CORAK PERENCANAAN KOMPREHENSIF: PERBANDINGAN DENGAN CORAK PERENCANAAN LAIN DAN APLIKASINYA DALAM PENYUSUNAN
RDTR
Malika Salsabila
225060600111043
Email mahasiswa : [email protected]
RINGKASAN
Perencanaan komprehensif adalah pendekatan dalam penyusunan rencana yang mempertimbangkan berbagai aspek dan komponen yang saling terkait dalam suatu wilayah atau konteks tertentu. Tujuan dari perencanaan komprehensif adalah menciptakan rencana yang holistik, terpadu, dan berkelanjutan.
Dengan menggunakan pendekatan komprehensif, perencana dapat mengidentifikasi isu-isu penting, peluang, dan tantangan dalam wilayah yang direncanakan. Mereka dapat mengembangkan strategi dan kebijakan yang beragam untuk mengatasi masalah yang kompleks dan mencapai tujuan pembangunan yang berkelanjutan. Proses penyusunan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dan Peraturan Zonasi melalui tahapan yang kompleks. Keberagaman aspek yang dikaji dalam penyusunan RDTR dapat dilihat dari prosesnya yang melibatkan analisis mendalam dan pemahaman yang menyeluruh terhadap berbagai faktor yang mempengaruhi wilayah yang direncanakan. Dengan demikian, penyusunan RDTR merupakan proses yang melibatkan analisis mendalam dan komprehensif terhadap berbagai aspek yang berpengaruh terhadap wilayah yang direncanakan, dengan tujuan untuk menciptakan tata ruang yang sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik wilayah tersebut.
Kata kunci : Perencanaan, komprehensif, RDTR
PENDAHULUAN
Perencanaan adalah suatu kegiatan yang secara sungguh-sungguh mengembangkan strategi yang optimal, untuk mencapai tujuan yang diinginkan di masa yang akan datang dengan masyarakat atau lembaga sebagai pelaku (Mahi &
Trigunarso, 2017). Secara harfiah, perencanaan dapat diartikan sebagai segala
”persiapan” untuk hal yang akan dihadapi. Lebih lanjut menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 perencanaan adalah proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia.
Proses perencanaan dilakukan melalui interaksi manusia melalui komunikasi.
Dalam konteks ini, komunikasi menjadi elemen penting yang diperlukan dalam perencanaan agar tujuan dan sasaran yang diharapkan dapat dicapai sesuai dengan target yang ditetapkan. Dalam perspektif ini, perencanaan juga dapat didefinisikan sebagai suatu cara atau proses untuk mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan (Berger &
Batista, 1993).
Perencanaan kota merupakan perencanaan fisik yang terpadu, artinya mencakup aspek-aspek kompleks seperti sosial-budaya, ekonomi, dan politik dalam satu kesatuan wilayah fisik (ruang kota) (Wikantiyoso, 2007). Dalam praktiknya, terdapat 6 corak perencanaan yang dapat diterapkan. Corak perencanaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan komprehensif (comprehensive planning);
2. Perencanaan induk (master planning);
3. Perencanaan strategis (strategic planning);
4. Perencanaan ekuiti (equity planning);
5. Perencanaan advokasi (advocacy planning);
6. Perencanaan inkrimental (incremental planning).
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2008, mendefinisikan perencanaan kota sebagai penyusunan rencana pengelolaan kawasan perkotaan yang dapat mengintegrasikan rencana tata ruang dengan rencana pembangunan daerah guna pengembangan kawasan perkotaan yang lebih baik. Peraturan ini menguraikan hal-hal yang menjadi pertimbangan dalam perencanaan, diantaranya:
1. Aspek ideologi, politik, sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, teknologi, serta pertahanan dan keamanan negara kesatuan Republik Indonesia.
2. Pendekatan pengembangan wilayah yang terpadu.
3. Peran dan fungsi kawasan perkotaan.
4. Hubungan antarkawasan perkotaan dan antara kawasan perkotaan dengan kawasan perdesaan.
5. Integrasi antara lingkungan buatan dan kemampuan alam dalam mendukung keberlanjutan lingkungan.
6. Pemenuhan kebutuhan penduduk di kawasan perkotaan.
Di Indonesia, perencanaan kota adalah komponen dari perencanaan spasial yang melibatkan empat tingkatan utama, yaitu Rencana Umum Tata Ruang Perkotaan, Rencana Umum Tata Ruang Kota, Rencana Detail Tata Ruang Kota, dan Rencana Teknik Tata Ruang Kota. Perencanaan kota di Indonesia saat ini mengikuti pendekatan perencanaan komprehensif sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 tahun 1987 tentang pedoman perencanaan kota. Dengan demikian, metode yang digunakan di sini adalah sebagai berikut: pertama, perencanaan komprehensif dijadikan sebagai topik utama, kemudian, corak-corak perencanaan lainnya dibandingkan dengan perencanaan komprehensif tersebut, atau dianggap sebagai respon terhadapnya.
