"PERISTIWA TUTUR DAN TINDAK TUTUR"
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Sosiolinguistik
Dosen Pengampu:
Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M. Pd Siska Meirita, M. Pd
Oleh:
Atha Nabitha Salsabila : 2313046023
Rina Ariyanti : 2313046065
Nereus Eko Prasetyo : 2313046017 Latifa eka Pratiwi : 2313046045
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA LAMPUNG JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI FALKUTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG 2024
KATAPENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul "Peristiwa Tutur Dan Tindak Tutur" tepat pada waktunya. Makalah ini disusun sebagai salah satu tugas untuk memenuhi persyaratan Mata Kuliah Sosiolunguistik di Program Studi Pendidikan Bahasa Lampung, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung.
Dalam penyusunan makalah ini, kami berusaha semaksimal mungkin untuk menyajikan pembahasan yang relevan dan mendalam mengenai Peristiwa Tutur Dan Tindak Tutur. Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak lepas dari kekurangan, baik dari segi penulisan maupun pembahasannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada Dr. Nurlaksana Eko Rusminto, M.Pd., dan Ibu Siska Meirita, M.Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah, yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama perkuliahan berlangsung. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan menambah wawasan bagi para pembaca.
Bandar Lampung, September 2024
Penyusun
DAFTAR ISI
KATAPENGANTAR...ii
DAFTAR ISI...iii
BAB I... 1
PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang... 1
1.2 Rumusan Masalah...2
1.3 Tujuan... 2
BAB II... 3
PEMBAHASAN...3
2.1 Pengertian Peristiwa Tutur...3
2.1.1 Komponen Peristiwa Tutur...3
2.2 Tindak Tutur...5
2.2.1 Jenis-Jenis Tindak Tutur...6
2.3 Konteks Dalam Peristiwa Tutur...10
2.3.1 Jenis-Jenis Konteks... 11
2.3.2 Peranan Konteks dalam Tindak Tutur...12
BAB III...14
PENUTUP...14
3.1 Kesimpulan...14
3.2 Saran... 14
DAFTAR PUSTAKA...16
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tindak tutur adalah teori penggunaan bahasa yang dikemukakan oleh John Langshaw Austin (1962) dalam bukunya How to do things with words. Austin adalah salah satu filsuf terkemuka dalam kelompok yang disebut Oxford School of Ordinary Language Philosophy. Teori ini kemudian diperdalam oleh muridnya Searle (1979). Peran tuturan dalam kehidupan manusia menjadi sesuatu yang sangat penting, yang oleh karenanya, dalam kajian antropologipun tuturan manusia merupakan tema yang penting. Boas (1911) sampai pada kesimpulan bahwa bahasa pada umumnya merupakan salah satu fenomena etnologis, namun demikian kehadirannya kurang mendapat pemahaman secara rasional. Beberapa antropologis berpendapat bahwa bahasa demikian juga linguistik merupakan dasar bagi ilmu pengetahuan kemanusiaan karena baik bahasa maupun linguistik menghubungkan tataran sosial budaya dan biologis. Bahkan beberapa di antaranya menganggap bahwa metode linguistik modern merupakan model untuk mengkaji struktur perilaku manusia.
Dalam setiap komunikasi, manusia saling menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan maupun emosi secara langsung. Maka, dalam setiap peroses komunikasi itu terjadilah peristiwa tutur dan tindak tutur dalam satu situasi tutur. Peristiwa tutur merupakan peristiwa sosial karena menyangkut pihak-pihak yang bertutur dalam satu situasi dan tempat tertentu. Peristiwa tutur ini pada dasarnya merupakan rangkaiyan dari sejumlah tindak tuturyang terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan. Kalau peristiwa tutur ini merupakan gejalah sosial, maka tindak tutur merupakan gejalah individual, bersifat pisikologis, dan berlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Kalau peristiwa tutur lebih dilihat pada tujuan peristiwanya, maka
dalam tindak tutur lebih dilihat pada makna atau arti tindakan dalam tuturannya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, terdapat beberapa masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Apakah yang dimaksud dengan Peristiwa Tutur?
2. Apakah yang dimaksud dengan Tindak Tutur?
3. Apakah yang dimaksud Konteks Dalam Peristiwa Tutur?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan yang dimaksud dengan Peristiwa Tutur?
2. Menjelaskan yang dimaksud dengan Tindak Tutur?
3. mengetahui yang dimaksud Konteks Dalam Peristiwa Tutur?
