• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN FASILITAS RUMAH SAKIT

N/A
N/A
Rina Purwanti

Academic year: 2023

Membagikan "PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN FASILITAS RUMAH SAKIT"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DAN KETENTUAN TENTANG MANAJEMEN FASILITAS DAN KESELAMATAN

Jl. Kesehatan No 77 Majalengka

Telp.( 0233 ) 281043/281189 Faks. ( 0233 ) 282741 email :

(2)

PERATURAN PERUNDANG - UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN FASILITAS RUMAH SAKIT

1. Landasan Perundang-undangan Tentang Bahan Berbahaya dan Beracun.

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

1) Pasal 22 ayat 1: Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.

2) Pasal 34 ayat 1: Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk dalam kriteria wajib amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki UKLUPL.

3) Pasal 59 ayat 1: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib melakukan pengelolaan limbah B3 yang dihasilkannya.

4) Pasal 59 ayat 4: Pengelolaan limbah B3 wajib mendapat izin dari Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

5) Pasal 69 butir f: Setiap orang dilarangmembuang B3 dan limbah B3 ke media lingkungan hidup.

b. PP No 18 1999 Tentang pengeloaan limbah B3 1) Pasal 9 sd 26:

Pelaku pengelolaan limbah B3 (Penghasil, Pengumpul, Pengangkut, pemanfaat, Pengolah dan atau penimbun limbah B3) wajib melakukan pengelolaan limbah B3 sesuai ketentuan yang berlaku.

2) Pasal 40 ayat 1 point a dan b: Setiap badan usaha yang melakukan kegiatan:

(3)

a) Penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 wajib memiliki izin operasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab.

b) Pengangkut limbah B3 wajib memi1iki izin pengangkutan dari Menteri Perhubungan setelah mendapat rekomendasi dari Kepa1a instansi yang bertanggung jawab.

c) Pemanfaatan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib memiliki izin pemanfaatan dari instansi yang berwenang memberikan izin pemanfaatan setelah mendapat rekomendasi dari Kepala instansi yang bertanggung jawab 3) Pasal 43 ayat 1: Untuk kegiatan pengumpulan, pemanfaatan,

pengolahan dan/atau penimbunan limbah B3 sebagai kegiatan utama wajib dibuatkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

4) Pasal 43 ayat 2: Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup diajukan bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) kepada instansi yang bertanggung jawab.

5) Pasal 45 ayat 1: Kegiatan baru yang menghasilkan limbah B3 yang melakukan pengolahan dan pemanfaatan limbah B3 yang lokasinya sama dengan kegiatan utamanya, maka analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan pengolahan limbah B3 dibuat secara terintegrasi dengan analisis mengenai dampak lingkungan hidup untuk kegiatan utamanya.

6) Pasal 45 Ayat 2: Apabila pengolahan limbah B3 dilakukan oleh penghasil dan pemanfaat limbah B3 di lokasi kegiatan utamanya, maka hanya rencana pengelolaan lingkungan hidup dan rencana pemantauan lingkungan hidup yang telah disetujui yang diajukan kepada instansi yang bertanggung jawab bersama dengan permohonan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasa140.

c. Keputusan Kepala Bapedal No. 2 tahun 1995 tentang Dokumen limbah bahan berbahaya dan beracun

1) Pasal 2

Dokumen Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)

(4)

Dokumen limbah B3 merupakan dokumen yang senantiasa dibawa daritempat asal pengangkutan limbah B3 ke tempat tujuan.Dokumendiberikan pada waktu penyerahan limbah B3.Dokumen limbah B3tersebut meliputi juga dokumen muatan.

