• Tidak ada hasil yang ditemukan

peran guru pai dalam mencegah paham radikalisme di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "peran guru pai dalam mencegah paham radikalisme di"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan kepada Institut Agama Islam Negeri Jember untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)

Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Jurusan Pendidikan Islam Program Studi Pendidikan Agama Islam

Oleh:

MAQINUN AMIN NIM: T20151132

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

TAHUN AJARAN 2019

(2)
(3)
(4)

Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.1

1 Departemen Agama RI, Al-qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2008), 331

(5)

1. Ayahanda H. Abdul Sukur dan Ibunda Hj. Siti Aminah yang telah memberikan semangat dalam memotivasi putra-putrinya.

2. Guru-guruku yang telah membimbingku dan memberiku ilmu pegetahuan tanpa lelah.

Semoga ilmu yang telah engkau ajarkan menuntunku menjadi manusia yang berharga di Dunia dan bernilai di Akhirat.

3. Kakak-kakakku tercinta, Yuliami Ningsih, S.Pd., M.Pd dan Ainun Najib, S.Kep., M.Biomed.

4. Teman-temanku seperjuangan yang telah memberikanku sebuah pengalaman baru.

(6)

Segala puji bagi allah yang telah memberikan saya kemudahan sehingga dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peran Guru PAI Dalam Mencegah Paham Radikalisme Di Sekolah Menengah Atas Nurul Islam Jember” ini. Meskipun banyak rintangan dan hambatan yang saya alami dalam proses pengerjaannya, tapi saya berhasil menyelesaikannya dengan baik.

Tak lupa saya ucapkan terimakasih kepada pihak yang ikut serta membantu saya dalam mengerjakan proyek ilmiah ini. Diantaranya:

1. Bapak Prof. Dr. H. Babun Suharto, MM selaku Rektor IAIN Jember, yang telah mengorganisir kampus IAIN Jember

2. Ibu Dr. Hj. Mukni’ah, M.Pd.I selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Jember.

3. Bapak Dr. H. Mashudi, M. Pd selaku Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kelembagaan IAIN Jember.

4. Bapak Drs. H. D. Fajar Ahwa, M.Pd.I selaku Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam IAIN Jember.

5. Ibu Dra. Sofkhatin Khumaidah, M.Pd., M.Ed., Ph.D selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan petunjuk selama menjalankan pekerjaan proyek ini.

(7)

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk peneliti dan siapa saja yang membaca serta bantuan semua pihak tersebut dibalas oleh Allah SWT dengan segala kebaikan- Nya.

Jember, 22 November 2019 Penulis,

Maqinun Amin NIM. T20151132

(8)

Dalam dasawarsa terakhir ini, banyak tindakan kekerasan yang mengatas namakan agama Islam. Di Indonesia kekerasan mengatas namakan agama semakin banyak dijumpai baik itu di media elektronik maupun media cetak. Salah satu implikasinya adalah kekerasan agama yang dikonstruksi sebagai radikalisme yang menjadi variabel dominan dalam berbagai tindakan kekerasan atas nama agama. Salah satu sekolah yang berada di naungan pondok pesantren yang pernah kemasukan buku yang berparadigma radikalisme yaitu SMA Nuris Jember. Oleh karena itu peneliti tertarik mengangkat judul Peran Guru PAI dalam Mencegah Paham Radikalisme di Sekolah Menengah Atas Nurul Islam Jember

Fokus penelitian ini adalah: 1) Bagaimana peran Guru PAI sebagai pendidik dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember?; 2) Bagaimana peran Guru PAI sebagai pengajar dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember?; 3) Bagaimana peran Guru PAI sebagai pembimbing dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember?. Tujuan penelitian ini adalah: 1) Mengetahui peran Guru PAI sebagai pendidik dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember; 2) Mengetahui peran Guru PAI sebagai pengajar dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember; 3) Mengetahui peran Guru PAI sebagai pembimbing dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember?

Untuk mengidentifikasi masalah tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan jenis penelitian lapangan. Adapun teknik pengumplan data dalam skripsi ini menggunakan observasi, wawancara, dan teknik dokumenter. Sedangkan untuk analisis data digunakan model analisis data interaktif yang dikemukakan oleh Miles, Huberman dan Saldana sedangkan untuk keabsahan datanya digunakan triangulasi sumber dan triangulasi teknik.

Penelitian ini memperoleh kesimpulan 1) Guru PAI sebagi pendidik di SMA Nuris Jember melakukan pembiasaan terhadap siswa agar selalu menghormati antar sesama baik itu di dalam kelas maupun di luar kelas dengan menerapkan 6 S diantaranya: senyum, salam, sapa, sopan, santun, sanjung. Guru PAI Memberikan didikan kepada siswa bahwa siswa tidak boleh mengejek atau merendahkan tata cara beribadah agama lain dan siswa tidak boleh menganggap dirinya yang paling benar apalagi menganggap orang lain sesat. 2) Guru PAI di SMA Nuris Jember telah memberikan pemahaman secara luas tentang radikalisme dan bahaya aksi radikalisme meskipun tidak dibahas secara khusus di dalam mata pelajaran. Adapun dalam hal mengajar guru berpedaman pada RPP yang telah dibuatnya. 3) Guru PAI sebagai pembimbing melakukan kontrol terhadap perkembangan dan perilaku siswa, hal ini dilakukan dengan berbagai cara seperti kontrol bahan ajar, buku bacaan, situs-situs yang bisa dan tidak bisa di akses siswa. Setiap kegiatan selalu ada pendampingan dari guru PAI baik itu kegiatan yang bersifat keagamaan, peringatan hari besar Islam, maupun kegiatan yang bersifat umum seperti latihan kepemimpinan dan sebagainya.

(9)

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar belakang ... 1

B. Fokus penelitian ... 4

C. Tujuan penelitian ... 4

D. Manfaat penelitian ... 5

E. Definisi istilah ... 6

BAB II : KAJIAN KEPUSTAKAAN A. Penelitian terdahulu ... 8

B. Kajian teori ... 11

BAB III : METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan jenis penelitian ... 30

B. Lokasi penelitian ... 31

C. Subjek penelitian ... 31

D. Teknik pengumpulan data ... 32

E. Analisis data ... 35

F. Keabsahan data ... 37

G. Tahap-tahap penelitian ... 38

(10)

B. Penyajian dan analisis data ... 49 C. Pembahasan temuan ... 73 BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 89 B. Saran ... 90 DAFTAR PUSTAKA ... 92 LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Pernyataan keaslian tulisan Lampiran 2. Matrik penelitian

Lampiran 3. Pedoman penelitian Lampiran 4. Jurnal penelitian

Lampiran 5. Keadaan sarana dan Prasarana SMA Nuris Jember Lampiran 6. Fasilitas SMA Nuris Jember

Lampiran 7. Daftar guru di SMA Nuris Jember

Lampiran 8. Keadaan Peserta Didik SMA Nuris Jember Lampiran 9. Surat izin penelitian

Lampiran 10. Surat selesai penelitian Lampiran 11. Dokumenter

Lampiran 12. Biodata penulis

(11)

Tabel 2.1 Persamaaan Dan Perbedaan Penelitian Terdahulu ... 10 Tabel 4.2 Temuan... 72

(12)

