• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKAWINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERKAWINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 1 "

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

135 https://doi org/10 21776/ub arenahukum 2022 01501 7

PERKAWINAN MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 1

TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

Rachmi Sulistyarini

Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya Jl MT. Haryono 169 Malang

Email: rachmi@ub.ac.id

Disubmit: 22-12-2021 | Diterima: 19-04-2022 Abstract

In its verdict, the Constitutional Court with the decision Number 22/PUU-XV/2017 ordered the legislators within a maximum period of 3 years since the decision to make changes to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage. This paper analyses the legal ratio of regulating the marriage minimum age according to Law number 16 of 2019 concerning Amendments to Law 1 of 1974 concerning marriage. The purpose of this paper is to analyze the regulation legis ration of the minimum age for marriage according to Indonesian Marriage Law. This legal research uses a philosophical, legislation, and conceptual approach. The results shows that the legal ratio of regulating the minimum age for marriage according to Law Number 16 of 2019 concerning amendments to Law Number 1 of 1974 concerning Marriage is the recognition of children’s rights, guarantees, protection and fair laws and equal treatment of the law so there is no discrimination.

Key words: Legis ratio, Changes in the Minimum Age For Marriage.

Abstrak

Dalam amar putusannya, Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 22/PUU-XV/2017 memerintahkan pembentuk Undang Undang dalam jangka waktu paling lama 3 tahun sejak putusan tersebut ditetapkan untuk melakukan perubahan terhadap Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tulisan ini mengkaji ratio legis pengaturan batas minimal usia perkawinan menurut Undang Undang nomor 16 tahun 2019 tentang Perubahan Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Penelitian hukum ini menggunaka pendekatan filsafati, perundang-undangan, dan pendekatan konseptual. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa bahwa ratio legis pengaturan batas minimal usia perkawinan menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah pengakuan hak anak, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama atas hukum sehingga tidak ada diskriminasi.

Kata kunci: Ratio legis, perubahan batas minimal usia kawin

(2)

Pendahuluan

Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengatur batas minimal usia kawin pada Pasal 7, sebagai berikut:

Ayat (1) : Perkawinan hanya diijinkan jika pihak pria mencapai umur sembilan belas tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Ayat (2) : Dalam hal nyimpangan terhadap Ayat (1) Pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

Ayat (3) : Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 Ayat (3) dan (4) Undang Undang ini, berlaku juga dalam permintaan disapensasi tersebut Ayat (2) Pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 Ayat (6).

Selama berlakunya Pasal 7 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, kurang lebih 45 tahun dengan berbagai pertimbangan, pengkajian mendalam memang harus perlu merevisi Pasal 7 tersebut, terutama aspek hukum yang melekatnya misalnya tentang hak anak yang harus mendapat pendidikan, tentang perlindungan hak asasi manusia khususnya hak anak. Perlindungan Hak Asasi Manusia tercantum dalam Undang

1 Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi , Naskah Akademik RUU Perubahan UU no 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pusat Kajian Gender, Masyarakat, Fakultas Hukum UGM ICJR. Kalyanamitra, Ecpat Indonesia, 2019, hlm.2

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Fakta hukum yang dilansir UNICEF pada tahun 2018 membuktikan bahwa angka perkawinan anak Indonesia relatif tinggi yaitu sekitar 1 diantara 9 anak perempuan menikah dibawah usia 18 tahun atau sekitar 375 anak perempuan menikah setiap hari. Akibatnya banyak dialami oleh wanita yang menikah muda tersebut antara lain anak tersebut akan kehilangan hak-hak untuk tumbuh dan berkembang, hak atas pendidikan, dan kerentangan mengalami kekerasan seksual disamping tingginya angka kematian ibu yang melahirkan, demikian juga terkait dengan lahirnya bayi-bayi malnutrisi dan anak stunting.1

Hal itulah yang menyebabkan ada permohonan untuk dilakukan yudicial review dan akhirnya Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 22 /PUU-XV/2017 mengabulkan permohonannya dengan amar putusan bahwa Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembentuk Undang Undang dalam jangka waktu paling lama 3 tahun sejak putusan tersebut ditetapkan untuk melakukan perubahan terhadap Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Adanya konflik hukum, karena Undang Undang Perkawinan bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 inilah mendorong untuk mengkaji, menganalisis ratio legis pembentuk Undang Undang menetapkan batas minimal

(3)

usia kawin berubah dari 16 tahun menjadi 19 bagi wanita dan 18 tahun menjadi 19 tahun bagi pria. Tujuan penulisan ini adalah untuk menganalisis ratio legis pengaturan batas minimal usia perkawinan menurut hukum Perkawinan Indonesia dan metode yang dipergunakan adalah bertype penelitian hukum dengan bahan hukum primer berupa perundang undangan, catatan penting atau naskah akademik dengan pendekatan Undang Undang, filsafati dan konseptual.

Pembahasan

1. Analisis Perspektif Non Hukum a. Analisis sosial

Isu perkawinan terkait batasan usia yakni dibawah umur atau bahkan dibawah batas minimal usia kawin merupakan diskursus kompleks yang berkaitan dengan aspek baik hukum maupun non hukum. Berkaitan dengan itu, perkawinan yang mempersoalkannya bertabrakan secara diametral dengan ketentuan hukum yang menetapkan batas minimum usia kawin. Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan kompilasi Hukum Islam (KHI) misalnya, menetapkan usia minimum 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Hal demikian ini tidak hanya paradoks dengan hukum perkawinan nasional, karena juga berbenturan dengan instrument-instrumen HAM internasional yaitu International Convention on the Rights of the Child, yaitu yang menetapkan usia anak belum dewasa

2 Yusuf Hanafi, Kontroversi Perkawinan Anak Dibawah Umur, (Bandung: Mandar Maju, 2011), hlm. 5.

3 Ibid.

adalah belum 18 tahun. Oleh karena itu maka praktek perkawinnan yang dilakukan dibawah ketentuan usia tersebut dinyatakan sebagai perkawinan anak-anak.

Isu perkawinan anak dibawah umur juga bersinggunan dengan ranah agama, sebab praktek tradisi yang masih berkembangm luas, khususnya berbasis kaum santri trasdisional.

Demikian Yusuf Hanafi berpendapat bahwa isu perkawinan ini bermotif kuat teologis, artinya praktek tradisi tersebut terpupuk dan menjadi lestari, karena justifikasi normatif dari teks agama2. Lebih lanjut disebutkan bahwa dalam Islam perkawinan legendaris, Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA yang masih kanak-kanak tersebut selalu dijadikan rujukan dasar hukumnya, referensi legalitasnya dipertegas lagi bahwa dalam fiqh klasik tidak menetapkan batas usia minimum bagi laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan perkawinan. Bahkan wacana perkawinan anak-anak (nikah al saghirah) malah berkonotasi positif, jika hal tersebut dilakukan atas pertimbanghan kemashalahan moral dan agama.

Dalam perspektif hukum Adat, praktek perkawinan anak dibawah umur terjadi karena dorongan kultural dalam suatu komunitas yang masih memposisikan anak perempuan sebagai warga kelas dua3. Oleh karena itu, dapat mengakibatkan muncul keinginan untuk mempercepat perkawinannnya dengan berbagai alasan. Alasan yang dekemukakan adalah tingkat pendidikan bagi seorang

(4)

perempuan tidak penting, stigma masyarakat tentang perempuan menjadi perawan tua, sedangkan kemandirian secara ekonomi tidak terpikirkan oleh perempuan karena sebagai istri segala kebutuhan dan hak-hak individu akan menjadi tanggung jawab suami.

Berdasarkan riset yang dilakukan UNICEF, praktek perkawinan erat juga berkaitan dengan motif ekonomi. Fenomena perkawinan anak dibawah umur di masyarakat pedesaan dan pedalaman yang mayoritas berpenghasilan rendah juga dipengaruhi oleh problem kemiskinan yang tidak lain adalah persoalan ekonomi. Keluarga-keluarga berekonomi lemah, menikahkan anaknya pada usia muda dibawah umur agar anak perempuan tersebut mendapatkan perbaikan ekonomi setelah pelangsungan perkawinan.

