• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENYELESAIAN KONFLIK PLURALISME BERNUANSA AGAMA DALAM MASYARAKAT

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "PENYELESAIAN KONFLIK PLURALISME BERNUANSA AGAMA DALAM MASYARAKAT "

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Volume.22.No.1.Juni 2022

PENYELESAIAN KONFLIK PLURALISME BERNUANSA AGAMA DALAM MASYARAKAT

HETEROGEN

Nurma Khusna Khanifa Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo nurmakhusna@unsiq.ac.id

Laila Sabrina

Fakultas Ekonomi dan Bisnis

Universitas Sains Al-Qur’an (UNSIQ) Jawa Tengah di Wonosobo lailasabrina@unsiq.ac.id

Abtract:

Conflict usually occurs due to the gathering of four main elements in a common time, namely the supporting context, the root of the conflict, the axis and the trigger. Once a conflict occurs, the next process is escalation, namely the use of tactics that are getting tougher, the wider the target or the more involved. Thus the spread of unclear understanding will certainly disturb religious and social life which further damages the joints of religious harmony. The religion that according to the Javanese is called as an ageman (clothing) that can make it beautiful, healthy, safe for the wearer and others, will actually be something scary. The plurality of Indonesian society is a reality, and in that plurality should not be allowed discriminatory attitudes and practices. So that religion is not always misused and used as a scapegoat as a source or justification for conflict.

Keywords: religion, heterogeneous, harmony, conflict, pluralism.

Abstrak:

Konflik biasanya terjadi karena berkumpulnya empat elemen utama dalam waktu yang bersama, yaitu kontek pendukung, akar konflik, sumbu dan pemicu. Sekali konflik terjadi maka proses berikutnya ialah eskalasi yaitu penggunaan taktik yang semakin keras, semakin luas sasarannya atau semakin banyak yang terlibat. Dengan demikian penyebaran faham yang kurang jelas tentu akan meresahkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang selanjutnya merusak sendi-sendi kerukunan umat beragama. Agama yang menurut orang jawa disebut segabagai ageman (pakaian) yang dapat membuat indah, sehat, aman bagi pemakainya dan orang lain, justru akan menjadi sesuatu yang menakutkan. Kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebuah realitas,

(2)

dan dalam kemajemukan itu tidak boleh dibiarkan sikap dan praktek- praktek diskriminatif. Sehingga agama tidak selalu disalah manfaatkan dan dijadikan kambing hitam sebagai sumber atau pembenar konflik.

Kata kunci: agama, heterogen, kerukunan, konflik, pluralisme.

Pendahuluan

Rukun agawe sentosa, kerukunan membuat hidup menjadi damai, kerukunan menciptakan kehidupan masyarakat yang harmonis, kerukunan menciptakan persahabatan dan persaudaraan serta menghilangkan permusuhan. Demikian pesan singkat kerukunan yang menjadi tema dalam dialog, menjadi muqadimah dalam setiap menyampaikan tausiah.

Akan tetapi kerukunan kemudian terbalik ketika sudah memasuki ranah agama dan keyakinan. Sejak kapan keyakinan itu berbeda, apakah keyakinan tidak bisa dipaksakan, apakah ada keyakinan yang sesat. Pemerintah telah memberikan pedoman didalam menciptakan kerukunan umat beragama, yang dibagi dalam tiga kategori yaitu kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan umat beragama dengan pemerintah, yang sering disebut dengan tri kerukunan umat beragama.1

Dari kerukunan yang berubah menjadi kericuhan sering dipicu oleh perbedaan penafsiran dalam menghayati dan mengamalkan ajaran agama dan keyakinan. Didalam agama Islam sangat rentan terjadi perbedaan pendapat, pada era tahun 1980 an Ormas terbesar di Indonesia yaitu NU dan Muhammadiyah sering dibenturkan dengan tata cara pengalaman ajaran Islam, seperti niat sholat, doa qunut, ziarah kubur, dan upacara kematian.

Permasalahan-permasalahan seperti ini sering menjadi konsumsi masyarakat awam sehingga menyulut adanya permusuhan, satu golongan mengganggap dirinya paling benar dan menyalahkan yang lain, apalagi debat kusir yang

1 Muhammad Imarah, Islam Dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007), hlm. 12.

(3)

Volume.22.No.1.Juni 2022

kadang tidak mau mengakui kebenaran yang disampaikan oleh lawan debatnya.