A. Latar Belakang

Dasawarsa terakhir ini, banyak tindakan kekerasan yang mengatas namakan agama Islam, di Indonesia kekerasan mengatas namakan agama semakin banyak dijumpai. Fenomena kekerasan agama dapat dilihat melalui media elektronik maupun media cetak. Berbagai demonstrasi, baik itu bermuatan politik, sosial, ekonomi dan budaya mewarnai kehidupan masyarakat. Salah satu implikasinya adalah kekerasan agama yang dikonstruksi sebagai radikalisme menjadi variabel dominan dalam berbagai tindakan kekerasan yang mengatas namakan agama. Agama yang semula berisi kedamaian tereduksi dengan tindakan-tindakan yang bertentangan dengannya.1

Perilaku tersebut bukan bagian dari Islam. Sebab, Islam bukanlah agama yang mentolerir perilaku-perilaku kekerasan. Islam adalah agama yang cinta damai dan merupakan agama yang rahmatan lil alamin.2 Sebagai ummat Islam, kita tentu harus berusaha untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran yang ada dalam agama kita, tidak terkecuali ajaran yang terkandung dalam Q.S. Al- Anbiya’ ayat 107













1 M. Zaki Mubarok, Genealogi Islam Radikal Di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2008), 109

2 Basuki & Miftahul Ulum, Pengantar Ilmu Pendidikan Islam, (Ponorogo: Stain po press, 2007), 12

(13)

Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.3

Menurut Quraish Shihab dalam tafsir Al-Misbah ayat ini mengisyaratkan Allah sebagai pengutus Nabi, Nabi Muhammad sebagai Rasulullah, dan rahmat yang diturunkannya melalui Nabi Muhammad bersifat universal tidak terbatas tempat dan waktu.4 Dalam ayat tersebut, Allah tidak berfirman, “Sebagai rahmat bagi orang-orang Mukmin”. Namun menyatakan,

“menjadi rahmat bagi semesta alam”. Karena memang Allah menjadikan beliau sebagai rahmat dan pemberi petunjuk bagi seluruh kehidupan manusia, karena beliau datang kepada mereka sambil membawa kebahagiaan paling besar dan keselamat yang besar pula.5

Sebagai ummat Islam kita tentu harus berusaha untuk mengaplikasikan ajaran-ajaran yang ada dalam agama kita, tidak terkecuali pada ayat Yang terkandung diatas bahwa, kita harus mencerminkan sikap rahmat bagi sesama manusia ataupun makhluk ciptaan Allah lainnya. Bisa jadi munculnya sikap anarkis dan radikalis/paham radikal, dikarenakan belum memahami ataupun mengamalkan ajaran yang terkandung dalam ayat tersebut.

Pendidikan Islam yang berparadigma rahmatan lil alamin, dapat melahirkan peserta didik yang aktif berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan sosial dan peduli terhadap sesama, tanpa melihat dari golongan mana mereka serta agama yang dianutnya. Dengan implementasi paradigma rahmatan lil alamin, pendidikan Islam akan memberikan subangsih kedamaian.

3 Departemen agama RI, Al-qur’an dan terjemahnya, (Bandung: Diponegoro, 2008), 331

4 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah Vol. VIII. (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 519

5 Muhammad Ali Ash-Shabuny, Cahaya Al-Qur’an Tafsir Tematik Surat Alkahfi-Al-Mukminun.

(Jakarta Timur: Pustaka al-kautsar, 2001), 286

(14)

Menangkal aksi terorisme tidak dapat diselesaikan hanya melalui jalur hukum, militer, polisi, dan pemerintah semata, tetapi juga perlu melibatkan dunia pendidikan.6 Pendidikan sangat dibutuhkan manusia untuk mengekspresikan dirinya karena dengan pendidikan manusia mampu mengarahkan dirinya kearah tujuan yang positif, serta mampu mengontrol perilaku hidupnya. Makna yang terkandung disini adalah bahwa pendidikan bukan hanya sebagai ilmu atau wacana, tetapi isi dalam pendidikan tersebut dijadikan landasan hidup. Inilah yang membuat suatu peradaban manusia menjadi lebih baik.7 Oleh karena itu, untuk mencegah paham radikalisme dikalangan siswa tentu sangat dibutuhkan peran guru, agar dapat meredam paham radikal di sekolah, terutama guru PAI yang mengajar tentang keagamaan.

Guru PAI mempunyai peran cukup signifikan dalam menyampaikan materi pemahamaan keagamaan, oleh karenanya, penelitian ini menjadi begitu penting dilakukan dalam rangka untuk mengkaji dan mengoptimalkan peran guru PAI dalam melahirkan generasi Islam yang ramah dan penuh keterbukaan dalam menghadapi perbedaan.

Salah satu sekolah yang berada di naungan pondok pesantren yang pernah kemasukan buku yang berparadigma paham radikalisme yaitu SMA Nuris Jember. Buku tersebut di temukan oleh pihak sekolah dan kemudian pihak sekolah menyita buku tersebut, karena isi buku adalah tentang

6 Agus SB, Merintis Jalan Mencegah Terorisme (Sebuah Bunga Rampai), (Jakarta: Semarak Lautan Warna Press, 2014), 136

7 St. Rodliyah, Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan, (Jember: STAIN Jember Press, 2013), 7

(15)

radikalisme. Jika buku tersebut tidak disita oleh pihak sekolah, maka siswa dikhawatirkan akan terkontaminasi oleh paham radikalisme.8

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik mengangkat judul Peran Guru PAI dalam Mencegah Paham Radikalisme di Sekolah Menengah Atas Nurul Islam Jember.

B. Fokus Penelitian

1. Bagaimana peran Guru PAI sebagai pendidik dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember?

2. Bagaimana peran Guru PAI sebagai pengajar dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember?

3. Bagaimana peran Guru PAI sebagai pembimbing dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui peran Guru PAI sebagai pendidik dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember.

2. Mengetahui peran Guru PAI sebagai pengajar dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember.

3. Mengetahui peran Guru PAI sebagai pembimbing dalam mencegah paham radikalisme di SMA Nuris Jember.

8 Taufik Ahmad, wawancara , Jember, 16 April 2019

(16)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Untuk memperkaya khazanah pemikiran KeIslaman khususnya dalam hal mencegah paham radikalisme.

2. Secara Praktis a. Bagi peneliti

Menambah wawasan serta pengetahuan tentang penulisan karya tulis ilmiyah tentang pencegahan paham radikalisme, baik secara teori maupun praktek. Serta menambah bekal pengalaman untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.

b. Bagi lembaga IAIN Jember

1) Menambah literatur perpustakaan IAIN Jember tentang Peran Guru PAI dalam mencegah paham radikalisme, khususnya bagi Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan.

2) Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi mahasiswa atau mahasiswi yang ingin mengembangkan kajian di bidang pencegahan paham radikalisme dalam lembaga.

c. Bagi lembaga SMA Nuris Jember

Diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi lembaga SMA Nuris dibidang perbaikan dan pengembangan pendidikan tertutama tentang Peran Guru PAI dalam Mencegah Paham Radikalisme.

(17)

E. Definisi Istilah 1. Peran guru PAI

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki posisi tertentu. Peran disini merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga untuk mencapai tujuan yang diinginkan.9

Sedangkan guru PAI merupakan orang yang memiliki profesionalitas dalam tenaga kependidikan Islam yang bertanggung jawab untuk memberikan ilmu pengetahuan, membimbing, melatih, memberikan penilaian serta evaluasi kepada seseorang maupun kepada sekelompok orang dalam mengembangkan kedewasaannya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Jadi peran guru PAI yaitu tindakan atau tingkahlaku yang dilakukan oleh seorang guru sebagai tanggung jawab untuk memberikan ilmu pengetahuan, membimbing, melatih, memberikan penilaian serta evaluasi dalam mengembangkan kedewasaannya sesuai dengan ajaran agama Islam guna mencegah adanya benih-benih paham radikalisme.

