• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN HUKUM WARIS ISLAM, PERDATA, DAN ADAT MELAYU DELI

N/A
N/A
Mohamad Lutvi Fasha Akbar Melanu

Academic year: 2023

Membagikan "PERBANDINGAN HUKUM WARIS ISLAM, PERDATA, DAN ADAT MELAYU DELI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN HUKUM WARIS ISLAM, PERDATA, DAN ADAT MELAYU DELI

DI S U S U N OLEH :

NAMA : INDAH RATNA SARI NPM : 178400248

UNIVERSITAS MEDAN AREA

T.A 2017/2018

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan hidayah dan rahmat-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perbandingan Hukum Waris Islam, Waris Perdata dan Waris Adat Melayu” ini dengan tepat waktu.

Dalam kesempatan ini, perkenankanlah kami menyampaikan penghargaan dan terima kasih setinggi-tingginya kepada yang terhormat kepada Ibu yang mengajar mata kuliah Hukum Waris, karena adanya pihak tersebut, kami dapat memacu untuk segera menyelenggarakan tugas belajar ini.

Semoga makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembaca pada umumnya. Setiap saran, kritik, dan komentar sangat kami harapkan untuk meningkatkan kualitas penyusunan makalah di masa mendatang.

Medan, 15 April 2019

Penyusun

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...1

DAFTAR ISI...2

BAB I PENDAHULUAN...3

A. Latar Belakang...3

B. Rumusan Masalah...3

BAB II PEMBAHASAN...4

A. Hukum Waris Perdata...4

B. Hukum Waris Islam...8

C. Hukum Waris Adat Melayu...12

D. Tabel Perbedaan...15

BAB III PENUTUP...17

A. Kesimpulan...17

B. Saran...17

DAFTAR PUSTAKA...18

(4)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Harta waris disebut juga harta tanpa tuan, sebab pemilik awal harta tersebut sudah tiada. Hal ini bisa disebabkan karena sang pemilik telah meninggal dunia maupun pergi dalam waktu yang sangat lama tanpa keterangan dan kepastian kapan kepulangannya. Karena ketiadaan pengurusan harta oleh pemiliknya, maka hukum memberikan hak dan kewajiban kepada orang yang terdekat atau ahli waris untuk menikmati dan mengurus harta tersebut agar jangan sampai harta tersebut tertelantarkan.

Ahli waris boleh menerima atau menolak warisan tersebut, hal ini adalah sifat warisan yang merupakan hak. Ahli waris boleh menolak harta yang diwariskan oleh pemilik, misalnya jumlah harta waris lebih sedikit dari hutang si pewaris, maka ahli waris dapat menolak karena alasan tersebut. Hal ini juga dibenarkan oleh sebagian ulama.

Di dalam sengketa pembagian hukum waris, ada 3 (tiga) penyelesaian dalam mengatur pembagian warisan, yaitu melalui hukum adat, hukum islam, dan hukum perdata barat. Aturan hukum waris bersifat fakultatif atau melengkapi. Artinya, para ahli waris boleh memilih mana yang akan digunakan dalam pembagiannya. Baik itu pembagian menurut hukum adat, hukum perdata, hukum islam, maupun kesepakatan bersama antara para ahli waris.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah pembagian warisan menurut hukum waris perdata?

2. Bagaimanakan pembagian warisan menurut hukum waris islam?

3. Bagaimanakah pembagian warisan menurut hukum waris adat melayu?

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. HUKUM WARIS PERDATA

1. Pengertian dan Dasar Hukum Waris

Mengenai pengertian hukum waris ini terdapat berbagai definisi yang diberikan oleh para pakar ahli hukum dan peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah menurut Prof. Dr. R. Wirjono Prodjodikoro S.H., warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan sesorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup.1Adapun dasar hukum waris adalah sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yaitu “Pewarisan hanya berlangsung karena kematian”, pengertian yang dapat dipahami dari kalimat singkat tersebut adalah, bahwa jika seseorang meninggal dunia, maka seluruh hak dan kewajibannya beralih atau berpindah kepada ahli warisnya.

