• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hak Merek dalam E-Commerce berbentuk Market Place

N/A
N/A
hisyam athallah

Academic year: 2023

Membagikan "Perlindungan Hak Merek dalam E-Commerce berbentuk Market Place"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

56 BAB III

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Problematika Hukum Perlindungan Hak Merek dalam E-Commerce berbentuk Market Place

Seiring dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, e- commerce muncul sebagai inovasi teknologi dalam bidang perdagangan/bisnis yang memerlukan akses internet dalam pelaksanaannya. Hal ini sejalan dengan pengaruh teknologi informasi guna memacu pertumbuhan suatu negara di dunia.

Pertama teknologi informasi membuat peningkatan permintaan atas produk- produk teknologi informasi itu sendiri, seperti komputer, modem, smartphone, laptop dan sebagainya. Kedua, adalah mempermudah aktivitas masyarakat global salah satunya di dalam transaksi bisnis terutama bisnis keuangan di samping bisnis-bisnis lainnya (Agus Rahardjo, 2002: 1). Kedua hal tersebut pada dasarnya tercermin dalam pola transaksi yang ditawarkan dalam platform e-commerce, yang memiliki sifat khusus dibandingkan dengan perdagangan secara konvensional.

Salah satu perbedaan mendasar antara e-commerce dengan perdagangan konvensional adalah terletak pada bentuk kontrak yang ada. Dalam e-commerce pada umumnya, kontrak yang ada berbentuk kontrak elektronik (e-contract) yaitu kontrak/perjanjian yang dibuat oleh para pihak melalui sistem elektronik, di mana para pihak tidak saling bertemu langsung. Hal ini berbeda dengan kontrak biasa/konvensional di dunia nyata (offline) yang umumnya dibuat di atas kertas dan disepakati para pihak secara langsung melalui tatap muka (Suwardi, 2015:

163).

Berbeda dengan perdagangan konvensional yang produk barangnya dapat terlihat secara fisik, produk digital (e-commerce) biasanya diperjualbelikan secara online oleh dua pihak yang bertransaksi melalui internet (Nufransa Wira Sakti, 2014: 29). Bahkan, transaksi e-commerce ini dapat dilakukan tanpa diketahui

(2)

57 sama sekali oleh penjual dan pembeli yang bersangkutan (Nufransa Wira Sakti, 2014: 29). Karena sifatnya yang digital, bentuk barang yang ditawarkan dalam transaksi e-commerce pun dapat diketahui dengan hanya mencantumkan gambar digital yang secara visual mencerminkan barang tersebut ataupun dengan keterangan spesifikasi/penjelasan dari barang yang bersangkutan.

Terdapat berbagai macam model e-commerce yang tersedia di pasar.

Adapun e-commerce yang umum di kenal di Indonesia berdasarkan sifat transaksinya berjenis B2C dan C2C. Berikut ini beberapa model e-commerce yang ada di Indonesia: (Even Alex Chandra, 2016)

1. E-Retail

Toko Online dengan alamat website (domain) sendiri di mana penjual memiliki stok produk/jasa dan menjualnya secara online. Contoh: Lazada, dan Tiket.com.

2. Iklan Baris Online

Merupakan situs iklan baris, di mana situs yang bersangkutan tidak memfasilitasi kegiatan transaksi online. Contoh: Kaskus dan OLX.

3. Market Place

Model bisnis di mana website yang bersangkutan tidak hanya membantu barang dagangan saja, tapi juga memfasilitasi transaksi uang secara online untuk para pedagang online. Contoh: Blanja, Tokopedia, dan Bukalapak.

Dan dalam pendapat lain selain ketiga model e-commerce tersebut terdapat 2 (dua) model lain, yaitu: (https://www.maxmanroe.com/mengenal-5-bentuk- bisnis-ecommerce-yang-ada-di-indonesia.html, diakses pada 13 September 2018 pada pukul 21.00 WIB)

4. Shopping Mall

Merupakan model e-commerce dengan penjual di e-commerce tersebut hanyalah brand-brand besar yang telah mempunyai nama di pasar lokal atau pun internasional. Contohnya adalah Blibli dan Zalora.

5. Sosial Media Shop

Bentuk e-commerce ini adalah bentuk e-commerce yang memanfaatkan potensi dari media sosial untuk menawarkan barang dagangan. Contohnya, Facebook, Instagram, Twitter,dan lain-lain.