2. Radikalisme

Istilah radikalisme berasal dari kata radic yang memiliki makna mendalam atau berpikir secara mendalam.10 Radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial

9 Fathiyaturrahmah dan Safrudin Edi Widodo, Peranan Ilmu Dalam Pendidikan Anak Perspektif Al-Qu’an, (Jember: Madani Center Press, 2008), 9

10 Nurjannah, Radikal Vs Moderat, (Yogyakarta: Aswaja pressindo 2013), 7

(18)

dan politik dengan cara keras atau drastis dan sikap ekstrim disuatu aliran politik.11

Jadi dapat disimpulkan bahwa radikalisme merupakan suatu aliran yang memiliki pemikiran ekstrim yang menginginkan perubahan dengan cara keras atau drastis.

11 Abdurrohman dan Huldiya Syamsiar. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Model Keberagamaan Inklusif Untuk Mencegah Radikalisme Beragama Dikalangan Siswa SMA.

Fenomena, Volume 9, No 1, 2017. Hal 106

(19)

1. Wahyu Arifatul Izzah, 2018 dalam skripsinya yang berjudul “Peran Guru PAI dalam Pembentukan Kepribadian Siswa di SMP Al-Maufi Temporejo Jember

Dalam penelitian tersebut peneliti menganalisa mengenai Peran Guru PAI dalam Pembentukan Kepribadian Siswa di SMP Al-Maufi Temporejo Jember.

Adapun persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama penelitian kualitatif yang membahas tentang peran guru PAI. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan yang peneliti lakukan yaitu peneliti tersebut lebih menekankan pada sebuah pembentukan kepribadian siswa.

Sedangkan yang diambil peneliti adalah peran guru PAI dalam mencegah paham radikalisme.

2. Haerul Anwar, 2013 dalam skripsinya yang berjudul “Upaya IAIN Jember Dalam Menangkal Pemahaman Radikalisme Agama

Dalam penelitian tersebut peneliti menganalisa mengenai upaya IAIN Jember dalam menangkal pemahaman radikalisme agama dan memperoleh kesimpulan, pertama bahwa dalam menangkal pemahaman radikalisme, pengembangan kurikulum Prodi Pendidikan Agama Islam terdiri dari dua model yakni yang pertama adalah The Grass Roots Model dan The Demonstratoion Model. Sedangkan yang kedua terdapat dua jenis

(20)

materi pada Prodi Pendidikan Agama Islam dalam menangkal paham radikal, yakni yang pertama materi kuliah yang secaraterpisah membentuk satu mata kuliah, yang kedua materi yang melebur pada mata kuliah lainnya.

Adapun persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama penelitian kualitatif yang membahas tentang radikalisme. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan yang peneliti lakukan yaitu peneliti tersebut lebih menekankan pada sebuah upaya perguruan tinggi (IAIN Jember) dalam menangani adanya radikalisme dengan perantara pencegahannya melalui kurikulum. Sedangkan yang diambil peneliti adalah peran guru PAI dalam mencegah paham radikalisme.

3. Rizaldi, 2018 dalam skripsinya yang berjudul “Upaya Forum Studi Aswaja Dalam Membendung Radikalisme Agama Dikalangan Mahasiswa IAIN Jember”.

Dalam penelitian tersebut peneliti menganalisa mengenai upaya forum studi aswaja dalam membendung radikalisme agama dikalangan mahasiswa IAIN Jember dan memperoleh kesimpulan bahwa potensi timbulnya radikalisme agama masih dikatakan tidak berdampak besar dan masih berbentuk benih yang tidak terlalu nampak, karena radikalisme agama sangat dilarang di kampus IAIN Jember. Kemudian upaya yang dilakukan oleh forum Aswaja dalam membendung paham radikalise ialah menggunakan dua cara, yang pertama kajian jangka pendek yang dilakukan setiap pagi dari hari senin sampai hari kamis, kemudian yang

(21)

kedua ialah jangka panjang, yakni dilakukan setahun sekali dan biasanya diisi dengan kegiatan daurah atau mengaji pada pengarangnya langsung.

Adapun persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama penelitian kualitatif yang membahas tentang radikalisme. Sedangkan perbedaan penelitian ini dengan yang peneliti lakukan yaitu peneliti tersebut lebih menekankan pada sebuah upaya forum studi aswaja dalam menangani adanya radikalisme. Sedangkan yang diambil peneliti adalah peran guru PAI dalam mencegah paham radikalisme.

Tabel 2.1

Persamaaan Dan Perbedaan Penelitian Terdahulu No. Nama Dan Judul

Penelitian

Persamaaan Perbedaan

1 2 3 4

1 Wahyu Arifatul Izzah, 2018 dalam skripsinya yang berjudul “Peran Guru PAI dalam Pembentukan

Kepribadian Siswa di SMP Al-Maufi

Temporejo Jember

Sama-sama penelitian kualitatif yang

membahas tentang peran guru PAI.

Penelitian ini lebih menekankan pada sebuah pembentukan kepribadian siswa.

Sedangkan yang diambil oleh peneliti adalah peran guru PAI dalam mencegah paham radikalisme 2 Haerul Anwar, 2013

dalam skripsinya yang berjudul “Upaya IAIN Jember Dalam

Menangkal Pemahaman

Radikalisme Agama

Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama penelitian kualitatif yang

membahas tentang radikalisme

Penelitian ini lebih menekankan pada sebuah upaya

perguruan tinggi (IAIN Jember) dalam

menangani adanya radikalisme dengan perantara

pencegahannya melalui kurikulum.

Sedangkan yang diambil oleh peneliti adalah peran guru PAI dalam mencegah paham radikalisme

(22)

Hal yang membedakan penelitian ini dari beberapa penelitian terdahulu diatas adalah penelitian terdahulu tidak meneliti peran guru PAI dalam mencegah paham radikalisme, tetapi fokus pada upaya lembaga dan organisasi dalam mencegah radikalisme.

B. Kajian teori

1. Peran Guru PAI

Peran adalah serangkaian perilaku yang diharapkan dari seseorang yang menduduki posisi tertentu.12 Dalam kamus besar Bahasa Indonsia dijelaskan bahwa peran merupakan bagian yang dimainkan oleh seorang pemain, ia berusaha bermain baik di semua yang dibebankan kepadanya atau tindakan yang dilakukan seseorang di suatu peristiwa.13

Dalam undang-undang no 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, dikemukakan bahwa guru atau pendidik merupakan tenaga profesional

12 Fathiyaturrahmah dan Safrudin Edi Widodo, Peranan Ilmu Dalam Pendidikan Anak Perspektif Al-Qu’an, (Jember: Madani Center Press, 2008), 9

13 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2012), 1051

3 Rizaldi, 2018 dalam skripsinya yang berjudul “Upaya Forum Studi Aswaja Dalam Membendung Radikalisme Agama Dikalangan

Mahasiswa IAIN Jember”.