KAJIAN TEORI
CORAK PERENCANAAN DAN PERBANDINGANNYA
A. Perencanaan Komprehensif
Perencanaan merupakan elemen yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia, karena melalui perencanaan, kehidupan dapat teratur dan terarah. Hal ini juga berlaku untuk sebuah kota, di mana perencanaan pembangunan yang terarah dapat menciptakan kenyamanan bagi penghuninya. Perencanaan kota yang ideal seharusnya mencakup seluruh aspek kota secara keseluruhan, dan itulah mengapa muncul konsep perencanaan rasional komprehensif. Pendekatan perencanaan rasional komprehensif ini memiliki keunggulan dalam mengintegrasikan semua aspek perencanaan, sehingga dapat menjadi
kerangka kerja bagi pembangunan sebuah kota.
Seperti yang dapat dipahami dari namanya, yaitu komprehensif atau dapat diartikan
menyeluruh, dalam perencanaan komprehensif dilakukan analisis dari semua aspek kehidupan perkotaan, seperti populasi, ekonomi, sosial, fisik, dan lain sebagainya.
Model perencanaan rasional komprehensif adalah suatu pendekatan perencanaan yang holistik, yang berarti mencakup skala yang luas dengan pengambilan keputusan yang kompleks. Model ini menganggap bahwa perencanaan dirancang untuk mencapai tujuan dalam jangka panjang. Meskipun demikian, model ini hanya mempertimbangkan satu tujuan bersama, meskipun terdapat kelompok minoritas yang mungkin tidak sepenuhnya mewakili kepentingan mayoritas. Oleh karena itu, model ini melibatkan langkah-langkah konkret mulai dari mengidentifikasi masalah hingga merumuskan kebijakan, program, dan kegiatan yang relevan.
Perencanaan komprehensif melibatkan penggabungan konsep-konsep ilmu sosial yang berbeda. Ini mencerminkan peran perencanaan dalam mengatasi kegagalan pasar yang terkait dengan eksternalitas, barang publik, ketimpangan, biaya transaksi, dan kekuatan pasar. Alasan yang mendukung pentingnya perencanaan di negara maju pada saat itu antara lain adalah penanggulangan kemacetan lalu lintas, perlindungan sumber daya, pemenuhan kebutuhan dasar bagi penduduk miskin, serta penyediaan layanan publik seperti air bersih, listrik, dan lingkungan yang bersih dan sehat, serta beberapa hal lainnya.
Perencanaan komprehensif melibatkan proses yang menyeluruh, yang mengimplikasikan bahwa perencanaan tersebut harus dilakukan secara rasional.
Rasionalitas mengacu pada pendekatan berpikir yang didasarkan pada analisis ilmiah terhadap permasalahan dan pencarian solusi yang sesuai dengan cara tertentu. Proses perencanaan komprehensif dilakukan secara berurutan. Langkah-langkah urutan dalam proses tersebut mencakup:
1. Pengumpulan dan pengolahan data, 2. Analisis data,
3. Perumusan tujuan dan sasaran perencanaan, 4. Pengembangan alternatif rencana,
5. Evaluasi dan seleksi alternatif rencana, dan 6. Penyusunan dokumen rencana.
Hasil dari perencanaan ini memiliki karakteristik yang rinci, jelas, dan berupa rancangan pengembangan fisik atau tata ruang, seperti peta rencana guna lahan, peta rencana jaringan jalan, dan sebagainya. Setelah rencana selesai disusun, dilakukan proses pengesahan oleh pihak legislatif, dan selanjutnya dilakukan implementasi rencana melalui tindakan dan aksi yang sesuai (Paramita, 2016).
Teori perencanaan rasional komprehensif tetap menjadi subjek perhatian luas dalam perkembangan teori perencanaan. Teori-teori perencanaan yang muncul selanjutnya pada dasarnya berakar dari teori perencanaan rasional komprehensif. Dalam hal ini, perkembangan teori perencanaan yang lebih lanjut bertujuan untuk melengkapi dan meningkatkan model perencanaan rasional komprehensif. Bahkan saat ini, model perencanaan komprehensif telah mendapatkan justifikasi metodologis. Perkembangan metodologi yang terus-menerus menjadi hal yang esensial untuk memperluas model perencanaan. Ini termasuk upaya untuk membandingkan alternatif aturan yang dapat menggabungkan preferensi individu, mengevaluasi implikasi risiko dan ketidakpastian,
serta mempertimbangkan dampak baru dan kemampuan komputasi yang lebih cepat dalam memastikan preferensi publik dan melakukan perhitungan yang diperlukan.
Ruang lingkup perencanaan komprehensif melampaui berbagai aspek dan elemen perencanaan yang ada, dengan tujuan menghasilkan beragam alternatif rencana untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, dengan mempertimbangkan potensi dan kendala yang ada. Perencanaan Rasional Komprehensif memiliki beberapa konsep dasar yang menjadi dasar pemikirannya.