Dokumen limbah B3 terdiri dari 7 (tujuh) rangkap apabila pengangkutanhanya satu kali dan apabila pengangkutan lebih dari satu kali (antarmuda), maka dokumen terdiri dari 11 (sebelas) rangkap dengan perinciansebagai berikut:

a) Lembar asli (pertama) disimpan oleh pengangkut limbah B3 setelah ditandatangani oleh penghasil, pengumpul, dan pengolah limbah B3 (warna putih);

b) Lembar kedua yang sudah ditandatangani pengangkut limbah B3, oleh penghasil limbah B3 atau pengumpul dikirim kepada Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (warna kuning);

c) Lembar ketiga yang sudah ditandatangani oleh pengangkut limbah B3 disimpan oleh penghasil atau pengumpul limbah B3 yang menyerahkan limbah B3 untuk diangkut oleh pengangkut limbah B3 (warna hijau);

d) Lembar keempat setelah ditandatangani oleh pengumpul atau pengolah limbah B3 oleh pengangkut diserahkan kepada pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 yang menerima limbah B3 dari pengangkut limbah B3 (warna merah muda);

e) Lembar kelima dikirim kepada Badan Penngendalian Dampak Lingkungan setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna biru);

f) Lembar keenam dikirim oleh pengangkut kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan, setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna krem);

g) Lembar ketujuh dikirim oleh pengangkut kepada penghasil limbah B3 oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah

(5)

limbah B3, setelah ditandatangani oleh pengumpul limbah B3 atau pengolah limbah B3 (warna ungu);

h) Lembar kedelapan s/d lembar kesebelas dikirim oleh pengangkut kepada penghasil atau pengumpul setelah ditandatangani oleh pengangkut terdahulu dan diserahkan kepada pengangkut berikutnya

d. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No 18 tahun 2009 Tentang Cara perizinan pengelolaan Limbah B3

1) Pasal 6 ayat 1: usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara yang dihasilkan dari suatu usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tidak di wajibkan memiliki izin

2) Produk dan/atau produk antara sebagaimana dimaksud diatas harus telah memenhi standar nasional atau standar lain yang telah di akui oleh nasiona maupun internasional.

Keterangan :

Usaha dan/atau kegiatan yang menggunakan produk dan/atau produk antara yang dihasilkan dari usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan limbah B3 tetap diwajibkan memiliki izin apabila produk antara tersebut belum atau tidak memenuhi standar Nasional Indonesia (SNI) atau standar lain yang diakui oleh nasional maupun internasional.

e. Prosedur perizinan pengelolaan limbah B3

Persyaratan pengajuan izin pengelolaan limbah B3 adalah sebagai berikut

1) Pemohon untuk mengajukan izin pengumpulan limbah B3 skala nasional pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan limbah B3 mengajukan permohonan dengan mengisi formulir sesuai dengan lampiran Peraturan Mentei Lingkungan Hidup Nomor 18 tahun 2009 tentang Tata cara perizinan pengelolaan limbah B3.

(6)

2) Pemohon untuk mengajukan izin penyimpanan sementara limbah B3, izin pengumpulan limbah B3 skala provinsi dan kabupaten/kota, dan rekomendasi pengumpullan skala nasional mengisi formulir sesuai dengan lampiran Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 30 Tahun 2009 tentang tata laksana perizinan dan pengawasan limbah B3 serta pengawasan pemulihan akibat pencemaran limbah

2. Peraturan Perundang-Undangan tentang Kesiapan menghadapi Bencana.

a. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana

1) Pasal 1 Ayat 1: Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alamdan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis

2) pasal 1 ayat 2: Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.

3) Pasal 1 ayat 3: Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.

4) Pasal 1 ayat 4: Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.

5) Pasal 1 Ayat 5: Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.

(7)

6) Pasal 1 ayat 10: Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana.

7) Pasal 4

Penanggulangan bencana bertujuan untuk :

a) Memberikan perlindungan kepada masyarakat dari ancaman bencana;

b) Menyelaraskan peraturan perundang-undangan yang sudah ada;

c) Menjamin terselenggaranya penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, terkoordinasi, dan menyeluruh;

d) Menghargai budaya lokal;

e) Membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta;

f) Mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan, dan kedermawanan; dan menciptakan perdamaian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

8) Pasal 35

Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 huruf a meliputi:

a) Perencanaan penanggulangan bencana;

b) Pengurangan risiko bencana;

c) Pencegahan;

d) Pemaduan dalam perencanaan pembangunan;

e) Persyaratan analisis risiko bencana;

f) Penegakan rencana tata ruang;

g) Pendidikan dan pelatihan; dan

h) Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana 9) pasal 48 Pasal 48

(8)

Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 huruf b meliputi:

a) Pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, dan sumber daya;

b) Penentuan status keadaan darurat bencana;

c) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana d) Pemenuhan kebutuhan dasar;

e) Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan

f) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana

1) Pasal 5 ayat 1: Penyelenggaraan penanggulangan bencana dalam situasi tidak terjadi bencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a meliputi:

a) Perencanaan penanggulangan bencana;

b) Pengurangan risiko bencana;

c) Pencegahan; pemaduan dalam perencanaan pembangunan;

d) Persyaratan analisis risiko bencana;

e) Pelaksanaan dan penegakan rencana tata ruang;

f) Pendidikan dan pelatihan; dan

g) Persyaratan standar teknis penanggulangan bencana 2) Pasal 7 ayat 1: Pengurangan risiko bencana sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 5 huruf b merupakan kegiatan untuk mengurangi ancaman dan kerentanan serta meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana.

3) Pasal 7 ayat 2: Pengurangan risiko bencana dilakukan melalui kegiatan:

a) Pengenalan dan pemantauan risiko bencana;

b) Perencanaan partisipatif penanggulangan bencana;

c) Pengembangan budaya sadar bencana;

d) Peningkatan komitmen terhadap pelaku penanggulangan bencana; dan

(9)

e) Penerapan upaya fisik, nonfisik, dan pengaturan penanggulangan bencana

4) Pasal 14 ayat 1: Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf g ditujukan untuk meningkatkan kesadaran, kepedulian, kemampuan, dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana.

5) Pasal 14 Ayat 2: Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dalam bentuk pendidikan formal, nonformal, dan informal yang berupa pelatihan dasar, lanjutan, teknis, simulasi, dan gladi.

6) pasal 21 ayat 1 : Penyelenggaraan penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi: pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan sumber daya;

a) Penentuan status keadaan darurat bencana;

b) Penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;

c) Pemenuhan kebutuhan dasar;

d) Perlindungan terhadap kelompok rentan; dan

e) Pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital

c. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor per.05/men/1996 Tentang sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja

1) Pasal 1 ayat 1

Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang selanjutnya disebut Sistem Manajemen K3 adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yangmeliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian dan pemeliharaan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif;

2) Pasal 2

(10)

Tujuan dan sasaran Sistem Manajemen K3 adalah menciptakan suatu sistem keselamatan dan kesehatan kerja di tempat kerja dengan melibatkan unsur manajemen, tenaga kerja, kondisi dan lingkungan kerja yang terintegrasi dalam rangka mencegah dan mengurangi kecelakaan dan penyakit akibat kerja serta terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif.

3) Pasal 3

Setiap perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja sebanyak seratus orang atau lebih dan atau mengandung potensi bahaya yang ditimbulkan oleh karakteristik proses atau bahan produksi yang dapat mengakibatkan kecelakaan kerja seperti peledakan, kebakaran, pencemaran dan penyakit akibat kerja wajib menerapkan Sistem Manajemen K3.

Sistem Manajemen K3 sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Pengurus, Pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai satu kesatuan

3. Peraturan Perundang-Undangan tentang Penanggulangan kebakaran a. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan umum Nomor: 10/KPTS/2000

tentang Ketentuan teknis pengamanan terhadap bahaya kebakaran Pada bangunan gedung dan lingkungan

1) Pasal 1 ayat 1

Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan adalah segala upaya yang menyangkut ketentuan dan persyaratan teknis yang diperlukan dalam mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan pembangunan bangunan gedung, termasuk dalam rangka proses perizinan, pelaksanaan dan pemanfaatan/pemeliharaan bangunan gedung, serta pemeriksaan kelaikan dan keandalan bangunan gedung terhadap bahaya kebakaran.