Persamaan dengan penelitian ini yaitu sama-sama penelitian kualitatif yang

membahas tentang radikalisme

Penelitian ini lebih menekankan pada sebuah upaya forum studi aswaja dalam menangani adanya radikalisme.

Sedangkan yang diambil oleh peneliti adalah peran guru PAI dalam mencegah paham radikalisme dengan menanamkan pendidikan Islam rahmatan lil alamin

(23)

yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.14

Peran guru adalah sebagai pembimbing kegiatan belajar siswa dan sebagai pengajar dalam proses belajar mengajar.15

Pendidikan adalah suatu usaha sadar yang teratur dan sistematis, yang dilakukan oleh orang-orang yang diserahi tanggung jawab untuk mempegaruhi anak agar mempunyai sifat dan tabiat sesuai dengan cita-cita pendidikan.16

Selanjutnya, pendidikan agama Islam diartikan sebagai usaha yang diarahkan kepada pembentukan kepribadian anak yang sesuai dengan ajaran Islam atau suatu upaya dengan ajaran Islam, memikir, memutuskan dan berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam17

Sementara itu, guru dalam perspektif pendidikan agama Islam menurut Samsul Nizar ialah orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khilafah fi al ardh maupun ‘abd)18

14 Undang-undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003, 21

15 Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru. Algensindo, 2009), 40

16 St. Rodliyah, Pendidikan Dan Ilmu Pendidikan, (Jember: STAIN Jember Press, 2013), 26

17 Zuhairi, dkk, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 152

18 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis Teoritis Dan Praktis, (Jakarta:

Ciputat Pers, 2002), 42

(24)

Tugas pendidik dalam pandangan Islam secara umum ialah mendidik, yaitu mengupayakan perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi psikomotorik, kognitif, maupun potensi afektif. Potensi itu harus dikembangkan secara seimbang sampai ketingkat setinggi mungkin, menurut ajaran Islam. karena orang tua adalah pendidik pertama dan utama, maka inilah tugas orang tua tersebut.19

Nur ahid dalam bukunya mengemukakan bahwa pendidikan agama Islam adalah suatu proses penggalian, pembentukan, pendayagunaan dan pengembangan fitrah, dzikir dan kreasi serta potensi manusia, melalui pengajaran, bimbingan, latihan dan pengabdian yang dilandasi dan dinapasi oleh nilai-nilai ajaran Islam. sehingga terbentuk pribadi muslim yang sejati, mampu mengontrol, mengatur dan merekayasa kehidupan dengan penuh tanggung jawab berdasarkan nilai-nilai agama Islam.20

Peran guru PAI menurut A. Malik fadjar dalam bukunya reorientasi pendidikan Islam, tugas maupun peran guru yang paling utama adalah menanamkan rasa dan amalan hidup beragama bagi peserta didiknya.dalam hal ini yang dituntut ialah bagaimana setiap guru agama mampu membawa peserta didik untuk menjadikan agamanya sebagai landasan moral, etik dan spiritual dalam kehidupan kesehariannya.21

19 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, (Bandng: Remaja Rosdakarya, 2004), 74

20 Nur Ahid, Pendidikan Keluarga Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 19

21 A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Fadjar Dunia, 1999), 61

(25)

Dalam penjabaran mengenai kata-kata operasional dalam UU RI No.

14 Bab 1 Pasal 1 Tahun 2005, yakni guru sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing, adalah sebagai berikut:

a. Guru sebagai pendidik

Guru sebagai pendidik adalah tokoh yang paling banyak bergaul dan berinteraksi dengan para murid dibandingkan dengan personal lainnya disekolah. Guru bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan bimbingan dan pelatihan, melakukan penelitian dan pengkajian, serta membuka komunikasi dengan masyarakat.22

Menurut pendapat Imron Fauzi, bahwa guru harus bertanggung jawab terhadap segala tindakannya dalam pembelajaran disekolah.

Selain itu guru juga harus memiliki kelebihan merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial, dan intelektual. Termasuk dalam hal memotivasi peserta didik.23

Menurut pendapat lain yang disampaikan muchtar buchori dalam salah satu tulisannya memberikan penjelasan bahwa “mendidik adalah proses kegiatan untuk mengembangkan tiga hal, yaitu pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan hidup pada diri seseorang atau sekelompok orang.24

22 Nia Muhibatul Lubaba, Profesionalisme Guru Dalam Dunia Pendidikan, (Jember: STAIN

Jember Press, 2013), 20

23 Imron Fauzi, Etika Profesi Keguruan, (Jember: STAIN Jember Press, 2017), 58

24 Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), 44

(26)

Guru sebagai pendidik memiliki dua indikator yakni guru sebagai motivator dan guru sebagai demonstrator berikut penjelasannya:

1) Guru sebagai motivator

Menurut Syaiful Bahri Djamarah, guru sebagai motivator yaitu guru hendaknya dapat mendorong anak didik agar bergairah dan aktif belajar. Dalam upaya pemberian motivasi, guru dapat menganalisis motif-motif yang melatar belakangi anak didik malas belajar dan menurun prestasinya disekolah. Setiap saat guru harus bertindak sebagai motivator, karena dalam interaksi edukatif tidak mustahil ada diantara anak didik yang malas belajar dan sebagainya. Motivasi dapat efektif bila dilakukan dengan memperhatikan kebutuhan anak didik. Peranan guru sebagai motivator sangat penting dalam interaksi edukatif, karena menyangkut esensi pekerjaan mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, menyangkut performance dalam personalisasi dan sosialisasi diri.25

2) Guru sebagai demonstrator

Melalui peranannya sebagai demonstrator, guru hendaknya senantiasa menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan diajarkannya serta senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya dalam hal ilmu yang dimiliknya karena hal ini akan menentukan hasil belajar yang dicapai oleh

25 Syaiful Bahri Djamarah, Guru Dan Anak Didik Dalam Interksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), 45

(27)

siswa. Guru membantu peserta didik yang sedang berkembang untuk mempelajari sesuatu yang belum diketahuinya, membentuk kompetensi, dan memahami materi standart yang dipelajari.26 Guru harus menampilkan kepribadiannya sebagai cendikiawan sekaligus juga sebagai pengajar. Sebab guru harus menguasai bidang disiplin ilmu yang akan diajarkannya, dengan cara mengajarkannya kepada orang lain atau bagaimana cara mempelajarinya.27 Guru juga diharuskan memiliki wawasan dan pemahaman tentang seluk beluk kependidikan. Sebagai demonstrator, guru PAI harus mampu menguasai materi atau bahan ajar Pendidikan Agama Islam yang akan disampaikannya kepada peserta didik. Guna mencapai tujuan pembelajaran serta menumbuhkan kecerdasan bagi peserta didik.

b. Guru sebagai pengajar

Guru disamping sebagai pendidik, tugas guru juga sebagai tenaga pengajar, sebagai seorang pengajar, guru harus mengerti tentang kebijakan kurikulum.28

Pendapat lain disampaikan oleh Oemar Hamalik bahwa guru bertugas memberikan pengajaran di dalam sekolah. Ia menyampaikan pelajaran agar murid memahami dengan baik semua pengetahuan yang telah disampaikan itu. Selain dari itu, ia juga berusaha agar terjadi

26 Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2006), 38

27 Udin Syaefudin Saud, Pengembangan Profesi Guru, (Bandung: IKAPI, 2009), 36

28 Mujtahid, Pengembangan Profesi Guru, (Malang: UIN Maliki Press, 2011), 44

(28)

perubahan sikap, keterampilan, kebiasaan, hubungan sosial, apresiasi, dan sebagainya melalui pengajaran yang diberikannya.29