2. Istilah Hukum Waris

Di dalam hukum waris, dikenal beberapa istilah yang sering dipergunakan, yaitu : a. Pewaris, yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta

kekayaan.

b. Ahli waris, yaitu orang yang menggantikan kedudukan pewaris dalam bidang hukum kekayaan, karena meninggalnya si pewaris dan berhak menerima harta peninggalan pewaris.

c. Harta warisan, yaitu keseluruhan harta kekayaanyang berupa aktiva dan pasiva yang ditinggalkan oleh si pewaris setelah dikurangi dengan semua utangnya.

Menurut undang-undang, ada dua cara untuk mendapatkan warisan, yaitu :2 a. Sebagai ahli waris menurut ketentuan undang-undang,

b. Karena ditunjuk dalam surat wasiat (testament).

1 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Jakarta: Sumur Bandung,1976), hlm. 8.

2 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 67.

(6)

3. Wujud Warisan

Menurut hukum waris perdata, yang berpindah di dalam pewarisan adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan yang dapat dinilai dengan uang.

Artinya, yang diwariskan pada prinsipnyaadalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, kecuali dalam hal-hal tertentu, yaitu:3

a. Pemberian kuasa berakhir dengan meninggalnya si pemberi kuasa (Pasal 1813 KUHPer).

b. Hubungan kerja yang bersifat sangat pribadi tidak beralih kepada ahli warisnya (Pasal 1601 KUHPer).

c. Keanggotaan dalam perseroan tidak beralih kepada ahli warisnya (Pasal 1646 KUHPer).

d. Hak pakai hasil berakhir dengan meninggalnya orang yang mempunyai hak tersebut (Pasal 807 KUHPer).

4. Syarat-Syarat Mewaris

Dengan demikian pada prinsipnya, ahli waris tersebut harus memenuhi syarat:4 a. Ahli waris harus ada dan masih ada pada saat warisan terbuka.

b. Mempunyai hubungan darah dengan pewaris atau ia adalah janda atau duda.

c. Bukan orang yang tidak patut untuk mewaris.

d. Tidak menolak warisan.

5. Hak Mewaris Menurut Undang-Undang

Dalam hal mewarisi menurut undang-undang (ab intestato) kita dapat membedakan antara orang-orang yang mewarisi "uit eigen hoofde" dan mereka yang mewarisi "bij plaatsvervulling". Seorang dikatakan mewarisi "uit eigen hoofde" jika ia mendapat warisan itu berdasarkan kedudukannya sendiri terhadap si meninggal. Ia dikatakan mewarisi "bij plaatsvervuling" jika sebenarnya seorang lain yang berhak atas

3 P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2015), hlm. 213.

4 Ibid.

(7)

suatu bagian warisan, tetapi orang itu telah meninggal lebih dahulu daripada orang yang meninggalkan warisan.5

Siapa yang berhak mewarisi harta peninggalan seseorang di atur sebagai berikut oleh undang-undang. Untuk menetapkan itu, anggota-anggota keluarga si meninggal, dibagi dalam berbagai golongan. Jika terdapat orang-orang dari golongan pertama, mereka itulah yang bersama-sama berhak mewarisi semua harta peninggalan. Sedangkan anggota keluarga lain-lainnya tidak mendapat bagian satu apapun. Jika tidak terdapat anggota keluarga dari golongan pertama itu, barulah orang-orang yang termasuk golongan kedua tampil ke muka sebagai ahliwaris.

Seterusnya, jika tidak terdapat keluarga dari golongan kedua, barulah orang-orang dari golongan ketiga tampil ke muka.6 Oleh karena itu ahli waris dibagi dalam beberapa golongan, yaitu:7

a. Golongan I, yakni terdiri dari suami-istri dan anak beberta keturunannya.

b. Golongan II, yakni terdiri dari orangtua dan saudara-saudara beserta keturunannya.

c. Golongan III, yakni terdiri dari kakek dan nenek serta seterusnya ke atas.

d. Golongan IV, yakni terdiri dari keluarga dalam garis menyamping yang lebih jauh, termasuk saudara-saudara ahli waris golongan III beserta keturunannya.

6. Bagian Ahli Waris Menurut Undang-Undang

Dalam pewarisan, keluarga pewaris disusun dalam kelompok yang disebut dengan Golongan Ahli Waris. Golongan ini terdiri dari 4 golongan. Golongan ini diukur menurut jauh-dekatnya hubungan darah dengan pewaris, di mana golongan yang terdekat menutup golongan yang lebih jauh, yaitu:8

a. Golongan I

1) Anak beserta keturunannya : mewaris dalam derajat I mendapat bagian yang sama besar atau mewaris kepala demi kepala (Pasal 852 ayat 2 KUHPer).

