Aturan penetapan daerah konflik atau keadaan darurat dinilai sebagai ketentuan yang dualisme yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebab, selain sudah diatur dalam UU No. 23/PRP/1959 tentang Keadaan Bahaya yang di dalamnya mengatur kerusuhan sosial,ketentuan serupa ditemukan dalam UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial (PKS). Ada perbedaan menyangkut otoritas (wewenang) penetapan keadaan darurat. Dalam UU No. 23/PRP/1959, penetapan keadaan darurat mutlak berada di tangan presiden. Sedangkan dalam UU PKS, selain presiden, kewenangan itu bisa didelegasikan kepada gubernur dan bupati/walikota. Ini diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 UU PKS. Hal ini sejalan dengan pandangan mantan Ketua MK Prof Jimly Asshiddiqie dalam bukunya yang berjudul Keadaan Darurat secara jelas menyatakan keadaan darurat itu eksklusif milik presiden.
Terkait dengan penetapan status darurat di suatu negara, baik itu darurat sipil, militer, atau kesehatan masyarakat, peran DPR dan Presiden sangatlah penting. Keduanya memainkan peran yang saling melengkapi dalam menjaga keseimbangan kekuasaan, menjamin
kepastian hukum, dan melindungi hak-hak warga negara.
Di Indonesia, peran Presiden dalam penetapan status darurat diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Penetapan status darurat dapat berupa darurat sipil, darurat militer, atau darurat kesehatan masyarakat. Berikut adalah gambaran umum mengenai peran Presiden dalam setiap jenis darurat sesuai undang- undang:
1. Darurat Sipil:
Presiden memiliki kewenangan untuk menyatakan darurat sipil jika terjadi gangguan keamanan nasional atau ketertiban masyarakat yang serius dan membahayakan.
Dalam darurat sipil, Presiden dapat mengambil langkah-langkah tertentu, seperti memberlakukan jam malam, menghentikan sementara kegiatan masyarakat tertentu, atau melakukan pembatasan tertentu.
2. Darurat Militer:
Presiden memiliki kewenangan untuk menyatakan darurat militer jika terjadi
ancaman yang serius terhadap keamanan nasional atau integritas wilayah Indonesia.
Selama darurat militer, Presiden dapat mengambil langkah-langkah ekstra, termasuk penggunaan TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk mengatasi ancaman tersebut.
3. Darurat Kesehatan Masyarakat:
Presiden memiliki kewenangan untuk menyatakan darurat kesehatan masyarakat jika terjadi wabah penyakit yang memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan masyarakat.
Dalam darurat kesehatan masyarakat, Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk mengatasi penyebaran penyakit, termasuk pembatasan pergerakan,
penutupan tempat umum, atau langkah-langkah lain yang diperlukan.
Penting untuk dicatat bahwa dalam semua jenis darurat di atas, langkah-langkah yang diambil oleh Presiden harus memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan norma- norma internasional yang berlaku. Selain itu, pengumuman darurat harus dilakukan dengan memberikan alasan yang jelas dan transparan kepada publik. Ketika Presiden menyatakan status darurat, langkah selanjutnya adalah memberitahu DPR dan melaporkan tindakan yang diambil selama masa darurat. DPR memiliki peran pengawasan dalam situasi darurat dan dapat meminta penjelasan serta memantau perkembangan situasi. Selain Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, peran Presiden dalam situasi darurat juga dapat diatur oleh undang-undang lainnya yang relevan.
Terdapat pula peran DPR Indonesia saat penetapan status darurat diatur dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. DPR memiliki peran penting dalam proses pengesahan dan pengawasan terhadap status darurat, baik itu darurat sipil, darurat militer, maupun darurat kesehatan masyarakat. Berikut adalah gambaran umum mengenai peran DPR dalam situasi darurat sesuai undang-undang:
1. Persetujuan Penetapan Darurat:
Ketika Presiden bermaksud untuk menyatakan status darurat (darurat sipil, darurat militer, atau darurat kesehatan masyarakat), ia harus mendapatkan persetujuan DPR terlebih dahulu.
DPR memiliki wewenang untuk mengevaluasi dan memutuskan apakah alasan yang diajukan oleh Presiden memadai untuk menyatakan status darurat.
2. Pembahasan Bersama:
Setelah Presiden mengajukan permohonan penetapan darurat, DPR akan melakukan pembahasan untuk mengkaji kebutuhan dan alasan darurat yang diajukan.
DPR dapat melakukan dialog dengan pemerintah dan Presiden untuk memahami situasi yang melatarbelakangi permohonan tersebut.
3. Persetujuan Atau Penolakan:
DPR memiliki hak untuk memberikan persetujuan atau penolakan terhadap permohonan Presiden untuk menyatakan darurat.
Jika DPR memberikan persetujuan, status darurat dapat diumumkan oleh Presiden dan langkah-langkah darurat dapat diambil.
Jika DPR menolak, Presiden tidak dapat mengumumkan status darurat.
4. Pengawasan Terhadap Tindakan Darurat:
Setelah status darurat diumumkan dan langkah-langkah darurat diambil, DPR memiliki peran dalam mengawasi pelaksanaan tindakan-tindakan tersebut.
DPR dapat memantau apakah tindakan yang diambil sesuai dengan tujuan darurat dan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
5. Pemantauan Terhadap Batas Waktu Darurat:
DPR juga dapat memantau batas waktu darurat yang telah ditetapkan. Jika status darurat diharuskan diperpanjang, Presiden perlu mengajukan permohonan
perpanjangan kepada DPR.
Peran DPR dalam situasi darurat adalah untuk mewakili suara rakyat dan memastikan bahwa tindakan yang diambil oleh pemerintah selama masa darurat sejalan dengan prinsip- prinsip demokrasi, hak asasi manusia, dan kepentingan masyarakat. DPR bertindak sebagai pengawas dan pengontrol untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan serta untuk
memastikan bahwa tindakan darurat tidak berlangsung melebihi batas yang diperlukan.
Dalam kesimpulannya, peran DPR dan Presiden dalam penetapan status darurat adalah untuk menjaga keseimbangan kekuasaan, memastikan keputusan yang diambil didasarkan pada hukum dan kepentingan nasional, serta melindungi hak-hak dan kesejahteraan warga
negara. Kerja sama dan koordinasi antara kedua lembaga ini sangatlah penting untuk menghadapi tantangan-tantangan yang mungkin muncul selama masa darurat.