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur (speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer, 1995: 61). Jadi, interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Peneliti tentang peristiwa tutur dalam gugup tertentu tidak hanya sematamata membuat mendaftar peristiwa-peristiwa secara detail dan secara mendeskripsikan tetapi dia harus menentukan mana yang berarti bagi anggota gugup tutur dan fungsi – fungsi yang mereka isi untuk kategori. Hal utama menyangkut cara yang di ambil orang dalam menginterpretasi yaitu memahami apa yang terjadi dalam percakapan. Ada hubungan tertentu antara apa yang dikatakan dan apa yang di kerjakan dan juga, sudah barang tentu kontak sosial. Percakapan siapa berbicara apa. Apa yang telah dikatakan sebelumnya oleh siapa dan apakah orang itu humor, guyon, serius, intim, dan lain-lain.
2.1.1 Komponen Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur adalah terjadinya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak yaitu penutur dan mitra tutur dengan satu pokok tuturan, waktu dan tempat tertentu (Chaer dan Agustina 2004). Secara sederhana peristiwa tutur adalah peristiwa komunikasi dengan menggunakan bahasa lisan. Satu peristiwa tutur harus memiliki komponen tutur. Hymes (1972; 1980: 9–18) mengemukakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen tutur yang diakronim menjadi SPEAKING. Kedelapan komponen tutur itu, yakni :
1. Setting and Scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan latar tutur berupa tempat dan waktu terjadinya percakapan. Latar tutur meliputi tempat tutur dan suasana tutur. Tempat tutur mengacu pada keadaan fisik, sedangkan suasana tutur mengacu pada suasana psikologis (baik bersifat resmi maupun tidak resmi) tindak tutur dilaksanakan. Contohnya, percakapan yang terjadi di kantin sekolah pada waktu istirahat tentu berbeda dengan yang terjadi di kelas ketika pelajaran berlangsung.
2. Participants, yaitu orang-orang (peserta) yang terlibat dalam percakapan.
Peserta tutur mengacu pada penutur, mitra tutur, dan orang yang dituturkan. Pilihan bahasa antar-peserta tutur ditentukan oleh perbedaan dimensi vertikal dan dimensi horisontal. Dimensi pertama meliputi perbedaan umur, status sosial ekonomi, dan kedudukan dalam masyarakat. Perbedaan dimensi kedua antara lain meliputi perbedaan tingkat keakraban antar peserta tutur. Contohnya, antara karyawan dengan pimpinan. Percakapan antara karyawan dan pimpinan ini tentu berbeda kalau partisipan nya bukan karyawan dan pimpinan, melainkan antara karyawan dengan karyawan.
3. Ends, yaitu tujuan/maksud dan hasil percakapan. Tujuan tutur merupakan hasil yang diharapkan atau yang tidak diharapkan dari tujuan tindak tutur, baik ditujukan kepada individu maupun masyarakat sebagai sasarannya.
Suatu tuturan mungkin bertujuan menyampaikan buah pikiran, membujuk, dan mengubah perilaku (konatif). Misalnya, seorang guru bertujuan menerangkan pelajaran bahasa Indonesia secara menarik, tetapi hasilnya sebaliknya, murid-murid bosan karena mereka tidak berminat dengan pelajaran bahasa.
4. Act Sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi/topik percakapan. Topik tuturan mengacu pada apa yang dibicarakan (message content) dan cara penyampaiannya (message form). Dalam sebuah peristiwa tutur, beberapa topik tutur dapat muncul secara berurutan.
Perubahan topik tutur dalam peristiwa tutur akan berpengaruh terhadap pilihan bahasa.
5. Key, yaitu hal yang menunjuk pada cara atau nada/semangat dalam melaksanakan percakapan. Nada tutur diwujudkan, baik berupa tingkah laku verbal maupun nonverbal. Nada tutur verbal mengacu pada perubahan bunyi bahasa, yang dapat menunjukkan keseriusan, kehumoran, atau kesantaian tindak tutur. Nada tutur non-verbal dapat berujud gerak anggota badan, perubahan air muka, dan sorot mata.
6. Instrumentalities, yaitu hal yang menunjuk pada sarana/alur. Sarana tutur mengacu pada saluran tutur dan bentuk tutur. Sarana tutur dapat berupa sarana lisan, tulis, dan isyarat. Bentuk tutur dapat berupa bahasa sebagai sistem mandiri, variasi bahasa seperti dialek, ragam, dan register.