2) Suami atau istri yang hidup terlama : bagian suami-istri, bagiannya adalah sama dengan anak.

5 Subekti, Op. cit., hlm. 68.

6 Ibid., hlm. 69.

7 P. N. H. Simanjuntak, Op. cit., hlm. 219.

8 Ibid., hlm. 220-222.

(8)

b. Golongan II

1) Bagian ayah dan ibu masing-masing

 Ayah dan ibu mewaris tanpa saudara laki-laki atau perempuan, maka mereka mewaris seluruh harta dan masing-masing setengah bagian.

 Ayah dan ibu mewaris bersama seorang saudara laki-laki atau perempuan, maka mendapat bagian sama besar, ayah ibu masing-masing 1/3 bagian dan sisa 1/3 bagian saudara.

 Ayah dan ibu mewaris bersama-samadengan 2 orang saudara laki-laki atau perempuan, maka ayah dan ibu mendapat 1/4 bagian, sisanya untuk saudara.

 Ayah dan ibu mewaris dengan lebih dari dua orang saudara, maka bagian ayah dan ibu yg masing-masing 1/4 bagian diambil dahulu dan sisanya untuk saudara dengan bagian yang sama besar.

2) Bagian ayah atau ibu yang mewaris dengan saudara

 Apabila hanya ada ayah ibu, maka mendapat seluruh warisan.

 Ayah atau ibu dan seorang saudara, mendapat 1/2 bagian dan sisanya bagian saudara

 Ada 2 orang saudara, maka ayah atau ibu mendapat 1/3 bagian, sisanya dibagi sama besar untuk saudara.

 Ada 3 orang saudara atau lebih, maka ayah atau ibu mendapat 1/4 bagian, dan sisanyadibagi antara saudara.

3) Bagian saudara sebagai ahli waris

Apabila si pewaris meninggal dunia dengan tidak meninggalkan keturunan maupun suami atau istri, sedangkan baik ayah maupun ibunya sudah meninggal terlebih dahulu, maka seluruh warisan adalah hak sekalian saudara si pewaris.

c. Golongan III

Jika tidak terdapat sama sekali anggota keluarga dari golongan pertama dan kedua, harta peninggalan itu dipecah menjadi dua bagian yang sama. Satu untuk para anggota keluarga pihak ayah dan yang lainnya untuk para anggota keluarga pihak ibu si meninggal. Dalam masing-masing golongan ini, lalu diadakan pembagian seolah-

(9)

olah di situ telah terbuka suatu warisan sendiri. Hanya di situ tidak mungkin terjadi suatu pemecahan (kloving) lagi, karena pemecahan hanya mungkin terjadi satu kali saja. Jika dari pihak salah satu orang tua tiada terdapat ahliwaris lagi, maka seluruh warisan jatuh pada keluarga pihak orang tua yang lain.9

d. Golongan IV

Pada golongan ini yang berhak menerima warisan adalah keluarga sedarah dalam garis atas yang nasih hidup. Mereka ini mendapat setengah bagian. Sedangkan ahli waris dalam garis lain yang derajatnya paling dekat dengan pewaris mendapat setengah bagian.

B. HUKUM WARIS ISLAM

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian harganya masing-masing.10 Adapun dasar hukum dari waris Islam ini adalah Al-Qur’an, Hadist, Ijtihad, dan Ijma.

2. Wujud Warisan

Warisan atau harta peninggalan menurut hukum islam, yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan bersih, artinya harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta benda serta segala hak “setelah dikurangi dengan pembayaran utang-utang pewaris dan pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan oleh wafatnya si peninggal wasiat”.11

3. Dasar Hak Untuk Mewaris

9 Subekti, Op. cit., hlm. 70.

10 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 19991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171.