Walau ternyata hasil riset juga membuktikan bahwa pasca perkawinan masih juga dalam lingkaran kemiskinan (the circle of proverty) bahkan lebih buruk dan tragis. 4

Pada saat regulasi menetapkan usia kawin 16 tahun bagi perempuan, artinya yang bersangkutan belum dewasa dan bahkan dalam faktanya kasus terjadi perkawinan dibawah batas minimal usia kawin, hal tersebut menuai pendapat dan opini dari sudut pandang sosial. Dapat dinyatakan bahwa dari sudut sosial, fakta kasus perkawinan anak dibawah umur berbanding lurus dengan laju pertambahan penduduk. Akibatnya adalah hal tersebut menimbulkan masalah demografis karena beriringan dengan meningkatnya

4 Ibid, hlm. 6.

populasi angkatan kerja baru, yang umumnya kurang terampil dan terdidik akibat rendahnya akses pendidikan, tanpa diikuti dengan ketersediaan perumahan dan lapangan kerja yang mencukupi.

Sedangkan secara medis, fakta perkawinan anak sebagaimana yang dikampanyekan PBB sebagai praktik perkawinan yang berbahaya karena mendatangkan risiko Kesehatan yang tinggi terhadap orang yang melakukannya.

Hal-hal yang berpengaruh langsung adalah dapat menyebabkan kematian ibu (maternal mortality) di usia muda akibat kehamilan prematur (premature pregnancy) dan terjangkit problem-problem kesehatan (health problems) karena tidak familiar dengan issue-isue dan layanan-layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar.

Dengan pertimbangan kompleksitas dari persoalan perkawinan anak dibawah umur sebagaimana batasan usia yang direkomendasi Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya Pasal 7 tentang batas minimal usia kawin maka terpikirkan untuk mempertimbangkan ulang penetapan batas usia perkawinan. Hal tersebut seperti yang dikaji oleh lembaga internasional yang mempunyai perhatian atau concern terhadapnya seperti UNICEF, USAID, juga UNFPA, dan di Indonesia sendiri terutama pengamat dan pemerhati gender.

b. Analisis Kesehatan

Sebagaimana sudah diurai terdahulu bahwa secara medis, fakta perkawinan anak

(5)

yang usianya dibawah umur kedewasaan sebagai praktik perkawinan yang berbahaya karena mendatangkan risiko kesehatan yang tinggi terhadap orang yang melakukannya.

Hal-hal yang berpengaruh langsung adalah dapat menyebabkan kematian ibu (maternal mortality) di usia muda akibat kehamilan prematur (premature pregnancy) dan terjangkit problem problem kesehatan (health problems) karena tidak familiar dengan isue isue dan layanan-layanan kesehatan reproduksi yang bersifat dasar.

Pemahamana tentang kesiapan alat reproduksi, dalam kajian beberapa prespektif baik agama, adat atau pandangan sosial lainnya tentu perlu mendapat perhatian khusus, karena akibat dari suatu perkawinan adalah lahirnya generasi baru dan ini merupakan tujuan perkawinan itu sendiri yakni untuk mendapat keturunan. Jika terdapat pandangan yang salah misalnya pandangan disudutkan dengan predikat “perawan tua” atau tradisi pesantren klasik, tentu akan membahayakan kehidupan pasangan tersebut khususnya perempuan sebagai istri.

Aspek umum pentingnya pemahaman alat reproduksi ini maka masalah perinatologi berkembang menjadi suatu cabang ilmu kesehatan anak yang tersendiri. Perinatologi adalah bagian dari ilmu kedokteran yang fokus mendalami kehidupan janin-bayi sejak umur kehamilan 20 minggu - 28 hari setelah lahir (periode perinatal). Tujuan ilmu ini adalah menekan kematian maternal, melahirkan anak yang sempurna secara mental dan fisik dengan

bantuan teknologi yang semakin berkembang.

Perkembangan terkait perhatian terhadap ilmu kedokteran Perinatal makin besar disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Di negara yang telah maju perbaikan dalam bidang sosial ekonomi jelas sekali menurunkan angka kematian bayi. Pengaruh hal ini terhadap kematian angka kematian perinatal ternyata tidak memuaskan;

2. Program keluarga berencana mulai menjadi suatu program universal, dengan keluarga berencana diusahakan pembatasan kuantitas individu.

Perinatologi mempunyai peranan penting dalam perbaikan kualitas individu;

3. Dokter Kebidanan dan dokter anak telah menginsyafi bahwa kesehatan neonatus merupakan tanggung jawab bersama.

Masing-masing mempunyai peranan penting dalam pembatasan morbiditas dan mortalitas bayi. Neonatus adalah bulan pertama kelahiran, neonatus normal memiliki berat 2.700 sampai 4000 gram, panjang 48-53 cm, lingkar kepala 33-35 cm, dengan demikian neonatus adalah bayi yang lahir 28 hari pertama.

4. Reaksi fisiologis dan patologis neonates- neonatus banyak berbeda dengan bayi yang lebih besar;

5. Reaksi neonatus terhadap infeksi dan pengobatan juga banyak berbeda dengan bayi yang lebih tua;

6. Pada neonatus terdapat faktor adaptasi yang berarti ia harus menyesuaikan diri

(6)

dari kehidupan intrauterin ke kehidupan ekstrauterin. Pengaruh kehamilan dan pengaruh partus mempunyai peranan penting dalam morbiditas dan mortalitasnya. Selain itu faktor maturasi organ dalam lebih menonjol dibandingkan dengan bayi yang lebih tua.

Keadaan pascanatal daripada neonatus dapat disamakan dengan penderita dalam rekovalensi.5

Dari fakta-fakta tersebut maka perlunya kesiapan secara mental dan kesiapan organ reproduksi pihak istri, untuk mendapatkan keturunan yang sempurna, sehat jasmani dan rohani. Demikian pula apabila mempelajaria fisiologi dan patologi neonatus tidak akan sempurna kalau tidak mengetahui keadaan yang terjadi pada kehamilan dan kelahiran.

c. Perspektif Hukum

Hukum memang bukan satu-satunya norma yang dimiliki masyarakat, ada norma-norma lain yang juga harus dipatuhi masyarakat supaya terjadi ketertiban yang melindungi secara utuh. Selanjutnya sumber hukum formal Undang Undang maka disebutkan bahwa Undang Undang sebagai bangunan hukum, prinsip-prinsip sebagai hasil kristalisasi nilai dipergunakan sebagai fondasi. Moch. Isnaeni menyebutkan lebih lanjut bahwa bangunan hukum berupa Undang Undang agar batang tubuhnya kokoh dan bergayung sambut dengan keperluan masyarakat, prinsip-prinsip atau asas tersebut yang membias dalam pasal- pasal pada setiap Undang Undang, baik secara

5 Staf Pengajar Ilmu Kesehatan anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, (Jakarta:Infomedika, 1985).

6 Moch. Isnaeni, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung : Refika Aditama, 2016).

eksplisit ataupun implisit.6

Seperti diketahui bahwa pada tahun 1974 merupakan momen yang sangat bersejarah bagi pengaturan hukum perkawinan di Indonesia. Terbitnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, mengakhiri pluralisme pengaturan perkawinan di Indonesia. Pluralisme yang dimaksudkan tersebut adalah masih berlakunya keaneka ragaman peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang perkawinan di wilayah Indonesia. Soetojo menyebutkan bahwa pada zaman Hidia Belanda berbagai peraturan perundang-undangan yang menunjukkan sifat pluralism, yaitu:

1. Burgerlijk Wetboek, Stb 1847 Nomor 23;

2. Regeling Op de Gemengde Huwelijken, Stb 1898 Nomor 158;

3. Huwelijks Ordonantie Christen Inlanders, Stb 1933 Nomor 74;

4. Huwelijksordonantie, Stb 1929 Nomor 348(peraturan Tentang Perkawinan dan Perceraian bagi orang-orang Islam di Jawa dan Madura);

5. Vorstenlandse Huwelijksordonantie, Stb 1933 Nomor 98 jo Stb 1941 no 320 (Peraturan tentang Perkawinan dan Talak/ Perceraian bagi orang-orang Islam di Gubernemen Surakarta dan Jogjakarta);

6. Huwelijksordonantie Buitengewesten, Stb 1932 Nomor 482.

Keadaan tersebut berlanjut sampai pada masa awal kemerdekaan. Peraturan perundang-

(7)

undangan tersebut pada dasarnya masih tetap berlaku, kecuali Huwelijksordonantie (Stb 1929 No 348 dan Vorstenlandse Huwelijksordonantie (Stb 1933 no 98 yo S 1941 No 320) yang pada tahun 1946, dengan UU Nomor 22 Tahun 1946 (Undang Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk) dinyatakan tidak berlaku lagi dan pada tahun 1954 dengan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1946 dinyatakan berlaku untuk seluruh Indonesia.