Hal ini akan berahir dengan permusuhan, bahkan bisa merembet pada perbuatan anarki.2

Disamping umat Islam berbenturan dengan umat Islam, umat Islam juga berbenturan dengan umat non moslem. Seperti kasus penistaan dan penghinaan agama yang dilakukan oleh Anthonius Rechmond Bawengan 3 kerena menganggap keyakinan dirinya paling benar dan perbuataannya adalah benar sehingga melupakan sikap toleransi antar umat beragama, bahkan tidak menghiraukan etika dalam menyebarkan ajaran dan kenyakinannya. Fanatisme agama yang berlebihan tidak menyadari resiko yang akan dialami akhirnya terjerat ketentuan Pasal 156 Huruf a KUHP (Primer) dan Pasal 156 KUHP (Subsider) serta berahir dengan kerusuhan disharmonisasi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama.4

Keberadaan Kementrian Agama hari-hari ini memiliki makna yang penting dalam politik dan tata pemerintahan Indonesia, karena bertugas untuk melindungi kepentingan agama dan umat beragama. Lebih-lebih masyarakat Indonesia hari-hari ini merasa cemas, karena banyak persoalan justru kian serius yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan. Dengan demikian pilihan sikap eksklusif yang menyakini kebenaran ada dipihaknya saya kira sudah harus ditinggalkan. Demikian pula sikap inklusif yang mengandaikan agama-agama harus mengacu pada kebenaran agamanya. Kini orang-orang

2 Nasitotul Janah, "Nurcholish Madjid dan Pemikirannya (Diantara Kontribusi dan Kontroversi)." Cakrawala: Jurnal Studi Islam Vol 12, No. 1, 2017, hlm. 44-63.

3 Purjatian Azhar, “Penistaan Agama dan Kekerasaan Sosial Di Kabupaten Temanggung Tahun 2011”, JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan, Vol.1, No.1, Juni Tahun 2018, hlm. 81-108.

4 Purjatian Azhar, “Penistaan, hlm. 81-108.

(4)

beriman ditantang untuk menerima paradigma pluralis yang lebih realistis dalam melihat kenyataan. Dari paparan latar belakang di atas penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan yang ingin dibahas berkaitan dengan penyelesaian konflik pluralisme bernuansa agama sebagai bentuk kerukunan umat beragama didalam masyarakat Indonesia yang heterogen.

A. Pembahasan

1. Pluralisme Agama

Pluralisme dapat diartikan sebagai paham (isme) atau sistem nilai yang mengakui adanya keberagaman atau kemajemukan.5 Sedangkan, pluralisme agama memiliki dua makna. Pertama, keberadaan kelompok yang berbeda- beda (keyakinan) dalam masyarakat. Kedua, kebijakan yang menjunjung perlindungan dan penghargaan terhadap perbedaan (keyakinan) tersebut.6

Aliran pluralisme sejatinya memiliki beberapa macam pemikiran dalam kehidupan beragama diantaranya: pertama, sinkretisme, yaitu pendapat yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Kedua, reconception, yaitu menyelami dan meninjau kembali agama sendiri dalam konfrontasi dengan agama-agama lain. Ketiga, sintesis, yaitu menciptakan suatu agama baru yang elemen-elemennya diambilkan dari berbagai agama, supaya dengan demikian tiap-tiap pemeluk agama merasa bahwa sebagian dari ajaran agamanya telah terambil dalam agama sintesis (campuran) itu. Keempat, penggantian, yaitu mengakui bahwa agamanya sendiri itulah yang benar, sedang agama-agama lain adalah salah; dan berusaha supaya orang-orang yang lain agama masuk dalam agamanya. Kelima, agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), yaitu percaya bahwa agama yang dipeluk itulah agama yang paling baik, dan

5 Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara, (Jakarta: Serambi, 2014), hlm. 48.

6 Bagus Purnomo, “Toleransi Religius: Antara Pluralisme dan Pluralitas Agama dalam Perspektif Al-Qur’an”, Suhuf, Vol. 6, No. 1, (2013), hlm. 83-103.

(5)

Volume.22.No.1.Juni 2022

mempersilahkan orang lain untuk mempercayai bahwa agama yang dipeluknya adalah agama yang paling baik.7

Melihat beberapa aliran tersebut memunculkan persoalan lain yang paling besar dihadapi bangsa Indonesia dan orang-orang beriman di tengah kenyataan pluralisme dewasa ini. Permasalah tersebut adalah bagaimana suatu teologi dan suatu agama mendefinisikan dirinya di tengah-tengah agama lain. Pada umumnya kaum beriman berpikir dengan standar ganda: agama kita adalah yang paling sejati dan berasal dari Tuhan, sedangkan agama lain hanya konstruksi manusia atau mungkin juga berasal dari Tuhan tetapi telah dipalsukan oleh manusia. Sejarah mencatat bagaimana standar ganda melahirkan suasana saling curiga diantara umat manusia dengan mengatasnamakan Tuhan.8