7. Norm, yaitu hal yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan.
Norma tutur berhubungan dengan norma interaksi dan norma interpretasi.
Yang dimaksud norma interaksi adalah norma yang bertalian dengan boleh–tidaknya sesuatu dilaksanakan oleh peserta tutur pada waktu tuturan berlangsung, sedangkan norma interpretasi merupakan norma yang dimiliki oleh kelompok masyarakat tutur tertentu.
8. Genre, yaitu hal yang menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan. Adapun jenis tutur meliputi kategori kebahasaan seperti prosa, puisi, dongeng, legenda, doa, kuliah, iklan dan sebagainya.
2.2 Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan tuturan yang di dalamnya terdapat tindakan.
Dengan mengucapkan sesuatu, penutur juga melakukan sesuatu. Dengan menuturkan sebuah ujaran, penutur memiliki tujuan yang ingin dicapai dari mitra tuturnya. Seperti yang disampaikan Austin, “In which to say something is to do something or in which by saying or in saying something we are doing something, (Austin,1962: 12)”, “di dalam mengatakan sesuatu, kita juga melakukan sesuatu”. Menurut Austin, dalam menyampaikan sesuatu, penutur juga melakukan tindakan melalui ujaran yang disampaikannya.
Menurut Rahardi tindak tutur itu sendiri pada dasarnya merupakan pernyataan konkret dari fungsi-fungsi bahasa (performance of language functions). Menurut Ismari suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi. Teori tindak
tutur adalah teori yang lebih cenderung meneliti struktur kalimat. Apabila ada seseorang yang ingin mengemukakan pendapat pada orang lain, maka yang dikemukakannya itu adalah makna atau maksud kalimat. Namun, untuk menyampaikan makna dan maksud tersebut seseorang tersebut harus menuangkannya dalam wujud tindak tutur.
Berkenaan dengan tindak tutur ini Chaer dan Leonie Agustine (1995) berpendapat bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungan nya ditentukan oleh kemampuan bahas si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur itu yang lebih dilihat adalah makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Kemudian Sinclair dan Coulthard R. (1995) dalam Richard (1995) yang pernah mengadakan suatu pengamatan terhadap peristiwa sosial (pelajaran) dalam ruang belajar, dan peristiwa sosial (pelajaran) itu disebutnya sebagai kerangka analitis yang berada paling luas dan selanjutnya secara berturut turut membagi urutan wacana hingga kebagian yang paling kecil yakni “tindak”. Tindak ini didefenisikan sebagai unit berbicara yang paling kecil yang bisa dikatakan mempunyai suatu fungsi. Berbagai tindak diberi nama yang disesuaikan dengan setiap fungsi wacana, seperti mencari keterangan, bertanya dan sebagainya.
2.2.1 Jenis-Jenis Tindak Tutur
Tindak tutur merupakan tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan.
Pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui pendengar, menurut Kridalaksana (1993). Tindakan yang dimaksudkan tersebut adalah sebuah tuturan yang diucapkan penutur dan memiliki makna tersendiri. Searle dalam Rahardi (2005:35) berpendapat bahwa secara pragmatik ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur yakni tindak lokusi, ilokusi dan perlokusi. Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur yang makna tuturannya sesuai dengan tuturan penutur. Tindak tutur perlokusi adalah tuturan yang dituturkan oleh penutur, yang mempunyai efek atau pengaruh bagi mitra tuturannya. Tindak tutur ilokusi adalah tindak tutur melakukan sesuatu yang didalamnya terkait fungsi dan maksud lain dari tuturan.
1. Tindak Tutur Lokusi
Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Makna tuturan yang disampaikan biasanya adalah sebuah fakta atau keadaan yang sebenarnya. Dalam tindak tutur lokusi, informasi yang disampaikan adalah yang sebenarnya. Tindak tutur ini tidak mengandung makna tersembunyi dibalik tuturanya dan tidak menghendaki adanya suatu tindakan atau efek tertentu dari mitra tuturnya. Sebagai contoh, perhatikan tuturan di bawah ini:
“Ikan paus adalah binatang menyusui”.
Tuturan diujarkan semata-mata untuk mengatakan sesuatu (lokusi), tanpa maksud untuk melakukan sesuatu (ilokusi), apalagi mempengaruhi mitra tuturnya (perlokusi). Informasi yang dituturkan pada contoh “ikan paus adalah binatang menyusui” berupa penyampaian sebuah fakta, bahwa Ikan Paus tergolong dalam jenis binatang mamalia.