Lembaga perkawinan merupakan faktor yang penting sebagai salah satu sendi kehidupan dan susunan masyarakat Indonesia, dan perkawinan itu merupakan masalah hukum, agama dan masyarakat. Setelah terbentuknya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya, PP Nomor 9 Tahun 1975, masih tampak jelas belum tercapai usaha-usaha secara menyeluruh sesuai dengan harapan. Terdapat pengaturan-pengaturan yang kurang memadai, sehingga perlu pengkajian lebih lanjut. Hal yang dimaksud problematika tersebut adalah tentang sistematika yang urutannya kurang tepat, misalnya perjanjian kawin sebagaimana Pasal 29 didahulukan daripada permasalahan harta benda dalam perkawinan sebagaimana dalam Pasal 35 dan seterusnya. Disamping itu tentang penetapan batas minimal usia kawin, 16 tahun untuk laki-laki dan 19 tahun untuk perempuan.

Soetojo memandang Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 dilihat dari segi materinya,

7 Soetojo Prawirohamijoyo, ibid, hlm. 3.

sebagai sarana rekayasa masyarakat (a tool of social engineering).7 Sudut pandang demikian berarti bahwa suatu peraturan akan efektif andaikata materinya sejalan denga nilai-nilai yang dianut masyarakat, sebaliknya akan menjadi tidak efektif seandainya materinya tidak sejalan bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai yang dianut. Dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan nasional yang secara perlahan-lahan melepaskan nilai-nilai tradisional, sedangkan di pihak lain nilai-nilai baru belum mantap menyebabkab menambah rumitnya penerapan secara efektif dan disisi lain menimbulkan permasalah baru, sehingga memungkinkan untuk pengkajian lagi Undang Undang ini.

2. Ratio Legis Pengaturan Batas Minimal Usia Kawin menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pengaturan mengenai batas minimal usia perkawinan merupakan pilar penting dalam upaya perlindungan hukum terhadap perempuan, yaitu untuk menjamin kesehatan baik mental dan fisik dan tentunya berdampak pada kesejahteraan perempuan. Hal ini karena pengaturan menurut Undang Undang Perkawinan (Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974) hak yang diperoleh perempuan tidak sama dengan hak seorang pria dalam hal mengenyam pendidikan.

A. Aspek Sejarah

(8)

Lahirnya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang disahkan dan diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974 berdasarkan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1974 Nomor 1, telah mengakhiri pluralisme berlakunya hukum perkawinan di Indonesia. Hal ini sesuai dengan Pasal 66 pada bab XIV, ketentuan Penutup, sebagai berikut: Pasal 66 menyebutkan untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang Undang ini, maka dengan berlakunya Undang Undang ini ketentuan- ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), ordonantie Perkawinan Indonesia kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia 1933 No 74). Peraturan Perkawinan Campuran (regeling op gemeng de Huwelijken S 1898 No 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

Menurut sejarah politik hukum, keragaman pengaturan perkawinan tersebut tidak lepas pada masa Hindia Belanda, yang membagi penduduk Hindia Belanda menjadi 3 golongan yaitu, Golongan Eropa, golongan Bumi Putera dan golongan Timur Asing.

Kemudian berdasarkan Pasal 131 dinyatakan masing-masing golongan penduduk tunduk pada hukum yang berbeda-beda.

Bagi golongan Eropa berlakulah peraturan hukum yang ditetapkan oleh undang-undang, menurut ketentuan Pasal 131 IS dianutlah

asas konkordansi bagi mereka yang sebanyak mungkin sesuai dengan hukum yang berlaku di Nederland. Dengan Stb 1917 No 129 yo 1924 no 557 hukum perdata dan hukum dagang Eropa ini hampir seluruhnya dinyatakan berlaku bagi golongan Timur Asing Tionghoa, sedangkan dengan Stb1924 No 556 berlakulah Undang Undang tersebut bagi golongan Timur Asing bukan Tionghoa dengan perkecualian ketentuan-ketentuan tentang hukum keluarga dan hukum waris karena kematian.

Sedangkan untuk golongan Bumi putra menurut ketentuan 131 IS berlaku hukum adatnya sendiri, sejauh tidak mempergunakan kesempatan seperti yang diatur dalam Pasal 131 Ayat (4) Stb 1917 Nomor 12 yo 582 yaitu menundukkan diri secara sukarela pada seluruh atau sebagain Hukum Perdata dan Hukum Dagang Eropa.

Terhadap golongan bumiputra sendiri berlakulah ketentuan yang tidak homogen juga, ditentukan bahwa untuk yang beragama Islam , oleh pemerintah Hindia Belanda dikeluarkan Ordonanstie 8 September 1895 Indisch Staatblad 1895 nomor 198, tentang perkawinan dan perceraiaan antara umat Islam di Jawa dan Madura dengan perkecualian karesidenan Surakarta dan Yogjakata, dan telah mengalami beberapa perubahan dalam Indisch Staatablad 1898 nomor 149, Stb 1904 no 212, S 1909 no 409, S 1910 no 660,S 1917 no 497 dan S 1923 no 586 diubah dengan S 1931 no 467. Ordonantie tersebut juga berlaku terhadap golongan Timur Asing yang beragama Islam. Untuk S.1909 nomor 409 diberi

(9)

sebutan “Huwelijkse Ordonantie” artinya ordonansi Perkawinan, sedangkan didalam S 1923 no 586 dimasukkan ketentuan-ketentuan ancaman pidana. Sedangkan untuk umat Islam di luar Jawa dan Madura diatur dalam S 1910 no 659, ordonantie tanggal 16 Desember, dan selanjutnya ternyata ordonantie ini dicabut dengan ordonantie 8 September 1932.

Hal yang sangat penting pada masa ini adalah bahwa ordonantie-ordonantie ini sama sekali tidak mengatur materi Hukum Perkawinan tetapi hanya mengatur pendaftaran perkawinan, talak dan rujuk serta penetapan biaya maksimum dan biaya untuk para pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pendaftaran.

Dengan demikian jelas bahwa sebelum terbentuknya Undang Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, pengaturan hukum perkawinan masih belum bersifat unifikasi, oleh karena itu ada usaha pemerintah ke arah pembentukan Undang Undang Perkawinan baru, yang secara kronologis berdasarkan tahun, sebagai berikut:

1. Tahun 1945, diundangkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.

Undang Undang ini hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, yang isinya tidak jauh beda dengan Stb 1931 NO 467, dan selanjutnya melalui Undang Undang Nomor 32 Tahun 1954 Undang Undang ini dinyatakan berlaku untuk seluruh wilayah Republik Indonesia;

2. Tahun 1950, Menteri Agama mengeluarkan surat keputusan tanggal 1

Oktober 1950 Nomor b/2/4229 tentang pembentukan suatu Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk bagi umat Islam, yang diketuai oleh Mr. Mohammad Hassan. Panitia ini mengusulkan supaya rancangan Undang Undang yang bersifat umum dan berlaku untuk seluruh warga negara tanpa membedakan golongan, agama, dan suku bangsa;

3. Tahun 1952, tanggal 1 Desember, panitia bentukan Menteri Kesehatan menyampaikan Rancangan Undang Undang kepada organisasi-organisasi pusat dan daerah untuk memberikan pandangan umumnya dengan menetapkan dasar-dasar perkawinan , yaitu tentang:

a. Kemauan kedua belah pihak dan batas umur perkawinan 18 tahun untuk pria dan 15 tahun untuk wanita;

b. Poligami diijinkan bilaman hukum agama orang yang bersangkutan membolehkannya;

c. Harta benda perkawinan terdiri atas harta bawaan dan harta bersama, dapat terjadi penyimpangan jika diadakan perjanjian tertulis pada waktu dilangsungkannya perkawinan;

d. Perceraian diatur dengan keputusan pengadilan negeri dengan alasan- alasan tertentu. Sedangkan talak dan rujuk diatur dalam peraturan khusus Islam;

e. Tentang kedudukan anak ditetapkan tentang sah tidaknya seorang anak,

(10)

kemungkinan untuk mengakui, mengangkat dan mengesahkan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak serta kemungkinan untuk mencabut kekuasan orang tua bila mereka melalaikan kewajibannya terhadap anak itu, demikian pula terkait dengan perwalian bila anaktidak berada dibawah kekuasaan orang tua.

4. Tahun 1953 hasil rapat panitia memutuskan untuk :

a. Menyusun Rancangan Undang Undang Pokok yang pendek saja dan berlaku untuk umum tanpa menyinggung masalah agama;

b. Menyusun rancangan Undang Undang organik yang mengatur perkawinan menurut agama masing- masing, yaitu bagi golongan Islam, Katolik dan Protestan;

c. Menyusun rancangan Undang Undang untuk golongan yang tidak termasuk dalam salah satu golongan agama itu;

d. Tahun 1954 panitia menyampaikan RUU Perkawinan umat Islam kepada Menteri Agama Republik Indonesia;

e. Tahun 1957 Menteri Agama menyampaikan RUU dalam sidang cabinet.

