orang lain yang berperan sebagai pembantu. Sang pembantu bisa saja berasal dari kerabat atau keluarga pasangan suami-istri bersangkutan dan bisa pula orang luar.

Di dalam rumah tangga, ketegangan maupun konflik merupakan hal yang biasa terjadi. Tidak ada satupun keluarga yang tidak mengalaminya. Pada tingkatan yang wajar, pertengkaran bahkan bisa menjadi pewarna yang dapat menambah semarak dan hangatnya hubungan antara suami dan istri. Akan tetapi kadang-kadang konflik dan ketegangan tersebut berkembang menjadi tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga atau biasa disebut Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

(2)

19 Dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menyatakan bahwa1 :

“Kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaraan rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”.

Menurut Arif Gosita bahwa28 : Yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah berbagai macam tindakan yang menimbulkan penderitaan mental, fisik, dan sosial para anggota keluarga oleh sesama anggota keluarga (anak/ menantu, ibu/ istri, dan ayah/ suami).

2. Ruang lingkup kekerasan dalam rumah tangga

Fenomena yang memprihatinkan di Indonesia adalah bahwa kekerasan dalam rumah tangga, yang sudah diangkat dalam isu global, cukup lama tidak mendapat perhatian di Indonesia. Menguak kausa dari ketidak pedulian masyarakat terhadap masalah ini memerlukan pembahasan tersendiri, akan tetapi cukuplah dikatakan bahwa struktur sosial, persepsi masyarakat tentang perempuan dan tindak kekerasan terhadap perempuan serta nilai masyarakat yang selalu ingin tampak harmonis dan karenanya sulit mengakui akan adanya masalah dalam rumah tangga apapun resikonya.

1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(3)

20 Maka dari itu, untuk mengatasi suatu tindak kekerasan dalam rumah tangga maka pemerintah membuat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga sebagai landasan masyarakat. Dalam Undang-Undang di atas telah diatur penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang terdapat dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang berbunyi :

“Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga”.

Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ini berlaku bagi setiap orang, tanpa membedakan jenis kelamin. Jadi, Undang- Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ini tidak hanya berlaku bagi seorang istri saja, namun juga berlaku untuk suami. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 huruf b Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, yaitu bahwa penghapusan kekerasan rumah tangga menganut asas kesetaraan gender yakni adanya kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam memiliki hak yang sama.

Kekerasan yang paling menyedihkan apabila terjadi di dalam lembaga perkawinan, lembaga yang menurut pandangan bangsa Indonesia adalah lembaga sakral harus menjadi tempat terjadinya kekerasan dan penyiksaan dalam ber-rumah tangga. Harus diakui bahwa, di dalam lembaga perkawinan banyak sekali terjadi kekerasan atau penyiksaan, khususnya yang dialami oleh istri yang tidak pernah diketahui oleh orang

(4)

21 lain, bukan hanya kekerasan fisik yang dialami istri, tetapi juga terjadi kekerasan psikis yang membuat istri sangat menderita.

Di dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, tidak disebutkan secara khusus mengenai pengertian kekerasan, tetapi dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan definisi kekerasan dalam rumah tangga sebagai berikut :

“Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara mealwan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk- bentuk kekerasan dalam rumah tangga terdiri atas :

1. Kekerasan fisik;

2. Kekerasan psikologis;

3. Kekerasan seksual;

4. Penelantaran rumah tangga; dan

5. Ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Herkutanto menyatakan jenis kekerasan pada perempuan dapat terjadi dari segi fisik atau psikis, selain itu dapat dilakukan secara aktif (menggunakan kekerasan) atau pasif (menelantarkan), dan pelanggaran seksual. Yang sering terjadi adalah kombinasi dari berbagai bentuk, walaupun dapat saja hanya muncul dalam salah satu bentuk diatas2.

2 Herkutanto. Kekerasan Terhadap Perempuan dan Sistem Hukum Pidana, Pendekatan dari Sudut Pandang Kedokteran. Makalah dalam lokakarya Kekerasan Terhadap Perempuan dan Sistem Hukum Pidana, Suatu Pembahasan Kritis. Jakarta1998., halaman. 5.

(5)

22 Lebih jauh Herkutanto membagi bentuk kekerasan sebagai berikut3:

1. Kekerasan fisik;

2. Kekerasan psikis;

3. Penelantaran perempuan; dan 4. Pelanggaran seksual;

a. Pelanggaran seksual tanpa unsur pemaksaan.

b. Pelanggaran seksual dengan unsur pemaksaan.

