• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penguatan Nilai Agama Dalam Perkembangan Moral Anak Usia Dini

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Penguatan Nilai Agama Dalam Perkembangan Moral Anak Usia Dini"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

128

PENGUATAN NILAI AGAMA DALAM PERKEMBANGAN MORAL ANAK USIA DINI

OLEH

Nyoman Wiraadi Tria Ariani1*, I Gde Dhika Widarnandana2

1 Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

2 Universitas Dhyana Pura

Email Corresponding : 1 nyomantria@uhnsugriwa.ac.id 2 gdedhika@undhirabali.ac.id Abstrak

Pendidikan Anak Usia Dini berfungsi membina, menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak pada usia dini secara optimal sehingga terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai dengan tahap perkembangannya agar memiliki kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya. Penguatan nilai agama sebaiknya dikembangkan sejak dini agar saat dewasa anak dapat menghadapi dilema kehidupan dan dapat menjaga keseimbangan hidup. Agama mencakup keyakinan atau kepercayaan, pemujaan terhadap apa yang diyakini, dan aturan untuk menjalin hubungan dengan orang-orang berdasarkan sistem kepercayaan dan sistem ibadah. Tertanamnya nilai moral yang mapan pada anak-anak akan membuatnya mampu berperilaku sopan dan santun kepada siapa pun, dan mampu menghormati orang lain. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka. Penguatan nilai agama tercermin dalam perkembangan moral anak sehingga anak menjadi tahu yang baik dan buruk, benar maupun salah. Penguatan nilai agama dalam perkembangan moral dapat diberikan kepada anak sesuai dengan usianya menggunakan metode keteladanan, diskusi, bermain peran, outbond, bernyanyi, karyawisata, pembiasaan, bermain, dan bercerita.

Kata Kunci: nilai agama, perkembangan moral, anak usia dini

I. PENDAHULUAN

Pada tahapan anak usia dini merupakan masa emas perkembangan karena pada masa ini seorang anak akan sangat mudah untuk dibentuk perilaku dan pengetahuannya sehingga pada masa ini akan menentukan pada proses perkembangan anak di masa selanjutnya (Sufa & Setiawan, 2017). Menurut Pasal 1 ayat 14 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mengatur pendidikan anak usia dini mengarahkan mengoptimalkan perkembangan anak sejak awal kelahiran hingga berumur 6 tahun yang bertujuan untuk mendorong tumbuh kembang anak dengan memberikan stimulasi pendidikan (Oktarina & Maemonah, 2019). Pendidikan Anak Usia Dini memiliki potensi untuk mengembangkan keterampilan sosial, bahasa dan komunikasi serta keterampilan motorik pada anak-anak usia dini. Hal ini dapat dilakukan apabila lingkungan pendidikan dapat memacu imajinasi mereka dan lingkungan pendidikan menyenangkan bagi anak. Pada masa emas ini, salah satu pendidikan yang patut berkembang adalah penguatan nilai agama (Aunurrahman, 2009).

Penguatan nilai agama sebaiknya dikembangkan sejak dini agar saat dewasa anak dapat menghadapi dilema kehidupan dan dapat menjaga keseimbangan hidup dengan menggunakan penguatan nilai- nilai agama (Zelvi, 2017).

Penguatan nilai-nilai agama pada anak usia dini sangat erat kaitannya dengan perkembangan moralnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), moral memiliki makna akhlak atau Vidya Samhita : Jurnal Pelelitian Agama

Volume 1, Nomor 1, 2020. pp 128 – 134 p-issn : 2460 – 3376, e-issn : 2460 – 4445

https://www.ejournal.ihdn.ac.id/index.php/vs/index

(2)

129 tingkah laku yang susila, sedangkan moralitas dimaknai dengan kesusilaan. Perkembangan moral mengacu pada aspek budi pekerti, nilai moral dan keagamaan (Kilpatrick, 1993). Oleh karena itu, peran lingkungan keluarga dan sekolah sangat penting dalam penguatan nilai-nilai agama dalam perkembangan moral anak usia dini karena keluarga yang pertama kali mengajarkan perilaku baik buruk pada anak sehingga berdampak pada pembelajaran etika, dan moralitas dengan benar. Peran keluarga menjadi pondasi awal perkembangan dan pendidikan anak, tak hanya pendidikan di sekolah, namun juga seluruh aspek yang dapat menjadi acuan sebagai sumber pendidikan.