5. Tahun 1958, anggota DPR dipimpin Ny.

Sumari mengajukan usul inisiatif RUU

8 Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) dibentuk berdasarkan keputusan presiden tanggal 6 Mei 1961.

adalah lembaga semi pemerintah , yang juga mengusulkan RUU Perkawinan baru mengeluarka keputusan menyangkut hukum kekeluargaan.

Perkawinan yang pada intinya berisikan peraturan perkawinan umum untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa membedakan agama dan suku bangsa.

Pokok RUU tersebut adalah, sebagai berikut:

a. Setiap warga negara berhak kawin menurut agamanya masing-masing;

b. Dasar perkawinan ialah monogami;

c. Perkawinan hanya terjadi atas kemauan kedua belah pihak;

d. Batas umur calon pengantin ialah 18 tahun untuk pria dan 15 tahun untuk wanita

6. Tahun 1962, Lembaga Pembinaan Hukum Nasional8 mengajukan Rancangan Undang Undang Perkawinan baru, menyangkut hukum kekeluargaan yang isinya, sebagai berikut:

a. Di seluruh Indonesia hanya berlaku satu sistem kekeluargaan, yaitu sistem parental;

b. Supaya sistem parental berlaku efisien, maka adalah conditio sine quanon bahwa semua larangan- larangan terhadap perkawinan antara cross cousins dan paralel cousins dihapuskan;

c. Sila kerakyatan dalam Pancasila menghendaki supaya parental didemokrasikan, sehingga suami istri tidak ada lagi perbedaan martabat d. Dalam setiap perkawinan diakui

(11)

adanya harta bersama antara suami istri mengenai harta benda yang diperoleh dalam perkawinan itu atas usaha suami atau istri;

e. Dalam prinsipnya perkawinan adalah monogami, poligami bagi golongan- golongan tertentu hanya dapat dilakukan dalam hal-hal tertentu dan dibawah pengawasan yang berwajib, dengan pengertian bahwa poligami itu tidak boleh dipaksakan terhadap istri yang tidak mau dimadu. Serta Undang Undang perkawinan untuk rakyat Islam membutuhkan penyempurnaan peraturan mengenai perceraian, talak dan nafkah istri sesudah perceraian.

7. Tahun 1963, pada saat seminar hukum nasional yang diadakan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) di Jakarta bersama-sama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia (PERSAHI), khusus tentang hukum perkawinan dikemukakan, sebagai berikut: “Pada dasarnya perkawinan adalah monogami, akan tetapi masih memungkinkan adanya poligami dengan syarat-syarat tertentu, juga mengenai batas minimum para calon pengantin”.

8. Tahun 1966, MPRS dalam ketetapannya No XXVIII/MPRS/1966, menyatakan dalam Pasal 1 Ayat (3) bahwa perlu segera diadakan Undang Undang perkawinan.

Pada tahun ini juga Menteri Kehakiman menugaskan lagi LPHN untuk menyususn

Rancangan Undang Undang Tentang Perkawinan yang bersifat nasional dan berlandaskan Pancasila.

9. Tahun 1967, tanggal 22 Mei 1967 pemerintah menyampaikan Rancangan Undang Undang Tentang Pernikahan Umat Islam kepada DPRGR.

10. Tahun 1968, kelanjutan penyampaian RUU Tentang Pernikahan Umat Islam dan disusulkannya RUU Tentang Ketentuan ketentuan Pokok Perkawinan.

Namun kedua RUU tahun 1967 dan 1968 tersebut tidak pernah selesai.

11. Tahun 1972, Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI) mengajukan petisi agar pemerintah mengajukan lagi RUU Perkawinan. Selanjutnya pada tahun tersebut Badan Musyawarah Organisasi organisasi Islam Wanita Indonesia pada tanggal 22 Pebruari 1972 mengambil keputusan, sebagai berikut:

a. Mendesak pemerintah agar mengajukan kembali kepada DPR kedua rancangan Undang Undang, yaitu:

1. Rancangan Undang Undang Tentang Pokok Peraturan Pernikahan Islam;

2. Rancangan Undang Undang Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Perkawinan yang pernah diajukan kepada DPR.

b. Menyerahkan kepada segenap anggota DPR RI hasil Pemilu agar menempuh segala cara yang dimungkinkan oleh Peraturan Tata Tertib DPR RI untuk melahirkan kedua Rancangan Undang

(12)

Undang Perkawinan tersebut.

12. Tahun 1973, MPR dalam sidangnya telah memutuskan suatu ketentuan No IV/1973 yang menggariskan tentang hukum dalam naskahnya bab 4b Hukum, angka 2, sebagai berikut: Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan kebutuhan hukum sesuai dengan Kesadaran Hukum Rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat tingkat perkembangan disegala bidang, sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang harus ditujukan ke arah peningkatan pembinaan Kesatuan Bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modernisasi dan pembangunan yang menyeluruh.

Masih di tahun 1973 tanggal 31 Juli 1973, dengan surat no R.02/PU/VII/1973, presiden menyampaikan kepada DPR RI Rancangan Undang Undang Tentang Perkawinan dan Pernikahan Umat Islam dan Rancangan Undang Undang Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Perkawinan, maka:

1. Pada tanggal 13 Agustus 1973, dalam rapat pimpinan DPR RI telah diputuskan untuk membahas RUU tentang Perkawinan tersebut dan akan diadakan rapat gabungan antara komisi III dan IX. Meskipun demikian sesuai dengan ketentuan Peraturan Tata Tertib DPR RI Pasal 93 Ayat 3 yang menyatakan bahwa

hal tersebut masih harus ditetapkan lebih lanjut oleh Badan Musyawarah.

2. Pada tanggal 30 Agustus 1973, dalam sidang pleno DPR RI Menteri Kehakiman atas nama pemerintah

menyampaikan keterangan pemerintah mengenai Rancangan

Undang Undang tersebut.

3. Pada tanggal 17 dan 18 September 1973, DPR RI memberikan pandangan umumnya atas RUU tersebut. Dalam kesempatan itu telah berbicara sebanyak sembilan anggota, masing-masing seorang dari anggota Fraksi ABRI, seorang dari fraksi Partai Demokrasi Indonesia, dua orang dari anggota Fraksi Karya Pembangunan dan lima orang dari anggota Fraksi Persatuan Pembangunan.

4. Pada tanggal 27 September 1973, Menteri Agama atas nama memberikan jawaban atas pemandangan umum para anggota DPR RI tersebut.

5. Pada tanggal 8 Oktober 1973, Komisi III dan IX DPR RI mengadakan rapat gabungan untuk membicarakan prosedur teknis pembahasan rancangan undang undang.

6. Pada tanggal 9 Oktober 1973, pimpinan DPR RI mengadakan lobbying dengan pimpinan fraksi fraksi tentang prosedur dan teknis tersebut.

(13)

7. Pada tanggal 10 Oktober 1973, komisi III dan IX mengadakan rapat gabungan juga membicarakan tentang prosedur teknis pembahasan rancangan undang-undang;

8. Pada tanggal 15 oktober 1973, pimpinan kedua komisi tersebut melakukan inventarisasi persoalan- persoalan dari RUU tersebut dengan koordinator wakil-wakil ketua Domo Pranoto dan Sumiskun;

9. Pada tanggal 6 Desember, 1973setelah melalui pembicaraan tingkat ke1dan 2 sesuai dengan peraturan Tata Tertib DPR RI maka dibentuk panitia kerja gabungan dari komisi III dan IX. Hasil pembicaraan pada tahapan ini adalah pembahasan menyeluruh baik dari segi tujuan, isi maupun dari segi formulasinya serta teknis yuridisnya. Kesempatan ini dipergunakan oleh semua fraksi juga oleh para anggota dan semua pembicaraan disepakati oleh cita-cita yang sama yaitu untuk mewujudkan suatu Undang Undang Perkawinan yang sejauh mungkin dapat memenuhi aspirasi hukum yang hidup dalam masyarakat serta sekaligus dapat memberikan pengarahan bagi perkembangan di masa depan. Untuk selanjutnya di tahun yang sama pada tanggal 22 Desember 1973 DPR RI dalam

9 Soetojo Prawirohamijoyo, Pluralisme Dalam Perundang Undangan Perkawinan di Indonesia, loc. cit., hlm 18- 19

rapat pleno terbuka dan sebagai pembicaraan tingkat IV telah menerima rancangan undang- undang untuk disahkan sebagai undang-undang.