11 Wirjono Prodjodikoro,Op. cit., hlm. 17.

(10)

Adapun yang menjadi dasar hak untuk mewaris atau dasar untuk mendapat bagian harta peninggalan menurut Al-Qur’an adalah :12

a. Karena hubungan darah (Surah An-Nissa’ [4] ayat 7, 11, 12, 33, dan ayat 176).

b. Karena hubungan semenda atau pernikahan.

c. Karena hubungan persaudaraan (Q.S. Al-Ahzaab [33] : 6).

d. Hubungan kerabat, karena sesama hijroh pada permulaan pengembangan Islam, meskipun tidak ada hubungan darah (Q.S. Al-Anfaal [8] : 75).

4. Golongan Ahli Waris

Secara garis besar, golongan ahli waris di dalam Islam dapat dibedakan ke dalam tiga golongan, yaitu:13

a. Dzul Faraa’idh

Dzul Faraa’idh adalah ahli waris yang sudah ditentukan di dalam Al-Qur’an, yakni ahli waris langsung yang mesti selalu mendapat bagian tetap tertentu yang tidak berubah-ubah. Adapun perincian masing-masing ahli waris dzul faraa’idh ini di dalam Al-Qur’an tertera dalam Surah An-Nissa’ (4) ayat 11, 12, dan 176, yaitu terdiri atas:14

1) Dalam garis ke bawah:

 Anak perempuan

 Anak perempuan dari anak lelaki (Q.S. An-Nissa’[4] : 11) 2) Dalam garis ke atas:

 Ayah

 Ibu

 Kakek dari garis ayah, dan

 Nenek baik dari garis ayah maupun dari garis ibu (Q.S. An-Nissa’[4] : 11).

3) Dalam garis ke samping:

12 P. N. H. Simanjuntak,Op. cit., hlm. 245.

13 Ibid., hlm. 246.

14 Ibid., hlm. 246-247.

(11)

 Saudara perempuan yang seayah dan seibu dari garis ayah.

 Saudara perempuan tiri dari garis ayah (Q.S. An-Nissa’[4] : 176).

 Saudara lelaki tiri dari garis ibu.

 Saudara perempuan tiri dari garis ibu (Q.S. An-Nissa’[4] : 12).

4) Duda.

5) Janda (Q.S. An-Nissa’ [4] : 12).

b. Asabah

Asabah dalam bahasa Arab berarti “anak lelaki dan kaum kerabat dari pihak bapak”.

Dengan kata lain, asabah adalah ahli waris yang ditarik dari garis ayah. Apabila pewaris meninggal dunia dan tidak mempunyai ahli waris dzul faraa’idh, maka harta peninggalan diwarisi oleh asabah.akan tetapi jika ahli waris dzul faraa’idh ada, maka sisa bagiannya menjadi bagian asabah. Ahli waris asabah dibagi menjadi tiga golongan besar, yaitu:15

1) Asabah binafsihi , yaitu asabah-asabah yang berhak mendapat semua harta atau semua sisa, yang urutannya yaitu:

 Anak laki-laki

 Cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah asal saja pertaliannya masih terus laki-laki.

 Ayah

 Kakek dari pihak ayah dan terus ke atas asal saja pertaliannya belum putus dari pihak ayah.

 Saudara laki-laki sekandung

 Saudara laki-laki seayah

 Anak saudara laki-laki kandung

 Anak saudara laki-laki seayah

 Paman yang sekandung dengan ayah

 Paman yang seayah dengan ayah

 Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah

15 Ibid., hlm. 247-248.

(12)

 Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah

2) Asabah bilghairi , yaitu asabah dengan sebab orang lain, yakni seorang wanita yang menjadi asabah karena ditarik oleh seorang laki-laki. Mereka yang termasuk asabah bilghairi adalah:

 Anak perempuan yang didampingi oleh anak laki-laki

 Saudara perempuan yang didampngioleh saudara laki-laki

3) Asabah ma’alghairi , yaitu sudara perempuan yang mewaris bersama keturunan perempuan dari pewaris, mereka ini adalah:

 Saudara perempuan sekandung, dan

 Saudara perempuan seayah

c. Dzul arhaam

Arti kata dzul arhaam adalah “orang yang mempunyai hubungan darah pewaris melalui pihak wanita saja”. Hazairin memberikan perincian mengenai dzul arhaam, yaitu semua orang yang bukan dzul faraa’idh dan bukan asabah, umumnya terdiri dari orang yang termasuk anggota-anggota keluarga patrilineal pihak menantu laki- laki atau anggota pihak menantu laki-laki atau anggota-anggota keluarga pihak ayah dari ibu.dengan demikian dzul arhaam akan mewaris kalau telah tidak ada dzul faraa’idh dan tidak ada pula asabah.16

5. Bagian Ahli Waris

Adapun bagian dari para ahli waris dzul faraa’idh adalah:17

a. Ahli waris yang mendapat 1/2 dari harta peninggalan terdiri atas:

1) Seorang anak perempuan

2) Suami/duda, bila si pewaris (istri) tidak meniggalkan anak.

