Nama : Annita Dwi Yuliani NIM : 3335220075 Kelas : C
MK : Teknik Bioproses
SUMMARY TEKNIK BIOPROSES
Peran Sterilisasi pada Industri Fermentasi
Sterilisasi bertujuan mematikan semua mikroba yang mungkin akan hidup dan mengganggu proses fermentasi untuk menghasilkan produk tertentu yang menjadi target pada hasil fermentasi.
Faktor-Faktor Penting pada Proses Sterilisasi 1. Waktu
Agar semua mikroorganisme, termasuk spora, mati secara efektif, bahan yang disterilkan harus terkena agen sterilisasi (seperti panas, uap, atau bahan kimia) dalam durasi waktu tertentu. Waktu sterilisasi biasanya dihitung berdasarkan jenis bahan atau alat yang disterilkan, jumlah mikroorganisme yang ada, efektivitas metode sterilisasi yang digunakan.
2. Kontak
Agar sterilisasi efektif, agen sterilisasi harus kontak langsung dengan seluruh permukaan benda yang akan disterilkan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada area yang terlewat.
3. Temperature
Peningkatan suhu umumnya akan menurunkan waktu yang diperlukan untuk membunuh mikroorganisme. Pada sterilisasi panas basah (uap) membutuhkan suhu minimal 121°C selama 15-20 menit pada tekanan tinggi untuk membunuh mikroorganisme dan spora. Pada sterilisasi panas kering memerlukan suhu lebih tinggi, misalnya 160°C selama 2 jam atau 170°C selama 1 jam, karena panas kering kurang efektif dalam menghancurkan mikroorganisme dibandingkan panas basah.
4. Tekanan tinggi
Tekanan tinggi digunakan untuk meningkatkan titik didih air dalam sterilisasi uap (autoklaf), sehingga uap dapat mencapai suhu yang cukup tinggi untuk membunuh spora.
5. Sterilisasi uap
Sterilisasi uap adalah metode yang paling umum dan efektif untuk membunuh mikroorganisme, termasuk spora. Metode ini menggunakan kombinasi uap panas dan tekanan tinggi. Prosesnya melibatkan:
1) Pemanasan air hingga menghasilkan uap.
2) Uap dibiarkan bersirkulasi di dalam ruang steril untuk memastikan kontak dengan seluruh permukaan benda.
3) Tekanan tinggi digunakan untuk meningkatkan suhu uap.
Proses sterilisasi media dan semua hal yang terlibat pada proses fermentasi memiliki target untuk destruksi mikroorganisme yang tidak diharapkan dan dapat menyebabkan kontaminasi. Semakin lama proses sterilisasi maka akan semakin banyak mikroba yang akan mati. Pada temperatur sterilisasi yang tinggi maka laju kematian mikroba pengganggu akan semakin cepat.
Kinetika Sterilisasi
Kinetika sterilisasi mengikuti persamaan Arhennius yang merupakan turunan dari model persamaan reaksi kimia orde-1.
Pada proses sterilisasi berlaku Batasan integral bahwa pada saat awal proses sterilisasi, jumlah mikroba awal adalah N0. Persamaan memiliki gradien negative yang berarti terjadi penurunan jumlah mikroba dengan penambahan waktu. Pada suhu sterilisasi yang berbeda, Tingkat kecuraman gradien juga akan berbeda. Hal ini terlihat pada nilai kd yang mengikuti persamaan Arhennius.
Teknik Sterilisasi
1. Moist Heat Sterilization
Moist Heat Sterilization merupakan teknik yang umum digunakan dalam proses sterilisasi. Proses sterilisasi tersebut menggunakan uap panas bertekanan tinggi dengan suhu 121°C selama 15 menit. Teknik ini menyebabkan denaturasi enzim dan degradasi asam nukleat sehingga menimbulkan kematian bagi mikroorganisme. Alat yang digunakan pada proses sterilisasi tersebut adalah autoklaf. Medium kultur, fermentor berukuran kecil, dan peralatan kaca (glassware) dapat disterilisasi dengan menggunakan teknik ini.