Pertama, rasionalitas manusia menjadi dasar dari pengetahuan yang dimiliki, di mana manusia memperoleh pengetahuan melalui kemampuan akalnya dalam memahami objek dan fenomena di alam. Kedua, rasionalitas manusia menjadi ukuran universal dalam menjelaskan fenomena yang dipersepsikan oleh indera manusia. Ketiga, persepsi yang diperoleh melalui indera manusia diperlukan untuk merangsang akal dan memberikan bahan yang dapat memacu akal manusia untuk menciptakan pemahaman tertentu. Keempat, kebenaran rasional diukur berdasarkan standar rasio tertentu yang telah disepakati sebelumnya, atau yang biasa disebut sebagai teori. Kelima, jika hanya mengandalkan rasio, pengetahuan yang diperoleh akan berada dalam ranah filsafat.
Oleh karena itu, rasionalisme biasanya digabungkan dengan empirisme yang menghasilkan pengetahuan ilmiah atau yang disebut sebagai positivisme.
Perencanaan Rasional Komprehensif memiliki tujuan utama untuk mengatasi semua masalah yang muncul dalam perencanaan. Metode ini bersifat ilmiah karena pengambilan keputusannya didasarkan pada teori. Hasil implementasi rencana juga dapat dijelaskan melalui visualisasi yang sesuai dengan pemahaman manusia. Ciri-ciri perencanaan rasional komprehensif termasuk fokus pada tujuan jangka panjang, didukung oleh sistem informasi yang lengkap, handal, dan terperinci, berlandaskan pada keinginan mencapai tujuan secara menyeluruh, serta didasari oleh serangkaian spesifikasi tujuan yang lengkap, menyeluruh, dan terpadu.
B. Perencanaan Induk
Perencanaan induk (master planning) biasanya digunakan untuk merencanakan bangunan kompleks atau kota baru secara fisik. Berbeda dengan perencanaan komprehensif yang melibatkan berbagai disiplin, perencanaan induk biasanya dilakukan oleh satu disiplin, terutama arsitektur. Meskipun demikian, baik perencanaan induk maupun perencanaan komprehensif memiliki kesamaan dalam menghasilkan rencana yang jelas, rinci, dan menetapkan keadaan akhir yang tidak fleksibel, seolah-olah masa depan sangat pasti. Langkah-langkah yang ditempuh dalam corak perencanaan induk berupa problem seeking, programming, dan designing. Setelah perencanaan dan perancangan selesai, dilakukan kegiatan konstruksi atau pelaksanaan tindakan.
C. Perencanaan Strategis
Perencanaan strategis lahir sebagai respon terhadap perencanaan komprehensif.
Perencanaan komprehensif yang dianggap memiliki tujuan yang terlalu luas dan dinilai terlalu utopis, maka para perencana, di dekade-dekade akhir Abad ke 20 meminjam pendekatan perencanaan strategis yang biasa dipakai dalam dunia usaha dan militer.
Fokus utama dalam perencanaan strategis berupa pendekatan dengan tujuan spesifik.
Perencanaan strategis dalam konteks kota adalah suatu proses yang terorganisir untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang akan membentuk dan mengarahkan bagaimana kota tersebut beroperasi, apa yang dilakukan oleh kota tersebut, dan mengapa kota tersebut melaksanakan kegiatan tersebut. Perencanaan strategis kota melibatkan identifikasi tujuan jangka panjang, penentuan prioritas
pengembangan, pengelolaan sumber daya, pengaturan tata ruang, peningkatan infrastruktur, pembangunan ekonomi, pemeliharaan lingkungan, dan kebijakan publik.
Hal ini bertujuan untuk mencapai pertumbuhan dan perkembangan yang berkelanjutan, meningkatkan kualitas hidup penduduk, dan memenuhi kebutuhan kota secara komprehensif. Perencanaan strategis adalah suatu proses yang terorganisir untuk membuat keputusan dan tindakan penting yang akan membentuk dan mengarahkan bagaimana suatu organisasi (atau entitas lainnya) beroperasi, apa yang dilakukan oleh organisasi (atau entitas lainnya), dan mengapa organisasi (atau entitas lainnya) melaksanakan kegiatan tersebut (Bryson, 2003). Penerapan perencanaan strategis di Indonesia adalah pada penyusunan RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah).
Hasil kajian mengenai perencanaan strategis yang dilakukan oleh Jerome Kaufman dan Harvey Jacobs di tahun 1987 menghasilkan identifikasi karakteristik perencanaan strategis, yaitu:
1. Orientasi perencanaan strategis lebih ke tindakan, hasil, dan implementasi, 2. Partisipasi lebih meluas dan bervariasi,
