BAB II
PERENCANAAN PERKERASAN BETON
2.1 Dasar-dasar Perencanaan
Dalam perencanaan perkerasan beton semen, tebal pelat beton dihitung agar supaya mampu memikul tegangan yang ditimbulkan oleh :
Beban roda kendaraan.
Perubahan suhu dan kadar air.
Perubahan volume pada lapisan dibawahnya.
Untuk mengatasi repetisi pembebanan lalu-lintas sesuai dengan konfigurasi dan beban sumbunya, dalam perencanaan tebal pelat diterapkan prinsip kelelahan (fatigue) dari pelat beton dan erosi pada lapisan dibawah pelat.
Perencanaan tebal perkerasan beton yang diuraikan dalam pedoman ini, didasarkan pada:
Kekuatan tanah dasar yang dinyatakan oleh Modulus Reaksi Tanah Dasar (k).
Tebal dan jenis lapis pondasi bawah yang diperlukan untuk melayani lalu- lintas pelaksanaan, mengendalikan pemompaan (pumping) dan perubahan volume tanah dasar, serta untuk mendapatkan keseragaman daya dukung dibawah pelat.
Kekuatan beton yang dinyatakan oleh kuat tarik lenturnya (MR).
Tipe bahu jalan, apakah berupa pelat beton yang bersatu dengan perkerasan atau tidak.
Beban lalu-lintas yang dinyatakan oleh beban sumbu dan tipenya.
2.2 Standar Geometrik
Sebagai acuan untuk perencanaan geometrik jalan dapat digunakan pedoman teknik yang berupa Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Perkotaan No.
031/T/BM/1999.
Untuk kelancaran drainase permukaan, lajur lalu-lintas pada alinemen jalan yang lurus memerlukan kemiringan 2% - 3%. Untuk lajur jalan di tikungan, kemiringan melintang ditetapkan sesuai kebutuhan superelevasi.
Untuk jalan utama, kemiringan saluran samping minimum 0,50% (1: 200) dan untuk jalan lainnya minimum 0,40% (1:250).
Lebar lajur parkir antara 2,10 m dan 2,40 m. Lebar lajur 2,10 m digunakan jika jenis kendaraan umumnya kendaraan penumpang dan lebar 2,40 m digunakan jika diperuntukkan pula untuk kendaraan truck. Untuk jalan utama, lebar lajur parkir antara 3,0 m – 3,50 m.
2.2 Tanah Dasar
2.3.1 Keseragaman tanah dasar
Parameter yang paling umum digunakan untuk menyatakan daya dukung tanah dasar pada perkerasan beton semen adalah Modulus Reaksi Tanah Dasar (k). Modulus reaksi tanah dasar ditetapkan di lapangan dengan pengujian “plate bearing”. Dalam keadaan tertentu, nilai k dapat juga ditentukan berdasarkan nilai CBR.
Walaupun sebagian besar beban pada perkerasan beton semen dipikul oleh pelat beton, namun keawetan dan kekuatan pelat tersebut sangat dipengaruhi oleh sifat dan daya dukung dan keseragaman tanah dasar.
2.3.2 Tanah dasar dengan kondisi khusus
Persoalan khusus yang menyangkut tanah dasar adalah sebagai berikut :
Sifat kembang susut akibat perubahan kadar air.
Rembesan dan pamping pada sambungan, retakan dan tepi pelat sebagai akibat pembebanan lalu-lintas.
Daya dukung yang tidak merata pada daerah dengan jenis tanah yang berbeda sifatnya, atau akibat pelaksanaan.
Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu lintas.
Adanya larutan garam yang merembes ke atas dan menyebabkan disintegrasi dari lapis pondasi yang distabilisasi semen serta mengurangi kepadatan pada lapis pondasi yang tidak distabilisasi.
Hilangnya daya dukung karena adanya lubang dan lereng yang tidak stabil.
2.3.3 Pencapaian keseragaman tanah dasar
Untuk mendapatkan keseragaman daya dukung tanah dasar, tanah dasar perlu dipersiapkan secara baik, antara lain dengan memadatkan, membentuk, serta melengkapinya dengan fasilitas drainase.
Pada bagian pengisian kembali harus diupayakan untuk memulihkan keseragaman daya dukungnya.
Penggantian material yang dilakukan lapis demi lapis pada kadar air optimum dengan tebal maksimum 15 cm.
Material yang tidak baik sampai kedalaman 45 cm di bawah elevasi harus dibuang.
2.4 Lapis Pondasi 2.4.1 Fungsi
Pada perkerasan beton semen lapis pondasi berfungsi sebagai berikut :
Mengendalikan pengaruh kembang susut tanah dasar.
Mencegah rembesan dan pamping pada sambungan, retakan dan tepi pelat.
Memberikan dukungan yang mantap dan seragam pada pelat.
Sebagai lantai kerja selama pelaksanaan.
2.4.2 Lapisan pondasi untuk mencegah pamping
Persyaratan material berbutir untuk mencegah pamping (AASHTO M 155) adalah sebagai berikut :
Ukuran butir maksimum tidak lebih dari 1/3 tebal lapis pondasi.
Material lolos saringan 0,075 mm maksimum 15%.
Plasticity Index (PI) maksimum 6%
Liquid Limit (LL) maksimum 25%.
Memungkinkan memberikan pilihan material dengan prosentase lolos saringan 0,075 mm yang lebih dari 15% atau PI lebih besar dari 6% atau LL lebih besar dari 25% dapat digunakan apabila dilakukan dengan metoda stabilisasi.
2.4.3 Bahan pondasi agregat
2.4.3.1 Material berbutir tanpa pengikat
Material berbutir tanpa pengikat hendaknya memenuhi persyaratan tertentu sesuai SNI-03-6388-2000 dan AASHTO M155. Kelas lapis pondasi agregat dibagi dua yaitu kelas A dan kelas B. Umumnya lapis pondasi agregat kelas B ialah mutu untuk lapis pondasi bawah di atas tanah dasar, dan lapis pondasi gregat kelas A umumnya mutu lapis pondasi diatas lapis pondasi bawah. Sebelum pekerjaan dimulai agar gradasi tertentu yang memenuhi spesifikasi dipilih terlebih dahulu dengan penyimpangan yang diijinkan antara 3% - 5%
2.4.3.2 Pondasi berbutir tanpa pengikat bergradasi terbuka
Lapis pondasi tanpa pengikat bergradasi terbuka tidak dapat digunakan diatas tanah ekspansif. Drainase melintang bahu jalan agar dibuat menerus melewati bahu jalan hingga ke saluran tepi. Bila jalan datar atau saluran relatif dangkal dapat dipasang pipa-pipa drainase bawah (underdrain) yang ditempatkan dibawah atau di kedua ujung tepi jalan beton. Bila pipa-pipa tersebut ditempatkan di kedua ujung tepi perkerasan beton semen, maka lapis pondasi harus dipasang lebih lebar minimum 30 cm sepanjang perkerasan tersebut.
Lapisan filter di bawah lapis pondasi hendaknya dipasang apabila lapis pondasi bergradasi terbuka memiliki susunan butir yang memungkinkan masuknya butir-butir tanah menyusup kedalam celah-celah material lapis pondasi. Kriteria material untuk lapisan filter adalah sebagai berikut :
D15 (filter) D15 (filter)
(a) ---< 5 (b) 4< --- < 20 D85 (tanah) D15 (tanah)
D50 (filter)
(c) --- < 25 D50 (tanah)
Dimana : D15, D50, dan D85 adalah ukuran partikel dari kurva gradasi masing-masing pada 15%, 50% dan 85% yang lolos saringan dalam berat.