2) Pasal 2 ayat 1

Pengaturan pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan dimaksudkan untuk mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang aman

(11)

terhadap bahaya kebakaran, mulai dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai pada tahap pemanfaatan sehingga bangunan gedung senantiasa andal dan berkualitas sesuai dengan fungsinya

3) Pasal 3 ayat 1

Pengamanan terhadap bahaya kebakaran pada bangunan gedung dan lingkungan

meliputi: Perencanaan tapak untuk proteksi kebakaran, a) Sarana penyelamatan,

b) Sistem proteksi pasif, c) Sistem proteksi aktif,

d) Pengawasan dan pengendalian

b. Keputusan Menteri Negara Pekerjaan Umum Nomor 11/Kpts/2000 TentangKetentuan Teknis Manajemen Penanggulangan Kebakaran di Perkotaan

1) Pasal 1 Ayat 1:Manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan adalah segala upaya yang menyangkut sistem organisasi, personel, sarana dan prasarana, serta tata laksana untuk mencegah, mengeliminasi serta meminimasi dampak kebakaran di bangunan, lingkungan dan kota.

2) Pasal 1 ayat 2: Bangunan gedung adalah bangunan yang didirikan dan atau diletakkan dalam suatu lingkungan sebagian atau seluruhnya pada, di atas, atau di dalam tanah dan/atau perairan secara tetap yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya.

3) Pasal 2 ayat 1: Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan dimaksudkan untuk mewujudkan bangunan gedung, lingkungan, dan kota yang aman terhadap bahaya kebakaran melalui penerapan manajemen penanggulangan bahaya kebakaran yang efektif dan efisien.

4) Pasal 2 Ayat 2: Pengaturan manajemen penanggulangan kebakaran di perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk terwujudnya kesiapan, kesigapan dan

(12)

keberdayaan masyarakat, pengelola bangunan, serta dinas terkait dalam mencegah dan menanggulangi bahaya kebakaran

c. Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No.kep.186/men/1999 tentang Unit penanggulangan kebakaran Ditempat kerja

1) Pasal 1 ayat 3

Penanggulangan kebakaran ialah segala upaya untuk mencegah timbulnya kebakaran dengan berbagai upaya pengendalian setiap perwujudan energi, pengadaan sarana proteksi kebakaran dan sarana penyelamatan serta pembentukan organisasi tanggap darurat untuk memberantas kebakaran

2) Pasal 2 ayat 2

Kewajiban mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran di tempat kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a) Pengendalian setiap bentuk energi;

b) Penyediaan sarana deteksi, alarm, memadamkan kebakaran dan sarana evakuasi;

c) Pengendalian penyebaran asap, panas dan gas;

d) Pembentukan unit penanggulanan kebakaran di tempat kerja

e) Penyelenggaraan latihan dan gladi penanggulangan kebakaran secara berkala;

f) Memilki buku rencana penanggulangan keadaan darurat kebakaran, bagi tempat kerja yang mempekerjakan lebih dari 50 (lima puluh) orang tenaga kerja dan atau tempat yang berpotensi bahaya kebakaran sedang dan berat.

3) Pasal 4

a) Klasifikasi tingkat potensi bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri

(a) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran ringan;

(b) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang I

(13)

(c) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang II

(d) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sedang III dan;

(e) Klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran berat.

b) Jenis tempat kerja menurut klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud ayat (1) seperti tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri ini.

c) Jenis tempat kerja yang belum termasuk dalam klasifikasi tingkat resiko bahaya kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ditetapkan sendiri oleh Menteri atau pejabat yang di tunjuk

4) Pasal 5

Unit penanggulangan kebakaran sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 terdiri dari:

a) Petugas peran kebakaran;

b) Regu penanggulangan kebakaran;

c) Koordinator unit penanggulangan kebakaran;

d) Ahli K3 spesialis penanggulangan kebakaran sebagai penanggung jawab teknis.

Majalengka, Januari 2020

Mengetahui,

Direktur RSUD Majalengka

dr.H. Harizal F Harahap Nip 19691217 200212 1 005

Referensi

Dokumen terkait

Hunt, Jean-Daniel Rinaudo, Andrew Ross, Muhammad Arshad, and Serena Hamilton 2 The International Scale of the Groundwater Issue.. Fienen and Muhammad Arshad 3 Disentangling the

Sem Course title Author/Editor Title Ed & Year Publisher 1 Nursing Informatics - NNI 9103 McGonigle, Dee; Mastrian, Kathleen Garver & Mastrian, K Nursing Informatics and the