3. Kajian mengenai peluang dan ancaman lebih luas, 4. Adanya perilaku kompetitif (bersaing),
5. Kajian lingkungan internal berupa kekuatan dan kelemahan dalam konteks peluang dan ancaman.
Dalam perumusan rencana strategis, tidak berpaku pada suatu standar. Proses perencanaan strategis memiliki ragam yang tak terbatas. Setiap implementasi perencanaan strategis perlu merancang variasi yang sesuai dengan kebutuhan, situasi, dan kondisi setempat. Meskipun demikian, secara umum, proses perencanaan strategis mencakup elemen-elemen berikut:
1. Perumusan visi dan misi, 2. Analisis lingkungan eksternal, 3. Analisis lingkungan internal, 4. Perumusan isu-isu strategis, dan 5. Penyusunan strategi pengembangan \
Karena tidak adanya standar yang baku, proses perencanaan strategis dapat dimulai dari poin 1, 2, maupun 3. Gambaran proses perencanaan strategis adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Proses Perencanaan Strategis
D. Perencanaan Ekuiti
Tipe ini secara progresif mendorong kepentingan umum yang lebih luas (bukan hanya satu kelompok) sekaligus menentang ketidakadilan di perkotaan. Perencanaan ekuiti mengadopsi pandangan perencanaan advokasi yang menyatakan bahwa akar-akar ketidakadilan sosio-ekonomi perkotaan perlu diatasi, tetapi hanya sebatas itu saja.
Pemikiran perencanaan ekuiti tidak setuju bahwa perencana memiliki tanggung jawab eksplisit untuk membantu pihak yang kurang beruntung, dimana keputusan akhir perencanaan tetap dilakukan oleh perencana.
E. Perencanaan Advokasi
Corak perencanaan advokasi berpandangan bahwa pandangan ada satu
‘kepentingan umum’ meragukan. Perencanaan yang mengklaim mampu merumuskan satu versi kepentingan umum sebenarnya memonopoli kekuatan dan tidak mendorong partisipasi. Perencanaan yang inklusif tidak akan dapat mencakup kepentingan yang beragam dan saling konflik dalam masyarakat. Sebaliknya, perencanaan harus mendorong pluralisme yang seimbang dengan memberikan suara kepada pihak-pihak yang tidak mampu menyuarakan aspirasi mereka. Perencanaan tradisional menghambat pertumbuhan pluralisme yang efektif karena komisi perencanaan tidak demokratis dan tidak mewakili kepentingan yang bersaing dalam masyarakat yang plural. Selain itu, perencanaan kota tradisional terfokus pada aspek fisik yang terpisah dari aspek sosial, sehingga mengabaikan konflik sosial dan ketidakadilan dalam kota (Davidoff, 1996).
Dengan tidak percaya akan adanya satu kepentingan umum, perencanaan advokasi memungkinkan setiap kelompok masyarakat memiliki rencana mereka sendiri.
Dengan demikian, terdapat beragam rencana yang mencakup kepentingan plural dalam masyarakat.
F. Perencanaan Inkrimental
Perencanaan inkrimental adalah perencanaan yang dilakukan sepenggal- sepenggal menggunakan “perbandingan terbatas dari hasil-hasil berurutan” untuk mencapai tujuan jangka pendek yang realistis (Lindblom, 1959). Perencanaan
inkrimental mengabaikan rasionalitas dalam pendekatan dan praktiknya. Perencanaan model ini lebih mengutamakan lobi-lobi politik (Rizani, 2019).
Pendekatan inkremental juga dikritik karena dianggap terlalu hati-hati dan konservatif, karena cenderung mengabaikan potensi perubahan besar yang revolusioner dan lebih memilah untuk mempertahankan kondisi yang terjadi di masa kini Pendekatan ini juga dikritik karena kelemahannya dalam berpikir induktif Meskipun mendapat kritik-kritik tersebut, pendekatan ini merupakan alternatif atau pendekatan yang berlawanan dengan perencanaan tradisional "master planning" yang didasarkan pada kekomprehensifan arsitektur dan perancangan kota.
G. Perbandingan Corak Perencanaan
Dalam merencanakan kota baru, terutama dalam bidang urban design, corak perencanaan yang digunakan adalah perencanaan induk atau juga dikenal dengan master planning. Perencanaan komprehensif tidak dapat dipakai dalam hal ini dikarenakan belum adanya data yang relevan mengenai penduduk. Perencanaan induk hanya memfokuskan pada aspek fisik dan perencanaan tata ruang yang dapat dikaji melalui pengamatan
Di sisi lain, perencanaan komprehensif dilakukan secara menyeluruh, dengan cakupan yang luas, dan melibatkan pengambilan keputusan yang kompleks. Namun, pendekatan ini telah dikritik oleh aliran perencanaan inkremental yang lebih memfokuskan pada cakupan yang lebih sempit dan terjangkau. Aliran inkremental percaya bahwa terdapat kepentingan umum yang dapat disepakati, sementara perencanaan advokasi mengakui bahwa ada pihak-pihak yang tidak terwadahi dalam perencanaan komprehensif dan membutuhkan pembelaan. Contohnya adalah kaum miskin minoritas di perkotaan yang suara mereka sering kali tidak terdengar dalam perencanaan komprehensif.
Perencanaan ekuitas, bersama dengan perencanaan advokasi, menganggap bahwa perencanaan komprehensif tidak mampu menangani akar kemiskinan dan ketidakadilan, serta tidak memprioritaskan pemerataan sebagai tujuan utama. Oleh karena itu, perencanaan ekuitas dan advokasi dapat digolongkan sebagai "perencanaan partisipatif", meskipun partisipasi masyarakat juga terjadi dalam perencanaan strategis.