3) Seorang saudara perempuan kandung, bila si pewaris meninggalkan ayah dan anak.

4) Seorang saudara perempuan seayah, bila si pewaris tidak meninggalkan ayah dan anak, saudara laki-laki.

16 Ibid., hlm. 248.

17 Ibid., hlm. 248-249.

(13)

b. Ahli waris yang mendapat 1/3 dari harta peninggalan terdiri atas:

1) Ibu, bila si pewaris tidak meninggalkan anak, atau dua orang saudara atau lebih.

2) Dua orang atau lebih saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan dengan pembagian yang sama.

3) Ayah, bila si pewaris tidak meninggalkan anak.

c. Ahli waris yang mendapat 1/4 bdari harta peninggalan terdiri atas:

1) Suami/duda, bila si pewaris (istri) meninggalkan anak 2) Istri/janda, bila si pewaris (suami) tidak meninggalkan anak.

d. Ahli waris yang mendapat 1/6 dari harta peninggalan terdiri atas:

1) Ibu, jika pewaris meningglkan anak, atau dua saudara atau lebih.

2) Ayah, jika si pewaris meninggalkan anak.

3) Seorang saudara seibu laki-laki atau perempuan, bila si pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah.

e. Ahli waris yang mendapat 1/8 dari harta peninggalan hanya terdiri atas:

istri/janda, bila si pewaris (suami) dengan meninggalkan anak.

f. Ahli waris yang mendapat 2/3 dari harta peninggalan terdiri atas:

1) Dua orang atau lebih anak perempuan

2) Dua orang saudaraperempuan kandung atau lebih 3) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih.

C. HUKUM WARIS ADAT MELAYU

1. Pengertian dan Dasar Hukum

Hukum waris adat adalah tata cara pewarisan menurut hukum adat yang berlaku.

Hukum ini merupakan konsekuensi dari masih terpeliharanya hukum adat di beberapa daerah di Indonesia sebagai bagian dari kekayaan budaya bangsa indonesia.

Bila dikatakan bahwa keragaman kehidupan masyarakat Indonesia berbanding lurus dengan hukum adatnya, tak terkecuali hukum waris. 18 Berbeda dengan sistem pewarisan yang lain, hukum waris adat memiliki kekhasan tersendiri, yaitu tidak

18 NM. Wahyu Kuncoro, Waris Permasalahan dan Solusinya, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2015), hlm.

12.

(14)

mengenal adanya pembagian yang ditentukan.Semuanya dikembalikan pada asas musyawarah mufaka, kelayakan, kepatuhan, dan juga kebutuhan masing-masing ahli waris. Kemufakatan itulah yang menjadi dsar hukum pembagian waris adat.

2. Harta Peninggalan

Pada masyarakat hukum adat bilateral atau parental (dan sebagian dari masyarakat hukum adat patrilineal), pada dasarnya harta warisan itu dibagi-bagi kepada ahli warisnya. Di sini anak laki-laki maupun anak perempuan mempunyai hak uang sama atas harta peninggalan orangtuanya. Wujud dari harta tersebut umumnya harta yang dapat atau mudah dibagi-bagi. Tidak seperti pada masyarakat Minangkabau yang menganut sistem matrilineal dimana terdapat harta yang tidak dapat dibagi-bagi, oleh karena yang menguasai warisan adalah seluruh anggota keluarga, harta yang tak terbagi-bagi itu adalah harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah. Sedangkan dalam masyarakat Melayu yang umumnya menganut sistem bilateral atau parental, harta peninggalannya merupakan harta yang dapat dibagi-bagi.

3. Prinsip-Prinsip Garis Keturunan dalam Waris Adat

Pada dasarnya, hukum waris adat di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip- prinsip garis keturunan yang berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.