Anak-anak membentuk nilai-nilai moral melalui interaksi timbal balik dengan lingkungannya (Dahl & Killen, 2018). Pendidikan moral yang diberikan keluarga pada anak mengajarkan anak agar dapat membedakan yang benar maupun salah, sehingga anak dapat berperilaku dengan baik.

Perkembangan moral pada anak bukan merupakan warisan orang tua, melainkan didapat dengan penanaman nilai-nilai moral melalui pendidikan dan penguatan nilai-nilai agama pada anak (Usakli, 2010). Melalui peran keluarga saat memberikan proses penguatan nilai-nilai agama dalam perkembangan moral yang baik, maka perilaku anak yang baik pula yang terbentuk dikemudian hari.

Perkembangan moral menjadi faktor penentu bagaimana anak dalam bertingkah laku untuk masa depannya (Putri, 2017).

Penanaman nilai moral yang baik pada anak akan membentuk anak untuk berperilaku sopan dan santun kepada siapa pun, mampu menghormati orang lain yang lebih tua darinya, patuh kepada aturan, bersikap sabar, jujur serta mau menghargai orang lain (Nurhayati dkk., 2019). Moral merupakan bentuk atau hasil dari nilai-nilai yang hitam putih, yakni antara benar dan salah, yang dapat berimplikasi pada aturan yang berpengaruh pada perilaku anak (Fatmawati & Supriyanto, 2018).

Perkembangan moral berkaitan erat dengan tingkat pengendalian diri yang dapat dilakukan seseorang terkait dengan aturan sosial (Ozbey, 2014). Perkembangan moral merupakan proses yang terjadi sepanjang hidup yang tercermin pada tingkah laku, budi pekerti, akhlak maupun pembentukan karakter pada anak seiring bertambahnya usia anak (Nurjanah, 2018). Dengan demikian, sangat penting untuk melakukan penguatan nilai-nilai agama dalam perkembangan moral anak usia dini.

II. PEMBAHASAN

Indonesia memiliki ragam budaya, latar belakang sosial, adat istiadat, agama, dan berbagai macam keanekaragaman unsur sosial sehingga anak Indonesia mempunyai beranekaragam perbedaan dan hal ini perlu dicermati pada saat memberikan penguatan nilai-nilai agama dan pendidikan moral.

Perbedaan ini dapat ditunjukan kepada anak sebagai suatu materi pendidikan untuk dipahami dan disikapi dengan bijaksana. Oleh karena itu, pendidikan dasar yaitu pendidikan anak usia dini di Indonesia menitikberatkan pada pengembangan kepribadian dengan penguatan nilai agama dalam perkembangan moral anak usia dini sehingga muatan multikultur menjadi penting. Pada masa ini, kesempatan anak untuk mengenal berbagai perbedaan sebagai bagian dari keragaman budaya Indonesia diperluas. Kemudian, pemahaman anak terhadap perbedaan ini diharapkan akan semakin meningkatkan pemahaman antarbudaya dan membangun sikap toleran pada anak sehingga berdampak pada keterampilan anak untuk berinteraksi dengan orang lain atau kelompok lain.

2.1. Penguatan Nilai Agama Anak Usia Dini

Agama adalah jalan bagi umat manusia untuk mencapai tujuan yang sangat suci dan mulia (Kurnia, 2015). Menurut Endang Saifuddin Ansri (dalam Kurnia, 2015) keagamaan memuat unsur- unsur sebagai berikut:

1. Sistem Credo (sistem kepercayaan atau kepercayaan) untuk hal-hal selain manusia absolut.

2. Sistem Ritus (sistem pemujaan) untuk manusia absolut.

3. Sistem Norma (kaidah) yang membereskan berkenaan anatara sesama manusia.

4. Sistem moral atau sering disebut "moralitas" yang berkenaan dengan etika, nurani, sopan santun.

(3)