Perencanaan komprehensif sering kali dituduh memiliki tujuan dan sasaran yang terlalu luas dan ambisius. Sebagai respons, pendekatan perencanaan strategis memfokuskan perhatiannya pada isu-isu utama tertentu dengan mempertimbangkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada. Pendukung perencanaan strategis meyakini bahwa pendekatan ini lebih realistis. Baik perencanaan strategis maupun inkremental merasa frustrasi terhadap perencanaan komprehensif yang dianggap terlalu idealis dan tidak efisien.
Lebih jelasnya, perbandingan antara corak-corak perencanaan disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 1 Perbandingan Corak Perencanaan
Aspek
Corak Perencanaan Kompre
hensif Induk Strategis Ekuiti Advokasi Inkrimen tal Pelaku
yang mendomi
nasi proses keputusan
Pakar, ahli perenca
naan
Penguasa Stakehol ders
Kelompok masyarak at tertentu
Setiap kelompok
masyara kat
Setiap kelompok
masyara kat Dasar
keputusan
Rasionali
tas Rasionalitas Kesepaka tan
Kesetara
an Keadilan Prioritas jangka pendek Masalah
yang ditangani
Keseluru han
Keseluru han
Masalah prioritas
Ketimpa ngan sosio- ekonomi
Ketidakadi lan dalam perencana
an
Masalah prioritas jangka pendek PERKEMBANGAN CORAK PERENCANAAN KOMPREHENSIF
Perencanaan komprehensif mulai dikenal setalah Perang Dunia II. Perencanaan model ini diprakarsai oleh Tugwell, Harvey Perioff, Edward Banfield, dan Julius Margolis. Mereka melakukan penelitian terkait perencanaan pendidikan dan penilitian.
Jangka waktu penelitian ini memakan waktu 9 tahun dan menjadi salah satu acuan penentuan arah teori perencanaan.
Gambar 2 Perkembangan Perencanaan Komprehensif 1920-1970
Awal abad ke-19 hingga tahun 1920, pendekatan perencanaan masih menggunakan perencanaan induk atau master planning. Era ini merupakan masa pra-
paradigma perencanaan komprehensif. Belum ada konsensus mengenai perencanaan komprehensif di kalangan ilmuwan. Sebagai ilustrasi, di masa ini dikemukakan adanya berbagai variasi aliran perencanaan kota di Amerika dan Eropa pada masa itu, misalnya (1) city beautiful movement, (2) master planning, (3) the park movement, (4) housing reform, (5) social reform-settlement houses dan (6) municipal reform. Keanekaragaman aliran mewarnai keadaan pada periode ini.
Di tahun 1920 hingga tahun 1945 atau pada generasi pertama perencanaan merupakan masa dimana perencanaan komprehensif berkembang. Dikarenakan pada masa ini mulai ada kesepakatan antara teoritisi dan praktisi mengenai orientasi proses perencanaan. Perencanaan komprehensif merupakan proses dan produk perencanaan yang kemudisa dilegitimasi oleh berbagai pemerintahan kota sebagai arah dan alat untuk pengelolaan/pengembangan kota.
Perencanaan komprehensif mulai populer di era pasca Perang Dunia II mungkin dipicu oleh pemikiran secara ilmiah yang dapat memunculkan teknologi baru yang mampu memenangkan perang. Maka RCP ini mencapai masa kejayaannya di tahun 1945-1960. Dalam periode ini, fokus utama penelitian adalah tentang bagaimana mencari solusi untuk masalah-masalah yang dihadapi dalam perencanaan. Para ilmuwan dan peneliti berusaha mengembangkan teori yang dapat memberikan kerangka kerja rasional dan komprehensif untuk mengatasi tantangan perencanaan. Salah satu tokoh yang terkenal dalam pengembangan teori ini adalah Herbert Simon, bersama dengan beberapa peneliti lainnya seperti Branch. Teori perencanaan yang muncul pada periode ini menekankan pentingnya pendekatan rasional dalam pengambilan keputusan perencanaan. Ide dasarnya adalah bahwa dengan menggunakan pendekatan yang sistematis dan berbasis data, perencana dapat menghasilkan solusi yang lebih efektif dan efisien untuk masalah-masalah perkotaan. Teori-teori ini memberikan dasar untuk pengembangan metode perencanaan yang lebih ilmiah dan terstruktur. Dalam konteks pengembangan teori, periode ini merupakan tonggak penting dalam perencanaan sebagai disiplin ilmu. Paradigma dominan yang mendorong pemecahan masalah dan pengembangan teori perencanaan rasional dan komprehensif memberikan landasan yang kuat bagi perkembangan perencanaan di masa depan.
Perencanaan komprehensif melewati era paradigma anomali pada 1960-1970.
Ketidakakuratan dalam peramalan, kegagalan dalam pemecahan masalah sosial dan rasial, serta ketidakmampuan untuk merespons isu-isu politik mulai dirasakan oleh para teoretisi dan praktisi perencanaan. Kritik terhadap kelemahan paradigma perencanaan yang dominan mulai muncul di berbagai tempat. Munculnya aliran perencanaan yang berfokus pada aspek sosial dan yang mendukung kelompok yang lebih lemah menjadi semakin menonjol.