Guru sebagai pengajar memiliki tugas diantaranya yaitu melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran. Penjelasannya sebagai berikut:30

1) Perencanaan pembelajaran

Perencanaan menurut pendapat Muhammad Ali yang dibuat, merupakan antisipasi dan perkiraan tentang apa yang akan dilakukan dalam pengajaran, sehingga tercipta suatu situasi yang memungkinkan terjadinya proses belajar yang dapat mengantarkan siswa mencapai tujuan yang diharapkan.31

2) Pelaksanaan Pembelajaran

Pelaksanaan pembelajaran menurut Muhammad Ali selayaknya berpegang pada apa yang tertuang dalam perencanaan. Namun, situasi yang dihadapi guru dalam melaksanakan pengajaran mempunyai pengaruh besar terhadap proses belajar mengajar itu sendiri. Oleh sebab itu, guru sepatutnya peka terhadap berbagai situasi yang dihadapi, sehingga dapat menyesuaikan pola tingkah lakunya dalam mengajar dengan situasi yang dihadapi.32

29 Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), 124

30 Muhammad Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), 4

31 Muhammad Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2008), 5

32 Muhammad Ali, Guru Dalam Proses Belajar Mengajar, 4

(29)

3) Evaluasi pembelajaran

Evaluasi adalah suatu kegiatan yang terencana untuk mengetahui keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh kesimpulan.33 Informasi yang diperoleh melalui evaluasi ini merupakan umpan balik terhadap proses belajar-mengajar.34 c. Guru sebagai pembimbing

Guru dapat ibaratkan sebagai pembimbing perjalanan (journey), yang berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya bertanggung jawab atas kelancaran perjalanan itu. Dalam hal ini, istilah perjalanan tidak hanya menyangkut fisik tetapi juga perjalanan mental, emosional, kreatifitas, moral, dan spiritual yang lebih dalam dan kompleks.35 Kehadiran guru disekolah adalah untuk membimbing anak didik menjadi manusia dewasa susila yang cakap. Tanpa bimbingan, anak didik akan mengalami kesulitan dalam menghadapi perkembangan dirinya. Kekurangmampuan anak didik menyebabkan lebih banyak tergantung pada bantuan guru. Tetapi semakin dewasa ketergantungan anak didik jadi semakin berkurang. Jadi, bagaimanapun bimbingan

33 Ali Mudlofir dan Evi Fatimatur Rusydiyah, Desain Pembelajarn Inovatif, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), 212

34 Zainal Adib Elham Ruhmanto, Membangun Profesionalisme Guru dan Pengawas Sekolah, (Jakarta: Cv Drama Widya, 2007), 39

35 Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 2006), 40

(30)

dari guru sangat diperlukan pada saat anak didik belum mampu berdiri sendiri (mandiri).36

Guru sebagai pembimbing memiliki tiga indikator yakni, memberi informasi, membantu mengatasi kesulitan belajar, dan mengenal dan memahami siswa baik individu maupun kelompok, berikut penjelasannya:

1) Memberikan informasi

Guru memberikan informasi bukan hanya menyangkut masalah apa yang harus dikerjakan oleh anak didik, tetapi juga menyangkut masalah lain, seperti memberi petunjuk, pengarahan, dan apresiasi yang divariasikan dalam berbagai bentuk. Guru juga dapat menyampaikan tujuan yang hendak dicapai di akhir pelajaran dan memberikan beberapa pertanyaan.37

2) Membantu mengatasi kesulitan belajar

Seperti yang dikatakan oleh Syaiful Bahri Djamarah bahwa setiap anak didik datang ke sekolah tidak lain kecuali untuk belajar dikelas agar menjadi orang yang berilmu pengetahuan dikemudian hari. Sebagian besar waktu yang tersedia harus digunakan oleh siswa untuk belajar, tidak mesti ketika disekolah, dirumah pun harus ada waktu yang disediakan untuk kepentingan belajar.38

36 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), 46

37 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), 74

38 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), 233

(31)

3) Mengenal dan memahami peserta didik secara individu maupun kelompok

Menurut pendapat sadirman, guru dalam mengenal dan memahami siswa, baik secara individu maupun kelompok bukan hanya mengenal sifat dan kebutuhan secara umum sebagai sebuah kategori mengenal jenis minat dan kemampuan serta cara dan gaya belajarnya. Tetapi juga secara khusus sifat atau bakat pembawaan kebutuhan pribadi disertai aspirasi masing-masing anak didik.39 2. Radikalisme

a. Pengertian Radikalisme

Istilah radikalisme berasal dari kata radic yang memiliki makna mendalam atau berpikir secara mendalam. Istilah radikalisme erat dengan istilah lainnya yang memiliki makna serumpun seperti radikalisme agama, Islam radikal atau radikalisme Islam.40 Makna radikal dapat meliputi wilayah pemikiran dan tindakan. Pada aspek pemikiran, seseorang dikatakan radikal apabila memiliki pemahaman mendalam terhadap sesuatu. Sementara pada wilayah praktis, istilah ini lebih bertendensi pada tindakan-tindakan yang bersifat keras, bengis dan brutal.41

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, radikalisme diartikan sebagai “paham atau aliran yang menginginkan perubahan dengan cara

39 Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2014), 142

40 Nurjannah, Radikal Vs Moderat, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), 7

41 M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, (Jakarta: Erlangga, 2005), 160

(32)

keras atau drastis.”42 Sementara menurut Sartono Kartodirdjo sebagaimana dikutip Andik mengartikan radikalisme sebagai “gerakan sosial yang menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlangsung dan ditandi oleh kejengkelan moral yang kuat untuk menentang dan bermusuhan dengan kaum yang memiliki hak-hak istimewa yang berkuasa.”43 Dengan demikian, Radikalisme diartikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara keras atau drastis dan sikap ekstrim disuatu aliran politik.44

b. Ciri-ciri Radikalisme

Mengenai ciri-ciri radikalisme, menurut Yusuf al-Qardawi sebagaimana dikutip oleh Irwan Masduki diantaranya sebagai berikut:

1) Sering mengklaim kebenaran tunggal dan menyesatkan kelompok lain yang tak sependapat.

2) Radikalisme mempersulit agama Islam yang sejatinya ringan dengan menganggap ibadah sunnah seakan-akan wajib dan makruh seakan-akan haram.

3) Kelompok radikal kebanyakan berlebihan dalam beragama yang tidak pada tempatnya.

42 Departemen Penidikan dan kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai pustaka, 1989), 719

43 Andik Wahyun Muqoyyidin. 2012. Membangun Kesadaran Inklusif-Multikultural Untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam. Jurnal Pendidikan Islam. 134

44 Abdurrohman dan Huldiya Syamsiar. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Model Keberagamaan Inklusif Untuk Mencegah Radikalisme Beragama Dikalangan Siswa SMA.

Fenomena, Volume 9, No 1, 2017. 106

(33)

4) Kasar dalam berinteraksi, keras dalam berbicara dan emosioal dalam berdakwah.

5) Kelompok radikal mudah berburuk sangka kepada orang lain di luar golongannya.

6) Mudah mengkafirkan orang lain dalam berpendapat.45

Dalam rangka mengembangkan radikalisme, Islam radikal memiliki ciri-ciri utama yang menggambarkan corak keIslamannya.