10. Pada tahun 1974, tepatnya tanggal 2 Januari dengan Lembaran Negara 1974 No 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019 diundangkan Undang Undang tersebut dalam bentuknya yang definitif terdiri atas 67 pasal dalam XIV bab. Dalam ketentuan terakhir yaitu pasal 67 menentukan, bahwa:

a. Undang Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yang pelaksanaannya secara efektif

lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah;

b. Hal-hal dalam undang-undang ini yang memerlukan peraturan pelaksanaan diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.9 Berdasarkan uraian tersebut, tampak jelas bahwa penetapan batas minimal usia kawin untuk wanita 16 tahun dan pria 19 tahun saat Rancangan Undang Undang panitia yang diketuai Mr. Mohammad Hassan tahun 1953, selanjutnya April tahun 1958 pada saat anggota DPR wanita pimpinan Ny. Sumari mengajukan usul inisiatif RUU tersebut dan akhirnya pada saat Seminar Hukum Nasional pada tahun 1963 oleh Lembaga Pembinaan

(14)

Hukum Nasional.

B. Aspek Bangunan Undang Undang, Asas dan Sistem Hukum

Pada bagian ini dalam rangka menentukan ratio legis, dipaparkan tentang batas usia kawin menurut bangunan Undang Undang, asas dan sistem hukum. Undang undang sebagai salah satu bangunan hukum yang berfondasi pada asas, dipergunakan sebagai landasan aspek kehidupan. Norma-norma yang terurai didalamnya diperhatikan sebagai pedoman untuk mengatur kehidupan sosialnya. Undang undang juga merupakan suatu sistem, sebagaimana cicero menyebutkan dengan ubi societas, ibi ius karena Undang Undang sebagai wujud hukum dalam masyarakat.

Tetapi juga harus dipahami bahwa Undang Undang hanya merupakan salah satu wujud hukum disamping wujud hukum lainnya seperti yurisprudensi, kebiasaan dan doktrin.

Pada uraian berikut diuraikan tentang usia kedewasaan dan batas usia kawin, sebagai berikut:

Bahwa dalam BW ‘kedewasaan’ dikaitkan dengan sejumlah tahun tertentu. Orang dengan usia mencapai umur genap 21 tahun atau telah menikah sebelum mencapai umur itu dianggap sudah dewasa, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 330 BW. Alasan kedewasaan tersebut dikaitkan dengan kecakapan melakukan perbuatan hukum dengan pertimbangan bahwa mereka yang telah berumur 21 tahun atau telah menikah sudah dapat merumuskan kehendaknya dengan benar

10 Ade Maman Suherman, J Satrio, Penjelasan Hukum tentang Batasan Umur, (Jakarta: National Legal Reform Program (NLRP), 2010), hlm. 11.

dan sudah dapat menyadari akibat hukum dari perbuatannya dan karenanya maka mereka sudah handelings-bekwaam atau cakap untuk bertindak dalam hukum.

Hukum Adat menetapkan apakah seseorang telah dewasa dan cakap untuk bertindak menggunakan parameter yang berbeda. Pada umumnya orang dianggap telah dewasa dengan ukuran faktual yaitu setelah menikah atau meninggalkan rumah keluarga melalui cara mencari, juga diukur dengan kemandirian yaitu dengan sebutan “kuat gawe”. Mahkamah Agung menetapkan ukuran dewasa dengan kuat gawe dalam keputusannya jika mereka sudah 15 tahun. 10

Jika dianalisis pihak wanita belum dewasa atau belum cakap melakukan perbuatan hukum, sedangkan pihak pria sudah dewasa karena telah melampaui usia dewasa 18 tahun, namun dalam hal ini bukan berarti, ketika seorang wanita kawin dalam usia 16 tahun dan pria 19 tahun melangsungkan perkawinan, dilarang Undang Undang melainkan aturan tersebut merupakan aturan pengecualian yang ditetapkan Undang Undang.

Pembahasan berikut terkait dengan batas Usia kawin dalam beberapa ketentuan :

1. Menurut Hukum Islam

Hukum Islam dalam kajian fiqih, tidak ada kaidah yang sifatnya menentukan batas usia kawin, alasan yang dikemukakannya adalah menurut fiqih semua tingkatan umur dapat melangsungkan perkawinan. Argumentasi ini dari sejarah Nabi Muhammad SAW sendiri

(15)

saat menikahi Aisyah ketika ia baru berumur 6 tahun, dan mulai mencampurinya saat telah berusia 9 tahun.11 Sementara itu para fuqaha (ulama Fiqih) tidak ada yang menyatakan bahwa batas usia minimal adalah datangnya fase menstruasi, dengan dasar Allah SWT menetapkan masa ‘iddah atau masa tunggu bagi istri kanak-kanak (saghirah) yang diceraikan itu adalah 3 bulan, sebagaimana yang difirmankan dalam Q.S. Ath Thalaq ayat 4 yang artinya “Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi ”(monopouse) diantara perempuan-perempuanmu, jika kamu ragu- ragu (tentang masa iddahnya) maka iddah mereka adalah 3 bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid”.

Pendapat usia kawin bagi nabi 6 tahun tersebut menurut para ulama yang lain, disebutkan bahwa perkawinan dibawah umur antara Aisyah binti Abubakar dengan nabi Muhammad SAW yang jauh sudah dewasa tidak dapat dijadikan dalil umum.

Bahkan pendapat bahwa nabi menikah sampai beristri 10 wanita, termasuk istrinya yang bukan orang Arab (Ajam) yaitu Jariyah dari Mesir bernama Mariyah, juga tidak dapat dijadikan dalil umum. Oleh karena, sifatnya yang khusus, hampir semua istri nabi adalah janda kecuali Aisyah, dan semuanya mempunyai latar belakang sejarah dengan perjuangan Islam di masa permulaan.12 Ibnu Subramah menyatakan bahwa agama

11 Yusuf Hanafi, loc. cit. hlm. 11

12 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, (Bandung: Mandarmaju, 2003).

13 Yusuf, op. cit., 13.

14 Yusuf, ibid hlm. 12.

melarang perkawinan kanak-kanak (sebelum usia pubertas). Menurutnya nilai esensial perkawinan adalah memenuhi kebutuhan biologis dan melanggengkan keturunan, sementara dua hal ini tidak terpenuhi pada diri anak yang belum baligh. Argumentasi yang diberikan adalah melalui pendekatan historis, sosiologis dan kultural, sehingga menyikapi perkawinan nabi Muhammad SAW dengan Aisyah RA memandang juga sebagai hak khusus atau previlige bagi nabi Muhammad SAW yang tidak dapat ditiru umatnya dan sama persis dengan kebolehannya untuk beristri lebih dari 4 (empat) orang wanita.13

Apabila ditinjau dari tujuan perkawinan dalam Islam adalah dalam rangka memenuhi perintah Allah, untuk mendapatkan keturunan yang sah, untuk mencegah terjadi maksiat dan untuk dapat membina rumah tangga keluarga yang damai dan teratur, maka terserah kepada umat untuk mempertimbanhgkan adanya perkawinan itu. Lebih lanjut, terkait dengan tujuan perkawinan tersebut, para fuqaha hanya mengatakan bahwa tolok ukur kebolehan saghira digauli ialah kesiapan untuk melakukan aktivitas seksual (wath’iy) berikut segala konsekuensinya seperti hamil, melahirkan dan menyusui yang ditandai dengan tibanya masa pubertas. 14

Lebih lanjut Jalaluddin Al Suyuthi mengemukakan dalam Al-Jami’al Saghir yaitu kamus hadistnya, mengemukakan dua hadist

(16)

yang cenderung mendorong penyegaraan perkawinan sedini mungkin. Hadist pertama memetapkan “ada tiga perkara yang tidak boleh diakhirkan yaitu shalat ketika tiba waktunya, jenazah ketika akan dikebumikan dan wanita tidak bersuami ketika diajak menikah orang yang sepadan (kafa’ah)”.

Hadis yang kedua ditetapkan “Dalam Kitab Taurat tertulis bahwa orang yang mempunyai anak perempuan berusia 12 tahun dan tidak segera dinikahkan, maka anak itu berdosa dan dosa itu dibebankan atas orang tuanya”.