Bentuk kekerasan menurut Ita F Nadia adalah sebagai berikut4 : 1. Pelecehan seksual;

2. Pemukulan perempuan oleh pasangan hidupnya (domestic violence);

3. Perkosaan;

4. Perdagangan perempuan : TKW, Pelacuran, Pornografi; dan 5.

Pelanggaran hak reproduksi : pemasangan alat KB secara paksa.

Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis kekerasan terdiri atas :

1. Kekerasan fisik;

2. Kekerasan psikis;

3. Kekerasan seksual; dan 4. Penelantaran ekonomi.

Kekerasan fisik adalah suatu tindakan kekerasan yang mengakibatkan luka, rasa sakit, atau cacat pada Undang-Undang istri hingga menyebabkan kematian. Selanjutnya yang termasuk dalam bentuk kekerasan fisik adalah :

a. Menampar;

b. Memukul;

c. Menarik rambut;

d. Menyulut dengan rokok;

e. Melukai dengan senjata; dan

3 Ibid, halaman. 5-6.

4 Ita F Nadia.. Kekerasan terhadap perempuan dari perspekrif gender (kekerasan terhadap perempuan, lokakarya kesehatan perempuan). Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia dan The Ford Foundation, Jakarta, 1998 halaman.2.

(6)

23 f. Mengabaikan kesehatan istri.

Kekerasan psikologis/emosional adalah suatu tindakan penyiksaan secara verbal (seperti menghina, berkata kasar dan kotor) yang mengakibatkan menurunnya rasa percaya diri, meningkatkan rasa takut, hilangnya kemampuan unruk bertidak dan tidak berdaya. Kekerasan ini apabila sering terjadi maka dapat megakibatkan istri semakin tergantung kepada suami meskipun suaminya telah membuatnya menderita. Bentuk lain adalah mengijinkan atau membatasi untuk mengunjungi saudara maupun teman-temannya, mengancam akan menceraikan dan memisahkan istri dari anak-anaknya dan lain-lain.

Kekerasan seksual adalah setiap penyerangan yang bersifat seksual terhadap perempuan, baik terjadi persetubuan atau tidak, dan tanpa memperdulikan hubungan antara pelaku dan korban. Menurut Budi Sampurna, kekerasan seksual meliputi5 :

1. Pengisolasian istri dari kebutuhan batinnya;

2. Pemaksaan hubungan seksual dengan pola yang tidak dikehendaki atau tidak disetujui istri;

3. Pemaksaan hubungan ketika istri sedang tidak menghendaki, istri sedang sakit, atau menstruasi; dan

4. Memaksa istri berhubugn seks dengan orang lain, memaksa istri menjadi pelacur, dan sebagainya.

Contoh dari kekerasan ekonomi adalah tidak memberi nakfah kepada istri, memanfaatkan ketergantungan istri secara ekonomi untuk

5 Budi Sampurna. .Perempuan, kekerasan dan hukum.UII Press Yogyakarta 2003, halaman. 36.

(7)

24 mengontrol kehidupan istri , atau membiarkan istri bekerja kemudian penghasilannya dikuasai oleh suami.

B. Ruang lingkup penyidikan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

Penyidikan merupakan tahapan penyelesaian perkara pidana setelah penyelidikan yang merupakan tahapan permulaan mencari ada atau tidaknya tindak pidana dalam suatu peristiwa. Ketika diketahui ada tindak pidana terjadi, maka saat itulah penyidikan dapat dilakukan berdasarkan hasil penyelidikan. Pada tindakan penyelidikan, penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari dan menemukan” suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai tindakan pidana. Sedangkan pada penyidikan titik berat penekanannya diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”. Penyidikan bertujuan membuat terang tindak pidana yang ditemukan dan juga menentukan pelakunya. Pengertian penyidikan tercantum dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP yakni dalam Bab I mengenai Penjelasan Umum, yaitu:

“Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya”

Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 2 KUHAP, unsur-unsur yang terkandung dalam pengertian penyidikan adalah:

a. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang mengandung tindakan- tindakan yang antara satu dengan yang lain saling berhubungan;

b. Penyidikan dilakukan oleh pejabat publik yang disebut penyidik;

c. Penyidikan dilakukan dengan berdasarkan peraturan perundang- undangan.

(8)

25 d. Tujuan penyidikan ialah mencari dan mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi, dan menemukan tersangkanya.

Berdasarkan keempat unsur tersebut sebelum dilakukan penyidikan, telah diketahui adanya tindak pidana tetapi tindak pidana itu belum terang dan belum diketahui siapa yang melakukannya. Adanya tindak pidana yang belum terang itu diketahui dari penyelidikannya.6

Penyidik menurut Pasal 1 butir ke-1 KUHAP adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.