2. Tindak Tutur Ilokusi
Tuturan selain berfungsi untuk menyampaikan atau menginformasikan sesuatu, juga dapat melakukan sesuatu. Tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung makna tersembunyi atau makna lain yang dikehendaki oleh penutur terhadap mitra tutur. Sebagai contoh, perhatikan tuturan di bawah ini:
“Rambutmu sudah panjang”.
Tuturan apabila dituturkan oleh seorang laki-laki kepada pacarnya dimaksudkan untuk menyatakan kekaguman, akan tetapi apabila dituturkan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya atau oleh seorang istri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk menyuruh atau memerintah agar sang anak atau suami memotong rambutnya.
Seperti yang telah disampaikan di atas, tindak ilokusi adalah tindakan yang tidak sekedar menyampaikan makna sebenarnya dari sebuah ujaran, tetapi juga memiliki tujuan lain dari penyampaian ujaran tersebut.
Dengan kata lain, ketika seseorang mengatakan sesuatu, dia juga
melakukan sesuatu (Wijana,2009: 23). Menurut Ibrahim (1993: 115), tindak ilokusi dilakukan dengan mengatakan sesuatu, yang mencakup tindakan-tindakan seperti bertaruh, berjanji, menolak dan memesan.
Sejalan dengan Ibrahim.
Kategori Tindak Tutur Ilokusi dan Maknanya
Tindak tutur ilokusi merupakan tuturan yang memiliki tindakan di dalamnya. Melalui pesan yang disampaikan, penutur menghendaki maksud lain terhadap lawan tuturnya. Makna tersebut dapat berupa permintaan maaf, ungkapan terimakasih, nasehat, berjanji, bertaruh, menyetujui, menginformasikan dan lain sebagainya. Beberapa ahli kemudian menggolongkan tindak tutur ilokusi ke dalam beberapa kategori.
Austin (dalam Chaer, 1995: 69) mengkategorikan tindak tutur ilokusi menjadi beberapa kategori yaitu: verdiktif (verdictives), eksersitif (exersitives), komisif (commissives), behabitif (behabitives), dan ekspositif (expositives). Berikut penjelasannya:
A. Verdiktif (verdictives)
Verdiktif merupakan tindak tutur yang menyatakan keputusan atau penilaian. Sebagai contoh, perhatikan tuturan di bawah ini:
Kami menyatakan terdakwa tidak bersalah.
Tuturan pada contoh termasuk dalam tindak ilokusi verdiktif yang mengandung makna menyatakan keputusan, karena pada contoh di atas penutur menyampaikan sebuah keputusan yang menyatakan bahwa terdakwa tidak bersalah.
B. Eksersitif (exersitives)
Eksersitif merupakan tindak tutur yang menyatakan perjanjian, nasihat, peringatan dan sebagainya. Sebagai contoh, perhatikan tuturan di bawah ini:
Harap pelan-pelan, banyak anak-anak.
Tuturan pada contoh termasuk dalam kategori tindak ilokusi eksersitif yang mengandung makna peringatan.
C. Komisif (commissives)
Komisif merupakan tindak tutur yang dicirikan dengan perjanjian.
Penutur berjanji dengan mitra tutur untuk melakukan sesuatu. Sebagai contoh, perhatikan tuturan di bawah ini:
Andri : Besok sore kita menonton pertandingan basket ya? Riki : Oke.
Tuturan pada contoh termasuk dalam tindak ilokusi komisif yang mengandung makna berjanji, karena penutur dan mitra tutur berjanji untuk melakukan sesuatu, yaitu penutur dan mitra tutur berjanji untuk menonton pertandingan basket besok sore.
D. Behabitif (behabitives)
Behabitif merupakan tindak tutur yang berhubungan dengan tingkah laku sosial karena seseorang mendapat keberuntungan atau kemalangan. Sebagai contoh, perhatikan tuturan di bawah ini:
Saya mengucapkan selamat atas pelantikan anda menjadi mahasiswa teladan.
Tuturan pada contoh di atas merupakan tindak ilokusi behabitif, karena penutur pada contoh mengekspresikan perasaannya kepada mitra tutur yang mendapatkan keberuntungan yaitu penutur mengucapkan selamat kepada mitra tutur yang dilantik sebagai mahasiswa teladan.