Dalam upaya untuk mengatasi ketidaksesuaian dalam paradigma yang ada, dilakukan proses modifikasi dan penyusunan alternatif paradigma baru sebagai respons terhadap kelemahan yang ada. Periode ini, yang terjadi antara akhir tahun 1970-an dan tahun 1980-an, ditandai dengan munculnya berbagai "school of thought" yang saling bersaing. Perpecahan orientasi para perencana menjadi ciri khas periode ini, di mana batas-batas profesi perencana menjadi tidak jelas dan saling tumpang tindih (Junaedi, 2012).
Setelah redupnya perencanaan komprehensif, dunia perencanaan memasuki generasi kedua atau disebut periode post-positivistik. Dalam perkembangannya, teori ini fokus pada kajian fenomena secara menyeluruh untuk mendapatkan informasi yang
lengkap dan valid, dengan melakukan verifikasi data. Teori perencanaan generasi kedua ini dianggap memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menganalisis fenomena yang terjadi. Dengan menggunakan teori ini, data yang diperoleh dianggap lebih valid, sehingga dalam merencanakan tindakan dapat sesuai dengan kebutuhan objek perencanaan. Kelebihan dari teori perencanaan model post-positivistik adalah kemampuannya dalam memberikan informasi yang sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya di suatu daerah. Dengan informasi yang lengkap dan akurat ini, teori perencanaan ini tidak hanya menutupi kekurangan teori perencanaan generasi pertama, tetapi juga dapat menjadi dasar perencanaan yang strategis dan sesuai dengan kebutuhan pada objek penelitian atau perencanaan. Namun, ditemukan kekurangan pada teori perencanaan model post-positivistik ini, yaitu kurangnya pelibatan terhadap masyarakat dimana masyarakat masih berfungsi pasif hanya sebagai informan saja. Untuk mendukung kelangsungan pelaksanaan pembangunan, kerjasama dengan masyarakat diperlukan agar mereka turut berperan dalam memelihara lingkungan dan mendukung pembangunan.
Generasi ketiga perencanaan ditandai dengan munculnya teori yang berfokus pada sosial konstruksi. Teori perencanaan generasi ketiga, juga dikenal sebagai social- constructivism, adalah suatu pendekatan dalam ilmu komunikasi yang fokus pada aktivitas memperoleh pemahaman, makna, norma, dan aturan melalui proses komunikasi yang intensif. Teori social-constructivism menekankan bahwa perencanaan memiliki substansi yang sangat kompleks dengan model struktur. Salah satu karakteristik utama dari perencanaan generasi ketiga adalah penekanan pada proses sosial dalam masyarakat. Menurut teori perencanaan generasi ketiga, perencana memiliki peran sebagai komunikator, mediator, fasilitator, dan tokoh yang mendorong partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan. Penerapan teori perencanaan generasi ketiga atau social-constructivism membutuhkan kolaborasi dengan menggunakan teori yang menekankan studi penelitian yang lebih empiris. Hal ini memungkinkan peneliti untuk melakukan modifikasi dan menekankan validitas dengan menggali informasi menggunakan pendekatan teori yang mencerminkan realitas nyata dan bukti yang nyata.
APLIKASI CORAK PERENCANAAN KOMPREHENSIF DALAM PENYUSUNAN RDTR
Penerapan kebijakan di Indonesia cenderung menggunakan pendekatan top- down yaitu pendekatan yang diterapkan dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan di mana keputusan dan arahan berasal dari pihak yang berada di tingkat puncak, seperti pemerintah pusat atau otoritas yang berwenang. Hal tersebut berarti bahwa sistem perencanaan pembangunan di Indonesia masih bersifat pasif terhadap masyarakat, dimana peran masyarakat adalah hanya sebagai penerima kebijakan dan jarang dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan. Perencanaan semacam ini tidak selalu tepat sasaran karena pembangunan yang dilakukan seringkali tidak memenuhi kebutuhan masyarakat. Perencanaan top-down juga dapat diartikan sebagai perencanaan yang tidak hanya diperuntukkan dalam segi fisik, namun juga dalam segi sosial, ekonomi, dan sebagainya.
Pengaplikasian Perencanaan Rasional Komprehensif di Indonesia berupa penyusunan dokumen Tata Ruang Wilayah baik yang berskala nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Dokumen perencanaan tersebut dikenal dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) serta Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Proses penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dilakukan dengan tegas dan melibatkan pengkajian data yang komprehensif dan akurat.
Dokumen-dokumen perencanaan tersebut dirancang untuk memiliki keberlakuan dalam jangka waktu yang panjang dan menjadi pedoman utama dalam perumusan kebijakan perencanaan yang lebih luas.
Rencana Detail Tata Ruang atau disingkat RDTR adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah dokumen perencanaan yang secara terperinci mengatur tata ruang wilayah kabupaten/kota dan dilengkapi dengan peraturan zonasi. Menurut Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 Pasal 59 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, setiap Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten/kota harus mencakup bagian wilayah yang memerlukan penyusunan RDTR.