2.4.3.3 Pondasi tanpa pengikat bergradasi rapat
Lapis pondasi tanpa pengikat bergradasi rapat (dense graded) bila dipadatkan dengan sempurna memiliki permeabilitas yang rendah sehingga lapis pondasi perlu diperlebar cukup sampai 30 cm diluar tepi jalan beton. Lapis pondasi dengan lebar penuh berguna untuk mengisolasi tanah yang sangat ekspansif.
Ketebalan minimum lapis pondasi untuk mencegah pamping antara 10 cm – 15 cm. Agar dapat mendukung beban lalu-lintas berat, kepadatan yang disyaratkan tidak boleh kurang dari 100 %, kepadatan menurut SNI 03-1743-1989.
2.4.4 Lapis pondasi dengan stabilisasi semen
2.4.4.1 Keuntungan penggunaan lapis pondasi dengan stabilisasi semen
Keuntungan penggunaan lapis pondasi dengan stabilisasi semen dibanding pondasi berbutir tanpa pengikat adalah :
Apabila material standar sulit didapat, maka material sub-standar dapat digunakan dengan metode stabilisasi.
Bisa digunakan sebagai lantai kerja, terutama di musim hujan.
Tidak terjadi konsolidasi akibat lalu-lintas.
Meningkatkan kemampuan penyaluran beban pada sambungan kontraksi melintang.
Mengurangi pengaruh negatif tanah ekspansif.
2.4.4.2 Material berbutir yang sesuai untuk stabilisasi semen Material berbutir yang sesuai untuk lapis pondasi dengan stabilisasi semen adalah :
Jenis tanah yang termasuk dalam grup A-1, A-2-4, A-2-5 dan A-3 menurut klasifikasi tanah Pd T-03-1998-03.
Material yang lolos saringan 0,075 mm maksimum 35%.
Indeks Plastisitas maksimum 10%.
Material dapat berupa bahan alam maupun buatan.
Lapis pondasi dengan stabilisasi semen harus dipasang 60 cm lebih lebar dari tepi perkerasan beton semen, hal ini dimaksudkan untuk :
Memberikan landasan yang kuat untuk peralatan mekanis pada waktu pelaksanaan.
Mengendalikan pengaruh tanah ekspansif.
Ketebalan lapis pondasi dengan stabilisasi semen umumnya 10 cm – 15 cm dan harus dipadatkan sampai minimum 100 % kepadatan menurut metode SNI 03-1742-1998 atau 97% kepadatan menurut metode SNI 03-1743-1998.
2.5 Beton Semen
2.5.1 Bahan beton semen
Bahan beton semen terdiri dari agregat, semen, air dan bahan tambah jika diperlukan.
2.5.1.1 Agregat
Agregat yang akan digunakan untuk perkerasan beton semen harus sesuai AASHTO M6-87 untuk agregat halus dan AASHTO M80-87 untuk agregat kasar.
Jenis-jenis pengujian pada agregat antara lain : setara pasir, lolos saringan no. 200, kandungan organik, partikel lunak, partikel ringan, berat jenis, penyerapan, berat isi, keausan, soundness, tahan bentur (impact), tahan pecah (crushing), bentuk partikel, tekstur, ukuran maksimum dan gradasi.
Ukuran maksimum nominal agregat kasar harus dibatasi hingga seperempat dari tebal perkerasan beton semen. Ukuran nominal agregat kasar yang didasarkan pada ketebalan perkerasan diperlihatkan pada Tabel. 2.1.
Tabel 2.1 Ukuran nominal agregat kasar terhadap tebal perkerasan
No. Ukuran Agregat Kasar
(mm) Tebal Perkerasan
(cm) 1
2 3
19,0 26,5 37,5
10,0 – 15,0 15,0 – 17,5
> 17,5
Ukuran maksimum nominal agregat kasar harusdikombinasikan dengan ukuran yang lebih kecil sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.
2.5.1.2 Semen
Semen yang digunakan untuk pekerjaan beton umumnya tipe I yang harus sesuai dengan SNI 15-2049-1994. Semen harus dipilih dan sesuai dengan lingkungan dimana perkerasan akan digunakan serta kekuatan awalnya harus cukup untuk pemotongan sambungan.
Jenis pengujian pada semen antara lain : sifat fisik seperti kehalusan, waktu ikat dan kuat tekan mortar.
2.5.1.3 Air
Air harus bersih terbebas dari segala hal yang dapat merugikan dan dapat merusak kekuatan, waktu seting, atau keawetan beton serta kekuatan dan keawetan tulangan. Air harus diuji sesuai dengan metoda AASHTO T26. Jenis pengujian air antara lain : pH, bahan padat, bahan tersuspensi, bahan organik, minyak, Ion Sulfat (Na2SO4) dan Chlor (NaCl).
2.5.1.4 Bahan tambah
Dalam keadaan tertentu campuran beton semen dapat diperbaiki dengan menggunakan bahan tambah kimia, seperti bahan tambah water reducing dan air-entraining. Penggunaannya harus didasarkan pada hasil uji dalam masa 24 jam pertama setelah pengecoran beton. Hal ini dikarenakan bahan tambah tertentu dapat memperlambat setting dan perkembangan kekuatan campuran beton semen, sehingga menunda waktu pemotongan sambungan dan menambah resiko terjadinya retakan acak.
Bahan tambah harus sesuai dengan persyaratan ASTM C 494 untuk water reducing dan SNI 03-2496-1991 untuk air-entraining. Bahan tambah yang mengandung chloride tidak diijinkan penggunaannya.
Kandungan udara yang diperlukan 3% - 5% untuk campuran dengan ukuran nominal agregat kasar 37,5 mm, dan 5% -7% untuk ukuran nominal agregat kasar 19,0 mm atau 26,5 mm.
2.5.2 Konsistensi beton segar
Konsistensi (kelecakan) dapat diukur dengan cara uji sesuai SNI 03- 1972-1990. Nilai kelecakan 70 mm - 120 mm digunakan untuk beton dengan pemadat cara manual, dan 30 mm - 70 mm untuk beton dengan pemadat penggetar.
2.5.3 Sifat-sifat beton semen
Beton semen harus mempunyai kekuatan yang cukup untuk kekerasan, keawetan, kekesatan permukaan dan kuat menampung tegangan tarik sebagai hasil dari penyusutan, lenting (warping) dan pembebanan.
Untuk menjamin persyaratan tersebut maka kuat tarik lentur atau Modulus of Rupture (MR) tidak kurang dari 38 kg/cm2 (3,8 MPa) pada umur 28 hari. Penentuan modulus of rupture dilakukan dengan pengujian Third Point Loading sesuai ASTM C78. Secara umum, kuat tekan karakteristik umur 28 hari sebesar 300 kg/cm2 (30 MPa), akan memenuhi persyaratan kuat lentur.
Peningkatan kuat tekan karakteristik campuran beton diatas 300 kg/cm2 (30 MPa) menghasilkan peningkatan kuat lentur yang tidak terlalu tinggi.
Untuk menjamin keawetan, air semen (w/c ratio) maksimum 0,52 dan kadar semen mimimum 310 kg/m3.
Jika uji kuat tekan beton digunakan untuk mengevaluasi mutu beton, hubungan antara kuat lentur dan kuat tekan dapat ditentukan pada saat desain campuran beton. Hubungan antara kuat tarik lentur dan kuat tekan dapat diperkirakan dengan rumus sebagai berikut:
MR = k fc’ dimana :
MR = nilai kuat lentur dari third point loading (kg/cm2).
k = konstanta, biasanya 0,7 untuk agregat batu koral dan 0,8 untuk agregat batu pecah.
fc’ = nilai kuat tekan (kg/cm2) yang didapat dari silinder berukuran
15 cm. dan tinggi 30 cm.