2. Dry Heat Sterilization
Pada dry heat sterilization digunakan udara panas sebagai media sterilisasi.
Udara panas tersebut akan mengoksidasi komponen sel mikroorganisme. Teknik ini kurang efektif jika dibandingkan dengan teknik moist heat sterilization. Dry heat sterilization menggunakan suhu 160-180°C selama 1 jam. Oven yang menggunakan udara panas digunakan untuk mensterilisasi peralatan dalam proses fermentasi.
Peralatan tersebut harus tahan terhadap suhu tinggi, misalnya peralatan gelas pyrex.
Ruang bagian dalam oven terbuat dari stainless steel tahan panas dan memiliki kipas untuk menyebarkan udara panas dan menjamin transfer panas yang tepat.
3. Incineration
Proses incineration (pembakaran) dilakukan dengan mengekspos secara langsung pada api untuk membunuh mikroorganisme. Proses ini merupakan metode sterilisasi paling efektif dan sesuai hanya untuk komponen yang stabil terhadap panas, seperti obyek logam dan kaca yakni loop inokulasi, jarum, dan peralatan kaca yang stabil terhadap panas.
4. Pemanasan (Boiling)
Cairan disterilisasi dengan pendidihan pada suhu 100°C selama 30 menit.
Proses ini membunuh sebagian besar mikroorganisme kecuali spora. Karena sifatnya yang tidak dapat membunuh spora, maka beberapa literatur tidak mencantumkan proses
ini ke dalam teknik sterilisasi. Akan tetapi, spora dapat dibunuh selama pendidihan untuk periode waktu yang lebih lama.
5. Sterilisasi Kimiawi
Teknik ini digunakan untuk mensterilisasi komponen fermentasi yang tidak tahan pada suhu tinggi yang umum digunakan pada proses sterilisasi dengan menggunakan panas. Bahan-bahan kimia tersebut dapat berupa gas ataupun cairan. Gas yang biasa digunakan pada sterilisasi dengan menggunakan bahan kimia adalah gas etilen oksida dan formaldehid, sedangkan cairan yang umum digunakan adalah klorin, etil alcohol, dan hidrogen peroksida.
6. Sterilisasi dengan Filtrasi
Filter digunakan untuk mensterilkan cairan yang sensitif terhadap panas, dan gas yang digunakan selama proses fermentasi. Bahan yang digunakan sebagai membrane filter adalah selulosa nitrat dan selulosa asetat dengan ukuran pori 0,22 µm.
7. Sterilisasi dengan Radiasi
Proses sterilisasi ini menggunakan sinar UV. Komponen yang dapat disterilisasi dengan teknik radiasi adalah filter, gas, dan komponen lain yang sensitive terhadap panas.
Bioreaktor pada Proses Fermentasi
Bioreaktor dan Fermentor
Bioreaktor dan Fermentor adalah peralatan tempat terjadinya proses fermentasi
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Bioreaktor
1. Penghambatan produk: Produk yang dihasilkan dalam bioreaktor dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme atau aktivitas enzim.
2. Aktivitas mikroba: Aktivitas mikroba menentukan laju bioproduksi.
3. Penghilangan panas: Reaksi metabolisme mikroba sering menghasilkan panas, yang dapat meningkatkan suhu bioreaktor. Suhu yang terlalu tinggi dapat mematikan mikroba atau menurunkan efisiensi enzim.
4. Pemindahan produk: Pemindahan produk dari bioreaktor penting untuk mencegah penghambatan produk dan memudahkan pemurnian.
5. Pengadukan: Pengadukan bertujuan untuk mencampur medium secara homogen sehingga mikroba dapat mengakses nutrisi dan oksigen secara merata. Pengadukan yang buruk dapat menyebabkan gradien nutrisi dan oksigen, sehingga mengurangi efisiensi produksi.
6. Aerasi: Aerasi diperlukan untuk menyediakan oksigen bagi mikroorganisme aerobik.
Kekurangan oksigen dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan produksi.