Bahkan pluralisme merupakan suatu keharusan bagi kemaslahatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan yang dihasilkannya. Dalam kitab suci justru disebutkan bahwa Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi, dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan melimpah kepada umat manusia9. Dalam persoalan teologis antar sesama, Al-Qur’an memberikan penjelasan untuk tidak melakukan pemaksaan atas kepercayaan untuk memeluk agama Islam. Hal itu sebagaimana firman- Nya tersirat dalam Q.S Al Baqarah ayat 256:

7 Burhanuddin Daja dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 2009), hlm. 227- 229.

8 Arifnsyah, Hubungan Antar Agama; Wacana Pluralisme Eksklusif dan Inklusifisme, (Medan: IAIN Press, 2002), hlm. 55.

9 Nabih Abd al Rahman Usman, Manusia Dalam Tiga Dimensi, (Surabaya: Bungkul Indah, 2006), hlm. 133.

(6)

ٓاَل

َٓها َرْكِا ٓٓ

ىِف ٓٓ

ٓ ِنْيِ دلا ٓٓ

ٓٓ

ْٓدَق

َٓنَّيَبَّت ٓٓ

ٓ دْش ُّرلا ٓٓ

َٓنِم ٓٓ

ِٓ يَغْلا ٓٓ

ۚٓ

ْٓنَمَف ٓٓ

ْٓر فْكَّي ٓٓ

ِٓت ْو غاَّطلاِب ٓٓ

ٓ ْنِم ْؤ ي َو ٓٓ

ِٰٓللّاِب ٓٓ

ٓ

ِٓدَقَف

َٓكَسْمَتْسا ٓ

ْٓلاِب ٓ

ِٓة َو ْر ع

ٓ قْث وْلا ٓ ى

ٓ

َٓل

َٓماَصِفْنا ٓٓ

ٓاَهَل ٓ

ٓ ٰاللّ َو ٓ

ٓ عْيِمَس ٓ

ٓ مْيِلَع ٓ

ٓٓ

٢٥٦

ٓ

Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut (Kata tagut disebutkan untuk setiap yang melampaui batas dalam keburukan. Oleh karena itu, setan, dajal, penyihir, penetap hukum yang bertentangan dengan hukum Allah Swt., dan penguasa yang tirani dinamakan tagut) dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.

Disisi lain, mengenai adanya perbedaan antara manusia memang sejatinya sudah menjadi kehendak Allah, sebagaimana firman-Nya QS. Al Huud Ayat 118:

ٓآَلَعَجَلٓ َكُّب َرَٓءۤاَشٓ ْوَل َو

ٓٓ ََۙنْيِفِلَتْخ مَٓن ْو لا َزَيٓ َل َّوًٓةَد ِحا َّوًٓةَّم آ َساَّنل ١١٨

ٓ

Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia akan menjadikan manusia umat yang satu.

Namun, mereka senantiasa berselisih (dalam urusan agama)

Melihat ayat Al Qur’an di atas jika dikaitkan dengan semakin berkembangnya pemahaman prulalisme dan toleransi agama-agama. Maka pluralisme membawa dampak terhadap munculnya paham teologi agama.

Sehingga perlu ditekankan betapa pentingnya saat ini untuk dapat berteologi dalam konteks toleransi mencapai dialog antar agama. Hal ini sangat berguna dalam memahami cara baru mewujudkan kerukunan dengan melihat cara Allah menyelamatkan kerusakan di muka bumi dengan kedzaliman, kesyirikan dan kemaksiatan. Pengalaman ini penting untuk memperkaya keiman, dan sebagai jalan pintas membuka pintu masuk ke dalam dialog antar agama.10

Dialog seperti itu tidak sekedar untuk menampilkan suatu seremoni yang dikesankan seolah-olah semua agama bisa diperdamaikan. Jika demikian yang

10 Budhy Munawar, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta: Paramadina, 2002), hlm. 84.

(7)

Volume.22.No.1.Juni 2022

terjadi, tentu perdamaiaanya pun bersifat ceremonial. Sebab, sebuah pertemuan antar agama yang direkayasa tidak akan menjangkau, hingga kesadaran individual yang paling dalam. Karenanya, setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan untuk melakukan dialog konstruktif. Pertama, melakukan pemikiran kembali terhadap konsep-konsep lama tentang agama dan masyarakat untuk menuju suatu era pemikiran baru berdasarkan solidaritas historis dan integrasi sosial.