KUHAP lebih jauh lagi mengatur tentang penyidik dalam Pasal 6, yang memberikan batasan pejabat penyidik dalam proses pidana. Adapun batasan pejabat dalam tahap penyidikan tersebut adalah pejabat penyidik POLRI dan Pejabat penyidik negeri sipil.

Penyidik pembantu selain diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 KUHAP dan Pasal 6 KUHAP, terdapat lagi Pasal 10 yang mengatur tentang adanya penyidik pembantu disamping penyidik.7 Untuk mengetahui siapa yang dimaksud dengan orang yang berhak sebagai penyidik ditinjau dari segi instansi maupun kepangkatan, ditegaskan dalam Pasal 6 KUHAP. Dalam pasal tersebut ditentukan instansi dan kepangkatan seorang pejabat penyidik.

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 KUHAP yang dimaksud, yang berhak diangkat sebagai pejabat penyidik antara lain adalah:

6 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang, 2005, halaman.380-381.

7 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, cet VII, Sinar Grafika, Jakarta, halaman. 110.

(9)

26 a. Pejabat Penyidik Polri

Agar seorang pejabat kepolisian dapat diberi jabatan sebagai penyidik, maka harus memenuhi syarat kepangkatan sebagaimana hal itu ditegaskan dalam Pasal 6 ayat (2) KUHAP. Menurut penjelasan Pasal 6 ayat (2), kedudukan dan kepangkatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah, diselaraskan dan diseimbangkan dengan kedudukan dan kepangkatan penuntut umum dan hakim peradilan umum. Peraturan Pemerintah yang mengatur masalah kepangkatan penyidik adalah berupa PP Nomor 27 Tahun 1983. Syarat kepangkatan dan pengangkatan pejabat penyidikan antara lain adalah sebagai berikut:

b. Pejabat Penyidik Penuh

Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai pejabat “penyidik penuh”,harus memenuhi syarat-syarat kepangkatan dan pengangkatan, yaitu:

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Pembantu Letnan Dua Polisi;

b. Atau yang berpangkat bintara dibawah Pembantu Letnan Dua apabila dalam suatu sektor kepolisian tidak ada pejabat penyidik yang berpangkat

Pembantu Letnan Dua;

c. Ditunjuk dan diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia c. Penyidik Pembantu

Pasal 10 KUHAP menentukan bahwa Penyidik Pembantu adalah Pejabat Kepolisan Negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian Negara menurut syarat-syarat yang diatur

(10)

27 dengan peraturan pemerintah.8 Pejabat polisi yang dapat diangkat sebagai “penyidik pembantu” diatur didalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2010. Menurut ketentuan ini, syarat kepangkatan untuk dapat diangkat sebagai pejabat penyidik pembantu:9

a. Sekurang-kurangnya berpangkat Sersan Dua Polisi;

b. Atau pegawai negeri sipil dalam lingkungan Kepolisian Negara dengan syarat sekurang-kurangnya berpangkat Pengatur Muda (Golongan II/a);

c. Diangkat oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia atas usul komandan atau pimpinan kesatuan masing-masing.

d. Penyidik Pegawai Negeri Sipil

Penyidik Pegawai Negeri Sipil diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b KUHAP, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Pada dasarnya, wewenang yang mereka miliki bersumber pada undangundang pidana khusus, yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang penyidikan pada salah satu pasal.10 Wewenang penyidikan yang dimiliki oleh pejabat pegawai negeri sipil hanya terbatas sepanjang yang menyangkut dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang pidana khusus itu. Hal ini sesuai dengan pembatasan wewenang yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi: “Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi landasan hukumnya

8 Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan . Liberty, Yogyakarta, halaman. 19

9 M.Yahya Harahap. Op.Cit, halaman. 111-112

10 M.Yahya Harahap. Op.Cit, halaman.113

(11)

28 masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik Polri”

Sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) KUHAP, penyidik berwenang untuk a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya

tindak pidana;

b. Melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

g. Memanggil orang untuk diperiksa sebagai tersangka atau saksi (Pasal 7 ayat (1) jo Pasal 112 ayat (1) KUHAP);

h. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab;

2. Dalam hal dianggap perlu dapat meminta pendapat seorang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus (Pasal 120 KUHAP jo Pasal 133 ayat (1) KUHAP).

3. Penyidik dapat mengabulkan permintaan tersangka, keluarga, atau penasihat hukum tersangka atas penahanan tersangka (Pasal 123 ayat (2) KUHAP).