(3)

58 Pada beberapa jenis situs e-commerce, konten dalam situs e-commerce diisi oleh pengguna situs yang terdaftar. Pada jenis model e-commerce seperti ini biasa disebut sebagai User Generated Content (UGC) yang tercermin dalam platform market place. Di dalam market place, produk-produk yang dijual di dalamnya pada umumnya diunggah oleh pengguna (user) karenanya market place ini memiliki sifat transaksi C2C (Rintho R.R., 2018: 25). Meskipun memang tak memungkiri penyedia platform pun juga menawarkan produk yang dimiliki sendiri.

Pengelolaan platform e-commerce dilakukan oleh pihak yang juga merupakan pihak yang menjadi penyedia jasa e-commerce. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia penyedia platform e-commerce ini dikategorikan sebagai penyelenggara sistem elektronik sesuai dengan UU ITE.

Penulis mempergunakan istilah “penyedia platform e-commerce” untuk merujuk kepada pihak tersebut. Penyedia platform e-commerce inilah yang menentukan muatan ataupun jenis konten yang tersedia di dalam situsnya. Sehingga sebagai pengelola situs, penyedia platform menjadi penentu model e-commerce apa yang akan diterapkan dalam situsnya.

Definisi penyelenggara sistem elektronik yang secara khusus mengelola sistem elektronik dalam e-commerce pada dasarnya memang belum diatur dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia. Meskipun demikian definisi tersebut dapat didasarkan pada pengertian penyedia platform e-commerce yang terdapat dalam Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2016 tentang Batasan dan Tanggung Jawab Penyedia Platform dan Pedagang (Merchant) Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (Electronic Commerce) yang Berbentuk User Generated Content (untuk selanjutnya disebut dengan, “SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce”). Dalam Angka Romawi V Huruf A angka 2 diatur,

“Penyedia Platform adalah pihak baik individu, dana usaha, maupun badan hukum yang menyediakan Platform”. Sementara pengertian dari Platform berdasarkan angka 1 ketentuan tersebut adalah sebagai berikut, “Platform adalah wadah berupa

(4)

59 aplikasi, situs internet, dan/atau layanan konten lainnya berbasis internet yang digunakan untuk transaksi dan/atau fasilitas perdagangan melalui sistem elektronik”. Dari kedua ketentuan tersebut, secara lengkap pengertian dari penyedia platform e-commerce adalah sebagai berikut:

“Penyedia platform e-commerce adalah pihak baik individu, dana usaha, maupun badan hukum yang menyediakan wadah berupa aplikasi, situs internet, dan/atau layanan konten lainnya berbasis internet yang digunakan untuk transaksi dan/atau fasilitas perdagangan melalui sistem elektronik.

Bentuk/pola perdagangan yang tersistem dalam platform e-commerce sebenarnya merupakan suatu bentuk inovasi bidang perdagangan yang memudahkan berbagai pihak dalam rangka melakukan transaksi jual-beli suatu produk. Hal tersebut tercermin dalam akses perdagangannya yang cenderung sederhana dengan memanfaatkan koneksi internet, tanpa harus memiliki toko fisik, dan bertemu secara langsung. Tentunya dengan sistem tersebut, e-commerce menawarkan keringanan dan kepraktisan bagi pedagang dan pembeli. Karenanya e-commerce dianggap lebih dari perdagangan pada umumnya (Abdul Halim B., 2017: 28). Terhubungnya kedua pihak tersebut difasilitasi oleh penyedia platform sebagai pihak ketiga yang menyediakan situs tempat pedagang dan pembeli bertransaksi.

Kemudahan yang ditawarkan dalam pola perdagangan e-commerce ini pun menjadi potensi bagi pengembangan ekonomi melalui industri e-commerce.

Menilik pada data Sensus Ekonomi 2016 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) industri e-commerce di Indonesia dalam 10 tahun terakhir tumbuh sekitar 17% dengan total sekitar 26,2 juta usaha (http://industri.bisnis.com/read/

20170505/12/650993/pertumbuhan-bisnis-e-commerce-tak-tertahankan, diakses pada 22 November 2017, pukul 21.30). Dari sisi nilai pasar, industri e- commerce di Indonesia diproyeksi akan menjadi yang terbesar di seluruh Asia Tenggara, dengan prediksi mencapai Rp1.732 triliun atau US$130 miliar pada 2020 (http://www.viva.co.id/digital/startup/904560-cegah-barang-palsu-e- commerce-ini-pilih-asli-meski-bekas, diakses pada 11 November 2017, pukul 20.45).