130 Oleh karena itu, dalam arti luas, agama mencakup keyakinan atau kepercayaan, pemujaan terhadap apa yang diyakini, dan aturan untuk menjalin hubungan dengan orang-orang berdasarkan sistem kepercayaan dan sistem ibadah (Ananda, 2017). Menurut Hidayat (2008) tujuan pendidikan anak usia dini untuk mengembangkan nilai-nilai agama adalah menumbuhkan iman dan cinta kepada Tuhan, mendorong anak untuk menyembah Tuhan, memperoleh perilaku dan kelakuan anak berdasarkan nilai-nilai keagamaan serta menolong anak jadi lebih memilliki iman serta taat kepada Tuhan. Menurut Henry Hazlitt (2003): ciri-ciri pemahaman nilai keagamaan pada anak usia dini yang mengikuti kegiatan Taman Kanak-kanak (TK) adalah sebagai berikut:

1. Unreflective: Kemampuan anak memahami dan mempelajari nilai-nilai agama biasanya menunjukkan bahwa mereka tidak seserius itu. Anak melakukan tindakan keagamaan atas kelakuan yang naif dan berkarakteristik serta adanya ketidakmampuan anak untuk menguasai rancangan keagamaan secara meluas.

2. Egocentris: Saat menekuni nilai keagamaan, anak TK kadang tidak bisa bertindak bersama.

Anak-anak menaruh lebih banyak energi atas kejadian yang berguna bagi mereka.

3. Misunderstand: Anak-anak menghadapi kesalahpahaman ketika memahami doktrin agama yang sebagian besar abstrak.

4. Verbalis dan Ritualis: Dengan memperkenalkan istilah-istilah agama, metode membaca dan berekspresi, sehingga dapat digunakan untuk mengembangkan nilai agama, misalnya latihan memori, pengucapan, demonstrasi, dll.

5. Imitative: Anak-anak bisa belajar banyak hal dengan mata kepala sendiri. Mereka meniru banyak hal yang dia pikir dia pelajari.

2.2. Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Perkembangan moral pada anak berpengaruh terhadap perilaku atau sikap yang diaktualisasikan olehnya kepada orang tua maupun terhadap sesamanya. Pokok pertama yang terpenting dalam pendidikan moral adalah menjadi pribadi yang bermoral dalam arti seorang anak dapat belajar apa yang diharapkan kelompoknya. Harapan tersebut diperinci bagi seluruh anggota kelompok dalam bentuk hukum, kebiasaan, dan peraturan. Inilah bukti bahwa untuk membentuk manusia bermoral, diperlukan perangkat yang komprehensif dan memerlukan proses pembinaan yang panjang.

Pendidikan moral yang tepat dapat dioptimalkan dengan memahami perkembangan moral.

Menurut Kohlberg (dalam Slavin, 2006) perkembangan moral berada pada beberapa tingkatan yaitu:

1. Tingkat 1, tingkat yang paling dasar yang dinamakan dengan penalaran moral prakonvensional. Pada tingkatan ini anak belum menunjukkan internalisasi nilai-nilai moral (secara kokoh). Namun sebagian anak usia dini ada yang sudah memiliki kepekaan atau sensitivitas yang tinggi dalam merespon lingkungannya positif dan negatif. Pada tahap ini, anak melihat suatu kegiatan dianggap salah atau benar berdasarkan hukuman dan kepatuhan (punishment dan obedience orientation) serta individualisme dan orientasi tujuan instrumental (individualism and instrumental purpose). Pada tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, suatu tindakan dinilai benar atau salah tergantung pada akibat dari kegiatan tersebut. Suatu kegiatan yang membuat ibu marah dianggap salah dan suatu kegiatan yang membuat ibu senang dianggap baik atau benar. Pada tingkat ini aturan berisi aturan moral yang dibuat berdasarkan otoritas. Anak tidak melanggar aturan moral karana takut ancaman atau hukuman dari otoritas. Tingkat ini dibagi menjadi empat tahap: (1) tahap orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman pada tahap ini anak hanya mengetahui bahwa aturan-aturan ini ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat. Anak harus menurut, atau kalau tidak, akan mendapat hukuman. (2) tahap relativistik hedonosme pada tahap ini anak tidak lagi secara mutlak tergantung pada aturan yang berada di luar dirinya yang ditentukan orang lain

(4)

131 yang memiliki otoritas. Anak mulai sadar bahwa setiap kejadian mempunyai beberapa segi yang bergantung pada kebutuhan (relativisme) dan kesenangan seseorang (hedonisme).