Kedua, melakukan reformasi pemikiran dari pemikiran teologis yang eksklusif menuju kritisme radikal dan pemikiran teologis yang inklusif, terbuka dan plularis serta bersedia menerima umat beragama lain sebagai teman dialog untuk memperluas wawasan dan pengalaman keagamaannya. Sebab, pada dasarnya dialog bukan sekedar alat untuk berkomunikasi. Apabila dilakukan secara konsisten, dialog adalah hidup itu sendiri: hidup dalam kebersamaan.11

Masih banyak, bahkan mungkin sebagian besar umat beragama kurang bersentuhan dengan pluralisme. Karena itu perbedaan agama bagi masyarakat merupakan penghalang untuk menjalin kerjasama. Masyarakat lupa bahwa Tuhan menciptakan bumi ini bukan untuk satu golongan atau agama tertentu saja. Islam sendiri mengajarkan bahwa kebebasan memilih agama merupakan hak asasi manusia yang harus dihormati. Dengan menurunkan bermacam- macam agama tidak berati Allah membenarkan diskriminasi agar masing- masing berlomba dalam berbuat kebaikan bagi sesama.

Manusia dihadapan Allah tetap sama, karena yang dinilai adalah kebaikan dan ketulusan dalam mengamalkan ajaran-ajarannya. Kita bersaksi bahwa kemajemukan masyarakat Indonesia adalah sebuah realitas, dan dalam kemajemukan itu tidak boleh dibiarkan sikap dan praktek-praktek diskriminatif.

Hak setiap orang untuk yakin bahwa agamanyalah yang benar, tetapi pada saat yang sama seseorang harus menghormati orang lain untuk bersikap sama.

2. Model Pencegahan Konflik Beragama

11 Budhy Munawar, Islam Pluralis, hlm. 86.

(8)

Konsep keyakinan dalam mendalami dan mengamalkan ajaran Islam, dikembalikan pada petunjuk Allah melalui Al Qur’an dan Hadits. Perbedaan dalam menafsirkan Al Qur’an adalah sesuatu hal yang bisa dimaklumi dengan syarat telah memenuhi kaidah-kaidah sebagai seseorang mufasi, kecakapan dan kemampuannya. Walaupun demikian ternyata penafsiran tentu akan berbeda, perbedaan ini bukan untuk menyalahkan yang lain akan tetapi akan saling melengkapi guna menambah khasanah Islamiyah, hal ini karena dilandasi oleh latar belakang, kondisi sosio kultural para mufasir.12

Sejarah membuktikan Nabi Ibrahim sebagai peletak ajaran tauhid, memperoleh keyakinan melalui proses yang panjang dengan mengamati perilaku masyarakat dan fenomena alam. Nabi Muhammad diutus untuk menyampaikan rahmat bagi sekalian alam, memberi petunjuk ke jalan yang lurus. Karena itu beliau diutus di lingkungan masyarakat jahiliyah, suku Quraish telah mempunyai keyakinan turun-menurun menyembah berhala, dengan kegigihannya masyarakat suku Quraish banyak yang menerima keyakinan Muhammad. Sahabat Rosul Umar bin Khatab memperoleh keyakinan dengan hidayah (datang dengan tiba-tiba) ketika mendengarkan alunan ayat Al Qur’an yang sedang dibaca oleh Fatimah binti Khatab (adiknya).13

Dengan mempelajari tarikh Islam dan peristiwa dalam kehidupan masyarakat maka tepat bila Majelis Ulama Indonesia menghukumi Ahmadiyah

12 M. Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2005), hal. 277.

13 David N Gellner, Pendekatan Antropologis, dalam Peter Connolly, Aprroaceshes to the study of Religion, Terj. Imam Khoiri, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: KLIS, 2002), hlm. 15.

(9)

Volume.22.No.1.Juni 2022

sebagai paham yang sesat pada tahun 1980 dan tahun 2005.14 Konflik Ambon yang berlangsung empat tahun, disepakati oleh semua pimpinan majlis agama sebagai konflik bukan agama, melainkan karena perebutan kekuasaan lokal dan sumber daya manusia yang terbatas, namun didalam perkembangannya memang melibatkan anggota masyarakat berdasarkan garis-garis penganutan agama.15

Dengan demikian penyebaran faham yang kurang jelas tentu akan meresahkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang selanjutnya merusak sendi-sendi kerukunan umat beragama. Agama yang menurut orang jawa disebut sebagai ageman (pakaian) yang dapat membuat indah, sehat, aman bagi pemakainya dan orang lain, justru akan menjadi sesuatu yang menakutkan.