(5)

60 Potensi tersebut pada akhirnya tercipta bukannya tanpa risiko. Kemudahan tersebut selain menjadi kelebihan dalam sistem e-commerce, akan tetapi juga menimbulkan permasalahan. Terutama apabila model e-commerce ini berbentuk market place. Karena konten yang ada di dalam situsnya diisi oleh penggunanya, maka kontrol terhadap barang-barang apa saja yang dijual di dalamnya menjadi lebih sukar dan lebih kompleks. Pedagang yang menawarkan barang dalam situs market place pada dasarnya berjumlah sangat banyak. Untuk melakukan pengawasan terhadap semua pedagang tersebut tentunya akan sangat terbatas untuk dilakukan. Dan dalam hal ini sesuai dengan fokus kajian penulis permasalahan yang terjadi adalah beredarnya barang yang melanggar ketentuan hak merek atau dalam istilah yang umum dikenal dalam masyarakat disebut dengan barang palsu.

Permasalahan mengenai pelanggaran HaKI sebenarnya sudah menjadi suatu permasalahan umum yang terjadi di Indonesia. Bahkan menurut United State Trade Representative (USTR) secara umum Indonesia merupakan salah satu negara yang berada pada empat besar negara pelanggar HAKI terbesar di dunia.

(https://www.liputan6.com/news/read/2527345/pembajakan-hak-intelektual-di- indonesia-masuk-4-besar-dunia, diakses pada 30 Juli 2018, pukul 12.30 WIB).

Beredarnya barang yang melanggar hak merek dalam e-commerce sebagai akibatnya muncul menjadi salah satu risiko atas besarnya pemanfaatan sarana e- commerce oleh masyarakat. Dan dengan tingkat kesadaran perlindungan kekayaan intelektual yang rendah, berimplikasi terhadap pelanggaran merek dalam transaksi yang terjadi melalui e-commerce. Yang mana dapat merugikan pihak-pihak yang mendapatkan manfaat dari penggunaan merek tersebut sebagaimana mestinya.

Hal tersebut tentunya menjadi suatu catatan buruk bagi kepentingan perlindungan hak merek dalam hal kepentingan komersial, kepentingan produksi maupun kepentingan konsumsi. Sebagaimana juga telah dijelaskan oleh MIAP, sarana e-commerce kini menjadi wadah paling efektif bagi pedagang untuk memasarkan produk palsunya. Dan karena jumlah pedagang dalam e-commerce banyak, peredaran lewat e-commerce ini membuat penyebaran barang palsu

(6)

61 menjadi semakin sulit untuk diawasi (https://ekbis.rmol.co/read/2017/06/22/

296641/Peredaran-Barang-Palsu-Menjamur-Di-Online-Shop-, diakses pada 21 September 2018 pukul 20.15 WIB).

Penjualan barang yang melanggar merek dalam situs market place ini menimbulkan pertanyaan .mengenai perlindungan hukum yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Karena konten tersebut dimuat di dalam situsnya, maka seringkali pihak penyedia platform dimintai pertanggungjawabannya. Kasus seperti ini pernah terjadi dalam gugatan yang dilakukan oleh gabungan brand besar dalam kelompok Kering Grup kepada penyedia layanan market place Alibaba yang merupakan raksasa e-commerce asal Tiongkok atas maraknya produk bermerek palsu yang ditawarkan dalam situsnya. Karena gugatan tersebut Alibaba berjanji akan lebih mengontrol konten dalam situsnya. Atas dasar hal tersebut, pembahasan dalam kajian ini difokuskan untuk mengkaji mengenai bagaimana permasalahan dalam hal perlindungan hak merek dalam e-commerce terjadi sebagai bentuk problematika hukum.

Permasalahan tersebut menjadi dasar bagi penulis untuk mengkaji mengenai perlindungan hukum bagi pemilik merek yang diberikan dalam peraturan serundeng-undangan. Penulis pun membagi penulisan hukum (skripsi) ini dalam dua bagian pembahasan mengenai problematika hukum atas perlindungan yang diberikan kepada pemilik merek untuk menegakkan hak- haknya dalam pelaksanaan kegiatan perdagangan secara online. Untuk mengetahui bagaimana penjabaran atas problematika hukum yang ada, berikut ini pembahasan atas hasil penelitian yang penulis susun.

1. Kontrol dan Larangan atas Barang yang Melanggar Hak Merek dalam E- Commerce Berbentuk Market Place

Pemberian hak merek sebagai bentuk perlindungan kekayaan intelektual, dimaksudkan guna kepastian hukum bagi kegiatan perdagangan, terutama bagi para pelaku industri, perdagangan dan investasi dalam menjalankan kegiatan usahanya. Merek ini lantas menjadi ciri khas yang

(7)

62 membedakan antar produk barang dan jasa yang berbeda. Hal ini sesuai dengan pengertian dari merek berdasarkan Pasal 1 UU Merek dan Indikasi Geografis:

“Merek adalah tanda yang dapat ditampilkan secara grafis berupa gambar, logo, nama, kata, huruf, angka, susunan warna, dalam bentuk 2 (dua) dimensi dan/atau 3 (tiga) dimensi, suara, hologram, atau kombinasi dari 2 (dua) atau lebih unsur tersebut untuk membedakan barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh orang atau badan hukum dalam kegiatan perdagangan barang dan/atau jasa.”