2. Tingkat 2, konvensional, yakni anak mematuhi aturan yang dibuat bersama agar diterima dalam kelompoknya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi mengenai anak yang baik. Pada tahap ini anak mulai memperlihatkan orientasi perbuatan yang dapat dinilai baik atau tidak baik oleh orang lain atau masyarakat. Sesuatu dikatakan baik dan benar apabila sikap dan perilakunya dapat diterima oleh orang lain atau masyarakat. (2) tahap mempertahankan norma sosial dan otoritas. Pada tahap ini anak menunjukkan perbuatan baik dan benar bukan hanya agar dapat diterima oleh lingkungan masyarakat di sekitarnya, tetapi juga bertujuan agar dapat ikut mempertahankan aturan dan norma/ nilai sosial yang ada sebagai kewajiban dan tanggung jawab moral untuk melaksanakan aturan yang ada.

3. Tingkat 3, pasca konvensional. Pada tingkat ini anak mematuhi aturan untuk menghindari hukuman kata hatinya. Tingkat ini juga terdiri dari dua tahap. (1) tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan sosial. Pada tahap ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan lingkungan sosial dan masyarakat. Seseorang menaati aturan sebagai kewajiban dan tanggung jawab dirinya dalam menjaga keserasian hidup masyarakat. (2) tahap universal. Pada tahap ini selain ada norma pribadi yang bersifat subyektif ada juga norma etik (baik/buruk, benar/salah) yang bersifat universal sebagai sumber menentukan sesuatu perbuatan yang berhubungan dengan moralitas.

Selanjutnya, Piaget (dalam Slavin, 2006) menyatakan perkembangan moral berlangsung dalam 2 (dua) tahap, yaitu:

1. Tahap Realisme Moral, moralitas oleh pembatasan (usia kurang 12 tahun). Usia 0-5 tahun: pada tahap ini perilaku anak ditentukan oleh ketaatan otomatis terhadap peraturan tanpa penalaran atau penilaian. Anak menilai tindakan berdasar konsekuensinya. Usia 7/8-12 tahun: pada tahap ini anak menilai perilaku atas dasar tujuan. Konsep tentang benar/salah mulai dimodifikasi (lebih fleksibel). Konsep tentang keadilan mulai berubah.

2. Tahap Operasional Formal, moralitas dengan analisis (usia diatas 12 tahun). Anak mampu mempertimbangkan segala cara untuk memecahkan masalah serta anak mampu beerpikir secara nalar atas dasar hipotesis dan dalil sehingga ia dapat melihat masalah dari berbagai sudut pandang.

Kemudian Lickona (1991) menyatakan bahwa untuk mendidik moral anak sampai pada tataran moral action, diperlukan tiga proses pembinaan yang berkelanjutan, yang dimulai dari proses moral knowing, moral feeling, dan moral action. Ketiganya harus dikembangkan secara terpadu dan seimbang.

Dengan demikian, diharapkan potensi anak dapat berkembang secara optimal, baik pada aspek kecerdasan intelektual, kemampuan membedakan yang baik dan buruk, benar dan salah, maupun menentukan mana yang bermanfaat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan moral menurut Hurlock, (dalam Slavin, 2006) adalah:

1. Peran hati nurani atau kemampuan untuk mengetahui apa yang benar dan salah apabila anak dihadapkan pada situasi yang memerlukan pengambilan keputusan atas tindakan yang harus dilakukan.

2. Peran rasa bersalah dan rasa malu apabila bersikap dan berperilaku tidak seperti yang diharapkan dan melanggar aturan.

3. Peran interaksi sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan dengan orang lain.

(5)

132 2.3. Metode Penguatan Nilai Agama Dalam Perkembangan Moral Anak Usia Dini

Penguatan nilai agama dalam perkembangan moral anak dapat dikembangkan melalui metode sebagai berikut:

1. Metode keteladanan

Memberikan contoh keteladanan dengan menempatkan diri sebagai fasilitator, pemimpin, orangtua dan bahkan tempat menyandarkan kepercayaan, serta membantu anak dalam melakukan refleksi (Machsunah, 2017).