Oleh sebab itu, kemajemukan Bangsa Indonesia terkait agama diperlukan kerukunan. Secara etimologis kata kerukunan pada mulanya adalah bahasa Arab, yaitu ruknun berarti tiang, dasar, sila. Jamak ruknun adalah arkaan;

artinya suatu bangunan sederhana yang terdiri dari berbagai unsur. Dari kata arkaan diperoleh pengertian, bahwa kerukunan merupakan suatu kesatuan yang terdiri dari berbagai unsur yang berlainan dan setiap unsur tersebut saling menguatkan. Kesatuan tidak dapat terwujud jika ada diantara unsur tersebut yang tidak berfungsi.16

14 Dimyati Sajari. "Fatwa MUI Tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010)." MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 39. No. 1, Januari-Juni 2015, hlm. 44-62.

15 Debora Sanur Lindawaty, "Konflik Ambon: Kajian Terhadap Beberapa Akar Permasalahan dan Solusinya." Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional Vol. 2. No. 2 November 2016, hlm. 271-297.

16 Munawar Khalil, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000), hlm. 658.

(10)

Karena itu ketika kerukunan umat beragama kembali tergugat perlu melakukan upaya: pertama, langkah-langkah pembinaan intern umat beragama.

Sebagai tokoh ormas hendaknya selalu meningkatkan pembinaan secara total bagi anggotanya, yang meliputi bidang akidah, syariah, akhlaq dan keilmuannya selalu dikaitkan dengan keIslaman atau keIslaman diakitkan dengan ilmu, Undang-Undang dan norma-norma kemasyarakatan agar tidak terjadi spliet personality. Sehingga setiap pengalaman ajaran agama akan menambah kedekatan kepada Sang Khaliq untuk selanjutnya mendatangkan kesejukan dalam kehidupan bermasyarakat.

Kedua, mengoptimalkan fungsi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) sebagai forum yang mewadai aspirasi seluruh organisasi keagamaan di Indonesi. Karena itu selalu menjalin komunikasi antar umat beragama, dengan kegiatan ini akan meminimalisir segala hal yang akan merusak kerukunan uamat beragama. Ketiga, pemerintah untuk selalu intens didalam mefasilitasi setiap kegiatan pembinaan kerukuna antar umat beragama. Karena salah satu upaya untuk menciptakan kerukunan dan kedamaiaan adalah bila antara ulama’

dan umaro’ berjalan bersama.17

Kerukunan umat beragama adalah ranah praksis sosial, dunia pergaulan dan kehidupan sosial. Ini terkait sikap dan perilaku. Terutama sikap dan perilaku toleransi yang bisa diartikan sebagai sikap dan perilaku saling memahami, saling mengerti, saling membuka diri antar umat, pemeluk satu agama dengan pemeluk agama yang lain dalam bingkai persaudaraan dan kemanusiaan.

Ketika agama menjadi pembenar konflik, sesungguhnya agama itu sedang diperankan sebagai penghancur kekerasan. Padahal semua tahu bahwa agama, agama apa pun pastilah mengajarkan perdamaian. Karena itulah, citra suatu agama, tidak hanya dibentuk oleh isi ajaran agama itu saja, tetapi lebih banyak

17 Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sjarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press Indonesia, 2010), hal. 145.

(11)

Volume.22.No.1.Juni 2022

ditentukan oleh pencitraan oleh penganutnya. Maka model dalam mewujudkan kerukunan umat beragama adalah; (1) meneliti sebab-sebab yang mendukung munculnya gangguan pada hubungan yang baik antar umat beragama di Indonesia; (2) mencari cara-cara dan sarana-sarana yang akan membantu memperbaiki hubungan yang damai antar agama di Indonesia.

3. Penyelesaian Konflik Bernuansa Agama

Toleransi sangat dibutuhkan dalam kehidupan bernegara terlebih Indonesia adalah suatu bangsa yang masyarakatnya plural horizontal terlihat dari adanya perbedaan ras, suku bangsa, budaya dan agama. Istilah toleransi berasal dari bahasa Inggris, yaitu; tolerance berarti sikap membiarkan, mengakui dan menghormati keyakinan orang lain tanpa memerlukan persetujuan. Bahasa Arab menterjemahkan dengan tasamuh, berarti saling mengizinkan, saling memudahkan.18 Ketika toleransi hilang dalam Bangsa yang majemuk ini.

Secara umum, konsekuensi ialah timbul konflik sosial dari masyarakat majemuk. Sikap yang dapat menstimulan konflik horizontal salah satunya ialah agama.