Ciri ini merujuk pada cara mereka dalam menghadapi perkembangan zaman yang dibawa oleh arus modernisasi dan globalisasi.

Abdul Rohman Wahid, seperti yang dikutip oleh Syaiful Arif menjelaskan bahwa kemunculan fundamentalisme atau radikalisme atau radikalisme Islam diawali oleh ketidakmampuan sebagian Muslim dalam mengintegrasikan sistem pendidikan, struktur keluarga, usaha ekonomi dan aspirasi politik Islam ke dalam kehidupan berbangsa modern. Ketidaksetujuan dan ketidakpuasan yang disebabkan oleh kegagalan mereka dalam mengintegrasikan diri ini menempatkan mereka sebagai pihak yang kalah, yang mereka pahami sebagai hilangnya dimensi spiritual dalam kehidupan mereka. Oleh karenanya, sikap fundamentalis atau radikal menjadi jalan pelarian (escape way) untuk mendapatkan kembali “dengan cara dalam” (in an inner way) atas kekalahan yang dialami pada “sisi luar” (the outer one).

45 Irwan Masduqi. Deradikalisasi Pendidikan Islam Berbasis Khasanah Pesantren. Jurnal Pendidikan Islam. Volume 1, Nomor 2, Desember 2012/1434 H. 3

(34)

Kaum fundamentalis atau radikal adalah orang-orang yang menolak sistem kehidupan berbangsa modern karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. ini disebabkan oleh ketidakmampuan mereka dalam mengintegrasikan nilai, ajaran dan konsep Islam kedalam struktur masyarakat modern, baik pada ranah pendidikan, keluarga, ekonomi hingga politik. Ketidak mampuan ini menempatkan mereka sebagai orang-orang yang kalah, melalui anggapan “Islam dalam ancaman”, sehingga mereka menolak sistem sosial modern untuk menegakkan idealitas Islam. sayangnya, upaya menegakkan kembali kejayaan Islam ini dilakukan dengan “cara dalam”, yakni cara-cara keagamaan, atas kekalahan pada ranah sosial-politik. Cara- cara keagamaan ini bisa dilihat dalam perjuangan menegakkan khilafah untuk mengganti demokrasi.

Akan tetapi, peneguhan kembali nilai-nilai Islam untuk menghadapi modernisasi tidak secara otomatis merupakan bagian dari fundamentalisme atau radikalisme Islam. sebab sebuah gerakan Islam bersifat fundamentalistik atau radikal jika melakukan empat hal:

1) Menolak pemerintahan nasional

2) Menolak paham keIslaman mainstream (ortodoks) disebuah negeri 3) Menolak ideologi politik nasional

4) Menolak partisipasi politik mayoritas Muslim dalam sistem demokrasi.

(35)

Artinya, hanya ketika sebuah gerakan Islam menolak pemerintahan dan negara nasional, ideologi politik nasional, partisipasi mayoritas Muslim dalam demokrasi, serta mazhab keIslaman mainstream diluar negeri. Baru ia masuk dalam kategori fundamentalis atau radikal.

dalam kategori ini, sebuah gerakan radikal mengembangkan ancaman yang bersifat nasional, baik secara politik maupun keamanan.46

c. Sejarah Radikalisme di Indonesia

Lahirnya gerakan radikalisme keberagamaan (Islam) di Indonesia, memiliki hubugan erat dengan perkembangan gerakan pemikiran salafiyah di timur tengah. Selanjutnya pada abad 12 Hijriah, pemikiran salafiyah ini dikembangkukuhkan oleh gerakan wahabi yang dipelopori oleh Muhammad ibn „Abd al-Wahhab (1703-1787). Tujuan dari gerakan wahabi ini juga ingin memurnikan ajaran Islam serta mengajak kembali kepada ajaran al-qur‟an dan sunnah Nabi SAW, sebagai mana yang diamalkan oleh generasi awal umat Islam. dalam perkembangan selanjutnya, gerakan salafiyah tidak hanya menyentuh dimensi purifikasi credo dan ritual, namun juga mulai menyentuh dimensi intelektual dan politik.

Di Indonesia ide-ide gerakan pemikiran salafiyah sudah berkembang sejak era kolonial Belanda. Salah satu gerakan pemikiran salafiyah awal di Indonesia adalah di Minangkabau. Gerakan ini mengalami perkembangan seirama dengan munculnya tokoh-tokoh

46 Syaiful Arif, Islam, pancasila, dan deradikalisasi, (Jakarta: PT Gramedia, 2018), 172-174

(36)

gerakan pemikiran salafiyah di Timur Tengan seperti Muhammad Abduh dan Jamaludin Al-Afgani, yang ide dan gagasannya diserap oleh orang Indonesia yang melakukan haji dan kemudian bermukim untuk belajar agama Islam. setelah pulang, mereka secara individu atau melalui organisasi melakukan gerakan pembaharuan Islam sesuai dengan aliran Salafiyah. Seiring bergulirnya waktu, paham ini mendapat banyak tentangan, baik dari golongan keagamaan maupun pemerintah karena dianggap berbahaya dan mengancam stabilitas keamanan negara. Namun ditengan berbagai aksi penumpas terhadap aliran ini, radikalisme senantiasa eksis walaupun jumlahnya relatif kecil. Roy A. Rappaport menyatakan bahwa secara sosiologis antropologis, tendensi orang untuk kembali ke agama meningkat ketika ia berada dalam kondisi krisis. Pada sisi lain, pendekatan skriptural ini mudah diikuti terutama bagi mereka yang tengah mengalami new convert atau born again religious ataupun mereka yang unfortunate people (tidak beruntung, miskin).

Kelompok Islam radikal memahami Islam sebagai agama yang sempurna dan lengkap, serta memberikan perhatian kepada otentisitas kultural. Islam bukanlah agama dalam pengertian barat, tetapi Islam adalah cara hidup yang sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Pemahaman ini membentuk pandangan hidup yang senantiasa merindukan pemberlakuan aspek-aspek keIslaman di setiap sendi kehidupan, tidak hanya dalam aspek ritual ibadah semata.

(37)

Hal ini pun berdampak pada pembentukan identitas yang eksklusif sebagai kriteria khusus golongan ini.47

Secara umum dan tentatif, tumbuhnya gerakan-gerakan baru non- mainstream ini mengambil dua bentuk. Pertama, gerakan non salafi yang mengaitkan diri dengan semangat mewujudkan doktrin secara kaffah dalam arti literal. Kedua, gerakan salafi yang berusaha mewujudkan cita-cita sosial politik Islam yang berbeda dengan formulasi gerakan Islam mainstream. Dua gerakan ini tumbuh secara bersamaan dan saling bersinggungan, baik dengan sesama gerakan non-mainstream maupun dengan gerakan main-stream. Bentuk gerakan politik kelompok non-mainstream dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu jihadis, reformis, dan rejeksionis. Jihadis adalah bentuk aksi politik berupa tindakan kekerasan atas nama jihad. Reformis adalah bentuk aksi politik berupa tekanan terhadap pemerintah tanpa melakukan kekerasan yang akan mengganggu stabilitas nasional dan menuntut hak-hak sektarian. Rejeksionis adalah bentuk aksi politik berupa penolakan terhadap sistem demokrasi dan melakukan tekanan- tekanan terhadap berbagai kebijakan.48

Gerakan-gerakan Islam baru non-mainstream dalam kelompok Non-Salafi adalah Darul Arqam, Jama‟ah Tabligh, Ihwanul Muslimin, Isa Bugis, IJABI (Ikatan Jamaah Ahlu al Bait Indonesia), FPI (Front Pembela Islam), DI (Darul Islam), Hizbut Tahrir, dan lain-lain.