Pasal 1 UU Merek dan Indikasi Geografis juga mengatur, yang dimaksud dengan hak atas merek adalah sebagai berikut, “Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik Merek yang terdaftar untuk jangka waktu tertentu dengan menggunakan sendiri Merek tersebut atau memberikan izin kepada pihak lain untuk menggunakannya.”

Dari pasal tersebut, dapat diketahui bahwa, pemberian hak merek hanya boleh dimanfaatkan untuk orang yang secara resmi terdaftar sebagai pemilik merek dalam kementerian yang menaungi bidang HAKI, dan orang yang memiliki lisensi merek sebagai tanda izin oleh pemilik merek untuk turut memanfaatkan dan menggunakan mereknya.

Pasal 83 UU Merek dan Indikasi Geografis secara tersirat juga memuat ketentuan, bahwa selain pemilik merek dan penerima lisensi, pihak lain yang tidak memiliki hak dilarang untuk menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau pada keseluruhannya untuk barang dan/jasa yang sejenis. Terhadap pihak tersebut, pemilik merek dan penerima lisensi merek dapat mengajukan gugatan. Lebih lanjut, bentuk- bentuk pelanggaran hak merek dapat dilihat dari materi ketentuan dalam Pasal 100 UU Merek dan Indikasi Geografis, yaitu:

a. Menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan.

(8)

63 b. Menggunakan merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/ atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan.

c. Menggunakan merek yang mempunyai persamaan sebagian atau keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/

atau jasa sejenis yang diproduksi dan/ atau diperdagangkan yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/ atau kematian manusia.

Berkaitan dengan hal tersebut, penulis mengutip pendapat dari OK Saidin mengenai macam-macam praktek perdagangan tidak jujur, yang meliputi (OK Saidin, 2013: 357-358):

a. Praktek Peniruan Merek Dagang (Trademark Piracy)

Upaya untuk mempergunakan merek dengan meniru merek terkenal (well know trade mark) yang sudah ada sehingga merek atas barang atau jasa yang sudah terkenal dengan maksud menimbulkan kesan kepada khalayak ramai, seakan-akan barang atau jasa yang diproduksinya sama dengan barang atau jasa yang terkenal.

b. Praktek Pemalsuan Merek Dagang (Counterfeiting)

Upaya untuk memproduksi barang-barang dengan mempergunakan merek yang sudah dikenal secara luas di dalam masyarakat yang bukan merupakan haknya.

c. Perbuatan-perbuatan yang dapat mengacaukan publik berkenaan dengan Sifat dan Asal Usul Merek (Imitations of Labels and Packaging).

Pencantuman keterangan tentang sifat dan asal-usul barang yang tidak sebenarnya, untuk mengelabui konsumen, seakan-akan barang tersebut memiliki kualitas yang baik karena berasal dari daerah penghasil barang yang bermutu.

Apabila pendapat OK Saidin ini dikaitkan dengan ketentuan yang tercantum dalam UU Merek dan Indikasi Geografis, maka yang dimaksud dengan “persamaan pada pokoknya” dapat disamakan dengan “praktek peniruan merek dagang (trademark piracy)”, dan “persamaan pada

(9)

64 keseluruhan” dapat disamakan dengan “praktek pemalsuan merek dagang (counterfeiting)”. Bentuk pelanggaran persamaan pada keseluruhan secara jelas dapat diartikan, adanya persamaan antara merek asli dengan merek palsu secara mutlak atau keseluruhan. Sementara maksud dari “persamaan pada pokoknya”, telah diuraikan dalam penjelasan Pasal 21 UU Merek dan Indikasi Geografis, yang berketentuan sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan "persamaan pada pokoknya" adalah kemiripan yang disebabkan oleh adanya unsur yang dominan antara Merek yang satu dengan Merek yang lain sehingga menimbulkan kesan adanya persamaan, baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur, maupun persamaan bunyi ucapan, yang terdapat dalam Merek tersebut.”

Penjelasan di atas memberikan pemahaman bahwa yang dimaksud dengan ”persamaan pada pokoknya” terjadi ketika ada kemiripan yang menimbulkan kesan bahwa kedua merek tersebut memiliki persamaan pada unsur yang dominan. Yang artinya, dikesankan merek tersebut adalah sama dengan merek yang lain karena kemiripan diantara keduanya sehingga masyarakat menilai keduanya tidak berbeda. Sebagai contoh, penggunaan nama merek Balidong yang mirip dengan merek Billabong, dan Adibas untuk mengelabui konsumen terhadap produk yang dikeluarkan oleh merek ternama Adidas.