2. Metode diskusi

Mendiskusikan tentang suatu kejadian atau peristiwa. Misalnya meminta anak memperhatikan sebuah tayangan video, kemudian selanjutnya anak diajak berdiskusi mengenai tayangan tersebut. Hal yang didiskusikan seperti mengapa melakukan tindakan dalam video, mengapa anak itu dikatakan baik, dan sebagainya (Sapendi, 2015).

3. Metode bermain peran

Dengan bermain peran anak akan mempunyai kesadaran merasakan jika ia menjadi seseorang yang dia perankan dalam kegiatan bermain peran (Risnawati, 2012).

4. Metode Outbond

Melalui kegiatan outbond, anak akan dengan leluasa menikmati segala bentuk tanaman, hewan, dan alam. Cara ini dilakukan agar anak tidak hanya memahami apa yang diceritakan atau dituturkan oleh guru atau pendidik di dalam kelas. Melainkan anak diajak langsung melihat atau memperhatikan sesuatu yang sebelumnya pernah diceritakan di dalam kelas, sehingga apa yang terjadi di kelas akan ada sinkronisasi dengan apa yang tampak di lapangan atau alam terbuka (Yunaida, Hana; Rosita, Tita, 2018).

5. Metode Bermain

Dengan bermain banyak terkandung nilai-nilai mau mengalah, kerjasama, tolong menolong, budaya antri dan menghormati teman. Nilai moral mau mengalah terjadi manakala anak mau mengalah terhadap teman lainnya yang lebih membutuhkan untuk satu jenis mainan. Pengertian dan pemahaman terhadap nilai moral mau menerima kekalahan atau mengalah adalah salah satu hal yang harus ditanamkan sejak dini (Rozalena, 2017). Krogh dan Slentz (2011) menyatakan bahwa belajar pada anak usia dini adalah bermain. Melalui bermain dapat memberi kesempatan bagi anak untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, dan belajar secara menyenangkan. Selain itu, bermain juga dapat membantu anak mengenal tentang diri sendiri, dengan siapa ia hidup, dan di lingkungan mana ia hidup.

6. Metode Pembiasaan

Terkait dengan penanaman moral, lebih banyak dilakukan melalui pembiasaan- pembiasaan tingkah laku dalam proses pembelajaran. Ini dapat dilihat misalnya, pada berdoa sebelum dan sesudah belajar, berdoa sebelum makan dan minum, mengucap salam kepada guru dan teman, merapikan mainan setelah belajar, berbaris sebelum masuk kelas dan sebagainya (Rozalena, 2017).

7. Metode karyawisata

Tujuan berkarya wisata ini perlu dihubungkan dengan tema-tema yang sesuai dengan pengembangan aspek perkembangan anak Taman Kanak-kanak. Tema yang sesuai seperti: binatang, pekerjaan, kehidupan kota atau desa, pesisir, dan pegunungan (Mahyumi Natina, 2012).

8. Metode Bernyanyi

Bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran secara nyata yang mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui ungkapan kata dan nada. Pesan-pesan pendidikan berupa nilai dan moral yang

(6)

133 dikenal- kan kepada anak tentunya tidak mudah untuk diterima dan dipahami secara baik. Anak tidak dapat disamakan dengan orang dewasa (Sabiati Amin 2016).

9. Metode Bercerita

Metode bercerita dapat dijadikan metode untuk menyampaikan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam cerita atau dongeng dapat ditanamkan berbagai macam nilai moral, nilai agama, nilai sosial, nilai budaya, dan sebagainya. Ketika bercerita seorang guru juga dapat menggunakan alat peraga untuk mengatasi keterbatasan anak yang belum mampu berpikir secara abstrak (Zainab, 2012).

Menurut Masganti (2014) kegiatan yang dapat dilakukan untuk penguatan nilai agama dalam perkembangan moral anak, antara lain:

1. Kegiatan sehari-hari, yaitu aktivitas tersusun, seperti sholat, ibadah bersama khusus, keteraturan, serta menjaga kebersihanjdan Kesehatan diri.

2. Kegiatan spontan adalah kegiatan yang tidak direncanakan untuk kegiatan khusus, seperti menyapa, menangani sampah di lokasinya, mengantri, mengatasi pertengkaran, dll.