E. Ekspositif (expositives)
Ekspositif merupakan tindak tutur yang berhubungan dengan pemberian penjelasan, keterangan atau perincian kepada seseorang.
Sebagai contoh, perhatikan tuturan di bawah ini:
Saya jelaskan kepada anda bahwa dia tidak mengambil barang itu.
Tuturan pada contoh termasuk dalam tindak ilokusi ekspositif yang mengndung makna menjelaskan karena penutur menjelaskan kepada mitra tutur bahwa orang yang dimaksud tidak mengambil barang yang dimaksud oleh penutur.
3. Tindak Tutur Perlokusi
Dalam mengatakan sesuatu, bila sebuah tuturan menimbulkan efek atau hasil pada mitra tutur, tindak tutur ini disebut dengan tindak tutur perlokusi. Tindak tutur perlokusi adalah tindak tutur yang menghendaki adanya efek atau hasil dari sebuah tuturan. Sebagai contoh, perhatikan tuturan di bawah ini:
‘’Rumahnya jauh’’.
Tuturan diujarkan oleh penutur kepada ketua perkumpulan. Makna ilokusinya adalah penutur bermaksud menyampaikan bahwa orang yang dibicarakan tidak dapat terlalu aktif di dalam organisasinya, adapun efek perlokusi yang diharapkan oleh penutur adalah agar ketua perkumpulan tidak terlalu banyak memberikan tugas kepada orang yang dibicarakan tersebut.
2.3 Konteks Dalam Peristiwa Tutur
Kata konteks berasal dari kata con-text yang berarti kata-kata dan kalimat- kalimat sebelum dan sesudah kalimat tertentu yang sedang dipelajari seseorang. Dari pengertian itu, dahulu konteks hanya berhubungan dengan kata dan kalimat dari sebuah teks, sebelum akhirnya Malinowski menciptakan istilah “konteks Situasi” yang berarti lingkungan teks (Halliday dan Hasan, 1992: 7).
Sehubungan dengan teori konteks situasi yang disampaikan oleh Malinowski, seorang pakar ilmu bahasa J.R Firth (yang oleh banyak orang dipandang sebagai pelopor linguistik modern) tertarik dan mengambil alih pemikiran Manilowski. Pada makalahnya yang ditulis pada tahun 1935 Firth berpendapat, semua ilmu bahasa adalah kajian tentang makna dan semua makna merupakan fungsi dalam konteks (Halliday dan Hasan, 1992: 10).
Halliday dan Hasan (1992: 16,62) menjelasakan tentang pengertian konteks, mereka menyebut konteks situasi sebagai lingkungan langsung tempat teks itu berfungsi dan yang berguna untuk menjelaskan mengapa hal-hal yang lain dituturkan dan dituliskan pada kesempatan lain. Konteks situasi terdiri atas tiga unsur yang saling berkaitan, yaitu (1) medan wacana, (2) pelibat wacana,
dan (3) sarana wacana. Medan wacana menunjuk pada hal yang sedang terjadi, pada sifat tindakan sosial yang sedang berlangsung, yakni segala sesuatu yang pelibat lakukan. Pelibat wacana menunjuk kepada orang-orang yang mengambil bagian dalam peristiwa tutur. Sarana wacana menunjuk pada bagian yang diperankan oleh bahasa, yang meliputi organisasi simbolik teks, kedudukan dan fungsi yang dimiliki, saluran yang digunakan, dan model retoriknya.
2.3.1 Jenis-Jenis Konteks
Ketika membicarakan hubungannya dengan bahasa anak-anak, konteks sangat sering digunakan untuk mendukung agar maksud dari yang disampaikan dipahami oleh mitra tuturnya, pemanfaatan konteks inilah yang disebut dengan pendayagunaan konteks. Rusminto (2010: 133-146) membagi lima konteks yang sering digunakan anak-anak dalam tuturannya, lima konteks tersebut antara lain.
1. Konteks Tempat
Tempat yang melatari peristiwa tutur pada saat anak-anak bertutur, tidak hanya menjadi pertimbangan oleh anak, lebih dari itu, ada kalanya anak juga mendayagunakan untuk mendukung keberhasilan tuturannya.
Konteks tempat yang sering didayagunakan anak-anak meliputi tempat berada di sekitar anak ketika bertutur dan tempat lain yang tidak berada disekitar anak yang bersangkut paut dengan tuturan yang diajukan tersebut.