Pada konsep yang dikenal di masyarakat, istilah yang seringkali digunakan untuk merujuk kepada barang yang melanggar hak merek adalah

“barang palsu”, dengan sebutan umum yang dipergunakan seperti “barang kw (kualitas)”, “replika”, “grade ori”, “premium”, dan sebutan-sebutan lain yang menggambarkan kualitas barang yang melanggar merek, atau tingkat kemiripannya dengan barang dengan merek asli. Penulis juga merangkum beberapa contoh penawaran produk hasil pelanggaran merek dalam situs-situs e-commerce. Penawaran tersebut penulis ambil dari beberapa situs e- commerce berbentuk market place yang penulis akses, dan diabadikan dalam bentuk gambar tangkapan layar (screenshot) di bawah ini:

(10)

65 a. Sepatu bermerek Adidas palsu di dalam situs Shopee

Gambar 1. Tangkapan layar penjualan sepatu bermerek Adidas “KW Super” di dalam situs Shopee

Sumber: http://shopee.co.id b. Kacamata bermerek Puma palsu dalam situs Bukalapak

Gambar 2. Tangkapan layar penjualan kacamata bermerek Puma “KW Berkualitas” dalam situs Bukalapak

Sumber: http://m.bukalapak.com

(11)

66 c. Sepatu bermerek Vans seri Zapato palsu dalam situs Lazada.

Gambar 3. Tangkapan layar penjualan sepatu bermerek Vans seri Zapato

“KW Super” dalam situs Lazada.

Sumber: http://www.lazada.com d. Parfum bermerek Polo palsu dalam situs Elevenia

Gambar 4. Tangkapan layar penjualan parfum bermerek Polo

“KW”/”Non Ori”/”Replika” dalam situs Elevenia

Sumber: http://m.bukalapak.com

(12)

67 e. Kaos bermerek Supreme dengan harga sangat murah dalam situs

Tokopedia.

Gambar 5. Tangkapan layar penjualan kaos bermerek Supreme dengan harga sangat murah dalam Tokopedia

Sumber: http://m.tokopedia.com Keterangan yang dimuat dalam gambar-gambar di atas menunjukkan penawaran yang dilakukan oleh penjual terhadap barang-barang hasil pelanggaran merek dilakukan secara tersirat maupun secara terang-terangan.

Dari gambar-gambar tersebut dapat dilihat, meskipun barang yang melanggar ketentuan merek tersebut ditawarkan secara terang-terangan dengan mengakui bahwa barang tersebut bukan barang bermerek asli, akan tetapi barang tersebut masih dapat diperdagangkan dalam platform market place.

(13)

68 Kontrol terhadap konten situs barang yang melanggar merek apabila diakui sebagai merek asli tentunya akan menjadi lebih kompleks.. Karena di dalamnya memerlukan mekanisme untuk membuktikan bahwa barang yang dijual oleh merchant adalah benar barang yang melanggar merek. Dan biasanya hal ini dilakukan dengan adanya pelaporan oleh pengguna (user) terlebih dahulu yang membeli barang tersebut. Gambaran yang tepat untuk menjelaskan hal tersebut seperti yang terdapat dalam Gambar 5.

Penjelasan yang dapat diambil dari Gambar 5 adalah sebagai berikut:

Dijual produk kaos dengan merek Supreme, dengan harga yang relatif sangat murah, yaitu 25 ribu rupiah. Akan tetapi dari ulasan terhadap produk tersebut kualitas baju Supreme tersebut “lumayan”, yang lebih spesifiknya “lumayan tipis”, yang diungkapkan oleh pelanggan. Merek Supreme ini sebenarnya dikenal cukup eksklusif. Sehingga pada umumnya harga produk-produk Supreme termasuk mahal. Bahkan harga satu kaos bermerek Supreme asli biasanya berada di kisaran 1 juta rupiah. Konten-konten seperti produk dalam gambar 5 inilah yang lantas dicurigai sebagai produk yang melanggar hak merek. Yang karena dalam keterangannya tidak menjelaskan mengenai orisinalitas produk tersebut, perlu dilakukan mekanisme untuk menindaklanjuti benar tidaknya pelanggaran merek dalam produk tersebut untuk ditindaklanjuti oleh penyedia platform sesuai dengan ketentuan masing-masing platform.