2.5.4 Perencanaan campuran
Untuk perencanaan campuran beton sesuai dengan SNI 03-2834-1992 atau cara lainnya.
2.6 Bahu Jalan
Bahu jalan harus direncanakan sesuai dengan fungsi jalan dan lapis pondasinya. Bahu jalan harus mampu terhadap kemungkinan jenis kendaraan yang melewatinya.
Untuk perkerasan dengan lalu-lintas ringan, bahu jalan bisa dibuat dari bahan yang kualitasnya sama dengan lapis pondasi kecuali nilai PI minimum 6 dan maksimumnya 10.
Alternatif lain, stabilisasi tanah dengan semen bisa digunakan.
2.7 Drainase
Drainase yang efektif sangat penting untuk mendapatkan kinerja perkerasan yang baik.
Dua hal yang harus dipertimbangkan ialah aliran air permukaan dan di bawah permukaan.
Di lingkungan perkotaan aliran air permukaan bisa dikontrol dengan menggunakann kerb dan sistem aliran yang disalurkan ke sistem jaringan pembuangan. Material setempat yang sangat permeable, seperti pasir atau material berbutir, adalah bahan yang bisa mengalirkan air dengan baik sehingga drainase bawah permukaan yang diperlukan sedikit. Material yang sulit mengalirkan air bisa menyebabkan lapisan perkerasan menjadi jenuh dan kemudian kekuatannya menjadi hilang atau berkurang, sehingga memerlukan aliran bawah permukaan yang cukup dalam. Perhatian khusus harus diberikan pada daerah galian atau daerah dimana permukaan air tanah cukup tinggi.
2.8 Perlengkapan Fasilitas Umum di Sekitar Perkerasan
Jalan perkotaan dan permukiman seringkali mempunyai fasilitas umum di sekitar perkerasan seperti kabel listrik dan pipa air yang mempengaruhi perencanaan proyek. Hendaknya perlengkapan fasilitas umum tersebut diletakan di luar perkerasan agar memudahkan dalam pemeliharaan dan penambahan jaringan, serta mencegah pemotongan perkerasan ataupun terjadinya amblas setelah penimbunan kembali. Keperluan saat ini dan masa mendatang dari fasilitas umum harus dievaluasi untuk mencegah atau mengurangi galian pada perkerasan beton semen.
2.9 Kerb
2.9.1 Kerb yang menyatu dengan perkerasan
Pada kerb yang menyatu dengan perkerasan, sambungan seharusnya terletak pada lokasi yang sama dan mempunyai tipe yang sama seperti sambungan pada perkerasan. Kedalaman sambungan susut (contraction joint) seharusnya paling sedikit sepertiga dari tinggi gabungan kerb dan perkerasan beton.
2.9.2 Kerb yang terpisah dengan perkerasan
Pada kerb yang terpisah, perkerasan beton semen dibangun terlebih dahulu kemudian diikuti dengan pembuatan kerb manual atau kerb pracetak dengan pemasangan manual atau masinal yang diletakan mengikuti perkerasan beton semen.
2.10 Perencanaan Tebal Perkerasan
Perencanaan tebal perkerasan didasarkan pada empat faktor berikut:
1) Kuat tarik lentur beton (Modulus of Rupture) pada umur 28 hari.
2) Kekuatan tanah dasar, atau kombinasi dengan lapis pondasi.
3) Berat, frekwensi dan jenis truk pada lajur rencana.
4) Umur rencana, dalam prosedur PCA diberikan 20 tahun, namun dapat lebih atau kurang.
Proses perencanaan didasarkan pada kategori lalu-lintas yang dinyatakan dalam ADTT (Average Daily Truck Traffic), tipe penyaluran beban, ada dan tidaknya bahu jalan, modulus reaksi tanah dasar dan kuat tarik lentur beton yang diperlihatkan pada Tabel 2.6, 2.7 dan 2.8
Tabel. 2.6, 2.7 dan 2.8 didasarkan pada umur rencana 20 tahun, untuk umur rencana tidak sama dengan 20 tahun, ADTT rencana harus dikalikan dengan umur rencana dibagi 20.
Kategori beban lalu-lintas yang meliputi ADTT dan beban sumbu sebagaimana dapat dilihat pada Tabel. 2.5
2.10.1 Lalu-lintas
Lalu-lintas selama umur rencana merupakan faktor kritis pada perencanaan perkerasan beton semen, oleh karena itu perlu dipertimbangkan antara lain hal-hal sebagai berikut :
Data lalu lintas saat sekarang.
Lokasi proyek.
Kemungkinan pengalihan rute lalu lintas karena pekerjaan.
Kemungkinan pengembangan industri.
Kemungkinan perubahan kegiatan bisnis.
2.10.2 Kekuatan beton semen
Dalam perencanan kuat tarik lentur atau kuat tekan beton semen yang harus digunakan adalah nilai aktual dari hasil pengujian sesuai dengan persyaratan yang tertulis pada Butir 2.5.3
2.10.3 Daya dukung tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi Daya dukung tanah dasar dengan atau tanpa lapis pondasi, dinyatakan dalam modulus reaksi tanah (k). Hal ini didapat dari pengujian plate bearing dengan diameter pelat 76 cm yang dinyatakan dalam kg/cm3 (MPa/m). Karena pengujian “plate bearing” memerlukan waktu yang lama dan biaya mahal, maka “k” dapat diperkirakan dari nilai CBR.
Hubungan nilai CBR dengan k diperlihatkan pada Gambar 2.1 Bilamana lapis pondasi digunakan dalam perencanaan tebal perkerasan, akan terdapat kenaikan nilai k gabungan. Jika lapis
pondasi terdiri dari bahan berbutir atau stabilisasi semen, sebagai pendekatan kenaikan nilai k gabungan diambil dari Tabel 2.2 dan 2.3.
Nilai modulus reaksi untuk beberapa tipe tanah dasar diperlihatkan pada Tabel 2.4
Tabel. 2.2 Pengaruh tebal lapis pondasi berbutir tanpa pengikat terhadap nilai k
k dari Tanah
dasar k gabungan, kg/cm3 (MPa/m)
kg/cm3 (MPa/m) 10 cm 15 cm 25 cm 30 cm 2,0 (20) 2,3 (23) 2,5 (25) 3,2 (32) 3,8 (38) 4,0 (40) 4,5 (45) 4,9 (49) 5,7 (57) 6,6 (66) 6,0 (60) 6,4 (64) 6,6 (66) 7,6 (76) 9,0 (90) 8,0 (80) 8,7 (87) 9,0 (90) 10,0 (100) 11,7 (117)
Tabel. 2.3 Pengaruh tebal lapis pondasi dengan stabilisasi semen terhadap nilai k
k dari
Tanah dasar k gabungan, kg/cm3 (MPa/m) kg/cm3
(MPa/m) 10 cm 15 cm 25 cm 30 cm
2,0 (20) 6,0 (60) 8,0 (80) 10,5 (105) 13,5 (135) 4,0 (40) 10,0 (100) 13,0 (130) 18,5 (185) 23,0 (230) 6,0 (60) 14,0 (140) 19,0 (190) 24,5 (245) -
Tabel 2.4 Nilai k untuk beberapa tipe tanah dasar
Tipe tanah dasar Kekuatan Nilai k (MPa/m) Tanah berbutir halus sebagian besar
terdiri dari partikel tanah liat dan silt Rendah 20 – 30 Pasir atau campuran pasir kerikil yang
mengandung tanah liat atau silt Sedang 35 – 40 Pasir atau campuran pasir dan kerikil
yang sedikit sekali mengandung butiran
tanah liat halus Tinggi 50 – 60
Cement Treated Base Sangat
Tinggi 70 - 110
2.10.4 Penggunaan kerb
Untuk jalan dengan pemasangan kerb yang menyatu dengan perkerasan, mempunyai keuntungan sebagai berikut :
Menambah kemampuan struktur perkerasan.