4. Penyidik dapat mengadakan penjagaan atau penutupan tempat atau rumah yang digeledah demi keamanan dan ketertiban (Pasal 127 ayat (1) KUHAP).

5. Penyidik berhak memerintahkan setiap orang yang dianggap perlu tidaknya meninggalkan tempat terrsebut selama penggeledahan berlangsung (Pasal 127 ayat (2) KUHAP).

(12)

29 6. Dalam hal timbul dugaan kuat ada surat palsu atau yang dipalsukan, penyidik dengan izin ketua pengadilan negeri setempat dapat datang atau dapat minta kepada pejabat penyimpan umum yang wajib dipenuhi, supaya ia mengirimkan surat asli yang disimpannya itu kepadanya untuk dipakai sebagai bahan perbandingan (Pasal 132 ayat (2) KUHAP)

Dalam melaksanakan tugasnya tersebut Penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Untuk itu Penyidik membuat berita acara pelaksanaan tindakan (Pasal 75 KUHAP) tentang:11

1. Pemeriksaan tersangka;

2. Penangkapan;

3. Penahanan;

4. Penggeledahan;

5. Pemasukan rumah;

6. Penyitaan benda;

7. Pemeriksaan surat;

8. Pemeriksaan saksi;

9. Pemeriksaan tempat kejadian;

10. Pelaksanaan Penetapan dan Putusan Pengadilan;

11. Pelaksanaan tindakan lain sesuai KUHAP.

C. Kekerasan Seksual Dalam Rumah Tangga

Kekerasan seksual pada umumnya sangat berhubungan dengan kekerasan terhadap perempuan.Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan ini, ada banyak fakta yang telah terjadi di Indonesia yang mengakibatkan korban perempuan yang mengalami kekerasan semakin meningkat. Salah satu bentuk konkret dari kekerasan terhadap perempuan

11 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Djambatan, Jakarta, 1989, halaman. 92-93.

(13)

30 adalah kekerasan seksual.Kekerasan seksual adalah segala serangan yang mengarah pada seksualitas seseorang (baik laki-laki maupun perempuan) yang dilakukan dibawah tekanan.Kekerasan seksual adalah termasuk, tetapi tidak terkecuali pada perkosaan, perbudakan seksual, perdagangan orang untuk eksploitasi seksual, pelecehan seksual, sterilisasi paksa, pengambilan paksa dan prostitusi paksa.12

Kekerasan seksual terhadap istri yang terjadi dalam rumah tangga lebih dikenal oleh masyarakat umum disebut dengan istilah marital rape atau diartikan secara harfiah adalah pemerkosaan dalam rumah tangga. Marital Rape sendiri merupakan suatu istilah yang berkembang di masyarakat dimana dianggap telah terjadi pemerkosaan dalam rumah tangga atau yang terjadi dalam perkawinan dimana pada posisi seorang suami yang memaksa dengan kekerasan pada istrinya untuk melakukan hubungan seksual pada saat istri tidak menghendakinya atau di saat istri tidak menghendaki melakukan hubungan seksual dengan cara-cara yang tidak wajar atau tidak disukai istri.13

Dokumentasi Komnas Perempuan menunjukkan perkosaan dalam perkawinan terjadi.Jumlahnya memang tidak banyak, yaitu 11 kasus.Namun Komnas Perempuan meyakini jumlah tersebut bisa lebih banyak jika faktorfaktor seperti korban mau dan berani melaporkan kasusnya, akses pada lembaga layanan lebih mudah dan adanya dukungan dari keluarga, komunitas

12 International Criminal Tribunal for Rwanda, Chamber 1., dalam Betty Itha Omas, Dkk., Kekerasan Terhadap Perempuan Sebagai Pelanggaran HAM, Glosari, Indonesia, Desember, 2006 halaman. 44.

13 Dikutip dalam website di internet dengan alamat website:

http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=27&Itemi d=27. Diunduh pada 27 November, 2015.

(14)

31 dan masyarakat bagi korban.14 15Dalam konteks kehidupan keluarga sebagai institusi terkecil, kekerasan seksual pun acap kali terjadi. Suatu keluarga merupakan tempat paling rawan bagi munculnya tindak kekerasan terhadap perempuan khususnya kekerasan terhadap istri, namun kekerasan terhadap istri selama ini tak pernah didefinisikan sebagai persoalan sosial.Akibatnya nyaris mustahil bagi istri meminta bantuan untuk mengatasi kekerasan suaminya.

Kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri atau yang dikenal dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi di masyarakat. Kekerasan seksual terhadap istri berakibat pada kesengsaraan dan penderitaan secara fisik, seksual dan psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang ada di depan umum atau dalam lingkungan pribadi. Masih lemahnya sistem hukum yang berlaku di masyarakat merupakan faktor penyebab kekerasan terhadap istri.16

Suami yang mestinya berfungsi sebagai pengayom justru berbuat yang jauh dari harapan anggota keluarga. Kekerasan terhadap istri dalam suatu rumah tangga, sering oleh para ahli dianggap sebagai “hidden crime”.

Meskipun telah memakan cukup banyak korban dari berbagai kalangan

14 Dikutip dalam tulisan Patriacia Viseur Seller.The Prosecution of Sexual Violence in Conflict, The Importance of Human Rights as Means of Interpretation. Diunduh pada 20 Agustus

15.http://www2.ohchr.org/english/issues/women/docs/Paper_Prosecution_of_Sex ual_Violence.pdf

16 Dikutipdalam “Kekerasan Seksual Yang Dilakukan Suami Terhadap Istrinya”http://www.lawskripsi.com/index.php?option=co m_content&view=article&id=

27& Itemid=27.

(15)

32 masyarakat.17 Kekerasan dalam rumah tangga, masih merupakan masalah sosial serius yang kurang mendapat perhatian masyarakat, karena :

a) Kekerasan Dalam Rumah Tangga memiliki ruang lingkup yang relatif tertutup (pribadi) dan terjaga privasinya karena persoalannya yang terjadi dalam rumah tangga (keluarga).

b) Kekerasan Dalam Rumah Tangga sering dianggap wajar karena adanya keyakinan bahwa memperlakukan istri sekehendak suami adalah hak suami sebagai pemimpin dan kepala dalam rumah tangga.

c) Kekerasan Dalam Rumah Tangga terjadi dalam lembaga yang legal yaitu pserkawinan.18

Kekerasan seksual terhadap istri adalah salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Menurut Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), KDRT adalah “setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.”

Sebagian besar korban KDRT adalah kaum perempuan (istri) dan pelakunya adalah suami, walaupun ada juga korban justru sebaliknya, atau

17 Batara Munti, Ratna (ed), Advokasi Legislatif Untuk Perempuan : Sosialisasi Masalah dan Draft Rancangan Undang Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, LBH APIK, Jakarta 2000 halaman 3

18 Pengemaran Diana Ribka, Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga,Hasil Penelitian di Jakarta , J: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia ,1998, Halaman, 78

(16)

33 orang-orang yang tersubordinasi di dalam rumah tangga itu. Pelaku atau korban KDRT adalah orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembatu rumah tangga, tinggal di rumah ini. Ironisnya kasus KDRT sering ditutup- tutupi oleh si korban karena terpaut dengan struktur budaya, agama dan sistem hukum yang belum dipahami.Padahal perlindungan oleh negara dan masyarakat bertujuan untuk memberi rasa aman terhadap korban serta menindak pelakunya.

Berdasarkan defenisi di atas, maka diketahui bahwa kekerasan seksual terhadap istri adalah bentuk konkret dari kekerasan dalam rumah tangga.

Adapun kekerasan seksual terhadap istri ini sendiri dibagi atas dua bagian, yakni:

a. Kekerasan Seksual Berat, berupa:

1) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.

2) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.

3) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.

4) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.

(17)

34 5) Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi

ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.

6) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

b. Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.

c. Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

Penjelasan:

Kata ‘pemaksaan hubungan seksual’ disini lebih diuraikan untuk menghindari penafsiran bahwa ‘pemaksaan hubungan seksual’ hanya dalam bentuk pemaksaan fisik semata (seperti harus adanya unsur penolakan secara verbal atau tindakan), tetapi pemaksaaan juga bisa terjadi dalam tataran psikis (seperti dibawah tekanan sehingga tidak bisa melakukan penolakan dalam bentuk apapun). Sehingga pembuktiannya tidak dibatasi hanya pada bukti-bukti bersifat fisik belaka, tetapi bisa juga dibuktikan melalui kondisi psikis yang dialami korban. Tindakan- tindakan kekerasan seksual ini dalam dirinya sendiri (formil) merupakan tindakan kekerasan dengan atau tanpa melihat implikasinya. Implikasi itu sendiri harus nya dimasukkan sebagai unsure pemberat (hukuman).

(18)

35 Imlikasi tersebut misalnya, rusaknya hymen, hamil, keguguran, terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), kecacatan, dll.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk lebih memudahkan peneliti dalam menganalisa masalah kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di Kota Bandung, maka pendekatan fenomenologi menjadi metode atau