Menurut Hukum Gereja Katolik, Kanon 1083:1 disebutkan bahwa batas umur perkawinan adalah telah berumur 16 tahun bagi pria dan 14 tahun bagi wanita, sedangkan bagi Hukum Gereja Kristen Batak (HKBP) telah mengikuti batas usia kawin menurut Undang Undang Perkawinan , UU No 1 Tahun 1974 yaitu 16 tahun bagi wanita dan 19 tahun bagi pria.

Menurut Hukum Agama Hindu tidak ada ketentuan batas umur perkawinan yang pasti, sedangkan menurut Hukum Agama Buddha Indonesia batas umur perkawinan adalah mencapai umur 20 tahun bagi pria dan 17 tahun bagi wanita.

2. Batas Usia Kawin Menurut Hukum Adat Dasar-dasar dari perkawinan menurut prespektif hukum Agama, adat atau hukum nasional sejatinya dibentuk oleh unsur-unsur alami dari kehidupan itu sendiri, kebutuhan dan fungsi biologis, memberikan keturunan, kebutuhan kasih sayang, memelihara anak-

15 Soetojo Prawirohamijoyo, Pluralisme Dalam Perundang Undangan Perkawinan di Indonesia, loc. cit.,hlm. 23.

anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut dan mendidik anak-anak untuk menjadi anggota masyarakat yang sempurrna. Bentuk tertentu dari perkawinan tidak diberikan oleh alam, berbagai bentuk perkawinan itu berfungsi sebagai lembaga atau pranata.

Dalam perkawinan adat, perbedaan kelamin menyebabkan terjadinya hidup bersama antara seorang pria dan wanita dan hal inilah yang menjadi sebab musababnya kelangsungan hidup manusia. Pada awalnya, sebelum keadaan seperti saat ini, tidak ada ketentuan apakah perkawinan individual itu terjadi sebagai hidup bersama antara pria dan wanita, ataukah pada permulaannya dimana- mana terdapat keadaan promiskuitas yaitu perkawinan umum.

Pada jaman dahulu promiskuitas itu diterima sebagai kebiasaann (bachoven) sebagai kebalikan dari pendapat perkawinan kebiasaan orang primitif. 15Didalam etnologi (culture antropologie) perkawinan dipandang sebagai suatu perikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang bersifat sedemikian rupa sehingga anak-anak yang dilahirkan oleh si istri adalah keturunannya yang diakui dari kedua belah pihak.

Didalam kebanyakan perkawinan di negara bukan barat secara detail mengutamakan perkawinnan-perkawinan antara anggota- anggota keluarga tertentu (bepaalde verwanten), dan oleh para ethnoloog disebut sebagai vooekeurshuwelijken atau preferente huwelijken, terutama perkawinan antara cross

(17)

cousins adalah sangat umum, khususnya perkawinan seorang pemuda dengan anak wanita dari saudara pria ibunya. Ada kalanya perkawinan demikian antara keluarga sendiri (verwanten) sudah ditentukan jauh sebelumnya, sehingga sudah diketahui sejak kecil dengan siapa harus seseorang itu harus kawin. Jadi antara dua atau lebih golongan keluarga ada hubungan perkawinan yang teratur (regelmatige huwelijksrelatie), hal demikian disebut sebagai “connubium”.

Perkawinan merupakan titik pangkal dari keluarga sedarah, harta perkawinan, kekuasaan marital, kekuasaan orang tua dan hukum waris. Akibat hukum adanya perkawinan yang sangat luas membutuhkan persiapan-persiapan yang matang sebelum perkawinan berlangsung, termasuk penetapan batas minimal usia kawin.

Perkawinan konsep Hukum Adat dan aturannya merupakan produk budaya artinya dinamika perkawinan tersebut mengikuti perkembangan budaya masyarakat, perkembangan itu karena pengaruh dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan dan keagamaan yang dianut masyarakat. Oleh karena pengaruh-pengaruh tersebut maka di Indonesia perkawinan tersebut lain masyarakat lain pula aturannya.

Seperti sudah diketahui bahwa dengan berlakunya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sifat pluralisme Hukum perkawinan di Indonesia berakhir.

Namun walau Indonesia sudah mempunyai

16 Soetojo Prawirohamidjojo, loc cit ,hlm25

hukum perkawinan nasional sebagai aturan pokok, fakta hukum dikalangan masyarakat masih berlaku adat dan tata cara yang beragam.

Menurut persekutuan hukum yang sampai saat kini masih bertahan keberadaannya, terdapat berlakunya aturan perkawinan yang bersendi keibuan dan dikenal dengan aturan matrilineal dalam masyarakat Minangkabau. Bersendikan kebapakan patrilineal pada masyarakat Batak dan bersendi ke orang tuaan atau parental dalam masyarakat Jawa yang sifatnya campuran.

Persoalan batas minimal usia kawin, sama halnya dengan ketentuan fiqh Islam, berarti menurut hukum adat membolehkan perkawinan semua umur. Jika dibandingkan dengan hukum Barat usia untuk kawin menurut hukum adat lebih rendah.16 Hukum Barat menentukan 15 tahun untuk wanita dan 18 tahun untuk pria, berarti menurut hukum adat lebih rendah dari 15 tahun namun tidak ditentukan batas minimalnya. Pergaulan sexual sebelum kawin kadang-kadang merupakan kebiasaan, akan tetapi ada pula yang sangat keras melarangnya, terutama bagi para gadis.

3. Batas Usia Kawin menurut Undang Undang Nasional

Menurut Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sudah ditentukan batas minimal usia kawin yaitu 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk pria. Sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 Ayat (1), lengkapnya sebagai berikut:

Pasal 7 Ayat(1) : Perkawinan hanya

(18)

diizinkan jika pria mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

Pada Pasal 6 Ayat (2) sebagai syarat melangsungkan perkawinan ditetapkan ketentuan bahwa seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua terlebih dahulu, Pasal 6 Ayat (2) menentapkan sebagai berikut:

Pasal 6 Ayat (2) : Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

Dari ketentuan pasal 6 Ayat (2) tersebut, yang perlu mendapat izin orang tua untuk melakukan perkawinan adalah pria yang berumur 19 tahun dan wanita yang berumur 16 tahun. Hal ini berarti bahwa pria dan wanita yang usianya dibawah ketentuan batas minimal usia kawin belum boleh melaksanakan perkawinan dan yang usianya 16 serta 19 tahun juga perlu ijin kedua orang tuanya.

Adanya Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974, sebagaimana diuraikan dalam Pasal 66 Undang Undang no 1 tahun 1974 menunjukkan bahwa ketentuan perkawinan menurut hukum barat yaitu BW atau KUHPerdata menjadi tidak berlaku. Pasal 29 BW menetapkan batas usia kawin yaitu 15 bagi wanita dan 18 bagi

pria.

Jika diperhatikan tampak bahwa walaupun UU No 1 Tahun 1974 dan Pasal 29 BW, menetapkan batas usia kawin, dan terdapat pengaturan lebih lanjut untuk pelangsungannya, yaitu perlunya ijin bagi yang belum berumur 21 tahun. Ditetapkannya usia 16 bagi wanita dan 19 bagi pria menandakan bahwa terdapat kaitan yang erat dengan persoalan demografi atau kependudukan. Dapat dijelaskan bahwa dengan adanya batasan usia kawin, Undang Undang Perkawinan bermaksud untuk menahan laju perkawinan yang berdampak langsung pada persoalan demografi. Dapat disebutkan bahwa dengan batas minimal usia kawin yang rendah mengakibatkan laju kelahiran yang lebih tinggi dan berakibat pula pada kematian ibu hamil yang relatif tinggi. Dari aspek kesehatan sebagaimana sudah terurai sebelumnya adalah terkait dengan kesehatan reproduksi wanita menjadi terganggu juga. Dengan demikian pembatasan batas minimal usia kawin ini sesuai dengan prinsip perkawinan yang menyatakan bahwa calon suami dan istri harus telah matang jiwa raganya.

Apabila ternyata masih ada fakta hukum pelangsungan perkawinan dibawah usia yang ditetapkan, yaitu dibawah 16 tahun bagi wanita atau dibawah 19 bagi pria, sementara keadaan tersebut sangat mendesak, demi perlindungan hukum maka Undang Undang tersebut memberi ruang untuk memberikan kemungkinan menyimpangi batas minimal usia kawin tersebut seperti dalam Pasal 7

(19)

Ayat (1) yaitu dengan memohon dispensasi ke Pengadilan. Sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 7 Ayat (2) sebagai berikut:

“Dalam hal penyimpangan terhadap Pasal 7 Ayat (1) pasal ini dapat minta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita.”