Menambah faktor keselamatan.
Lebih praktis dan ekonomis untuk jalan di perkotaan dan lingkungan permukiman.
2.10.5 Prosedur perencanaan tebal lapis perkerasan Langkah-langkah perencanaan adalah sebagai berikut:
1) Perkirakan ADTT (Average Daily Truck Traffic), 2 arah, tidak termasuk truk dua gandar empat roda.
2) Pilih katagori beban gandar (1 atau 2) dari Tabel 2.5.
3) Peroleh tebal pelat yang dibutuhkan dari Tabel 2.6, 2.7 , dan atau 2.8.
Untuk menyederhanakan prosedur perencanaan, dapat digunakan pedoman berikut:
Tabel 2.6, 2.7 dan 2.8 menyusun ADTT untuk umur rencana 20 tahun. Untuk umur rencana lainnya ADTT harus dikalikan dengan suatu nilai tertentu sehingga memperoleh suatu nilai yang di kehendaki. Sebagai contoh, bila dibutuhkan umur rencana 30 tahun, dari umur rencana 20 tahun diestimasikan nilai ADTT dikalikan dengan 30/20.
Gambar 2.1 Hubungan klasifikasi tanah dengan daya dukung (Cement & Concrete Institute)
Contoh :
Perencanaan tebal perkerasan untuk daerah permukiman :
Jalan permukiman, 2 lajur, ADT = 500, ADTT = 5, tanah dasar lempung, tanpa lapis pondasi, daya dukung tanah dasar (k) adalah rendah, kuat tarik lentur (MR) beton = 41 kg/cm2 (4,1 MPa), sambungan tanpa ruji (dowel), kerb menyatu dengan perkerasan.
Penyelesaian :
Dengan ADTT = 5, pada Tabel 2.5. termasuk kategori beban sumbu 1.
Karena termasuk kategori 1 dan tanpa ruji (dowel), maka gunakan Tabel 2.6.
Dari Tabel 2.6, dengan daya dukung tanah dasar rendah dan MR = 41 kg/cm2 (4,1 MPa) didapat :
Tebal pelat (cm) ADTT
12 13
0,8 9,0
Oleh karena itu tebal pelat dipilih 13 cm untuk ADTT = 5.
Tabel 2.5 Kategori beban sumbu
Kategori Beban Sumbu
Lalu-lintas Beban Sumbu
Maksimum (ton) ADT
ADTT
% Per Hari Sumbu
Tunggal Sumbu Tandem
1 200-800 1-3 25 9,8 16,0
2 700-5000 5-18 40-1000 11,5 19,5
Tabel 2.6 ADTT yang diijinkan untuk beban sumbu gandar katagori 1 sambungan tanpa ruji (undoweled)
Tanpa bahu atau kerb Dengan bahu atau kerb Tebal
pelat (cm)
Daya dukung tanah dasar –
lapis pondasi, kg/cm3 (MPa/m) Tebal pelat
(cm)
Daya dukung tanah dasar – lapis pondasi, kg/cm3 (MPa/m) Rendah
2,0 – 3,4 (20 – 34)
Sedang 3,5 - 4,9 (35 - 49)
Tinggi, 5,0 - 6,0 (50 - 60)
Rendah 2,0 - 3,4 (20 – 34)
Sedang 3,5 - 4,9 (35 - 49)
Tinggi, 5,0 - 6,0 (50 - 60) MR = 44 kg/cm2 (4,4 MPa)
12 13 14 15 16 17
0,2 2 18 110 500
0,1 1 11 77 407
0,3 4 33 210
10 11 12 13 14
0,3 4 38 240
0,1 2 21 160
0,4 6 60 410
MR = 41 kg/cm2 (4,1 MPa) 13
14 15 16 17 18
0,4 4 27 140 600
0,2 2 19 110 530
0,7 8 54 290
11 12 13 14 15
0,8 9 65 360
0,3 5 41 260
1 15 110 650
MR = 38 kg/cm2 (3,8 MPa) 14
15 16 17 18
0,1 0,7 5 32 150
0,4 4 26 130 570
1 12 72 350
11 12 13 14 15 16
0,1 2 14 90 430
0,8 9 63 340
0,2 3 26 170
Tabel 2.7 ADTT yang diijinkan untuk beban sumbu gandar kategori 2 sambungan dengan ruji (doweled)
Tanpa bahu atau kerb Dengan bahu atau kerb Tebal
pelat (cm)
Daya dukung tanah dasar – lapis
pondasi, kg/cm3 (MPa/m) Tebal pelat (cm)
Daya dukung tanah dasar – lapis pondasi, kg/cm3 (MPa/m)
Rendah 2,0 - 3,4 (20 - 34)
Sedang 3,5 - 4,9 (35 - 49)
Tinggi, 5,0 - 6,0 (50 - 60)
Sangat Tinggi 7+
(70 +)
Rendah 2,0 - 3,4 (20 - 34)
Sedang 3,5 - 4,9 (35 - 49)
Tinggi, 5,0 - 6,0 (50 - 60)
Sangat Tinggi 7+
(70 +)
MR = 44 kg/cm2 (4,4 MPa) 14
15 16 17 18 19 20 21
2 15 77 330 1200 4100
12 68 320 1300 4500
5 35 190 820 3200
3 26 150 740 3100
12 13 14 15 16 17 18
6 44 240 1000 4100
4 30 180 890 3700
12 86 470 2200
6 53 330 1700
MR = 41 kg/cm2 (4,1 MPa) 15
16 17 18 19 20 21 22
3 18 85 330 1200 3700
2 16 82 350 1300 4400
8 47 220 900 3300
5 38 200 870 3300
13 14 15 16 17 18 19
10 60 290 1200 4200
7 46 240 1100 4100
20 130 620 2600
12 87 470 2100
MR = 38 kg/cm2 (3,8 MPa) 16
17 18 19 20 21 22 23
3 18 78 290 940 2900
3 17 82 320 1100 3600
9 51 220 840 2900
8 46 220 870 3100
14 15 16 17 18 19 20
12 67 290 1100 3700
9 56 270 1100 3900
4 28 150 670 2600
18 110 550 2300
Tabel 2.8 ADTT yang diijinkan beban gandar kategori 2 sambungan tanpa ruji (undoweled)
Tanpa bahu atau kerb Dengan bahu atau kerb Tebal
pelat (cm)
Daya dukung tanah dasar – lapis
pondasi, kg/cm3 (MPa/m) Tebal pelat (cm)
Daya dukung tanah dasar – lapis pondasi, kg/cm3 (MPa/m)
Rendah 2,0 - 3,4 (20 - 34)
Sedang 3,5 - 4,9 (35 - 49)
Tinggi, 5,0 - 6,0 (50 - 60)
Sangat Tinggi 7+
(70 +)
Rendah 2,0 - 3,4 (20 - 34)
Sedang 3,5 - 4,9 (35 - 49)
Tinggi, 5,0 - 6,0 (50 - 60)
Sangat Tinggi 7+
(70 +)
MR = 44 kg/cm2 (4,4 MPa) 14
15 16 17 18 19 20 21 22 23
2 15 77 330 1200 1600 2100 2900
12 68 320 1200 1700 2300 3200
5 190 820 1500 1700 2100 3100
5 26 150 740 1300 2000 3000
12 13 14 15 16 17 18 19 20
6 44 240 800 1200 1900 2900
4 30 180 800 1300 2100 3500
12 86 470 1100 1800 3100
6 53 840 1500 2800
MR = 41 kg/cm2 (4,1 MPa) 15
16 17 18 19 20 21 22 23
3 18 85 330 1200 2100 2900
2 16 82 350 1300 2300 3200
8 47 220 900 2100 3100
5 38 200 870 2000 3000
13 14 15 16 17 18 19 20
10 60 290 1200 1900 2900
7 46 240 1100 2100 3500
2 20 130 620 1800 3100
12 87 470 1500 2800
MR = 38 kg/cm2 (3,8 MPa) 16
17 18 19 20 21 22 23
3 18 78 290 940 2900
3 17 82 320 1100 3200
9 51 220 840 2900
8 46 220 870 3000
14 15 16 17 18 19 20
12 67 290 1100 2900
9 56 270 1100 3500
4 28 150 670 2600
18 110 550 2300
2.11 Perencanaan Sambungan
Sambungan pada perkerasan beton semen ditujukan untuk :
Membatasi tegangan dan pengendalian retak yang disebabkan oleh penyusutan, pengaruh lenting serta beban lalu-lintas.
Memudahkan pelaksanaan.
Mengakomodasi gerakan pelat.
Sambungan pada perkerasan beton semen harus mampu menyalurkan beban untuk menjamin kinerja perkerasan.
Pada perkerasan beton semen ada empat tipe sambungan yaitu :
Sambungan memanjang.
Sambungan susut melintang.
Sambungan pelaksanaan melintang.
Sambungan isolasi.
2.11.1 Sambungan memanjang
Pemasangan sambungan memanjang ditujukan untuk mengendalikan terjadinya retak memanjang. Pada perkerasan dua lajur dan perkerasan multi lajur, pemasangan sambungan memanjang dengan jarak sekitar 3 m - 4 m disamping ditujukan untuk mengendalikan retak juga untuk memberikan batasan lajur. Pada jalan arteri, sambungan memanjang harus diberi jarak untuk lajur lalu-lintas dan lajur parkir. Jarak sambungan memanjang tidak boleh lebih dari 4 meter.
Gambar 2.2 memperlihatkan dua jenis sambungan memanjang berdasarkan lajur yang dikerjakan. Sambungan pelaksanaan memanjang yang diperlihatkan pada bagian atas digunakan saat pelaksanaan pelapisan per lajur perkerasan dan pada bagian bawah memperlihatkan jenis sambungan pelaksanaan memanjang yang dilaksanakan saat dua lajur atau lebih dilaksanakan secara bersamaan.
Sambungan ini tergantung pada tulangan pengikat agar kapasitas dan daya layan struktur tetap terjaga.
Pada perkerasan beton semen yang berbatasan langsung dengan kerb dan ditahan oleh timbunan di belakangnya tidak memerlukan pemasangan batang pengikat. Akan tetapi pada perkerasan beton semen yang tidak ditahan dari pergerakan lateral memerlukan pemasangan batang pengikat yang dipasang pada bagian tengah tebal pelat.
Ukuran batang pengikat dihitung dengan persamaan sebagai berikut : At = 204 x b x d
dan
L = (38,3 x) + 75 dimana:
At = Luas penampang besi per meter panjang sambungan (mm2).
b = Jarak terkecil antar sambungan atau jarak sambungan dengan tepi perkerasan (m).
d = Tebal perkerasan (m).
L = Panjang batang pengikat (mm).
= Diameter tie bar yang dipilih (mm).
Jarak batang pengikat yang digunakan adalah 60 cm atau 75 cm.
Untuk perkerasan dengan lebar lebih dari 15 meter, sambungan tanpa batang pengikat harus digunakan.
Sambungan dibuat saat pelaksanaan
Tulangan pengikat berulir
Tulangan pengikat berulir
Pengecoran selebar jalur
Gambar 2.2 Sambungan memanjang 2.11.1.1 Sambungan pelaksanaan memanjang
Sambungan pelaksanaan memanjang umumnya dilakukan dengan cara penguncian. Bentuk dan ukuran penguncian dapat berbentuk trapesium atau setengah lingkaran sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.3.
Pada saat pelaksanaan, kedua ujung dari sambungan harus dibentuk berupa lengkungan dengan jari-jari 3 mm, guna mencegah terjadinya gompal (spalling).
0,2 d Kemiringan 1:4
0,1 d
0,2 d
Trapezoidal Setengah lingkaran
Gambar 2.3 Ukuran standar penguncian sambungan memanjang Sebelum penghamparan pelat di sebelahnya, permukaan sambungan pelaksanaan harus dicat dengan aspal atau kapur tembok untuk mencegah terjadinya ikatan beton lama dengan yang baru.
2.11.1.2 Sambungan susut memanjang
Sambungan susut memanjang dapat dilakukan dengan salah satu dari dua cara ini, yaitu menggergaji atau membentuk pada saat beton masih plastis dengan kedalaman sepertiga dan seperempat dari tebal pelat untuk lapis pondasi stabilisasi semen dan lapis pondasi agregat.
2.11.2 Sambungan susut dan sambungan pelaksanaan melintang
Ujung sambungan ini tegak lurus terhadap sumbu memanjang jalan dan tepi perkerasaan. Untuk mengurangi beban dinamis, sambungan melintang harus dipasang dengan kemiringan 1 : 10 searah jarum jam.
Tapi hal ini menyebabkan pola sambungan yang rumit terutama diperkotaan.
d / 4
d
S a m b u n g a n y a n g d ib u a t d e n g a n m e n g g e r g a ji a t a u d ib e n t u k s a a t p e n g g e r g a jia n
Gambar 2.4 Sambungan susut melintang tanpa ruji
d / 4
d 1 8 0
2 5
1 8 0
S a m b u n g a n y a n g d ib u a t d e n g a n m e n g g e r g a ji a t a u d ib e n t u k s a a t p e n g g e r g a jia n
S e la p u t p e m is a h a n t a r a d o w e l d a n b e t o n
T u la n g a n p o lo s 1 8 p a n ja n g 3 6 0 c m
Gambar 2.5 Sambungan susut melintang dengan ruji 2.11.2.1 Sambungan susut melintang
Sambungan susut melintang sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.4 dan 2.5 dapat dibuat dengan cara menggergaji sesegera mungkin sebelum terjadi retak susut atau dengan menyisipkan lempengan plastik yang sudah terbentuk ke dalam beton yang masih plastis.
Pemilihan metoda yang akan digunakan didasarkan pada beberapa faktor, yaitu cuaca selama pelaksanaan, karakteristik dari agregat, pertimbangan ekonomi pada pelaksanaan dan hasil yang dicapai.
Kedalaman sambungan kurang lebih mencapai seperempat dari tebal perkerasan atau sepertiga dari tebal perkerasan untuk perkerasan dengan lapis pondasi stabilisasi semen sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.4 dan 2.5.
Jarak sambungan susut melintang antara 4,5 m – 5,0 m.
2.11.2.2 Sambungan pelaksanaan melintang
Sambungan pelaksanaan melintang sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 2.6 dan 2.7 menunjukkan pada saat pelaksanaan perkerasan dihentikan sementara, akibat gangguan yang mendadak lebih dari 30 menit atau pada akhir pelaksanaan harian.
Dalam hal pengecoran sambungan pelaksanaan melintang yang tidak direncanakan, sambungan harus berada pada sepertiga interval sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.7 dan 2.8.
Sambungan pelaksanaan tersebut di atas harus dilengkapi dengan batang pengikat berdiameter 16 mm, panjang 69 cm dan jarak 60 cm, untuk ketebalan pelat sampai 17 cm. Untuk ketebalan lebih dari 17 cm, ukuran batang pengikat berdiameter 20 mm, panjang 84 cm dan jarak 60 cm.
Pemasangan ruji harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak berkurangnya fungsi sambungan. Ukuran dan jarak ruji yang disarankan diperlihatkan pada Tabel. 2.9.
37003700
T u la n g a n p o lo s
D ir e n c a n a k a n
T u la n g a n p e n g ik a t b e r u lir
D a r u r a t
Gambar 2.6 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak direncanakan untuk pengecoran per lajur
37003700
Tulangan polos
Direncanakan
Tulangan pengikat berulir
Darurat
Gambar 2.7 Sambungan pelaksanaan yang direncanakan dan yang tidak direncanakan untuk pengecoran seluruh lebar perkerasan Tabel 2.9 Ukuran dan jarak ruji
Tebal pelat
(cm) Diameter ruji
(mm) Panjang total ruji (cm)
15,0 20 36
16,5 22 36
18,0 25 40
19,0 28 40
20,0 32 43
Catatan:
- Jarak antar ruji adalah 30 cm dari sumbu ke sumbu.
- Ruji tertanam pada setengah panjang ruji.
2.11.3 Sambungan isolasi
Sambungan isolasi memisahkan perkerasan dengan bangunan yang lain, misalnya manhole, jembatan, tiang listrik, jalan lama, persimpangan dan lain sebagainya. Contoh persimpangan yang membutuhkan sambungan isolasi diperlihatkan pada Gambar 2.8.
Sambungan isolasi harus dilengkapi dengan bahan penutup (joint sealer) setebal 5 mm – 7 mm dan sisanya diisi dengan bahan pengisi (joint filler) sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.9.
Sambungan isolasi yang digunakan pada bangunan lain, seperti jembatan perlu pemasangan ruji sebagai transfer beban. Pada ujung ruji harus dipasang pelindung muai agar ruji dapat bergerak dengan bebas. Pelindung muai harus cukup panjang sehingga menutup ruji 50 mm dan masih mempunyai ruang bebas yang cukup dengan panjang minimum lebar sambungan isolasi ditambah 6 mm seperti diperlihatkan pada Gambar 2.9a. Ukuran ruji dapat dilihat pada Tabel 2.9.
Sambungan isolasi pada persimpangan dan ram tidak diberi ruji tetapi dilaksanakan dengan cara menebalkan tepi untuk mereduksi tegangan.
Masing-masing tepi sambungan ditebalkan 20% dari tebal perkerasan sepanjang 1,5 meter seperti diperlihatkan pada Gambar 2.9b.
Sambungan isolasi yang digunakan pada lubang masuk ke saluran, manhole, tiang listrik dan bangunan lain yang tidak memerlukan penebalan tepi dan ruji, ditempatkan di sekeliling bangunan tersebut sebagai mana diperlihatkan pada Gambar 2.9c, 2.10, dan 2.11.
Sambungan isolasi yang diperlukan di belakang tulangan
Tegak lurus
Tegak lurus/Apron Jalan Terpisah
Menyudut
Menyudut/Menyudut Tegak lurus-Menyudut
Gambar 2.8 Contoh persimpangan yang membutuhkan sambungan isolasi
50 20 d/2
Bahan pengisi
Bahan
penutup Pelindung muai
Ruji polos jarak 30 cm sumbu ke sumbu
Dilapisi pelumas 12 mm
a) SAMBUNGAN ISOLASI DENGAN RUJI
b) SAMBUNGAN ISOLASI DENGAN PERUBAHAN TEPI
Jari-jari 3 mm 1,2 d
d
1500 12 mm
12 mm Bahan pengisi
Bahan penutup
d
Bangunan saluran, manhole bangunan fasilitas umum, pekarangan dll
c) SAMBUNGAN ISOLASI TANPA RUJI
Gambar 2.9 Sambungan isolasi
Sambungan
melintang Sambungan
memanjang
Sambungan isolasi lebar 12 mm
Sambungan melintang
Sambungan memanjang Sambungan
isolasi lebar 12 mm minimum 30 cm
Gambar 2.10 Tampak atas penempatan sambungan isolasi pada manhole
Kerb yang menyatu
min 30 cm
min 30 cm Sambungan isolasi lebar 12 mm
> 100 cm ke sambungan terdekat lubang saluran
> 100 cm ke sambungan terdekat lubang saluran Sambungan
melintang Kerb yang menyatu
> 100 cm ke sambungan terdekat lubang saluran min 30 cm
Sambungan melintang
Kerb yang menyatu
Sambungan isolasi lebar 12 mm
Gambar 2.11 Tampak atas penempatan sambungan isolasi pada lubang masuk saluran
2.11.4 Pola sambungan
Perencanaan pola sambungan pada perkerasan beton semen harus mengikuti batasan-batasan sebagai berikut :
Hindari bentuk panel yang tidak teratur.
Jarak maksimum sambungan memanjang 4,0 meter.
Jarak maksimum sambungan melintang 25 kali tebal perkerasan, maksimum 5,0 meter.
Usahakan bentuk panel sepersegi mungkin. Perbandingan maksimum panjang panel terhadap lebar adalah 1,25 kali
Semua sambungan susut harus menerus sampai kerb dan mempunyai kedalaman seperempat untuk lapis pondasi agregat atau sepertiga tebal perkerasan untuk lapis pondasi agregat dan lapis stabilisasi semen dari tebal perkerasan.
Antara sambungan harus bertemu pada satu titik untuk menghindari terjadinya retak refleksi pada lajur yang bersebelahan.
Sudut antar sambungan yang lebih kecil dari 60 derajat harus dihindari dengan mengatur 0,5 m panjang terakhir dibuat tegak lurus terhadap tepi perkerasan.
Apabila sambungan berada dalam area 1,5 meter dengan manhole atau bangunan yang lain, jarak sambungan harus diatur sedemikian rupa sehingga antara sambungan dengan manhole atau bangunan yang lain tersebut membentuk sudut tegak lurus. Hal tersebut berlaku untuk bangunan yang berbentuk bundar, untuk bangunan yang berbentuk segi empat sambungan harus berada pada sudutnya atau di antara dua sudut.
Semua bangunan lain seperti manhole harus dipisahkan dari perkerasan dengan sambungan muai 12 mm meliputi keseluruhan tebal pelat.
Perkerasan yang berdekatan dengan bangunan lain atau manhole harus ditebalkan 20% dari ketebalan normal dan berangsur-angsur berkurang sampai ketebalan normal sepanjang 1,5 meter seperti diperlihatkan pada Gambar 2.9.
Panel yang tidak persegi empat dan yang mengelilingi manhole harus diberi tulangan berbentuk anyaman 0,15% terhadap penampang beton semen dan dipasang 5 cm di bawah permukaan atas. Tulangan harus dihentikan 7,5 cm dari sambungan.
Tipikal pola sambungan diperlihatkan pada Gambar 2.12, 2.13 dan 2.14.