2. Konteks waktu
Konteks waktu yang melatari peristiwa tutur pada saat anak-anak bertutur, ada kalanya juga dimanfaatkan oleh anak untuk mendukung keberhasilan tuturan yang dilakukannya. Konteks waktu didayagunakan oleh anak-anak tidak hanya dikaitkan dengan waktu sekarang, pada saat tuturan dilakukan, tetapi juga berkaitan dengan waktu tertentu di masa lalu dan di masa yang akan datang yang bersangkutan paut dengan tuturan anak.
3. Konteks Peristiwa
Tindak tutur yang dilakukan oleh anak-anak selalu terjadi dalam konteks peristiwa tertentu. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak saja menjadi faktor yang cukup menentukan dalam peristiwa tutur yang terjadi, tetapi juga sering dimanfaatkan oleh anak-anak untuk mendukung keberhasilan tuturannya. Anak-anak sering menggunakan peristiwa ini untuk memengaruhi pendapat atau pandangan mitra tuturnya sehubungan dengan tindak tutur yang dilakukanya. Konteks peristiwa yang didayagunakan oleh anak-anak untuk mendukung keberhasilan tuturannya dapat berupa peristiwa yang merugikan anak atau peristiwa istimewa milik anak.
4. Konteks Suasana
Suasana yang melatari peristiwa tutur ketika anak-anak bertutur merupakan aspek yang cukup menentukan bagi tuturan anak. Lebih dari itu terkadang anak-anak memanfaatkan suasana-suasana tertentu untuk mendukung keberhasilan tuturan yang dilakukannya. Suasana yang dimaksud adalah suasana-suasana yang nyaman dan menyenangkan yang terjadi dalam peristiwa tutur tertentu, terutama suasana hati yang nyaman dan menyenangkan yang dialami oleh mitra tuturnya.
5. Konteks Orang Sekitar
Ketika anak-anak bertutur, ada kalanya terdapat orang lain yang berada di sekitar anak yang terlibat dalam peristiwa tutur tersebut selain anak dan mitra tuturnya. Orang sekitar yang dimaksudkan dalam kajian ini tidak hanya berkaitan dengan orang-orang yang berada di sekitar anak secara langsung ketika anak menyampaikan tuturannya, tetapi juga orang lain yang berada di tempat lain tetapi bersangkut paut dengan tuturan yang disampaikan oleh anak.
2.3.2 Peranan Konteks dalam Tindak Tutur
Bahasa dan konteks merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Bahasa membutuhkan konteks tertentu dalam pemakainya, demikian juga sebaliknya konteks baru memiliki makna jika terdapat tindak berbahasa di dalamnya. Penjelasan di atas hanya sedikit dari bukti yang sudah
dituliskan pada latar belakang bagaimana pentingnya hubungan konteks dan bahasa lebih khususnya dengan tindak tutur.
Bahasa sebagai alat dari wacana pada dasarnya tidak bisa dipisahkan dari konteks. Dalam hal ini Brown dan Yule (1996: 27) berpendapat, penganalisis wacana semestinya menggunakan pendekatan pragmatis terhadap penyelidikan pemakaian bahasa untuk mempertimbangkan sejumlah persoalan yang biasanya tidak banyak diperhatikan oleh ahli linguistik formal, misalnya memperhatikan konteks tempat. Brown dan Yule juga berpendapat sekurang-kurangnya penganalisis sebuah tindak tutur harus mengetahui siapa penutur, mitra tutur, dan waktu produksi wacana.
Besarnya peranan konteks bagi pemahaman sebuah tuturan dapat dibuktikan dengan adanya kenyataan bahwa sebuah tuturan seperti pada contoh berikut dapat memiliki maksud yang berbeda jika terjadi pada konteks yang berbeda.
“Pandai sekali kamu!”