Yang perlu diketahui adalah bahwa pada dasarnya ketentuan-ketentuan tersebut tidak berlaku bagi umat Islam karena fiqh tidak melarang terjadinya perkawinan dibawah 19 tahun atau dibawah 16 tahun bagi wanita.

C. Aspek Politik, Sosial, Budaya

Pembinaan Hukum Nasional yang dilakukan pemerintah sebagai wujud kodifikasi secara parsial dihadapkan pada tuntutan kepentingan kelompok dan agama.

Wujud kompromi yang dikemukakan untuk mengatasi problem adalah berpijak pada asas kekeluargaan yang menjadi karakter bangsa, termasuk dalam tataran hukum perkawinan.

Lembaga perkawinan yang dianggap suci dan ini diajarkan oleh agama apapun tidaklah mudah untuk disusun dalam suatu norma hukum, diperlukan penalaran yang bijak dan akurat.

Nilai yang dihayati rakyat wajib dirangkum dalam sebuah aturan hukum yang dapat menjamin timbulnya kepastian hukum dan keadilan. Seperti sudah diketahui bahwa pengaturan tentang syarat batas minimal usia kawin dalam hukum perkawinan di Indonesia adalah 16 tahun bagi wanita dan 18 tahun bagi pria, penetapan tersebut

sebagaimana yang sudah dianalisis terdahulu secara historis dengan pertimbangan hukum dan sejarah adalah memadai pada masanya.

Dengan perkembangan teknologi, kemajuan pengetahuan, pertimbangan medis, kehidupan sosial, batas minimal usia kawin tersebut dirasakan publik sudah harus diubah.

Penyebabnya ternyata timbulnya perkawinan anak berpengaruh terhadap perkembangan laju kependudukan.

Oleh karena itu, sesuai dengan hukum perundang-undangan, melalui cara-cara hukum ketetapan terkait batas minimal usia kawin sebagaimana dalam Pasal 7 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, dimohonkan hak uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Pada akhirnya permohonan tersebut dikabulkan karena batas usia kawin 16 tahun bertentangan dengan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22/

PUU-XV/2017 tentang uji materiil UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya tentang usia perkawinan dapat segera dilaksanakan. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa ketentuan batas minimal usia kawin tidak mempunyai kekuatan mengikat dan Mahkamah Konstitusi memerintahkan pembentuk Undang Undang dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun sejak putusan tersebut ditetapkan untuk melakukan perubahan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.

Dari pernyataan ini berarti sesungguhnya penetapan usia dewasa menurut Undang

(20)

Undang Perkawinan dan Undang Undang Perlindungan Anak sehingga jika perkawinan bagi seorang wanita ditentukan 16 tahun berarti ia harus mendapatkan hak-hak sebagai seorang anak sebagaimana Undang Undang terkait hak anak tersebut.

Selain pengaturan tersebut juga dimungkinkannya dispensasi melangsungkan perkawinan di bawah batas minimal usia kawin ke Pengadilan (Pasal 7 Ayat (2) Undang Undang Perkawinan). Hal ini menunjukkan bahwa Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut membuka peluang atau melanggengkan praktek perkawinan anak.

Fakta hukum demikianlah yang menjadikan ratio desidendi Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan yudicial konstitusional yang diajukan publik karena dianggap bertentangan dengan Undang Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dan peraturan peraturan lain yang berkaitan dengan hak-hak anak.

Pertimbangan lain adalah penetapan usia dewasa 18 tahun, batas minimal usia kawin laki laki 19 tahun, perempuan 16 tahun, tentu hal tersebut dipandang sebagai pelanggaran prinsip persamaan hak dan hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 27 Ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Pernyataan tersebut dapat juga ditelaah dalam perspektif hukum nasional terkait perkawinan anak dibawah umur sebagai berikut: meskipun tidak secara formal mengaku sebagai negara muslim, namun Indonesia adalah negara yang berpenduduk

muslim terbesar di dunia. Pembakuan hukum keluarga di Indonesia yang mulai tampak pada tahun 1960 an, kemudian dengan semangat penyempurnaan-penyempurnaan akhirnya bermuara tahun 1974 dan lahir UU Perkawinan. Hingga saat diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi dengan putusan No 22/

PUU-XV/2017, tentang upaya perubahan UU Perkawinan khususnya tentang usia kawin sehingga sudah 33 tahun berlangsung baru ada titik terang untuk secara serius mempersoalkan tentang batas minimal usia kawin. Kurun waktu 33 tahun tersebut wajar bila banyak terjadi perubahan yang terjadi, khususnya yang terkait dengan diri perempuan, misalnya fenomena seorang perempuan menjadi kepala rumah tangga, yang selalu ada kecenderingan meningkat, sementara UUP membatasi kedudukan hanya suami sebagai kepala rumah tangga, tanpa ada penjelasan.

Untuk selanjutnya pada penjelasan berikut akan diuraikan tentang alasan pengaturan batas minimal usia kawin melalui pertimbangan filsafati, sosiologis dan yuridis.

1. Landasan filsafati

Pada umumnya suatu pengaturan hukum dalam bentuk Undang Undang, selain batang tubuh tentu berawal dari dasar terbentuknya pengaturan tersebut. Landasan filsafati sebagai dasar pertimbangan , umumnya tampak pada konsideran peraturan tersebut. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan . Disahkan di Jakarta pada tanggal 14 Oktober

(21)

2019 oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Diundangkan di Jakarta pada tanggal 15 Oktober 2019 oleh PLT Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Tjahjo Kumolo. Pada Lembaran Negara Tahun 2019 Nomor 186, serta Tambahan Lembaran Negara Nomor 6401. Ada 4 point yang terdapat pada tahap Menimbang, yaitu:

a. Bahwa negara menjamin hak warga negara untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah, menjamin hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Bahwa perkawinan pada usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan dan hak sosial anak;

c. Bahwa sebagai pelaksanaan atas Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 22/PUU-XV/2017 perlu melaksanakan perubahan atas ketentuan Pasal 7 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan;

d. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf 17 Ibid., hlm. 26.

a, huruf b, huruf c perlu membentuk Undang Undang tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan.

Dari konsideran menimbang tersebut ada problem filsafat yang dapat disimpulkan yaitu adanya ketidakadilan, ada pelanggaran prinsip/

asas kesamaan hak atar warga negara yang harus dilindungi, sesuai dengan amanat konstitusi.

Landasan filsafati merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Adanya jaminan ini menunjukkan komitmen negara untuk mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang jauh dari perakuan diskriminatif termasuk dalam batasan usia perkawinan bagi perempuan dan laki laki.

2. Landasan sosiologis

Penjelasan terkait lansadasan sosiologis tidak lepas dari penjabaran masa kolonial pada masa kolonial ditemukan wujud perkawinan dengan kasus, dimana anak perempuan dikawinkan dalam usia muda, sekitar 8 atau 10 tahun17. Menyikapi keadaan seperti itu diperlukan kebijakan strategis nasional dengan fokus dan konsentrasi untuk memberantas fakta hukum perkawinan dibawah umur di daerah-daerah kantung

(22)

khususnya pedesaan. Tradisi menikah muda keluarga pedesaan itu tidak lepas dari tatanan kehidupan mereka yang telah berakar kuat.

Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat pedesaan itu membutuhkan anggota keluarga baru yang menunjang proses pengolahan lahan pertanian, dan satu-satunya alternatif yang dapat dipilih adalah dengan menikahkan anak anaknya walaupun masih dibawah umur. Fakta hukum tersebut tampak tidak bermasalah dan menyimpang karena pemahaman arti dewasa atau akil baligh bagi kelompok masyarakat pedesaan sering diukur dari usianya. Bahkan orang tua itu kurang peduli terhadap usia anak anaknya. Batas kedewasaan dalam pengertian mereka adalah diukur melalui fisik.

Dalam kontruksi pemikirannya, perkawinan di bawah umur merupakan opsi terbaik untuk menyelamatkan moralitas generasi baru dan menyadarkan tanggung jawa bnya.

3. Landasan Yuridis

Sebagai dasar yuridis, pemerintah dituntut untuk membuat komitmen politik (political wiill) dan pernyataan tegas untuk menghentikan praktik tradisi bahasa yang mempengaruhi kesehatan perempuan dan anak, terutama perkawinan dibawah umur. Indonesia sebagai negara hukum pada masa kini sudah mempunyai Undang Undang Perlindungan Anak. Undang Undang ini merupakan hasil politik hukum yang didasarkan pada penghormatan hak manusia khususnya hak anak. Melalui amanat Undang Undang ini mempertegas

pemikiran pentingnya mempertimbangkan ulang pengaturan Pasal 7 Ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang batas minimal usia kawin dan Pasal 7 Ayat (2) tentang dispensasi perkawinan di bawah batas minimal usia perkawinan. Apabila dicermati keberadaan Pasal 7 Ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut bertentangan dengan Undang Undang Perlindungan anak.