7. Sterilisasi: Sterilisasi medium, peralatan, dan bioreaktor penting untuk mencegah kontaminasi oleh mikroorganisme asing. Kontaminasi dapat mengganggu proses dan menurunkan kualitas produk.
8. Agitasi: Agitasi mengacu pada pencampuran mekanis medium untuk memastikan distribusi oksigen, nutrisi, dan suhu yang merata. Agitasi juga meningkatkan kontak antara mikroba dan substrat.
9. Nutrisi: Ketersediaan dan keseimbangan nutrisi dalam medium sangat penting untuk pertumbuhan mikroba dan produksi metabolit. Nutrisi yang tidak seimbang dapat menghambat pertumbuhan atau menyebabkan akumulasi produk sampingan.
10. Konsentrasi Biomassa: Konsentrasi biomassa yang terlalu rendah akan mengurangi efisiensi produksi, sementara konsentrasi yang terlalu tinggi dapat menyebabkan akumulasi panas, kebutuhan oksigen meningkat, atau penghambatan oleh produk.
Sistem Operasi Biorekator 1. Reaktor Batch
Bioreaktor batch merupakan bioreaktor dengan sistem operasinya berjalan hanya satu kali proses tanpa adanya penambahan nutrisi selama proses berlangsung.
Bioreaktor batch ini biasanya dilengkapi dengan sebuah pengaduk atau agitator untuk mengaduk broth agar konsentrasi sel dapat terdistribusi secara merata. Prinsip kerja pada bioreaktor batch ini adalah proses fermentasi yang tergantung pada waktu atau lama proses. Adapun jumlah cairan atau bahan yang difermentasi tidak terlalu berpengaruh dibandingkan konsentrasi substrat. Selama proses fermentasi terjadi, substrat akan mengalami perubahan kimiawi melalui proses metabolisme oleh mikroba.
Mikroba yang digunakan akan "memakan" atau mengkonversi substrat menjadi bentuk lain atau yang disebut sebagai produk. Jenis fermentasi ini umumnya dilakukan pada kondisi semi padat (submerged) atau cair. Sebagai contoh pada produksi enzim selulase dari sekam kopi. Pada fermentasi cair seperti fermentasi bioetanol dari nira, dapat juga digunakan bioreaktor batch. Akan tetapi, produktivitas etanolnya lebih rendah dibandingkan proses fed batch.
2. Sistem Fed Batch Reaktor
Fed batch bioreactor merupakan bioreaktor dengan sistem operasinya yaitu berjalan hanya satu kali proses tetapi dilakukan penambahan nutrisi selama proses berlangsung. Hal ini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi lebih baik. Pada sistem bacth, nutrisi hanya ditambahkan diawal sehingga pada saat awal proses nutrisi digunakan dalam jumlah banyak sedangkan pada proses selanjutnya nutrisi yang tersisa sedikit. Hal ini menyebabkan mikroba tidak dapat tumbuh dengan baik. Bentuk dari Fed batch ini hampir sama dengan bioreaktor bacth yaitu dilengkapi dengan pengaduk dan jaket pendingin.
Laju alir media yang ditambahkan dalam setiap waktunya merupakan faktor utama yang meepengaruhi keberhaslan proses fermentasi pada metode fed batch ini.
Hal ini dikarenakan pemberian nutrisi dilakukan secara berkala. Laju alir nutrisi yang lambat menyebabkan mikroba kekurangan makanan dan begitu juga sebaliknya.
Pentingnya laju alir ini menjadikan perlu adanya pengendalian yang tepat.
Pengendalian fermentasi dapat dilakukan secara Open Loop, Model Predictive Control (MPC), Fuzzy Control, Artificial Neural Networks (ANN) maupun Probing control.
Pengaruh laju alir umpan terhadap laju fermentasi dapat digambarkan pada skema berikut:
3. Continous Stirrer Tank Reactor (CSTR)
Bioreaktor CSTR merupakan salah satu jenis reaktor yang memiliki sistem operasi kontinyu. Proses di dalam bioreaktor ini berjalan terus menerus selama proses.