3. Kegiatan modeling adalah kegiatan yang berupa tingkah laku sehari-hari, seperti berdoa, berpakaian rapi, berbicara dengan ramah, membantu, memuji orang lain atas kebaikan dan atau kesuksesannya, sabar, dll. Selain itu, pengembangan nilai-nilai agama harus dilakukan melalui kegiatan yang komprehensif dan kegiatan khusus. Melalui pengembangan keterampilan dasar, dilakukan kegiatan pengembangan materi secara menyeluruh dalam bentuk nilai-nilai agama. Kegiatan khusus mengacu pada rencana kegiatan yang tidak mencakup kegiatan pelaksanaan atau yang tidak harus dikaitkan dengan pengembangan keterampilan dasar lainnya, sehingga diperlukan waktu dan pemrosesan khusus.

III. KESIMPULAN.

Penguatan nilai agama dalam perkembangan moral anak usia dini sangat penting karena dengan membekali anak dengan pendidikan agama dan moral, anak dapat belajar mengenal dan memahami perilaku baik dan buruk, sopan santun, toleransi dan nilai-nilai lainnya. Penguatan nilai-nilai agama pada anak usia dini sangat erat kaitannya dengan perkembangan moralnya. Perkembangan moral mengacu pada aspek budi pekerti, nilai moral dan keagamaan. Penguatan nilai agama dalam perkembangan moral dapat diberikan kepada anak sesuai dengan usianya menggunakan metode keteladanan, diskusi, bermain ,peran, outbond, bernyanyi, karyawisata, pembiasaan, bermain, dan bercerita.

DAFTAR PUSTAKA

Ananda, R. (2017). Implementasi Nilai-nilai Moral dan Agama pada Anak Usia Dini. Jurnal Obsesi : Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 1(1), 19. doi: 10.31004/obsesi.v1i1.28

Aunurrahman. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Bandung: Alfabeta.

Essa, E. L. (2011). Introduction to Early Childhood Education. Canada: Wadsworth Cengage Learning.

Dahl, A., & Killen, M. (2018). A developmental perspective on the origins of morality in infancy and early childhood. Frontiers in Psychology, 9(SEP), 1–6. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2018.01736 Fatmawati, N., & Supriyanto, D. (2018). Pengaruh Metode Bercerita (Tentang Kisah – Kisah Nabi dan

Rosul) Terhadap Perkembangan Nilai Agama dan Moral Anak Usia 4-5 Th di 13 RA. Perwanida Raci Kecamatan Bangil Kabupaten Pasuruan Tahun Ajaran 2017-2018. PROCEEDING: The Annual International Conference on Islamic Education, 3(2), 332– 337.

http://jurnal.stitnualhikmah.ac.id/index.php/proceedings/article/view/285

Hidayat, O. S. (2000). Metode Pengembangan Moral dan Nilai-Nilai Agama. Jakarta: Universitas Terbuka

(7)

134 Kilpatrick, William. 1993. Why Johnny can't tell right from wrong: And what we can do about it. Simon

and Schuster.

Krogh, Suzanne L., and Kristine L. Slentz. (2011). Early Childhood Education: Yesterday, Today, and Tomorrow. London: Routledge.

Kurnia, Y. (2015). Pengembangan Kemampuan Nilai-nilai Agama dan Moral di TK. Bandung: PPPPTK TK dan PLB.

Lickona, Thomas. 1991. Educating for Character How Our Schools Can Teach Respect and Responsibility. New York: Bantam Books.

Machsunah, Yayuk Chayatun. 2017. Penanaman Pendidikan Karakter Melalui Keteladanan Pendidik (Studi Kasus Di Lbb Taman Pintar: Sahabat Sekolah Anak Lamongan). Journal Stkip Pgri Lamongan, Vol.1 No.2

Masganti, S. (2014). Psikologi Agama. Medan: Perdana Puplishing.

Nurhayati, N., Awalunisah, S., & Amrullah, A. (2019). Keefektifan Metode Role Play Terhadap Nilai Moral Anak Usia 5-6 Tahun. Jurnal Akrab Juara, 4(2), 181–195.

http://akrabjuara.com/index.php/akrabjuara/article/view/576

Nurjanah, S. (2018). Perkembangan Nilai Agama Dan Moral (Sttpa Tercapai). Jurnal Paramurobi, 1(1).