Kasus yang berbeda terjadi dalam produk-produk dalam Gambar 1 sampai Gambar 4. Barang-barang tersebut ditawarkan secara terang-terangan diakui sebagai barang yang melanggar merek. Tentunya hal tersebut dengan istilah yang lebih “halus” seperti “kualitas premium”, “barang grade ori”,

“barang KW”, dan istilah-istilah lain, seperti yang dapat terlihat dalam keterangan judul gambar-gambar tersebut. Yang mana pada akhirnya menunjukkan bahwa barang tersebut bukanlah produk asli dari brand yang dicatut namanya. Tentunya harga yang ditawarkan pun jauh lebih murah dibandingkan dengan harga produk asli dari merek yang terkait. Karena hal

(14)

69 tersebutlah menjadikan produk-produk seperti ini banyak diminati oleh pelanggan.

Kejadian-kejadian sebagaimana yang nampak dalam beberapa gambar di atas menunjukkan barang-barang yang melanggar merek tersebut pun masih tersedia dalam situs e-commerce berbentuk market place. Dengan demikian, kontrol penyedia platform terhadap barang yang melanggar merek patut untuk menjadi perhatian. Karena pembiaran tersebut pun dilakukan terhadap barang-barang yang secara nyata dan jelas diakui sebagai barang

“palsu” dengan istilah-istilah yang merujuk kepada hal tersebut.

Pembiaran yang dilakukan oleh penyedia platform terhadap barang- barang yang melanggar hak merek seperti ini lantas menimbulkan kerugian bagi pemilik merek yang sah. Potensi keuntungan yang seharusnya dapat diraup oleh pihak yang sah akan berkurang hingga dapat kerugian itu sendiri terjadi sebagai konsekuensinya. Salah satu contoh nyata hal tersebut adalah seperti yang terjadi kepada merek sepatu Vans di Indonesia. Pada tahun 2017 PT Gagan Indonesia sebagai distributor sepatu Vans di Indonesia dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat setelah gagal dengan para krediturnya dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran utang (PKPU).

Karena pailitnya perusahaan tersebut yang notabene merupakan sole distributor (penyedia/agen tunggal) dari merek Vans di Indonesia menyebabkan ditutupnya gerai Vans Store di seluruh Indonesia. Salah satu penyebab dari ditutupnya gerai Vans Store ini adalah karena maraknya penjualan sepatu Vans palsu (atau biasa disebut dengan KW).

(https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170608094040-92-220253/ketika -bisnis-barang-bermerk-tergerus-produk-jiplakan, diakses pada 22 Oktober 2018 pukul 19.30 WIB.) Dengan harga sepatu Vans asli yang cukup mahal, produk bermerek palsu dari Vans yang menawarkan harga yang lebih terjangkau memiliki daya tarik yang lebih memikat konsumen.

Penjelasan di atas menjadi representasi bagaimana pelanggaran terhadap merek merupakan suatu bentuk tindakan ilegal yang merugikan

(15)

70 pemilik merek sebagai pihak yang berhak. Belum lagi apabila barang palsu, maupun barang tiruan yang beredar di masyarakat dikelabui sebagai barang asli dari suatu merek terkenal. Hal ini akan menimbulkan kerugian bagi konsumen sebagai pihak yang memanfaatkan produk tersebut. Pada dasarnya hal tersebut merupakan upaya pengelabuan maupun penyesatan terhadap pasaran produk yang merugikan konsumen, dan pemilik merek maupun penerima lisensi merek yang terdaftar secara resmi. Apalagi dengan kemudahan akses dan potensi perkembangan e-commerce yang besar menjadikan pelanggaran terhadap merek dalam transaksi di platform market place dapat menimbulkan potensi kerugian yang besar pula bagi pemilik dan penerima lisensi merek yang berhak.

Permasalahannya terhadap hal tersebut, tidak ada penegasan terhadap adanya larangan barang yang melanggar merek dalam peraturan-peraturan yang menjadi dasar penyelenggaraan e-commerce. Padahal dari gambar yang tertera dalam contoh-contoh di atas penawaran barang yang melanggar derek ini juga dilakukan secara terang-terangan dalam keterangan spesifikasi produknya. Dengan kata lain belum ada sistem kontrol yang tegas untuk mencegah beredarnya barang yang melanggar merek kepada penyedia platform. Adapun dalam UU ITE pemberian perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual ditujukan untuk informasi dan/atau dokumen elektronik yang yang disusun dan didaftarkan sebagai karya intelektual sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU ITE:

“Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang disusun menjadi karya intelektual, situs internet, dan karya intelektual yang ada di dalamnya dilindungi sebagai Hak Kekayaan Intelektual berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”

Kontrol terhadap barang yang melanggar merek ini sendiri terdapat dalam SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce.