Konflik biasanya terjadi karena berkumpulnya empat elemen utama dalam waktu yang bersama, yaitu kontek pendukung, akar konflik, sumbu dan pemicu.

Sekali konflik terjadi maka proses berikutnya ialah eskalasi yaitu penggunaan taktik yang semakin keras, semakin luas sasarannya atau semakin banyak yang terlibat. Konflik terjadi dikarenakan tidak adanya toleransi menuju kerukunan.

Dengan demikian, apabila tidak segera diatasi akan muncul faktor pelanggeng konflik yang disebut dengan prejudice, yaitu sikap dan pernyataan negatif seseorang untuk merendahkan orang lain, dan atau perilaku permusuhan dan diskriminasi terhadap orang lain, hanya karena bukan kelompoknya.19

18 Victor Tanja, Pluralisme Agama dan Problem Sosial Diskursus Teologi Tentang Isu-Isu Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Cresindo, 2000), hal. 86.

19 Victor Tanja, Pluralisme Agama, hlm. 89.

(12)

Semakin besar eskalasi konflik yang terjadi, maka akan semakin peka dan membesar prejudis itu. Apa pun perkataan atau sikap pihak lawan betapapun baik maksudnya akan direspon secara negatif. Oleh sebab itu adanya inisiatif untuk meredakan atau mengahiri konflik sering kali tidak direspon positif karena adanya prejudis yang menjadi faktor pelanggeng konflik.

Ada tiga sumber prejudis. Pertama, sumber yang bersifat motivasi psikologis, yang bersumber dari frustasi dan kemarahan atau perasaan ketertindasan relatif (relative deprivation) atau rasa keterancaman identitas sosial. Kedua, sumber yang bersifat kognitif yang muncul karena mekanisme informasi yang diperoleh seseorang atau kelompok yang membangun streotipe dan kemudian menumpuk menjadi prejudis. Ketiga, sumber yang bersifat budaya, yang bersumber dari transmisi norma dan nilai. Prejudis yang berkembang pada suasana konflik akan berfungsi melanggengkan konflik.20

Dampak suatu konflik bergantung pada tatanan apa akar konflik itu terjadi.

Jika akar konflik itu berada pada tataran instrumental, biasanya akibatnya tidak terlalu luas dan dapat segera terhenti. Tetapi jika akar konflik itu berada pada pada tataran ideologis, biasanya akibatnya lebih besar bahkan mengerikan dan dapat berlangsung lama. Dalam konflik yang bernuansa agama atau diyakini karena motifasi agama kejadiannya bisa sangat destruktif, karena pelakunya merasa sedang melakukan sesuatu yang tujuannya dipandang lebih mulia.

Konflik-konflik yang seringkali disebut sebagai konflik agama, sesungguhnya bukanlah konflik agama karena konflik itu terjadi bukanlah atas dasar perbedaan dan persoalan agama. Namun demikian, tidak berarti unsur- unsur agama tidak dilibatkan dalam konflik-konflik tersebut. Mahatma Ghandi yang dicitrakan sebagai pribadi yang anti kekerasan, telah membangun citra agama Hindu sebagai agama anti kekerasan, meskipun orang Hindu yang lain mungkin juga ada yang berbuat kekerasaan. Sebaliknya, sebagian orang barat mencitrakan Islam sebagai agama yang keras, karena ada beberapa pelaku

20 Victor Tanja, Pluralisme Agama, hlm. 92.

(13)

Volume.22.No.1.Juni 2022

kekerasan dan terorisme yang dihadapi sebagian orang-orang barat, kebetulan beragama Islam. Meskipun sebagian besar orang Islam yang lain adalah pencitraan kedamaian dan perdamaian.21

Untuk menyelesaikan konflik yang bernuansa agama dan upaya membangun serta memelihara kerukunan umat beragama, maka ada dua kebijakan pemerintah, yaitu:

1. Pemberdayaan masyarakat dan kelompok-kelompok agama serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah-masalah kerukunan atau konflik umat beragama. Seperti pendirian wadah- wadah musyawarah antar umat beragama ditingkat Provinsi, Kabupaten dan Kecamatan. Pemeritah memfasilitasi dan memberi dukungan terhadap berbagai dialog antar umat beragama, pendidikan agama berwawasan kerukunan, penyuluhan agama berwawasan kerukunan dan pengembangan wawasan multikultural di kalangan pemuka agama dan umat beragama.

2. Memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan beragama, yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur lalu lintas kehidupan warga Negara yang mungkin memiliki kepentingan berbeda karena kebetulan menganut agama yang berbeda.22

Kebijakan tersebut terinspirasi dan teraspirasi dalam rumusan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai perlindungan konstitusi. Yaitu, Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi; Setiap orang bebas

21 Thomas Dean, Religious Pluralisme and Truth Essays on Cross Cultural Philoshoply Religion, (State University of New York Press, 2006), hlm. 34.