Oktarina, A., & Maemonah. (2019). Filsafat Pendidikan Maria Montessori Dengan Pendidikan

Aud.Jurnal UIN Jogyakarta, VI(2), 64–88. Diambil dari

https://jurnal.arraniry.ac.id/index.php/bunayya/article/view/7277

Ozbey, S. (2014). A Study on Preschool Children ’ s Perceptions of Moral and Social Rules. International Journal of Humanities and Social Science, 4(11), 149–159.

Putri Hana Pebriana. (2017). Ananlisis Kemampuan Berbahasa dan Penanaman Moral Pada Anak Usia Dini Melalui Metode Mendongeng, 1 (2). https://doi.org/10.31004/obsesi.v1i2.25

Risnawati, Vivit. 2012. Optimalisasi Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Melalui Sentra Main Peran Taman Kanak-Kanak Padang. Jurnal Pesona Paud, Vol.1.No. 2

Rozalena Rozalena, Muhammad Kristiawan. 2017. Pengelolaan Pembelajaran Paud Dalam Mengembangkan Potensi Anak Usia Dini. Jurnal Mnajemen, Kepemimpinan, Supervisi

Pendidikan, Vol 2, No 1 https://jurnal.univpgri-

palembang.ac.id/index.php/JMKSP/article/view/1155 DOI:

http://dx.doi.org/10.31851/jmksp.v2i1.1155

Sapendi, Sapendi. 2015. Internalisasi Nilai-Nilai Moral Agama Pada Anak Usia Dini. At-Turats, Vol. 9.

No. 2

Slavin, R.E. 2006. Educational Psychology Theory and Practice. United States of America: Johns Hopkins University.

Sufa, F. F., & Setiawan, H. Y. (2017). Analisis Kebutuhan Anak Usia Dini Usia 4-6 Tahun Pada Pembelajaran Berbasis Komputer Anak Usia Dini. RESEARCH FAIR UNISRI, 1(1).

Tim Penyusun. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Media Pustaka Phonix.

Usakli, H. (2010). Early childhood education: The case of Turkey. Sage Journals, 11(2), 215– 218.

https://doi.org/10.2304/ciec.2010.11.2.215

Yunaida, Hana; Rosita, Tita. 2018. Outbound Berbasis Karakter Sebagai Media Pembelajaran Anak Usia Dini. Comm-Edu (Community Education Journal), Vo. 1 No.1

Zainab, Zainab. 2012. Peningkatan Perkembangan Moral Anak Melalui Metode Cerita Bergambar Tk Lembah Sari Agam. Jurnal Pesona Paud, Vol 1. No.03

Zelvi, A. (2017). Proses Penanaman Nilai-Nilai Agama Pada Anak Usia Dini Dalam Keluarga Di Kampung Gambiran Pandeyan Umbulharjo. Pendidikan Anak Usia Dini, 20–33.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam menggunakan metode bercerita untuk menanamkan nilai moral pada anak uasia dini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: cerita yang

Dengan diberikannya pendidikan nilai dan moral sejak usia dini, diharapkan pada tahap perkembangan selanjutnya anak akan mampu membedakan baik buruk, benar

Dalam upaya mengoptimalkan kompetensi moral anak usia dini (5-6 tahun) disarankan agar guru menerapkan pembelajaran terpadu berbasis moral. Di samping guru hendaknya

Beberapa aspek yang dilakukan observasi dalam penelitian ini, yaitu tentang metode penanaman nilai agam dan moral yang digunakan oleh guru.. peneliti mencatat

Pendidikan moral sangat diperlukan untuk ditanamkan dalam usia dini. Pondasi moral anak-anak diera perkembangan media informasi yang global, banyak terdegredasi oleh

Perkembangan nilai agama dan moral pada anak usia dini memiliki arti sebagai perubahan yang progresif yang berkaitan dengan kemampuan anak dalam memamhami agama

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Moral: Perubahan perubahan lingkungan dan kemajuan di berbagai bidang untuk membawa pergeseran nilai dan sikap warga moral

Abstrak : Pencapaian perkembangan nilai-nilai agama dan moral pada anak usia dini hendaknya disertai dengan penerapan langkah-langkah perkembangan Nilai- nilai Agama