Tuturan pada contoh wacana dapat memiliki dua makna jika dilihat dari beberapa sudut pandang konteks. Tuturan wacana dapat mengandung maksud memuji karena “kamu” benar-benar pandai ‟ jika disampaikan dalam konteks “kamu” baru saja menerima rapor dan nilai dalam rapor
“kamu” memuaskan. Sebaliknya, tuturan tersebut dapat mengandung maksud „mengejek kamu‟ jika disampaikan dalam konteks kamu baru saja menerima rapor dengan nilai yang rendah.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Bahasa dalam konteks sosial memiliki peran penting untuk menyampaikan aspirasi, perasaan, emosi maupun keinginan penutur kepada lawan tutur. Proses komunikasi tidak terlepas dari unsur peristiwa tutur dan tindak tutur. Keduanya memiliki kaitan dalam membentuk suatu komunikasi yang interaktif. Peristiwa tutur merupakan suatu keadaan dimana berlangsungnya aktivitas interaksi antara penutur dan lawan tutur dengan syarat terpenuhinya delapan komponen, yang dikenal dengan SPEAKING, yakni; S (Setting and Scene), P (Participants), E (End : Purupose and Goal), A (Act Sequences), K (Key : Tone or Spirit of Act), I (Instrumentalities), N (Norm of Interaction and Interpretation) dan G (Genres). Dalam peristiwa tutur peran penutur dan lawan tutur dapat saling berganti-ganti, kadangkala penutur menjadi lawan tutur maupun sebaliknya.
Dalam tindak tutur ada daya ilokusi atau maksud penutur yang dapat dimaknai sebagai sebuah tindak. Ketika seorang hakim mengujarkan “Saudara saya nyatakan bersalah dan dihukum penjara selama satu tahun.” , maka sebenarnya terdapat tindak atau aktifitas dalam tuturan tersebut, yakni tindak menghukum. Daya ilokusi dapat dituturkan secara langsung maupun tidak langsung.
pengertian konteks, mereka menyebut konteks situasi sebagai lingkungan langsung tempat teks itu berfungsi dan yang berguna untuk menjelaskan mengapa hal-hal yang lain dituturkan dan dituliskan pada kesempatan lain.
3.2 Saran
Dalam makalah ini, penting untuk terlebih dahulu mendefinisikan pristiwa tutur sebagai situasi komunikasi di mana pesan disampaikan oleh penutur kepada pendengar. Selanjutnya, perlu dijelaskan tentang tindak tutur, yang
terdiri dari tiga kategori: tindak tutur lokusi (menyampaikan informasi), ilokusi (maksud di balik ucapan), dan perlokusi (dampak pada pendengar).
Untuk memperjelas konsep tersebut, makalah sebaiknya menyertakan analisis beberapa contoh percakapan nyata dari kehidupan sehari-hari, seperti interaksi di sekolah atau tempat kerja. Hal ini akan menunjukkan bagaimana pristiwa tutur dan tindak tutur berfungsi dalam konteks sosial yang berbeda.
makalah juga harus menguraikan bagaimana tindak tutur penutur dapat memengaruhi respon dari pendengar, termasuk dampak emosional dan sosial yang mungkin timbul akibat interaksi tersebut. Diskusi ini dapat membantu menggambarkan kompleksitas komunikasi manusia.
Makalah sebaiknya juga menyoroti peran budaya dalam memengaruhi cara orang berkomunikasi, dengan membandingkan beberapa budaya untuk menunjukkan perbedaan dalam pristiwa dan tindak tutur yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. (n.d.). SOSIOLINGUISTIK: TEORI, PERAN, DAN FUNGSINYA. Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, 20-30.
Giyoto. (2013). pengantar sosiolinguistik. surakerta: fataba.
Agar, Michael. 1985. Institutional discourse. Text 5(3): 147-168. Austin, J.L.
1962. How to Do Things with words. Cambridge: Harvard University Press. Baker, O.R. 1980. “Categories of Code Switching in Hispanic
Communities, Untangling the Terminology”. Working Paper No. 76. Austin, Texas: Southwest Educational Development Laboratory.
Baratz, S.S. dan Baratz, J.C. 1970. ‘Early Childhood Intervention: The Social Science Base of Institutionalized racism’. dalam Cashdan, A. dan Grugeon, E.
(Eds.). 1972:188-197. Harvard Education Review 40.
Barbieri, Federica. 2008. “Patterns of age-based linguistic variables in American English.” Journal of Sociolinguistics 12 (58-88).
Jumrah, N. A. (n.d.). Kajian Sosiolinguistik. Universitas Hasanuddin.
malabar, s. (2015). sosiolinguistik. gorontalo: Ideas Publishing.
Purba, A. (2012). TINDAK TUTUR DAN PERISTIWA TUTUR. pena, 77-85.
Utami, R. (2022). BAHASA DALAM KONTEKS SOSIAL. JOURNAL OF EDUCATIONAL MULTIDISCIPLINARY RESEARCH, 17-25.