Dalam bioreaktor ini berlaku kesetimbangan massa; massa masuk akan bernilai sama dengan massa yang keluar. Bioreaktor ini diasumsikan bahwa reaktan, baik substrat, nutrisi maupun enzim dari sel telah tercampur sempurna. Asumsi ini didasarkan pada proses pengadukan yang berjalan kontinyu.
Faktor penentu bioreaktor CSTR adalah laju aliran dan kecepatan putar pengaduk. Laju aliran umpan atau bahan masuk sangat erat berkaitan dengan waktu tinggal proses (resident time). Waktu tinggal adalah lamanya campuran substrat atau bulk fermentasi berada di dalam reaktor. Pada saat bulk berada di dalam bioreaktor, substrat akan kontak dengan mikroba sehingga terjadi proses fermentasi. Jika waktu tinggalnya sangat sedikit maka proses fermentasi tidak sempurna sehingga konversi substrat menjadi produk menjadi rendah.
4. Plug Flow Reactor (PFR)
Bioreaktor plug flow merupakan jenis bioreaktor kontinyu. Berbeda dengan CSTR, bioreaktor ini tidak dilengkapi dengan agitator. Adapun konsentrasi produk pada
"bulk" di dalam reaktor pada satu titik tertentu akan bernilai sama sepanjang waktu operasinya. Hal ini dikarenakan "bulk" berjalan dari satu titik ke titik berikutnya sepanjang waktu. Semakin ke kanan (arah output) maka konsentrasi produk semakin besar.
Bioreaktor plug flow memiliki kelebihan yaitu dapat dioperasikan pada kapasitas atau laju alir yang tinggi. Sama halnya dengan CSTR, waktu tinggal umpan dalam bioreaktor menjadi parameter utama laju fermentasi. Bioreaktor plug flow dapat digunakan dalam penanganan air limbah. Penggunaan bioreaktor plug flow ini juga dapat dikombinasikan dengan membran untuk sekaligus memisahkan komponen organik dari air limbah yang diproses. Salah satu contoh penggunaan bioraktor plug flow adalah pada lumpur aktif. B ioreaktor plug flow dikombinasikan dengan tangki
pengendap atau settler dimana terdapat recycle dari lumpur untuk dialirkan kembali pada bioreaktor. Berikut ini adalah skema teknologi lumpur aktif menggunakan bioreaktor plug flow:
Konfigurasi Bioreaktor 1. Stirrer Tank Bioreactor
Stirred tank bioreactor merupakan bioreaktor yang dilengkapi dengan pengaduk. Bioreaktor ini biasanya juga dilengkapi dengan baffles yang digunakan untuk mengurangi vortex. Vortex merupakan pusaran fluida di dalam tangki yang disebabkan kecepatan putar yang terlalu tinggi. Vortex ini banyak menimbulkan kerugian. Diantaranya yaitu menimbulkan foam. Foam ini mengganggu proses fermentasi dengan menghalangi kontak substrat dan sel. Stirred tank bioreactor dapat digunakan pada reaksi enzimatis baik free enzyme ataupun immobilized enzyme.
Bioreaktor ini memiliki kelebihan yaitu biaya operasional yang rendah. Adapun kekurangan dari bioreaktor ini yaitu menimbulkan shear forces yang tinggi sehingga gesekan tersebut dapat merusak sel. Selain itu, bioreaktor ini membutuhkan input energi yang tinggi, terutama untuk menggerakkan agitator. Adanya pengadukan ini juga dapat menimbulkan panas sehingga diperlukan adanya sistem pendingin. Sistem pendingin
ini dapat berupa jaket pendingin ataupu koil pendingin di bagian dalam bioreaktor atau bagian luar bioreaktor.
2. Bubble Coloumn Bioreactor
Bubble column bioreactor merupakan bioreaktor berbentuk bejana (kolom) yang dilengkapi dengan penyemburan gas sebagai metode pengadukannya. Bioreaktor ini memiliki transfer massa dan transfer panas yang bagus. Selain itu, bioreaktor ini juga memiliki desain yang lebih sederhana dan membutuhkan input energi yang rendah.