Misalnya:19

a. Prinsip Patrilineal : dimana kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris adat sangat kuat.

b. Prinsip Matrilineal : dimana kedudukan dan pengaruh pihak perempuan dalam hukum waris adat sangat kuat.

c. Prinsip bilateral (parental) : dimana kedudukan anak laki-laki dan kedudukan anak perempuan dalam hukum waris adat adalah sama dan sejajar.

Dalam sistem kekerabatan, masyarakat Masyarakat Melayu Deli lebih dominan menganut sistem patrilineal. Hal ini bisa dilihat dari kecenderungan para pasangan muda untuk mendirikan rumah di dekat lingkungan keluarga suami, terutama ketika

19 P. N. H. Simanjuntak., Op. cit., hlm. 257.

(15)

pasangan muda tersebut telah dikaruniai anak. Jika belum memiliki rumah dan anak, pasangan muda tersebut biasanya lebih sering tinggal bersama keluarga perempuan.

Dari kenyataan ini, sebenarnya pola kekerabatan matrilineal dan patrilineal telah diterapkan dengan cukup seimbang oleh masyarakat Deli. Oleh karena itu, sebenarnya jika dilihat secara tidak langsung masyarakat Melayu Deli menganut sistem kekerabatan bilateral atau parental, karena pola kekerabatan antara matrilineal dan patrilineal telah diterapkan cukup seimbang oleh masyarakat Melayu Deli.

4. Sistem Kewarisan Adat

Di samping prinsip-prinsip garis keturunan di atas, hukum waris adat mengenal tiga sistem kewarisan, yaitu sistem kewarisan individual, sistem kewarisan kolektif, dan sistem kewarisan mayorat.20 Oleh karena masyarakat Melayu menganut sistem kekerabatan parental maka sistem kewarisan adat yang dipakai masyarakat Melayu adalah sistem kewarisan individual, yaitu sistem kewarisan di mana para ahli waris mewarisi harta peninggalan pewaris secara perorangan.

5. Ahli Waris

Terdapat golongan ahli waris yang diprioritaskan, yaitu:21

a. Anak Kandung : dalam hukum adat anak kandung yaitu anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah. Selain anak kandung, ahli waris yg di prioritaskan adalah janda atau duda. Jika anak kandung, janda atau dua tidak ada, maka warisan akan jatuh pada golongan di bawahnya, yaitu orangtua si pewaris.

b. Orangtua : jika orangtua pewaris tidak ada, termasuk janda atau duda, maka harta warisan akan jatuh pada golongan di bawahnya, yaitu saudara pewaris.

c. Saudara pewaris : disebut juga pewarisan menyamping.

Selain ke-3 golongan yg diprioritaskan tersebut, beberapa golongan ahli waris lain di tentukan berdasarkan status anak apakah anak tersebut mendapat warisan atau tidak.

20 Ibid., hlm. 257.

21 Badriyah Harun, Panduan Praktis Pembagian Waris, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hlm.

7-8.

(16)

a. Anak angkat : anak angkat berhak menerima warisan bersama dengan anak kandung, namun bagiannya tidak sama persis dengan anak kandung.

b. Anak tiri : anak tiri berhak memperoleh warisan tetapi terbatas pada bagian harta warisan ayah atau ibu kandungnya saja.

c. Anak luar kawin : anak luar kawin hanya berhak atas warisan yang berasal dari ibunya, karena ia hanya mempunyai hubungan dengan ibunya.

6. Pembagian harta warisan

Masyarakat adat melayu identik dengan agama islam, dalam hal pembagian harta warisan, pertama masyarakat adat melayu harus ada kesepakatan terlebih dahulu dari setiap ahli waris, yang mana apakah mereka atau para ahli waris dalam pembagian harta warisan akan menggunakan hukum waris islam atau hukum waris secara adat melayu. Biasanya di dalam pembagian warisan dua hal tersebut disepakati terlebih dahulu dari awal oleh para ahli waris. Jika disepakati bahwa pembagian harta warisan itu menggunakan hukum waris adat melayu, maka pembagiannya tidak mengikuti aturan pembagian di dalam sitem hukum waris islam.