47 Emna Laisa, Islam Dan Radikalisme, Islamuna Volume 1 Nomor 1 Juni 2014, 4-5

48 Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), 27

(38)

Sedangkan yang masuk dalam kelompok Salafi adalah MMI (Majlis Mujahidin Indonesia), Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, dan grup-grup Informal seperti Abdul Hakim Hadda, Yazid Jawz, Husein As-Sewed, dan lain-lain; sementara yang masuk kelompok-kelompok pengajian, diantaranya Daurah, Halaqah, dan lain-lain.49

d. Faktor munculnya radikalisme

Dalam kajian radikalisme, penyebab lahirnya pemahaman dan tindakan radikal dapat ditelusuri pada aspek ekonomi, sosial, politik dan budaya yang diantaranya sebagai berikut:

1) Wujud implikatif dari lahirnya gerakan pembaharuan Islam (tajdid) Gerakan ini mengusung misi puritarisme untuk mengembalikan kesucian dan kemurnian Islam. berbagai tokoh pencetus pemikiran dan gerakan tajdid yang telah lahir di timur tengah seperti Hasan Al Banna (pendiri ikhwanul muslimin). Dan abu a‟la al Maududi (pendiri jamaat Islam). pemikiran kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh besar atas lahirnya gerakan radikalisme dengan frame jihat untuk kebangkitan islam.50

2) Keguncangan mental. Fenomena ini banyak dialami oleh para pemuda yang disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor dominan erat kaitannya dengan kegagalan dalam membangun kehidupan yang layak. Tuntutan kebutuhan ekonomi lantas mempengaruhi disharmonisasi keluarga sehingga berbagai cara dilakukan untuk

49 Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, 28

50 Nurjannah, Radikal Vs Moderat, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), 14

(39)

keluar dari tekanan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, seseorang begitu rentan dengan provokasi untuk melakukan perlawnan- perlawan sosial.51

3) Kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Kemiskinan akan menjadi penyakit sosial yang berakibat fatal pada perilaku seseorang jika tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat. Kemiskinan mayoritas ummat Islam merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri sehingga ummat menjadi penyumbang terbesar atas tingginya pengangguran. Kondisi ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok radikalis untuk merekrutnya.52 Selain itu, jarak kesenjangan antara si kaya dan si miskin kian jauh. Hal inilah yang juga akan menciptakan kegalauan dan kecemburuan sosial (sosial greavences).53 Secara implikatif, fenomena ini juga kemudian bermuara pada pertanyaan terhadap eksistensi negara-negara (dengan penduduk mayoritas Islam) yang tidak mampu menyejahterakan penduduknya.54 Hal tersebut ditandai oleh kecenderungan para birokrat yang koruktif, kolutif dan nepotisme.

4) Kedangkalan pemahaman agama. Para pengikut dan sasaran rekrutmen radikalisme mayoritas adalah orang yang sesungguhnya tidak memahami agama secara utuh dan integral. Mereka cenderung memposisikan semua unsur keagamaan itu bersifat

51 Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, 91

52 Nurjannah, Radikal Vs Moderat, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2013), 14

53 Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, 93

54 Nursyam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 128

(40)

sakral.55 Padahal ada kalanya unsur agama harus dipahami dalam perspektif profan. Sakralitas pemahaman itu, begitu erat kaitannya dengan pemaknaan dakwah, amar makruf nahi munkar, jihad dan lain-lain.56 Semuanya dipahami secara eksklusif, tidak bersedia berdialog dan cenderung memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Akibatnya, mereka kerap kali bertindak brutal atas fenomena kehidupan yang terjadi, khususnya dalam menghadapi berbagai perbedaan dalam pengamalan agama.

55 Zuly Qodir, Radikalisme Agama di Indonesia, 98

56 Nurjannah, Radikal Vs Moderat, 14

(41)

A. Pendekatan dan jenis penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami subyek peneliti misalnya perilaku, motivasi, tindakan, dan sebagainya secara holistik, dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus dengan memanfaatkan beberapa metode ilmiah.57 Metode Penelitian Kualitatif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, pengambilan sampel sumber data dilakukan secara purposive dan snowball, teknik pengumpulan dengan triangulasi (gabungan), analisis data bersifat induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada generalisasi.58

Berdasarkan definisi diatas penelitian kualitatif merupakan penelitian yang dilakukan secara langsung yang mana peneliti mengamati langsung fenomena yang terjadi di lapangan dan juga dideskripsikan dalam bentuk uraian kata.

Jenis penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan yaitu penelitian dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari sasaran penelitian yang selanjutnya disebut informan atau

57Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2008), 6

58Sugiono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: CV ALFABETA, 2014), 15

(42)

responden melalui instrumen pengumpulan data seperti wawancara dan observasi.59

B. Lokasi penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana seorang peneliti melakukan penelitiannya. Lokasi penelitian ditunjukkan dengan mengemukakan identifikasi lokasi. Adapun lokasi yang diteliti oleh peneliti yaitu di SMA Nuris Jember Jl. Pangandaran No. 48 Desa Antirogo Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember. Lokasi ini peneliti pilih sebagaimana yang telah peneliti kemukakan pada bagian latar belakang masalah bahwa SMA Nuris Jember pernah kemasukan buku yang berparadikma paham radikalisme.

C. Subyek penelitian

Untuk memperoleh data sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dijelaskan pada bab I, maka diperlukan penentuan informan yang tepat, dalam hal ini peneliti menentukan subyek penelitian memakai teknik purposive.60 Teknik purposive, yaitu: teknik penentuan informan dengan pertimbangan tertentu.61 Pemilihan teknik purposive ini dilakukan untuk menjaring sebanyak mungkin informan dari berbagai macam sumber dan juga menggali informasi yang akan menjadi dasar rancangan dan teori yang muncul.62

Berdasarkan uraian diatas dalam penelitian ini subjek penelitian atau informan yang terlibat dalam mengatasi masalah yang dikaji diantaranya:

59Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), 125

60Dja’man Satori dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2013), 47

61 Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), 95

62 Lexy J. Moleong, Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 165

(43)

1. Kepala Sekolah

Adapun dalam penelitian ini salah satu subjek yang ditentukan oleh peneliti yaitu kepala sekolah. Alasannya adalah kepala sekolah merupakan pucuk pimpinan kebijakan sekolah yang lebih banyak mengetahui berbagai hal tentang sekolah. Kepala sekolah juga merupakan salah satu pemegang kebijakan yang bisa mengarahkan peneliti tentang informan berikutnya yang bisa diwawancarai.

2. Guru PAI

Jumlah guru PAI di SMA Nuris Jember sebanyak dua guru PAI yakni Bapak Taufik Ahmad dan Bapak Sarbini. Dalam penelitian ini, peneliti melibatkan kedua-duanya sebagai informan dengan pertimbangan guru PAI adalah subjek utama dalam penelitian ini.

3. Siswa

Jumlah siswa di SMA Nuris Jember sebanyak 525 siswa. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lima siswa yang dijadikan sebagai informan dengan pertimbangan bahwa lima siswa tersebut terlibat langsung terhadap masuknya buku paham radikalisme yang terjadi di sekolah.