Adapun aplikasi bioreaktor ini yaitu pada produksi baker's yeast, beer, vinegar, dan dapat pula digunakan untuk waste water treatment.
3. Airlift Bioreactor
Airlift bioreactor adalah biorektor yang di dalam sistem operasinya terdapat riser dan downcomer. Riser adalah bagian dari bioreactor (space berbentuk kolom) yang digunakan untuk menaikkan bulk dari fermentasi, sedangkan downcomer adalah bagian lain dari bioreaktor yang digunakan untuk menurunkan bulk dari fermentasi.
Dengan adanya riser dan downcomer ini, maka bulk fermentasi akan bersirkulasi ke atas dan bawah. Kelebihan dari bioreaktor ini yaitu dapat dioperasikan pada kapasitas yang sangat besar, memerlukan energi rendah, sedikit gesekan yang terjadi, dan kondisi steril lebih mudah dikendalikan. Akan tetapi, bioreaktor ini memiliki kekurangan yaitu memiliki distribusi nutrisi yang kurang baik, mudah terjadi foaming dan biaya awal tinggi.
4. Packed Bed Recator
Packed-bed reactor merupakan bioreaktor yang dioperasikan secara kontinyu.
Bioreaktor ini tersusun atas sebuah kolom yang dipenuhi (rapat) dengan bed (partikel padat berukuran kecil sebagai tempat menempelnya katalis). Adapun medium dialirkan dari bagian bawah kolom sehingga melalui bed-bed yang ada. Pada packed-bed inilah terjadi reaksi utama dalam bioreaktor. Bioreaktor ini sering digunakan untuk reaksi- reaksi yang melibatkan immobilized atau biokatalis partikulat.
5. Trickle-bed Reactor
Trickle-bed reactor adalah salah satu variasi dari packed bed reactor. Pada bioreaktor ini, cairan disemprotkan dari bagian atas packed dan kemudian cairan tadi jatuh, menetes melalui bed. Bioreaktor ini dapat diaplikasikan untuk aerobic wastewater treatment.
6. Fluidized-Bed Reactor
Fluidized-bed reactor adalah sebuah bioreaktor yang dioperasikan pada sebuah kolom berisi partikel-partikel bed. Pada bioreactor ini, partikel-partikel bed yang ada diberikan semprotan gas dari bawah sehingga akan bergolak atau bergerak secara acak ke segala arah. Kemudian, liquor atau larutan fermentasi dialirkan dari bawah yang kemudian akan bereaksi menghasilkan produk pada bed-bed yang bergerak acak tadi.
Pada bioreaktor ini channelling atau penumpukan kerak pada bed dapat dihindari.
Bioreaktor ini dapat diaplikasikan pada wastewater treatment dan produksi vinegar.
Pengendalian Proses Fermentasi di Industri
Parameter Keberhasilan Bioproses
1. Keberhasilan Proses Fermentasi merupakan hal sangat penting pada Industri yang menerapkan Teknik bioproses
2. Kegagalan fermentasi dapat menghasil tidak tercapainya target produk fermentasi sesuai kualitas maupun kuantitas
3. Proses fermentasi berbeda dengan proses industri kimia biasa, karena memakai mikroorganisme hidup dan perlu control proses yang sangat ketat
4. Diperlukan pemantauan proses fermentasi terutama kinerja Bioreaktor 5. Terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja bioreaktor
6. Faktor-faktor ini perlu dipantau dan diukur selama proses fermentasi
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bioreaktor 1. Konsentrasi Nutrisi
Konsentrasi nutrisi berpengaruh pada pertumbuhan sel. Setiap mikroorganisme memerlukan nutrisi dengan komposisi tertentu. Komposisi utama yang harus diperhitungkan yaitu sumber karbon dan nitrogen. Dalam hal ini setiap mikroorganisme memiliki kebutuhan rasio C/N yang berbeda dengan mikroorganisme lain. Selain itu, distribusi nutrisi juga sangat penting untuk diperhatikan. Pemberian nutrisi secara berkala pada bioreaktor fed batch merupakan salah satu upaya untuk mengoptimalkan distribusi nutrisi sehingga dapat mengurangi penumpukan hasil metabolisme ataupun kekurangan nutrisi pada akhir proses.