Dimana pembagian warisan menurut sistem hukum waris adat melayu antara anak laki-laki dengan anak perempuan kedudukan dinilai sama dalam keluarga. Oleh karena itu hak dan kewajibannya juga sama. Dengan demikian dalam hal pembagian harta warisan juga sama, antara anak laki-laki dengan anak perempuan.

TABEL PERBEDAAN

No

. Perbedaan Hukum Perdata Hukum Islam Hukum Adat

1 Sumber KUHPerdata

- Al-Qur’an - Hadist

- Ijma dan Ijtihad

Kebiasaan yang sudah turun- temurun dari masyarakat sekitar

2 Ahli

Waris

- Gol. I : suami- istri dan anak beserta

- Dzul Faraa’idh : ahli waris yg

- Anak kandung (sah)

(17)

keturunannya - Gol. II : orangtua

dan saudara- saudara beserta keturunannya.

- Gol. III : kakek dan nenek dan seterusnya ke atas - Gol. IV :

keluarga garis menyamping yang lebih jauh, saudara ahli waris gol. III

sudah

ditentukan di dalam Al- Qur’an - Asabah : ahli

waris yg ditarik dari garis ayah.

- Dzul Arhaam : org yg

mempunyai hubungan darah pewaris melalui pihak wanita.

- Orangtua - Saudara - Anak angkat - Anak tiri - Anak luar

kawin

3 Syarat

- Ahli waris harus ada saat warisan terbuka

- Memiliki hubungan darah - Tidak menolak

warisan

- Matinya pewaris

- Hidupnya ahli waris

- Tidak ada penghalang mewaris

Hampir sama dengan waris dalam hukum Islam

4 Bagian

Bagian anak laki-laki dan perempuan

adalah sama

Bagian anak laki- laki dua kali bagian

anak perempuan

Bagian anak laki- laki dan perempuan

adalah sama

BAB III

PENUTUP

(18)

A. KESIMPULAN

Dari paparan atau penjelasan di atas, dapatdisimpulkanbahwapada prinsipnya bahwa hukum waris adalah hukum yangmengatur pembagian waris kepada orang yang berhak mendapatkannya. Karena ketiadaan pengurusan harta oleh pemiliknya sebab pemilik awal harta tersebut sudah tiada, maka hukum memberikan hak dan kewajiban kepada orang yang terdekat atau ahli waris untuk menikmati dan mengurus harta tersebut agar jangan sampai harta tersebut tertelantarkan

Penyelesaian dalam mengatur pembagian warisan, yaitu melalui hukum adat, hukum islam, dan hukum perdata barat. Aturan hukum waris bersifat fakultatif atau melengkapi. Artinya, para ahli waris boleh memilih mana yang akan digunakan dalam pembagiannya. Baik itu pembagian menurut hukum adat, hukum perdata, hukum islam, maupun kesepakatan bersama antara para ahli waris.

B. SARAN

Penulis berharap semoga makalah ini dapat menjadi salah satu bahan untuk dapat menambah pengetahuan dalam hal ini. Meskipun kami menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini tetapi kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu perbaiki. Hal ini dikarenakan masih kurangnya pengetahuan yang kami miliki. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat penulis harapkan untuk perbaikan ke depannya.

(19)

DAFTAR PUSTAKA

Prodjodikoro, Wirjono. 1976. Hukum Warisan di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.

Subekti. 2003. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.

Simanjuntak, P.N.H. 2015. Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Prenadamedia Group.

Wahyu Kuncoro, NM. 2015. Waris Permasalahan dan Solusinya. Jakarta:

Raih Asa Sukses.

Harun, Badriyah. 2009. Panduan Praktis Pembagian Waris. Yogyakarta:

Pustaka Yustisia.

Referensi

Dokumen terkait

Tác động từ việc hợp tác, hội nhập kinh tế đối với chính sách pháp luật bảo hộ quyền sở hữu trí tuệ của Việt Nam được đánh dấu qua các mốc nhất định, như ký kết Hiệp định thương mại

10 Gambar 4.1 Grafik Perubahan Temperature Hidrasi Beton dengan SikamenLN 1%14 Gambar 4.2 Grafik Hasil Uji Kuat Tekan Beton Menggunakan Sikamen LN……..15 Gambar 4.3 Grafik Hasil Uji Kuat