Penetapan kawasan yang akan disusun RDTR didasarkan pada pertimbangan bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan perkotaan atau kawasan strategis kabupaten/kota.
Kawasan strategis kabupaten/kota dapat disusun RDTR jika kawasan tersebut memiliki karakteristik perkotaan atau direncanakan untuk menjadi kawasan perkotaan. RDTR berfungsi sebagai rencana yang menetapkan blok-blok dalam kawasan fungsional untuk menggambarkan kegiatan dalam bentuk ruang yang memperhatikan hubungan antar kegiatan di dalam kawasan fungsional tersebut, sehingga menciptakan lingkungan yang harmonis antara kegiatan utama dan kegiatan penunjang dalam kawasan fungsional tersebut.
Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah sebuah rencana yang berisi ketentuan-ketentuan tentang penentuan fungsi bagi bagian-bagian wilayah yang memberikan arahan terhadap lokasi berbagai kegiatan yang memiliki fungsi dan karakteristik lingkungan permukiman tertentu. Pada dasarnya, RDTR juga merupakan sebuah rencana tiga dimensi yang mencakup penetapan intensitas penggunaan ruang untuk setiap bagian wilayah sesuai dengan fungsinya dalam struktur tata ruang secara keseluruhan.
RDTR memiliki berbagai fungsi penting dalam pengaturan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota. Fungsi-fungsi tersebut antara lain sebagai berikut:
1. RDTR berperan sebagai kendali mutu untuk memastikan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
2. Kedua, RDTR memberikan acuan yang lebih rinci mengenai kegiatan pemanfaatan ruang dibandingkan dengan RTRW, sehingga menjadi pedoman dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
3. RDTR menjadi acuan dalam penerbitan izin pemanfaatan ruang, sehingga kegiatan yang dilakukan dapat sesuai dengan perencanaan yang telah ditetapkan.
4. RDTR juga menjadi acuan dalam penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL), sehingga memastikan konsistensi antara tata ruang dengan tata bangunan dan lingkungan.
Dokumen RDTR juga berperan dalam memastikan kesesuaian antara dokumen perencanaan dengan implementasi pembangunan di lapangan. RDTR menjadi acuan dasar untuk penerbitan dokumen perizinan terkait pembangunan bangunan. Tanpa adanya RDTR, dokumen perizinan tersebut tidak dapat dikeluarkan. Sebelumnya, untuk mendirikan bangunan diperlukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), namun sekarang telah digantikan dengan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). Meskipun istilahnya berubah, namun fungsi tetap sama.
Namun, belum semua kabupaten/kota di Indonesia memiliki dokumen RDTR.
Dilaporkan dalam harian Kompas, hanya ada sekitar 55 RDTR yang tersedia dari total kabupaten/kota di Indonesia. Dokumen RDTR umumnya disusun ketika Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang sudah ada tidak mencakup informasi detail yang dibutuhkan. Bahkan, ketersediaan dokumen RTRW juga masih belum mencukupi, meskipun jumlahnya tidak sedikit dibandingkan kekurangan dokumen RDTR. Jika ketersediaan dokumen RTRW di Indonesia mencapai 95%, ketersediaan dokumen RDTR bahkan tidak mencapai 5%. Situasi ini sangat disayangkan dan perlu menjadi perhatian serius pemerintah.
Ada beberapa faktor penyebab rendahnya ketersediaan dokumen RDTR di Indonesia, salah satunya adalah keterbatasan peta dasar dengan skala 1:5.000 yang diperlukan untuk penyusunan RDTR. Peta dasar yang digunakan harus mendapatkan persetujuan substansi dari Badan Informasi Geospasial, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Selain itu, diperlukan validasi mengenai kajian lingkungan hidup strategis yang dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kriteria dan Lingkup Wilayah Perencanaan RDTR dan Peraturan Zonasi RDTR disusun apabila:
a. RTRW kabupaten/kota dinilai belum efektif sebagai acuan dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang karena tingkat ketelitian petanya belum mencapai 1:5.000; dan/atau
b. RTRW kabupaten/kota sudah mengamanatkan bagian dari wilayahnya yang perlu disusun RDTR-nya.
Berikut kedudukan RDTR dalam sistem perencanaan ruang:
Gambar 3 Bagan Sistem Perencanaan
Wilayah perencanaan RDTR mencakup: a. wilayah administrasi; b. kawasan fungsional, seperti bagian wilayah kota/subwilayah kota; c. bagian dari wilayah kabupaten/kota yang memiliki ciri perkotaan; d. kawasan strategis kabupaten/kota yang memiliki ciri kawasan perkotaan; dan/atau e. bagian dari wilayah kabupaten /kota yang berupa kawasan pedesaan dan direncanakan menjadi kawasan perkotaan. Ilustrasi wilayah cakupan RDTR disajikan dalam gambar berikut
Gambar 4 Ilustrasi Wilayah Cakupan RDTR Berdasarkan Batas Administrasi
Gambar 5 Ilustrasi Wilayah Cakupan RDTR Berdasarkan Fungsi Kawasan
RDTR berlaku dalam jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun. Peninjauan kembali RDTR dapat dilakukan lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun jika: a. terjadi perubahan RTRW kabupaten/kota yang mempengaruhi BWP RDTR; atau b. terjadi dinamika internal kabupaten/kota yang mempengaruhi pemanfaatan ruang secara mendasar antara lain berkaitan dengan bencana alam skala besar, perkembangan ekonomi yang signifikan, dan perubahan batas wilayah daerah.