22 Aris Darmansyah, dkk. Model Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2018), hlm. 15.

(14)

memeluk agama dan beribadat menurut agamanya dan setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Kemudian pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi; Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masingdan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. lalu pasal 28I yang menyatakan setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Yang dilanjutkan dengan ayat (1) yang berbunyi kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah bagian dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Landasan teoritik kerukunan umat beragama di Indonesia dengan mengajukan konsep agree in disagree. Hal ini melihat realitas kehidupan umat beragama di Indonesia, potensi konflik yang dipicu oleh faktor agama juga merupakan realitas tak terbantahkan dan tidak boleh diabaikan. Sehingga perlu adanya penanggulangan kerawanan kerukunan hidup umat beragama. Hal ini bertujuan untuk mengambil langkah-langkah dan melaksanakan kordinasi dalam mencegah dan menanggulangi kerawanan kerukunan hidup beragama termasuk penanganan konflik-konflik yang bernuansa agama. Terdapat upaya yang bisa dilakukan baik upaya-upaya preventif (pencegahan) taupun kuratif (penanganan) kerawanan kerukunan umat beragama. Upaya-upaya pencegahan yang dilakukan perlu dilakukan antara lain:

1. Penyuluhan dan pemasyarakatan peraturan perundang-undangan terutama yang berhubungan dengan pembinaan tata kehidupan beragama.

2. Perumusan kode etik pergaulan umat beragama, yang berupa kesepakan-kesepakatan dalam menjalin kerukunan umat beragama, yang disusun oleh para pimpinan majelis-majelis agama dan difasilitasi oleh Gubernur, Bupati, Walikota atau kepala Kantor Kementerian Agama dimasing-masing wilayah atau daerah.

(15)

Volume.22.No.1.Juni 2022

3. Penerapan kode etik pergaulan umat beragama, antara lain melalui penyelenggaraan kerjasama social kemasyarakatan, pemberian bantuan bersama dan forum-forum kegiatan lain yang dilakukan secara lintas agama.

4. Pembentukan kader kerukunan antar umat beragama, yang terdiri dari para pemuda dan tokoh-tokoh lintas agama yang mampu memahami dan menghayati kebijakan dan program kerukunan umat beragama serta mampu menjadi motifator, dinamisator dan stabilisator masyarakat dalam membina kerukunan umat beragama.

5. Forum pertemuan pemuka agama, yang dilakukan secara berkala sebagai media dialog, musyawarah, sillaturahmi dan kordinasi antar para tokoh dan pemuka agama.

Sedang upaya-upaya penanganan konflik bernuansa agama yang terlanjur terjadi, dilakukan dengan cepat, tepat dan arif dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Jika masih memungkinkan (pra krisis dan atau purna krisis) maka penanganan konflik dilakukan oleh aparat Kementerian Agama dibantu oleh instansi lain yang terkait dan aparat Hankam.

2. Jika sudah dan atau masih dalam keadaan krisis, maka penanganannya dilakukan oleh aparat keamanan (TNI/POLRI) dibantu oleh aparat Kementerian Agama dan instansi terkait.

Upaya-upaya di atas pernah dilakukan pemerintah dalam penanganan kerawanan kerukuna umat beragama atau konflik yang dianggap bernuansa agama yang pernah terjadi, baik di Ambon, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Poso. Dengan demikian, agama memang salah satu hak asasi manusia yang paling mendasar dan sensitif. Karena itu, interaksi antar warga masyarakat yang berbeda agama perlu dibina dan ditangani secara arif dan bijaksana dengan mendorong suasana dialogis, jujur dan bertanggungjawab untuk memecahkan berbagai persoalan yang menjadi penyebab timbulnya gangguan kerukunan hidup umat beragama.

(16)

Indonesia bukan Negara yang homogen latar belakang masyarakatnya akan tetapi masyarakat yang heterogen multikultural sehingga mudah terjadi gesekan konflik diantara masyarakatnya. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), sesungguhnya memiliki posisi dan peranan yang sangat strategis sebagai media dialog dan silaturahmi bagi para tokoh dan pemimpin majelis agama. Sehingga agama tidak selalu disalah manfaatkan dan dijadikan kambing hitam sebagai sumber atau pembenar konflik.