Penjelasannya sebagai berikut, bahwa dalam Undang Undang perlindungan anak disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk dalam kandungan.

Kemudian didalam Pasal 26 Ayat (1) huruf c tegas disebutkan “orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak”. Tetapi ketentuan ini tidak disertai aturan lanjutan tentang ketentuan sangsi pidana sehingga tidak efektif dan tidak ada artinya dalam melindungi anak- anak dari ancaman perkawinan usia anak.

Batasan tentang usia anak dalam Undang Undang Perlindungan Anak ini sama dengan ketentuan yang direkomendasikan oleh WHO dan International Convemtion on the Rights of the Child, yaitu usia anak 1 sampai 18 tahun.

Adanya norma yang bermasalah pada dua pengaturan tersebut dapat disebutkan bahwa Pasal 7 Ayat (1) Undang Undang Perkawinan belum menjamin perlindungan dan pemenuhan hak atas kelangsungan hidup, tumbuh, berkembang serta berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat kemanusiaan.

Pertimbangan yuridis selanjutnya adalah pertimbangan dari putusan Mahkamah

(23)

Konstitusi Nomor 22/PUU-XV/2017.

Mahkamah Konstitusi menyatakan perbedaan batas usia perkawinan laki-laki dan perempuan dalam Undang Undang tersebut menimbulkan diskriminasi. Argumentasi yang dibangun Mahkamah Konstitusi adalah adanya Pasal 7 Ayat (1) Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa “setiap warga negara memiliki kedudukan sama dihadapan hukum”, disamping itu Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa Undang Undang Perkawinan khususnya Pasal 7 Ayat (1) tidak sinkron dengan Undang Undang Perlindungan Anak yang mengatur batasan anak bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia

18 tahun. Pertimbangan lain dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah terkait dampak buruk perkawinan anak terkait aspek kesehatan dan pendidikan.

Simpulan

Setelah melalui analisis sistematis maka disimpulkan sebagai berikut bahwa Ratio legis pengaturan batas minimal usia perkawinan menurut Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah pengakuan hak anak, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama atas hukum sehingga tidak ada diskriminasi.

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Appeldoorn, L. J. van. Pengantar Ilmu Hukum (Inleiding tot de studie van het Nederlands Recht) cetakan keduabelas.

Jakarta: Pradnya Paramita, 1978

Hadikusuma, Hilman. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama. Bandung:

Mandarmaju, 2003.

Hanfi, Yusuf. Kontroversi Perkawinan Anak Dibawah Umur. Bandung: Mandar Maju, 2011

Ibrahim, Johnny. Teori dan Metodologi Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, 2006

Isnaeni, Moch. Hukum Perkawinan Indonesia.

Bandung: Refika Aditama, 2016

Kaelan. Negara kebangsaan Pancasila.

Yogyakarta: Manajemen Grafindo Persada, 2013

Koentjoraningrat. Metode Metode Antropologi Dalam Penyelidikan dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbitan Universitas, 1958

Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. Jakarta: PT Gramedia, 1974

Koentjaraningrat. Pengantar Ilmu Antropologi.

Jakarta: Aksara Baru, 1983

Kusuma, R.M.A.B. Lahirnya Undang UNdang Dasar 1945, Memuat salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidiki

(24)

Oesaha Persiapan Kemerdekaan Edisi Revisi. Jakarta :Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009 Lukito, Ratno. Tradisi Hukum Indonesia

Cetakan Pertama. Yogyakarta: Teras, 2008

Muhammad, Bushar. Asas Asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta: Pradnya Paramita, 1994

Prawirohamidjojo, Soetojo. Pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan di Indonesia. Surabaya: Airlangga University Press, 1988

Soepomo, R.. Bab Bab Tentang Hukum Adat.

Jakarta: Penerbitan Universitas, 1963 Soepomo, R.. Sejarah Politik Hukum Adat

Jilid II. Jakarta: Pradnya Paramita, 1982 Suherman, Ade Maman. Pengantar

Perbandingan Sistem Hukum. Jakarta:

RajaGrafindo Persada, 2004

Suherman, Ade Maman dan J. Satrio.

Penjelasan hukum tentang batasan umur. Jakarta: National Legal Reform Program (NLRP), 2010.

Tanya, Bernard L.. Pancasila Bingkai Hukum Cetakan Pertama. Yogyakarta : Genta Publishing, 2015

Vollmar, H.F.A.. Pengantar Studi Hukum Perdata Jilid 1. Jakarta: Rajawali, 1989 Wignyosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum

Kolonial Ke Hukum Nasional Dinamika Sosial-Politik Dalam Perkembangan Hukum Di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada., 1994

Wignyosoebroto, Soetandyo. Hukum:

Paradigma, Metode Dan Dinamika Masalahnya, Elsam, Jakarta: HuMa, 2003

Wignyosoebroto, Soetandyo. Pergeseran Paradigma Dalam Kajian Sosial dan Hukum. Malang: Setara Press, 2013

Jurnal

Cahyowati, Rr. “Kedudukan Hak Mewaris Perempuan dari Harta Bersama Dalam Hukum Adat Sasak”. PERSPEKTIF, Vol. XV, No. 2, (April 2010): 123-138 Hamdani, Muhammad Faisal. “Hukum

Inseminasi Buatan dan Bayi Tabung”.

Al Ahkam, Jurnal Ilmu Syariah, Vol. 8 No. 1, (Maret 2010): 107-119

Hermawan, Bambang Eryanto, Rachmad Safa’at, Rachmi Sulistyarini dan Hero Samudra. “Simple Verification Principles in Bankruptcy Procedures in Commercial Court of Indonesia”.

International Journal of Multicultural and Multireligious Understanding, Vol.

7, No 5, (June 2020)

Muhammad, Romli, Thohir Luth, Rachmi Sulistyarini dan Siti Hamidah. “Legal Consideration of Legal Conversion in Different Religious Marriage in Indonesia”. Russian Journal of Agricultural and Socio Economic sciences (RJOAS), Vol. 12, No. 108, (December 2020): 89-98

Muhammad, Romli, Thohir Luth, Rachmi Sulistyarini dan Siti Hamidah.

“Legal Status of Overseas Marriage

(25)

Regristration in the Perspective of Indonesian Marriage Law”, Tehnium Social Sciences Journal, Vol. 14, (December 2020): 260-265

Resmini, Wayan. “Perkawinan Antar Bangsawan dan Implikasinya Terhadap Hubungan Sosial Keluarga (Studi Kasus di Desa Aikmel kecamatan Aikmel Kabupaten Lombok Timur tahun 2011”. GaneC Swara,Vol. 6, No.

1, (Maret 2012):27-33

Sriwulan, Hermin. “Reformulation of a Fair Iddah Alimoni Maintenance Arrangements in Indonesia’s Muslim Family Law”. Journal of Law, Policy and Globalization, Vol. 102, (2020).

Sulistyarini, Rachmi, A. Rachmad Budiono, Bambang Winarno dan Imam Koeswahyono. “The Benchmark of Freedom of Contract Under Indonesian Treaty Law (Cutomary Law Prespective)”. Developing Country Studies, Vol. 8, No. 2, (2018): 20-33 Sulistyarini, Rachmi, A. Rachmad Budiono,

Bambang Winarno dan Imam Koeswahyono. “The Contact Point of Costomary Law and Islamic Law (Legal History Perspective)”. International Journal of science and Management, Vol. 5, No. 2, (2018): 51-59. doi: https://

doi.org/10.3126/ijssm.v5i2.19672

Wahyuningsih, Dyah Retno, Suhariningsih Suhariningsih dan Rachmi Sulistyorini . “Jurisdictional ImplicationVagueness of Marriage Dispensation Normsin

Law Number 16 Year 2019”.

International Journal of Multicultural and Multireligious, Vol. 8, No. 7, (Juli 2021): 559-578

Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ( Lembaran Negara 1974 no 1, Tambahan Lembaran Negara no 3019 )

Undang Undang No 16 tahun 2019 tentang Perkawinan Perubahan atas Undang Undang no 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara no 186 tahun 2019 Tambahan Lembaran NegaraRI no 6401 )

Referensi

Dokumen terkait

Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1

TINJAUAN LITERATUR Pengertian pajak adalah Menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang perubahan keempat atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum