PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Metode Penelitian
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Dasar Hak Cipta
Jika kita berbicara mengenai hak cipta, sebenarnya hak cipta termasuk dalam ruang lingkup hukum kekayaan intelektual (HAKI). Hal ini memberikan kejelasan bahwa sistem pengakuan hak cipta di Indonesia dilaksanakan secara deklaratif (first-come, first-served). Pasal 3 Undang-Undang Hak Cipta pada prinsipnya mengatur kegiatan di bidang hak cipta dan hak-hak terkait.
Jangka waktu perjanjian juga diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta tahun 2014 yaitu maksimal 25 tahun.
Sistem Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
HKI secara umum dapat digolongkan menjadi dua kategori utama, yaitu hak cipta dan kekayaan industri. Ruang lingkup hak cipta ada pada bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra, sedangkan ruang lingkup hak kekayaan industri ada pada bidang tersebut. Ketentuan tersebut berkaitan dengan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, yaitu hak cipta, yang merupakan hak mutlak yang diberikan oleh undang-undang kepada badan hukum untuk melakukan sesuatu atau bertindak untuk kepentingannya.
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai hak cipta, ada baiknya kita menelaah terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan hak cipta itu sendiri. Pada hakikatnya hak cipta adalah hak yang dimiliki pencipta untuk mengeksploitasi berbagai karya yang dihasilkan47. 47 Bernard Nainggolan, Lembaga Pemberdayaan Hukum Hak Cipta dan Manajemen Kolektif, Bandung; PT Alumni Bandung, 2011, hlm.74-75.
Dalam perjalanannya hingga tahun 1982, Indonesia baru berhasil membuat undang-undang hak cipta yaitu UU No. 60 Tahun 1982 tentang Hak Cipta. Dalam waktu yang sangat singkat yaitu pada tahun 1987, Hak Cipta No. 60 Tahun 1982. Perubahan yang sangat mendasar dalam Undang-Undang ini adalah mengubah bentuk pelanggaran hak cipta dari delik yang dapat didakwakan menjadi delik biasa.
Perubahan yang dilakukan menunjukkan adanya perkembangan yang sangat dinamis di masyarakat mengenai hak cipta. Bagi Indonesia, hukum di bidang Kekayaan Intelektual terbagi menjadi dua bagian, yaitu hak cipta dan hak kekayaan industri.
Muatan Materi Undang-Undang Nomor 9 Tahun
Hak-hak pencipta dirumuskan hanya secara global yaitu hak untuk mempublikasikan dan memperbanyak, sehingga hak-hak pencipta yang lain tidak disebutkan secara tegas pada alinea pertama Pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002. Dalam Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002, hak-hak pencipta dirumuskan hanya secara global yaitu hak untuk mempublikasikan dan memperbanyak. pengertian hak cipta dirumuskan sebagai hak eksklusif pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu tanpanya. Undang-undang Hak Cipta tahun 2002 pada hakikatnya mencakup seluruh hak dan kewajiban hak cipta itu sendiri.
Namun dinamika masyarakat dan juga kreativitas masyarakat tidak dapat lagi dibendung, artinya undang-undang ini belum dapat memenuhi seluruh kebutuhan hak cipta. Ketidakpastian ini kemudian meresahkan para pencipta dan menuntut adanya perubahan segera terhadap Undang-Undang Hak Cipta 2002. Undang-Undang Hak Cipta 2002 tidak secara jelas menggambarkan perlindungan hak ekonomi dan hak moral bagi pencipta dan pemegang hak terkait sebagai elemen penting dalam pembangunan peraturan perundang-undangan nasional. kreativitas.
Pada tahun 2002, ketika Undang-Undang Hak Cipta 2002 mulai berlaku, media digital dan media sosial belum aktif. Dalam Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2002, penerapan pidana biasa terhadap kejahatan hak cipta ternyata tidak memberikan efek jera dan menimbulkan kerugian yang besar bagi penciptanya. Penerapan pelanggaran yang biasa terjadi dalam Undang-Undang Hak Cipta 2002 membuat pencipta berpikir bahwa negara harus bertindak cepat tanpa ada pemberitahuan dari pencipta.
Maka dalam hal ini penerapan pelanggaran biasa pada undang-undang hak cipta tahun 2002 merupakan luka yang sangat memprihatinkan bagi pencipta. Jadi pelanggaran-pelanggaran umum yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta tahun 2002 sama sekali tidak sah dan sangat tidak efektif dalam memberikan perlindungan hukum kepada pencipta.