Berkaitan dengan permasalahan penjualan barang yang melanggar hak merek, diatur salah satu konten yang dilarang dalam platform e-commerce berbentuk UGC dalam Angka Romawi V Huruf B angka 1 sebagai berikut ini:

(16)

71 B. Konten Yang Dilarang dalam platform termasuk tetapi tidak

terbatas pada:

1. Barang dan/atau jasa yang memuat konten negatif (pornografi, perjudian, kekerasan, dan konten atas barang dan jasa yang melanggar peraturan perundang-undangan):

....

e. Barang dan/atau jasa yang memuat konten yang melanggar hak kekayaan intelektual

Ketentuan tersebut mengatur pelarangan terhadap barang yang melanggar hak kekayaan intelektual. Tentunya barang yang melanggar hak merek termasuk ke dalam barang tersebut. Adapun barang yang melanggar hak kekayaan intelektual ini termasuk ke dalam barang/jasa yang memuat konten negatif.

Surat Edaran tersebut juga menekankan perlunya evaluasi dan/atau monitoring atas kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh merchant di dalam situsnya. Atas dasar hal tersebut tercantumnya mekanisme pelaporan dan penindakan atas adanya konten yang dilarang dalam setiap platform juga diamanatkan di dalam SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce. Sebagaimana diatur dalam Angka Romawi V Huruf C angka 1 yang mengatur tentang kewajiban penyedia platform e-commerce, salah satunya adalah sebagai berikut:

b. Menyediakan Sarana Pelaporan yang dapat digunakan untuk menyampaikan aduan mengenai Konten yang dilarang di Platform UGC yang dikelolanya, untuk mendapatkan informasi paling sedikit meliputi:

1) tautan (link) yang spesifik mengarah ke Konten Yang Dilarang;

2) alasan/dasar laporan Konten Yang Dilarang;

3) bukti-bukti penunjang laporan, seperti screenshoot, pernyataan, sertifikat merek, surat kuasa.

Atas pelaporan tersebut, Surat Edaran tersebut juga mengehendaki adanya tindakan yang harus dilakukan oleh penyedia platform yang diatur:

(17)

72 c. melakukan tindakan terhadap aduan atau pelaporan atas konten,

antara lain:

1) melakukan pemeriksaan kebenaran laporan dan minta pelapor untuk melengkapi persyaratan dan/atau menyertakan informasi tambahan lainnnya terkait dengan aduan dan/atau pelaporan dalam hal diperlukan;

2) melakukan tindakan penghapusan dan/atau pemblokiran terhadap konten yang dilarang;

3) memberikan notifikasi ke Pedagang (Merchant) bahwa konten yang diunggahnya adalah Konten yang Dilarang;

4) menyediakan sarana bagi Pedagang (Merchant) untu melakukan sanggahan bahwa konten yang diunggahnya bukan Konten Yang Dilarang;

5) menolak aduan dan/atau pelaporan apabila konten yang dilaporkan bukan merupakan Konten Yang Dilarang.

Ketentuan-ketentuan tersebut sejatinya menjadi dasar bagi adanya kontrol dari penyedia platform dan penindakan terhadap barang yang melanggar merek. Mekanismenya pun telah diberikan sebagai tatacara penindakannya. Meskipun demikian, dari ketentuan yang ada penindakan tersebut baru dapat dilakukan apabila terdapat pelaporan dari pihak yang mengetahui adanya pelanggaran merek terhadap barang yang diperdagangkan dalam e-commerce. Dengan kata belum diberikan kewajiban inisiatif kontrol atas barang yang melanggar merek oleh penyedia platform sendiri.

Mekanisme yang diberikan dalam Surat Edaran tersebut hanya memerintahkan penyedia platform untuk menghapus barang yang melanggar merek apabila terdapat pelaporan terlebih dahulu. Padahal sebagaimana contoh pelanggaran yang terjadi yang penulis cantum dalam gambar-gambar sebelumnya, penjualan barang yang melanggar merek tersebut dilakukan secara terang-terangan dengan mengakui bahwa barang tersebut memanglah barang palsu atau bukan merupakan barang bermerek orisinal. Maka dari itu, kontrol terhadap barang seperti ini juga menjadi penting atas inisiatif dari penyedia platform sendiri.