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Tahun 2018 menyatakan bahwa Penyusunan RDTR dilakukan bersamaan dengan penyusunan Peraturan Zonasi (PZ).
Penyusunan RDTR dan PZ harus terintegrasi dengan proses penyusunan Kajian Lingkungan Hidup Strategis dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan.
Tata cara penyusunan RDTR dan PZ mencakup kegiatan persiapan, pengumpulan data dan informasi, pengolahan dan analisis data, perumusan konsep RDTR dan muatan PZ, serta penyusunan dan pembahasan Raperda tentang RDTR dan PZ. Selengkapnya tata cara penyusunan RDTR dan PZ adalah sebagai berikut:
Gambar 6 Proses Penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi
Berdasarkan gambar diatas, dapat dilihat bahwa penyusunan RDTR dan Peraturan Zonasi melalui proses yang panjang. Khususnya untuk RDTR melewati 4
tahapan yaitu tahap persiapan, tahap pengumpulan data dan informasi, tahap pengolahan dan analisis data, dan tahap penyusunan dan pembahasan Raperda. Berdasarkan gambar 3, dapat dilihat bahwa aspek yang dikaji dalam penyusunan RDTR sangat beragam.
Mulai dari analisis secara fisik hingga analisis aspek sosial-budaya dilakukan dalam penyusunan RDTR. Maka corak yang digunakan dalam penyusunan RDTR ini adalah corak komprehensif dimana dalam proses perencanaannya mempertimbangkan berbagai aspek dan komponen yang saling terkait dalam suatu wilayah atau konteks tertentu.
Komprehensifitas penyusunan RDTR dapat dilihat dari prosesnya yang melibatkan analisis mendalam dan pemahaman yang menyeluruh tentang berbagai aspek yang mempengaruhi wilayah yang direncanakan, seperti sosial, ekonomi, lingkungan, fisik, infrastruktur, budaya, dan lain-lain. Dalam perencanaan komprehensif, tidak hanya mempertimbangkan satu aspek secara terisolasi, tetapi juga melihat keterkaitan dan interaksi antara berbagai aspek tersebut.
SIMPULAN
Dalam praktik perencanaan terdapat 6 corak perencanaan yang dapat diterapkan diantaranya perencanaan komprehensif, perencanaan induk, perencanaan strategis, perencanaan ekuitas, perencanaan advokasi, dan perencanaan inkrimental.
Setiap corak perencanaan memiliki pendekatan, tujuan, dan implikasi yang berbeda- beda, dan pilihan corak perencanaan dapat bergantung pada situasi dan kebutuhan setempat. Perencanaan komprehensif mulai dikenal setelah Perang Dunia II dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Tugwell, Harvey Perloff, Edward Banfield, dan Julius Margolis. Perencanaan komprehensif mengalami perkembangan signifikan dari awal pengenalan hingga saat ini, dengan perubahan paradigma dan penekanan pada aspek sosial yang lebih inklusif. Penyusunan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) dilakukan dengan pendekatan top-down, di mana keputusan dan arahan berasal dari pihak yang berada di tingkat puncak. RDTR memiliki fungsi penting dalam pengaturan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota, termasuk sebagai kendali mutu, acuan yang lebih rinci, acuan izin pemanfaatan ruang, dan acuan dalam penyusunan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Proses penyusunan RDTR melibatkan tahapan persiapan, pengumpulan data dan informasi, pengolahan dan analisis data, serta penyusunan dan pembahasan Raperda. RDTR menggunakan pendekatan komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai aspek yang saling terkait dalam suatu wilayah, seperti sosial, ekonomi, lingkungan, fisik, infrastruktur, budaya, dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Berger, C. R., & Batista, P. d. (1993). Communication Failure and Plan Adaptation: If at First You Don't Succeed, Say It Louder and Slower.
Bryson. (2003). Perencanaan Strategis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Davidoff, P. (1996). Advocacy and Pluralism in Planning. Journal of the American.
Junaedi, A. (2012). Proses Perencanaan Wilayah dan Kota. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Lindblom, C. (1959). The Science of Muddling Through.
Mahi, A. K., & Trigunarso, S. I. (2017). Perencanaan Pembangunan Daerah: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Kencana.
Paramita, M. (2016). Strategi Membangun Kota. Carita.
Rizani, M. D. (2019). Pengelolaan Sanitasi Wilayah Perkotaan Dengan Pendekatan Teknokratik dan Partisipatif. Media Sahabat Cendekia.
Wikantiyoso, R. (2007). Paradigma Perencanaan dan Perancangan Kota. Malang:
Group Konservasi Arsitektur & Kota.