Muatan Materi Dalam Undang-Undang Nomor 28
Perubahan pengertian hak cipta pada UU Hak Cipta Tahun 2014 merupakan penyempurnaan terhadap UU Hak Cipta tahun 2002. Pada UU Hak Cipta tahun 2002, penerapan jangka waktu perlindungan hak cipta adalah 50 (lima puluh) tahun pada saat pencipta meninggal dunia59, namun untuk UU tahun 2014 adalah waktu 70 (tujuh puluh) tahun untuk lebih menghormati dan melindungi pencipta agar dapat menikmati hak ekonominya lebih lama60. Yang jelas, perlindungan hukum terhadap hak cipta mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan seni rupa di Indonesia secara umum.
Untuk itu timbullah gagasan untuk memasukkan pelaksanaan penyelesaian sengketa yang efektif melalui arbitrase dan mediasi ke dalam Undang-Undang Hak Cipta Tahun 201463. Pengelola lokasi perdagangan bertanggung jawab atas lokasi penjualan dan/atau pelanggaran hak cipta dan/atau hak terkait pada pusat perbelanjaan yang dikelolanya. Ide ini muncul karena pusat perbelanjaan seringkali memiliki reputasi buruk dalam peredaran barang akibat pelanggaran hak cipta di masyarakat.
Pengurus pusat beli-belah boleh dianggap bertanggungjawab sepenuhnya terhadap berlakunya pelanggaran hak cipta apabila menjual barangan akibat pelanggaran hak cipta walaupun dia tidak mengetahui apa yang dijual di kedai-kedai di pusat beli-belahnya64. Dalam Akta Hak Cipta 2014, peruntukan baharu telah diperkenalkan mengenai kepastian undang-undang untuk menjamin hak cipta (karya kreatif) sebagai asas untuk meminjamkan wang. Tidak dinafikan Akta Hak Cipta 2014 menyaksikan kemajuan yang sangat ketara terutama dalam menjadikan karya kreatif bernilai.
Ketentuan alinea ketiga Pasal 16 UU Hak Cipta Tahun 2014 menyatakan bahwa “hak cipta dapat dijadikan sebagai subjek jaminan fidusia”66. Dalam UU Hak Cipta tahun 2014, pengaturan LMK lebih diarahkan pada mekanisme one stop shop.
PEMBAHASAN
Alasan Perubahan Delik Biasa menjadi Delik Aduan
73 Aan Priyatna, Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak Cipta Dalam Pembuatan E-Book, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2016, hal.82 Hasbir Paserangi, Perlindungan Hukum Hak Cipta Perangkat Lunak Program Komputer di Indonesia, Hukum Jurnal Ius Quia Iustum, Fakultas Hukum UII, Volume 18 Oktober 2011, hal. Dalam KUHP terdapat delik-delik biasa dan delik aduan merupakan salah satu kasus yang sangat mendesak yang mendasari perubahan UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014 .
Dalam Undang-Undang Hak Cipta tahun 2002, Pasal 72 (1) Kejahatan Hak Cipta mengkategorikan pelanggaran hak cipta sebagai pelanggaran biasa. Pertama, penegak hukum tidak dapat menentukan apakah suatu kejahatan hak cipta telah terjadi hanya dengan membandingkan barang hasil pelanggaran hak cipta dengan barang hasil pelanggaran hak cipta. Oleh karena itu, harus ada keluhan terlebih dahulu dari pencipta atau pemegang hak cipta.
Namun karena pelanggaran hak cipta merupakan kejahatan yang lazim, seringkali aparat penegak hukum yang mengetahui adanya pelanggaran hak cipta akan terus melakukan upaya hukum pidana meskipun telah terjadi kesepakatan damai antara pihak yang dilanggar hak ciptanya dengan pihak yang dilanggar hak ciptanya. dilanggar. Inefisiensi ini disebabkan adanya isu perubahan terminologi hukum dalam penafsiran pelanggaran hak cipta pada UU No. 28 Tahun 2014. Hal yang menarik dari UU No. Undang-undang ini masuk kategori delik banding.
Pada prinsipnya hak cipta merupakan hak eksklusif, sehingga idealnya pelanggaran hak cipta merupakan pelanggaran aduan, karena yang paling mengetahui adanya pemalsuan suatu ciptaan adalah penciptanya sendiri. 91 Nurkhamid Widi Nugroho dan Sri Endah Wahyuningsih, Efektifitas Penerapan Pasal 120 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Hak Cipta di Kota Semarang, Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol.