2. Komposisi Faktor Pertumbuhan Sel
Faktor pertumbuhan sel adalah faktor yang krusial dalam bioproses. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan sel merupakan faktor yang sangat kompleks, salah satunya adalah pengaruh nutrisi. Setiap sel memiliki karakteristik yang berbeda sehingga perlu dikaji lebih mendalam mengenai faktor-faktor lainnya.
3. Parameter Fisik
Parameter fisik seperti suhu, pH, dan kadar oksigen sangatlah berpengaruh pada keberhasilan bioproses. Kondisi fisik ini akan memberikan kontribusi pada metabolisme sel dalam bioreaktor.
Optimalisasi Bioreaktor
Bioproses merupakan proses yang sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor tersebut ada yang sejalan, dan ada juga yang bertentangan. Sebagai contoh faktor suplai oksigen dan agitasi. Semakin besar kecepatan putar maka distribusi oksigen semakin baik.
Akan tetapi, kecepatan putar ini tidak sebanding dengan suhu. Kecepatan putar yang tinggi akan menimbulkan panas dan ini tidak diharapkan. Dengan demikian perlu adanya optimalisasi untuk mendapatkan hasil terbaik. Yield, perbandingan hasil produk dan substrat, adalah salah satu parameter yang menjadi patokan dalam optimalisasi. Kondisi optimal adalah kondisi pada saat bioproses tersebut menghasilkan yield tertinggi.
Mekanisme Optimalisasi Bioproses
Pengendalian Parameter Bioproses 1. Pengukuran Variable
Pengukuran variabel atau parameter dalam bioproses dapat dilakukan dengan dua macam metode, yaitu:
1. Menggunakan sensor
Beberapa variabel yang dapat diukur menggunakan sensor adalah sebagai berikut:
• Suhu
• Ph
• Tekanan (PO2, PCO2)
• CO2, CCO2 (dissolved)
• Biomassa
• Optical density
• Redox potential
• Thermodynamics
Pengukuran menggunakan sensor ini lebih akurat, mudah dan cepat. Akan tetapi pengukuran menggunakan sensor ini memerlukan biaya besar dan perawatan sensor yang rutin, termasuk kalibrasi sensor.
2. Analisa manual
Selain pengukuran menggunakan sensor, masih terdapat pula pengukuran manual yaitu seperti pengukuran:
• Konsentrasi sel
• Jumlah sel
• Substrat
• Produk
• Intermediet
Pengukuran dengan Analisa manual ini lebih cenderung pada Analisa pertumbuhan sel. Adapun pengukuran pertumbuhan sel pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua metode yaitu:
1) Exsitu (pengambilan sampel)
Metode ini merupakan metode pengukuran pertumbuhan secara langsung. Metode ini dilakukan dengan cara mengukur cell optical
density, total cell counters, coulter counter, cell dry weight, packed cell volume dan optical detectors.
2) Insitu (pengukuran tanpa pengambilan sampel)
Metode ini merupakan metode pengukuran pertumbuhan secara tidak langsung. Pengukuran dengan metode ini didasarkan pada pengukuran komponen sel, pengukuran ATP, bioluminescence, konsumsi substrat dan pembentukan produk, laju oksigen, hasil respirasi dan panas yang dihasilkan. Semua parameter tersebut secara tidak langsung menunjukkan kemampuan pertumbuhan sel.
Pengukuran pada Bioreaktor secara Umum
Pada gambar di atas, terlihat bahwa parameter seperti konsumsi energi listrik, massa, dan volume cairan pada bioreaktor, tekanan parsial oksigen, dan juga komposisi gas hanyalah diukur tanpa adanya pengontrolan secara langsung seperti laju feeding atau aerasi. Laju feeding atau aerasi jika kurang dari standar maka langsung saja diatur seperti setting point semula.