S a m b u n g a n is o la s i y a n g b e r b a t a s a n d e n g a n b a n g u n a n la in s e le b a r 1 2 m m
7 5 0 0 d
2%
melintang Kemiringan
d +750 s/d 150
S a m b u n g a n t ip e C u n t u k s e lu r u h le b a r p e r k e r a s a n
S a m b u n g a n t ip e B u n t u k p e n g e c o r a n s e t e n g a h le b a r p e r k e r a s a n
7 8 0 0 - 1 4 4 0 0 d
d +750 s/d 150
2 1 0 0 - 3 6 0 0 2 1 0 0 - 3 6 0 0 2 1 0 0 - 3 6 0 0 2 1 0 0 - 3 6 0 0
S a m b u n g a n t ip e C S a m b u n g a n t ip e B
a t a u t ip e C S a m b u n g a n t ip e C
4 8 0 0 - 6 0 0 0
d S a m b u n g a n t ip e C
Gambar 2.12 Potongan melintang perkerasan dan lokasi sambungan
2.11.5 Penutup sambungan
Penutup sambungan dimaksudkan untuk mencegah masuknya air dan atau benda lain ke dalam sambungan perkerasan. Benda-benda lain yang masuk ke dalam sambungan dapat menyebabkan kerusakan berupa gompal dan atau pelat beton yang saling menekan ke atas (blow up).
E B a t a u C D
A k h ir d a r i k e r ja h a r ia n
B A
D
M a s u k k a n b a h a n p e n g is i k e d a la m s a m b u n g a n m in im u m s e t e b a l 1 2 m m , d ib a g ia n a t a s k e r b h a n y a b a g ia n c e k u n g
D B atau C
7500
00 78 14 -
0 40 A B
A B
A w a l p e n g e c o r a n la ju r
A B
4800 - 6000
B a t a u C
F
B ila d ip e r lu k a n
B B D
J a r a k N o r m a l
J a r a k N o r m a l
7 8 0 0 - 1 4 4 0 0
Gambar 2.13 Detail Potongan melintang sambungan perkerasan
D B, C atau D
D 450
7500
7500
D B atau D C
E B atau
C A
B atau C
Arah Penghamparan Setengah lebar jalan
Gambar 2.14 Rencana lokasi sambungan untuk cul de sac atau lingkaran Keterangan Gambar 2.12, 2.13 dan 2.14
A = Sambungan isolasi.
B = Sambungan pelaksanaan memanjang.
C = Sambungan susut memanjang.
D = Sambungan susut melintang.
E = Sambungan susut melintang yang direncanakan.
F = Sambungan pelaksanaan melintang yang tidak direncanakan.
2.12 Kemiringan Arah Memanjang Yang Curam
Untuk jalan dengan kemiringan memanjang yang lebih besar dari 3%, perencanaan serta prosedur yang mengacu pada Butir 2.10 dan 2.11, namun harus ditambah dengan angker panel (panel anchor) dan angker blok (block anchor). Jalan dengan kondisi ini harus dilengkapi dengan angker yang melintang untuk keseluruhan lebar pelat sebagaimana diuraikan pada Tabel 2.10 dan diperlihatkan pada Gambar 2.15 dan 2.16.
Panel yang dicor terlebih dahulu
T
T
3 T Sambungan
pengunci Arah tanjakan
Gambar 2.15 Angker panel
600
1500
Gambar 2.16 Angker blok
Tabel 2.10 Penggunaan angker panel dan angker blok pada jalan dengan kemiringan memanjang yang curam
Kemiringan (%) Angker panel Angker blok 3 – 6 Setiap panel ketiga Pada bagian awal kemiringan 6 – 10 Setiap panel ke dua Pada bagian awal kemiringan
> 10 Setiap panel Pada bagian awal kemiringan dan pada setiap interval 30 meter berikutnya
Panjang panel adalah jarak antara sambungan melintang
2.13 Pemberhentian Bus (Bus Bay)
Pemberhentian bus adalah lajur yang terletak di luar jalur lalu-lintas yang dimaksudkan guna memberikan kesempatan untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, tanpa mengganggu arus lalu-lintas lainnya.
2.13.1 Lokasi penempatan pemberhentian bus
Bila diperlukan tempat pemberhentian bus dekat persimpangan pada jalan dua lajur dua arah, harus ditempatkan setelah persimpangan.
Pada jalan satu arah dengan dua lajur atau lebih, pemberhentian bus harus disediakan apabila volume dan kecepatan lalu-lintas cukup tinggi. Bila pemberhentian bus dekat persimpangan, maka penempatannya harus setelah persimpangan. Pada jalan bebas hambatan pemberhentian bus boleh ditempatkan pada ram atau di luar ram.
2.13.2 Perencanaan geometrik
Tipikal pemberhentian bus diperlihatkan pada Gambar 2.17, 2.18 dan 2.19. Perencanaan ini memungkinkan bus bergerak lambat dari jalur lalu-lintas dan parkir di daerah sejajar jalur lalu-lintas dengan tidak menghalangi laju kendaraan lainnya.
C a t a t a n :
1 . R S a t a u R 'S a d a la h s a m b u n g a n p e la k s a n a a n p e n g u n c i y a n g d i i k a t d e n g a n t u la n g a n u l ir 1 2 m m
2 . B e t o n p a d a A d ip e r k u a t d e n g a n t u la n g a n a n y a m a n
m i n . 3 0 0 m i n . 5 5 0
R R ' S
A 1 A 2 A
D E T I L P A D A X
1 8 m 1 4 m 1 0 m
B a g i a n d ip e r k e r a s
R a m b u p e m b e r h e n t ia n b u s
K e r b P e m b a t a s
3 , 0 - 3 , 5 m
5 5 0 G a r is m a r k a k u n in g
X
A r a h l a l u l in t a s P e r k e r a s a n l a m a
L e k u k a n y a n g b e r f u n g s i s e b a g a i s a lu r a n
Gambar 2.17 Denah pemberhentian bus satu lajur dengan menggunakan saluran cekung dicor di tempat
C a t a t a n :
1 . K e r b p e m b a t a s u ju n g A 1 d im ir in g k a n m e l in t a n g t e r h a d a p k e r b y a n g a d a p a d a A 2
2 . R S a t a u R 'S a d a la h s a m b u n g a n p e la k s a n a a n p e n g u n c i d iik a t d e n g a n t u la n g a n u lir 1 2 m m
3 . B e t o n p a d a A d ip e r k u a t d e n g a n t u la n g a n a n y a m a n 5 0 0 5 5 0
R R '
S A 1
A 2 A
D E T I L P A D A Y K e r b p e m b a t a s
1 8 m 1 4 m 1 0 m
K e r b P e m b a t a s
3 , 0 - 3 , 5 m
5 5 0
Y
A r a h l a lu lin t a s P e r k e r a s a n y a n g
a d a
K e r b b e t o n b a r u c o r d i t e m p a t K e r b y a n g a d a
1 m 1 m
Gambar 2.18 Denah pemberhentian bus satu lajur dengan menggunakan kerb beton dicor di tempat
1 8 m 1 4 m 1 0 m
K e r b P e m b a t a s
3 , 0 - 3 , 5 m
Z
P e r k e r a s a n y a n g a d a
B e t o n c o r d it e m p a t b e r s a m b u n g d e n g a n
p e r k e r a s a n la m a K e r b y a n g a d a
D E T I L P A D A Z A 1
A 2 K e r b p e m b a t a s C a t a t a n :
1 . K e r b p e m b a t a s u j u n g A 1 d im ir i n g k a n m e lin t a n g t e r h a d a p k e r b y a n g a d a p a d a A 2
Gambar 2.19 Denah pemberhentian bus satu lajur dengan menggunakan beton semen bersambung dengan perkerasan yang ada
Untuk pemberhentian bus dan minibus, lajur pemberhentian bus harus diperpanjang 6 meter. Lebar pemberhentian bus antara 3 m - 3,5 m, diukur dari kerb pemberhentian bus bagian dalam ke tepi luar saluran beton seperti terlihat pada Gambar 2.17, atau ke kerb miring seperti pada Gambar 2.18 atau tepi perkerasan lama seperti diperlihatkan pada Gambar 2.19.
Kemiringan melintang perkerasan dan pemberhentian bus antara 2% - 2,5%, dengan arah yang berlawanan. Bagian di belakang kerb pemberhentian bus harus diperkeras untuk para penumpang yang menunggu.
2.13.3 Tanah dasar
Bahan setempat harus diambil contohnya sampai kedalaman 80 cm dibawah permukaan perkerasan rencana. Bila terdapat material yang jenuh, drainase bawah permukaan harus dipasang. Pengujian CBR laboratorium harus dilakukan pada contoh yang diambil dan bila CBR nya lebih kecil dari 15%, material pilihan harus dihampar dan dipadatkan sesuai dengan Tabel 2.11.
Hamparan lapis pondasi dan lapisan di bawahnya harus dihampar dan diperlebar paling sedikit 30 cm di luar tepi kerb pembatas, seperti diperlihatkan pada Gambar 2.19.
Tabel 2.11 Persyaratan tebal dan pemadatan pada lapisan dibawah lapis pondasi
Jenis
Lapisan Item < 3% 3% – 7% 7% - 15% 15%
Ketebalan minimum
Sesuai CBR perbaikan
tanah dasar 2 x15 cm 15 cm
Lapisan di bawah pondasi
Potongan tebal lapisan
Stabilisasi semen
-Tanah pilihan 15 cm -Stabilisasi 15 cm
Material pilihan 15
cm
Pemadatan -Material pilihan -Stabilisasi
-Material pilihan 15 cm ; 100% AASTO. T-99 atau 95% SNI 03-1743-1989 -Stabilisasi 15 cm
100% SNI 03-1743-1989 Tanah
dasar
asli Perbaikan tanah dasar
Kupas lap. tanah dasar asli
Stabilisasi15 cm dan padatkan kembali sampai 90% SNI 03-1743-1989
3,0 - 3,5 m 150
mm
300 mm
A
B Kemiringan 2 - 2,5 %
Kerb Pembatas
Perkerasan beton semen Lapis pondasi
Lapis pilihan Tanah dasar
Perkerasan yang ada
Catatan :
A = Beton landasan B = Beton penahan lateral
Gambar 2.20 Penampang melintang pada pemberhentian bus
2.13.4 Lapis pondasi
Lapisan pondasi harus terdiri dari bahan sesuai Butir 2.4 2.13.5 Perencanaan tebal perkerasan
Bilamana perkerasan beton bersambung dengan perkerasan yang ada, tebal pelat yang berdekatan dengan perkerasan yang ada harus 1,25 kali dari tebal normal perkerasan rencana pemberhentian bus, guna mengantisipasi beban tepi. Untuk memudahkan pelaksanaan disarankan bahwa pelat mempunyai bentuk trapesium seperti diperlihatkan pada Gambar 2.21 (dengan d2 > d1). Bilamana perkerasan yang ada adalah beton semen atau apabila pemberhentian bus dilaksanakan pada saat yang bersamaan dengan perkerasan beton semen, keberadaan ruji akan menghilangkan keperluan penebalan tepi.
Lapis pondasi dan lapisan terpilih harus masing-masing dibuat dengan ketebalan yang tetap.
Acuan tebal rencana untuk perkerasan beton dan lapisan pondasi diberikan sesuai pada Table 2.12.
Tabel 2.12 Perencanaan tebal perkerasan beton dan lapis
pondasi
Beban lalu lintas
SST (E80s) 3 x 10 6
Bus/ hari 400 *
Tebal lapisan Pelat beton Lapis pondasi
d1 = 17,5 cm d2 = 22,0 cm
10 cm Catatan:
1. Lapis pondasi untuk semua beban lalu-lintas dapat menggunakan beton kurus dengan kuat tekan umur 28 hari 100 kg/cm2 – 150 kg/cm2 (10 MPa – 15MPa).
2. Apabila pelat beton di tempatkan di atas tanah dasar dengan CBR minimum 15%, maka tebal d1 dan d2 harus ditambah 25% nya 3. *Jumlah bus yang lewat pada satu arah tidak tergantung pada
banyaknya lajur.
3,0 - 3,5 m
Kemiringan 2 - 2,5 % Kerb
Pembatas
Perkerasan beton semen Lapis pondasi
Lapis pilihan Tanah dasar
Perkerasan yang ada
Catatan :
Untuk ketebalan beton di d1 dan d2 serta ketebalan lapis pondasi lihat Tabel 12 Untuk ketebalan lapis pondasi lihat Tabel 11 -
-
- d1
d2
Gambar 2.21 Potongan melintang meliputi perkerasan bersambung
2.13.6 Kerb dan saluran pada pemberhentian bus
Semua kerb dan gutter yang ada dibongkar dan diganti dengan bangunan saluran cekung yang sesuai dengan tipe kerb tersebut.
Kerb perlu dipasang kembali pada daerah bagian luar pemberhentian bus.
2.13.6.1 Saluran cekung
Bila ada kerb dan gutter, kerb yang ada dihubungkan langsung dengan kerb pemberhentian bus, tetapi gutter harus dibongkar sepanjang pemberhentian bus dan diganti dengan saluran cekung beton yang dicor di tempat dengan lebar 55 cm seperti diperlihatkan pada Gambar 2.22.
300 250
Saluran cekung Perkerasan
pemberhentian bus
Perkerasan yang ada Lidah alur
memanjang pada perkerasan
Sambungan pelaksanaan lidah antar melintang dengan jarak setiap 2 m atau pada tengah-tengah antara sambungan perkerasan 27
5
27 5
* CBR minimum 15% sesuai dengan Tabel 11
*
Gambar 2.22 Saluran cekung beton yang dicor di tempat
Sambungan pelaksanaan yang diperlukan pada Gambar 2.22 harus sesuai dengan ketentuan yang diperlihatkan pada Gambar 2.3.
Tulangan anyaman (steel mesh fabric) harus dipasang pada saluran pada kedalaman minimum 5 cm, di bawah permukaan lapisan beton dan harus dihentikan 5 cm sebelum sambungan.
Tulangan harus dipasang di daerah “A” seperti diperlihatkan pada Gambar 2.17.
Sambungan susut pada saluran cekung harus segaris dengan sambungan susut pada perkerasan pemberhentian bus. Tambahan sambungan susut pada saluran cekung harus dibuat di tengah-tengah antara sambungan melintang saluran cekung.
Batang pengikat berulir dengan diameter 12 mm harus dipasang dengan jarak 50 cm yang mengikat saluran cekung dengan perkerasan pemberhentian bus.
2.13.6.2 Saluran miring
Bila sudah ada kerb miring yang bersatu dengan perkerasan dan akan dibangun kerb miring yang dicor di tempat, ujung kerb pembatas dari pemberhentian bus dibuat sejajar dengan kerb miring tersebut. Ujung dari kerb pembatas bagian atasnya dimiringkan dengan perbedaan ketinggian 12 mm seperti diperlihatkan pada Gambar 2.18 dan penampang melintangnya seperti diperlihatkan pada Gambar 2.23.