Dampak Perubahan Delik Biasa Menjadi Delik aduan
Berdasarkan uraian di atas, maka Pasal 113 ayat (3) UU Hak Cipta Tahun 2014 merupakan instrumen pidana penegakan hak cipta yang diunduh melalui internet. Upaya hukum perdata juga dapat dilakukan untuk menegakkan undang-undang hak cipta berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta 2014. Tuntutan hukum atas tindakan yang melanggar hukum diajukan oleh pemilik hak cipta ke pengadilan komersial atau badan konsiliasi dan arbitrase hak kekayaan intelektual sesuai dengan ketentuan Pasal 95(1) (1) . dan (2) Undang-Undang Hak Cipta 2014.
Namun negara telah memberikan platform dan perlindungan yang jelas kepada pencipta agar mereka dapat mengadukan pelanggaran hak cipta yang terjadi. Upaya lainnya adalah dengan menegakkan aturan hukum yang diatur dalam Undang-Undang Hak Cipta Tahun 2014 oleh pihak yang berwenang. Oleh karena itu, penerapan delik aduan layak dilakukan berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta apabila hanya pencipta yang merasa dirugikan saja yang mau melaporkan kerugian tersebut.
Ingatlah hak cipta adalah sesuatu yang tidak dapat Anda sentuh, Anda tidak dapat menyentuhnya, namun Anda dapat memilikinya. Namun negara telah memberikan wadah dan perlindungan yang jelas bagi pencipta agar mereka kemudian dapat mengadukan pelanggaran hak cipta yang terjadi. Dampak peralihan dari delik biasa menjadi delik aduan sangat besar terhadap penegakan hukum hak cipta di Indonesia.
Aziz Muhammad, “Konvensi Hak Cipta Internasional dan Peraturan Hak Cipta di Indonesia”, Social Justitia Vol. Aan Priyatna, 2016, Perundang-undangan Anti Pelanggaran Hak Cipta dalam Produksi E-Book, Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang.
PENUTUP
Kesimpulan
Selain itu, perubahan dari pelanggaran biasa menjadi pelanggaran yang dapat didakwakan tidak serta merta sepenuhnya melindungi hak eksklusif pencipta itu sendiri. Dengan diubahnya delik biasa menjadi delik yang dapat didakwakan diharapkan proses pembuktian di pengadilan menjadi lebih jelas dan mudah karena penggugat sendiri adalah pencipta (pemilik salinan) yang merasa dirugikan. Mengingat selama ini penerapan delik biasa masih terlihat, karena penegakan hukum bersikap pasif dan dalam pelanggaran aduan semua pihak bekerja sama untuk melindungi hak cipta pencipta.
Saran
Jan Remmelink, 2003, Dihukum; Komentar pasal-pasal pokok KUHP Belanda dan yang dipersamakan dengan KUHP Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Ari Wibowo, “Justifikasi Hukum Pidana Terhadap Kebijakan Kriminalisasi Pelanggaran Hak Cipta, serta Rumusan Kualifikasi Hukum dan Jenis Pelanggarannya” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. Cita Citrawinda dalam Abu Churairah dkk., “Perlindungan Hukum dalam Pendaftaran Ciptaan Lukisan (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga Medan No.mor 05/Hak Hak Cipta/2008/PN.
Hasbir Paserangi, Perlindungan Hukum Hak Cipta Perangkat Lunak Program Komputer di Indonesia, jurnal hukum Ius Quia Iustum, Fakultas Hukum UII, Vol 18 Oktober 2011. Nurkhamid Widi Nugroho dan Sri Endah Wahyuningsih, Efektifitas Penerapan Pasal 120 UU Nomor 28 Tahun 2014 dalam Pemberantasan Tindak Pidana Hak Cipta di Kota Semarang, Jurnal Hukum Khaira Ummah Vol. Rita Teresia, 2015, “Perlindungan hukum hak cipta bagi pemilik lagu atas pengunduhan lagu melalui situs tanpa pembayaran di Internet”, Skripsi, Program Sarjana Hukum Universitas Riau, Pekanbaru.
Rita Teresia, 2015, “Perlindungan hak cipta bagi pemilik lagu atas hukum pengunduhan lagu melalui situs tanpa pembayaran di Internet”, Program Sarjana Universitas Riau, Pekanbaru. Sudjana, Batasan Perlindungan Kekayaan Intelektual (Hak Cipta) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Jurnal Penelitian Hak Asasi Manusia Volume 10 Nomor 1 Juli 2019. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Tim Naskah Akademik di bawah Ketua Prof. Abdul Gani Abdullah, Kajian Tim Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Hak Cipta (Perubahan UU No. 19 Tahun 2002), Jakarta, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, 2008. Trias Palupi Kurnianingrum, Materi Baru dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, https;//jurnal.dpr.go.id/index.php/ Hukum/article/view/249/.