Akan tetapi komposisi gas keluaran tidak bisa diatur langsung melainkan melalui parameter lain seperti aerasi, laju substrat, pH, dan lain sebagainya.
Pada bagian luar fermentor terdapat sebuah jaket (lapisan kosong yang kemudian diisi air pendingin) pendingin yang digunakan untuk mengatur suhu fermentor. Baik pada saluran air pendingin ataupun saluran gas, dipasang katup yang berfungsi untuk mengatur besarnya air pendingin atau gas yang harus dialirkan. Adapun untuk mengatur pH maka diberikan saluran kecil untuk menambahkan asam atau basa sesuai pH yang ingin diatur. Sistem pengaturan ini dilakukan secara otomatis menggunakan kontroller. Parameter-parameter pada bioreaktor tidak selamanya diukur dan dikontrol seperti ketiga parameter tersebut diatas (pH, suhu, kadar oksigen terlarut). Pada pengukuran parameter tertentu terkadang tidak bisa diberikan Feedback pengendalian langsung. Akan tetapi, parameter tertentu tadi merupakan efek akhir dari beberapa parameter lain.
Variabel Kontrol Bioreaktor
Dalam pengendalian bioreaktor, terdapat beberapa parameter utama atau parameter yang dominan berpengaruh ada hasil bioproses. Sebagai contoh yaitu suhu, pH dan kadar oksigen. Berjalannya bioproses sangatlah sensitif atau bergantung pada ketiga parameter tersebut. Oleh karena itu, mereka harus benar- benar dipantau dan dikontrol. Parameter tersebut itulah yang kemudian disebut sebagai variabel control. Pada bioreactor, terdapat lima pengendalian dasar yang harus dilakukan, yaitu:
1. Kontrol Suhu
Panas dalam bioreaktor dapat dihasilkan dari gesekan yang ditimbulkan oleh agitasi. Panas juga dihasilkan oleh reaksi biokimia eksotermik terkait dengan laju pertumbuhan sel. Semakin cepat laju reaksi maka semakin besar pula panas yang dihasilkan. Pengukuran suhu dapat dilakukan dengan menggunakan termometer, termokopel, termistor, termometer platinum, atau perangkat sirkuit terintegrasi.
Adapun cara pengendaliannya yaitu menggunakan jaket pendingin. Prinsip jaket pendingin yaitu menyerap panas dari sistem kemudian membuangnya keluar bioreaktor. Jumlah panas yang diserap dari bioreaktor haruslah sama dengan panas yang diterima air pendingin.
2. Kontrol pH
pH memiliki efek besar pada pertumbuhan sel dan pembentukan produk dengan mempengaruhi pemecahan substrat dan transportasi dari substrat dan produk melalui dinding sel. Pengukuran pH didasarkan pada standar mutlak dari sifat elektrokimia dari elektroda hidrogen standar. Elektroda Ag/AgCl dan elektrolit KCl jenuh dengan tambahan AgCl, dapat digunakan dalam pengukuran pH secara otomatis.
3. Kontrol Dissolved Oxygen (DO)
Kadar oksigen terlarut sangatlah berpengaruh pada fermentasi terutama fermentasi aerobik. Oksigen merupakan komponen utama bagi mikroba aerobik untuk melangsungkan metabolisme. Pengukuran DO dapat dilakukan melalui tiga cara yaitu metode tubing, probe spektrometer massa, dan juga electrochemical detector. Perangkat electrochemical detector merupakan metode yang paling umum digunakan. Metode ini menggunakan membran untuk memisahkan komponen sel elektrokimia dari larutan fermentasi.
4. Foaming Control
Permasalahan yang disebabkan oleh busa adalah hilangnya larutan fermentasi (broth), penyumbatan sistem gas buang dan kemungkinan kontaminasi.
Pengukuran foam dapat dilakukan dengan menggunakan foam detector. Adapun penanganan foaming dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
• Foam breaker: berbentuk pisau atau disk yang dip di tengah poros dan umumnya dipasang pada poros y sama dengan poros pengaduk.