B. Kesimpulan

Landasan teoritik kerukunan umat beragama di Indonesia dengan mengajukan konsep agree in disagree. Terdapat upaya yang bisa dilakukan baik upaya-upaya preventif (pencegahan) taupun kuratif (penanganan) kerawanan kerukunan umat beragama. Penyelesaian konflik pluralisme bernuansa agama sebagai bentuk kerukunan umat beragama masyarakat Indonesia yang heterogen dengan cara mengikuti dua kebijakan pemerintah, yaitu: pertama, pemberdayaan masyarakat dan kelompok-kelompok agama serta pemuka agama untuk menyelesaikan sendiri masalah-masalah kerukunan atau konflik umat beragama. Kedua, memberikan rambu-rambu dalam pengelolaan kerukunan beragama, yang berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur lalu lintas kehidupan warga Negara yang mungkin memiliki kepentingan berbeda karena kebetulan menganut agama yang berbeda. Sedang upaya-upaya penanganan konflik bernuansa agama yang terlanjur terjadi, dilakukan dengan cepat, tepat dan arif dengan memperhatikan hal- hal sebagai berikut: 1) Jika masih memungkinkan (pra krisis dan atau purna krisis) maka penanganan konflik dilakukan oleh aparat Kementerian Agama dibantu oleh instansi lain yang terkait dan aparat Hankam. 2) Jika sudah dan atau masih dalam keadaan krisis, maka penanganannya dilakukan oleh aparat keamanan (TNI/POLRI) dibantu oleh Kementerian Agama dan instansi terkait.

DAFTAR PUSTAKA

(17)

Volume.22.No.1.Juni 2022

Arifnsyah, Hubungan Antar Agama; Wacana Pluralisme Eksklusif dan Inklusifisme, (Medan: IAIN Press, 2002).

Azhar, Purjatian, “Penistaan Agama dan Kekerasaan Sosial Di Kabupaten Temanggung Tahun 2011”, JISA: Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama Prodi Sosiologi Agama Fakultas Ilmu Sosial UIN SU Medan, Vol.1, No.1, Juni Tahun 2018, hlm. 81-108.

Daja, Burhanuddin, dan Herman Leonard Beck (red.), Ilmu Perbandingan agama di Indonesia dan Belanda, (Jakarta: INIS, 2009).

Darmansyah, Aris, dkk. Model Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, (Jakarta:

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2018).

Dean, Thomas, Religious Pluralisme and Truth Essays on Cross Cultural Philoshoply Religion, (State University of New York Press, 2006).

Gellner, David N, Pendekatan Antropologis, dalam Peter Connolly, Aprroaceshes to the study of Religion, Terj. Imam Khoiri, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta: KLIS, 2002).

Imarah, Muhammad, Islam Dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam Bingkai Persatuan, (Jakarta: Gema Insani Press, 2007).

Janah, Nasitotul. "Nurcholish Madjid dan Pemikirannya (Diantara Kontribusi dan Kontroversi)." Cakrawala: Jurnal Studi Islam Vol 12, No. 1, 2017, hlm.

44-63.

Khalil, Munawar, Kamus Bahasa Arab Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2000).

Lindawaty, Debora Sanur, "Konflik Ambon: Kajian Terhadap Beberapa Akar Permasalahan dan Solusinya." Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional Vol. 2. No. 2 November 2016, hlm. 271-297.

Munawar, Budhy, Islam Pluralis, Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, (Jakarta:

Paramadina, 2002).

Musa, Ali Masykur, Membumikan Islam Nusantara, (Jakarta: Serambi, 2014).

Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran Sjarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press Indonesia, 2010).

Purnomo, Bagus, “Toleransi Religius: Antara Pluralisme dan Pluralitas Agama dalam Perspektif Al-Qur’an”, Suhuf, Vol. 6, No. 1, (2013), hlm. 83-103.

(18)

Sajari, Dimyati, "Fatwa MUI Tentang Aliran Sesat di Indonesia (1976-2010)."

MIQOT: Jurnal Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 39. No. 1, Januari-Juni 2015, hlm. 44-62.

Shihab, M. Quraish, Wawasan al Qur’an; Tafsir Maudhu’i atas Perbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 2005).

Tanja, Victor, Pluralisme Agama dan Problem Sosial Diskursus Teologi Tentang Isu- Isu Kontemporer, (Jakarta: Pustaka Cresindo, 2000).

Usman, Nabih Abd al Rahman, Manusia Dalam Tiga Dimensi, (Surabaya:

Bungkul Indah, 2006).

Referensi

Dokumen terkait

Penatalaksanaan syok hipovolemik dapat dilakukan mulai dari saat terjadinya kejadian, apabila pasien mengalami trauma, untuk menghindari cedera lebih lanjut