D. Teknik pengumpulan data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode-metode sebagai berikut:

(44)

1. Observasi

Observasi adalah pengamatan dan pencatatan yang sistematis terhadap gejala-gejala yang diteliti. Observasi merupakan proses yang kompleks, yang tersusun dari biologis dan psikologis. Dalam menggunakan proses observasi yang terpenting ialah mengandalkan pengamatan dan ingatan si peneliti.63

Adapun data yang diperoleh dengan menggunakan teknik observasi ini diantaranya adalah: kegiatan guru PAI dan siswa dalam mencegah paham radikalisme.

2. Interview

Metode interview atau wawancara adalah teknik mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada informan, percakapan dengan maksud tertentu, percakapan itu dilakukan dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.64

Teknik wawancara atau interview ditinjau dari pelaksanaannya dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

a. Interview bebas (Inguided Interview)

Interview bebas merupakan interview dimana pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingatkan data apa yang akan dikumpulkan.

63Husaini Usman, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), 54

64Lexy J. Moleong, Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 186.

(45)

b. Interview terpimpin (Guided Interview)

Interview terpimpin yaitu interview yang dilakukan oleh pewawancara dengan membawa sederet pertanyaan lengkap dan terperinci seperti yang dimaksud dalam interview terstruktur.

c. Interview bebas terpimpin

Interview bebas terpimpin merupakan kombinasi antara interview bebas dan interview terpimpin. Dalam melaksanakan interview, pewawancara membawa pedoman yang hanya merupakan garis besar tentang hal-hal yang akan ditanyakan.65

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode interview bebas terpimpin. Dengan menggunakan metode ini peneliti mendapatkan data mengenai peran Guru PAI sebagai pendidik dalam mencegah paham radikalisme, peran Guru PAI sebagai pengajar dalam mencegah paham radikalisme, dan peran Guru PAI sebagai pembimbing dalam mencegah paham radikalisme.

3. Teknik Dokumenter

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu.

Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang. Metode dokumenter adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.

65Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), 240.

(46)

Adapun data yang diperoleh oleh peneliti adalah profil lembaga, visi, misi, sejarah, target, tujuan, struktur lembaga, peraturan, dan kebijakan lembaga sekolah. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto kegiatan.

E. Analisis Data

Setelah diperoleh dari lapangan dengan berbagai metode didepan maka dilakukan analisis data, karena data yang diperoleh adalah data mentah yang perlu diolah dan dianalisis.

Analisis Data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data kedalam kategori, menjabarkan kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.66

Menurut Miles and Hubermen dalam bukunya Sugiyono mengemukakan aktivitas dalam analisis data yaitu data condensation, data display data, dan conclusion drawing/verification.67

1. Data Condensation

Sebelum seorang peneliti memilah data sesuai kategori yang diperlukan, maka sebelumnya harus sudah mempunyai data dan mengumpulkannya. Data yang telah terkumpul terlebih dahulu dilakukan kondensasi untuk mendapatkan data yang sesuai. Kondensasi data ialah

66Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), 244.

67 Ibid, 246

(47)

kegiatan yang harus dilakukan oleh peneliti yang mengacu pada proses penyeleksian, pemfokusan, penyederhanaan, peringkasan dan transformasi data yang sesuai dengan seluruh badan catatan, transkip wawancara, dokumen dan bahan-bahan empiris lainnya. Kondensasi data merupakan proses mengelompokkan, memfokuskan serta membuang data yang tidak diperlukan.

As data collection proceeds, further episodes of data condensation occur:

writing summaries, coding, developing themes, generatin, categories, and writing analytic memos.68

Demikian adalah hal-hal yang dilakukan oleh peneliti dalam kegiatan kondensasi data diantaranya yakni: menulis ringkasan, pengkodean, mengembangkan tema, mengembangkan kategori dan menulis memo analisis.

2. Data Display (Penyajian Data)

Setelah langkah pertama sudah dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah mendisplay data. Penyajian Data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles and Huberman dalam sugiono menyatakan

The most frequent form of display data for qualitative reaserch data in the past has been narative text”. Yang paling sering digunakan untuk

68 Matthew B. Miles, A. Michael Huberman, Johnny Saldana, Qualitative Data Analysis A Methods Sourcebook, (Amerika: Perpustakaan Amerika, 2014), 12

(48)

menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.69

Dengan menyajikan data, maka akan memudahkan peneliti untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami.

3. Conclusion Drawing/ Verification

Langkah ke tiga dalam analisis data kualitatif munurut Miles and Huberman dalam Sugiono adalah penarikan kesimpulan dan verifikasi.

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengupulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.70

Kesimpulan yang kredibel adalah kesimpulan yang menjawab permasalahan yang menjadi titik fokus peneliti.

F. Keabsahan Data

Uji keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan triangulasi.

Triangulasi adalah teknik pengumpulan data yang bersifat menggunakan data dari berbagai teknik pengumpulan data dan sumber yang telah ada.71 Sedangkan untuk menguji data yang diperoleh peneliti menggunakan triangulasi sumber dan metode.

69 Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif kualitatif. (Bandung: Alfabeta, 2017), 137

70 Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif kualitatif. (Bandung: Alfabeta, 2017), 141-142

71Sugiyono, Metode penelitian kuantitatif kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2012), 241

(49)

Triangulasi sumber adalah membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda, yang artinya membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informan yang diperoleh dari informasi yang berasal dari sumber lain.72 Triangulasi metode, menurut Patton terdapat dua strategi, yaitu:

(a) Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data, (b) pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.73

Triangulasi sumber dilakukan dengan cara membandingkan kebenaran data tertentu yang diperoleh dari guru PAI, kemudian di konfirmasikan kepada informan lainnya. Data yang sudah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member chek) dengan tiga sumber data tersebut.

G. Tahap-tahap penelitian

Untuk mengetahui proses penelitian yang dilakukan oleh peneliti mulai awal hingga akhir maka perlu diuraikan tahap-tahap penelitian. Tahap penelian ada 3 yaitu tahap pra lapangan, tahap pekerja lapangan, dan tahap analisis data.

Dalam hal ini tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan peneliti diantaranya adalah:

72Lexy J. Moleong, Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009), 275

73Ibid, 331

(50)

1. Tahap pra lapangan

Dalam tahap penelitian pra lapangan terdapat enam tahapan dan tahapan tersebut dilalui sendiri oleh peneliti diantaranya:

a. Menyusun rencana penelitian

Pada tahapan ini peneliti membuat rancangan penelitian terlebih dahulu, dimulai dari pengajuan judul, penyusunan matrik dan seminar skripsi.

b. Memilih lapangan penelitian

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti harus terlebih dahulu memilih tempat penelitian. Tempat penelitian yang dipilih yaitu SMA Nuris Jember.

c. Mengurus perizinan

Sebelum mengadakan penelitian, peneliti mengurus perizinan terlebih dahulu ke pihak kampus.

d. Menjajaki dan menilai lapangan

Setelah diberi izin, peneliti mulai melakukan penjajakan dan mengamati kondisi lapangan sebagai tempat penelitian untuk lebih mengetahui latar belakang objek penelitian, lingkungan sosial, adat- istiadat, kebiasaan, agama dan pendidikannya. Hal ini dilakukan agar memudahkan peneliti dalam menggali data.

Referensi

Dokumen terkait