• Chemical anti-foams: merupakan bahan kimia berbasis silikon yang diformulasikan khusus untuk mencegah busa dengan mengurangi tegangan antar muka dari broth. Penggunaan bahan kimia anti-busa ini dapat mempersulit proses fermentasi mikroba, dan beberapa dapat bertindak sebagai inhibitor.
• Ultrasonic waves: dapat pula merusak foam dengan energinya 5. Kontrol Ketinggian (Level Control)
Level control utamanya diperlukan untuk bioreaktor kontinyu. Pemasangan level control ini bertujuan untuk menjaga kontinuitasnya dan juga mencegah overflow yang menyebabkan kehilangan larutan fermentasi.
Prinsip kerja:
Ketika cairan fermentasi mencapai tingkat detektor (sensor), terjadi perubahan konduktansi dan kemudian kontroler mengirim informasi ke inlet dan katup discharge (output) untuk menyesuaikan level liquid dengan mempertimbangkan persamaan ini:
Contoh Pengendalian Bioproses pada Produksi Penisilin
Salah satu prinsip pengendalian bioproses dapat diterapkan pada proses produksi penicillin menggunakan sistem fed batch. Pengendalian bioproses fed batch lebih kompleks dibandingkan jenis proses lainnya seperti batch dan kontinyu. Cedeno (2017) menyebutkan bahwa pengendalian bioproses pada produksi penisilin dapat diawali dengan mengidentifikasi parameter utama pada setiap tahapan prosesnya. Pembuatan penisilin dilakukan melalui proses aerob yang bersifat eksotermis. Berikut adalah parameter yang menjadi titik pengendalian:
• Laju aerasi
• Daya agitator
• Laju substrat masuk
• Suhu substrat masuk
• Konsentrasi substrat
• Konsentras oksigen terlarut
• Konsentrasi biomass
• Konsentrasi produk (penicillin)
• Volume
• Kadar karbondioksida
• pH
• Suhu proses
• Laju alir air pendingin
Dalam prosesnya, semua variabel yang diukur tersebut berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroba. Pertumbuhan mikroba ini terutama bergantung pada kadar karbon dan oksigen dalam substrat. Sebaliknya, tingginya konsentrasi biomassa justru menghambat proses fermentasi. Adapun kondisi lingkungan seperti pH dan suhu berpengaruh pada kualitas produk yang dihasilkan. Jika terjadi penurunan pH maka total konsentrasi biomassa juga akan turun.
Laju agitasi dan laju alir substrat berpengaruh pada laju pertumbuhan mikroba secara tidak langsung. Besarnya laju agitasi dan laju alir umpan mempengaruhi konsentrasi karbon dan oksigen dimana kedua hal tersebut menjadi faktor utama dalam pertumbuhan mikroba. Selain itu, daya pompa juga memberikan efek pada transfer massa yang juga penting dalam distribusi nutrisi untuk mikroba.
Sistem Kontrol Bioproses
Kontrol adalah proses yang menyebabkan variabel sistem untuk menyesuaikan diri dengan beberapa nilai yang diinginkan. Saat ini pengendalian proses sudah bergeser dari kontrol secara manual ke arah kontrol secara otomatis yang hanya melibatkan mesin. Sebuah sistem kontrol adalah interkoneksi komponen membentuk konfigurasi sistem yang akan memberikan respon sistem yang diinginkan.
Komponen sistem kontrol:
• Proses: merupakan unit yang akan dikontrol
• Sensor: merupakan alat yang digunakan untuk mengukur output dari sistem
• Kontroler: merupakan otak dari sistem control. Kontroler bertugas memutuskan apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan variabel pada nilai yang diinginkan
• Elemen kontrol akhir; merupakan perangkat akhir yang digunakan untuk menerima keputusan dari controller dan melakukan tindakan
• Reference input: merupakan output yang diinginkan setelah tindakan yang diambil.
Output ini dijadikan referensi sebagai input pengontrolan berikutnya.