(18)

73 Kekuatan hukum dari ketentuan tersebut pun bisa dikatakan belum kuat. Karena pemberian kewajiban tersebut hanya berdasar Surat Edaran Menteri maka penulis menilai Surat Edaran tersebut tidak dapat dijadikan dasar hukum yang kuat. M. Solly Lubis menjelaskan Surat Edaran Menteri bukan peraturan perundang-undangan, hal itu dikarenakan Surat Edaran Menteri tidak memuat tentang norma tingkah laku (larangan, perintah, ijin dan pembebasan), kewenangan (berwenang dan tidak berwenang), dan penetapan (M. Solly Lubis, 1983: 8). Penjelasan tersebut sangat logis, karena Surat Edaran Menteri ini pun tidak termasuk ke dalam peraturan perundang- undangan yang ada di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Hal inilah yang menjadikan mekanisme penindakan atas barang yang melanggar merek tersebut dalam SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce, tidak mengikat secara kuat kepada penyedia platform. Dan apabila dalam pelaksanaannya penyedia platform tidak melaksanakan ketentuan tersebut, penyedia platform tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum. Karena di dalamnya pun tidak memuat tentang pertanggungjawaban secara hukum apabila ketentuan dalam Surat Edaran tersebut tidak dilaksanakan oleh penyedia platform.

Permasalahan penjualan barang hasil pelanggaran hak merek dalam situs market place ini pada prinsipnya tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya kepada penyedia platform. Karena konten yang dimuat di dalam situs-situs market place juga berasal dari penjual yang menjadi user platform. Akan tetapi sebagai pengelola situs, pertanggungjawaban dari penyedia platform e- commerce berbentuk market place ini menjadi penting karena selain penyedia platform merupakan pihak yang mewadahi penjual untuk menawarkan barangnya, penyedia platform berwenang menentukan konten apa saja yang dapat dimuat di dalam situsnya, atau dalam hal ini termasuk mengontrol barang yang dijual. Maka dari itu pemaparan mengenai tanggung jawab tersebut dijelaskan lebih rinci dalam pembahasan selanjutnya.

(19)

74 2. Tanggung Jawab Hukum Penyedia Platform E-Commerce Berbentuk Market

Place terhadap Perlindungan Hak Merek

Tanggung jawab hukum penyedia platform e-commerce terhadap konten yang dimuat di dalam situsnya sesungguhnya sudah dikehendaki oleh ketentuan Pasal 15 UU ITE. Adapun dalam Pasal 15 ayat (2) diatur,

“Penyelenggara Sistem Elektronik bertanggung jawab terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektroniknya”. Tentunya dari ketentuan tersebut, apabila terdapat muatan konten yang melanggar undang-undang di dalam situsnya, penyedia platform dapat dimintai pertanggungjawabannya secara penuh. Meskipun demikian, di dalam ayat (3) diatur, “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya keadaan memaksa kesalahan, dan/atau kelalaian pihak pengguna Sistem Elektronik”. Atau dengan kata lain jika konten tersebut diunggah oleh pengguna (user), pertanggungjawaban tersebut tidak dapat dibebankan kepada penyedia platform.

Penulis menilai ketentuan tersebut memberikan kelonggaran bagi penyedia platform market place untuk dapat berlepas diri atas tanggungjawabnya sebagai pengelola situs. Padahal sebagai penyelenggara sistem elektronik, pengelolaan situs e-commerce menjadi tanggung jawab dari penyedia platform. Akibatnya hal ini dapat meminimalisasi kontrol dari penyedia platform terhadap konten yang diunggah oleh usernya. Apalagi dengan bentuk platform e-commerce berjenis market place, user memiliki keleluasaan untuk mengunggah barang dagangannya untuk ditawarkan dalam situs e-commerce. Hal inilah yang lantas dapat menjadi permasalahan berkaitan dengan penegasan atas tanggung jawab yang diemban oleh penyedia platform terhadap perlindungan merek.

Batasan tanggung jawab antara penyedia platform dengan pengguna platform e-commerce itu sendiri dalam ketentuan peraturan perundang- undangan di Indonesia belumlah memiliki arahan dan ketentuan yang jelas.

Dengan kata lain kewajiban yang bersifat khusus dengan adanya sistem

(20)

75 elektronik ini belum memiliki landasan yang kuat. Bahkan peraturan pemerintah yang mengatur secara khusus sebagai dasar hukum e-commerce sebagaimana yang diamanahkan dalam Pasal 66 UU Perdagangan belum mampu diselesaikan dan disahkan. Sebagai dasar hukum e-commerce, tentunya sejatinya peraturan pemerintah tersebut diharapkan mampu untuk menjadi menjadi dasar penyelesaian terhadap permasalahan-permasalahan yang ada.

Upaya untuk mengatur mengenai batasan kewajiban dari penyedia platform market place ini sendiri telah dilakukan dengan dikeluarkannya SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce. Dalam pengaturan mengenai tanggung jawab terhadap pengelolaan platform, SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce ini pun pada prinsipnya juga menganut ketentuan yang ada di dalam Pasal 15 ayat (3) UU ITE. Dengan kata lain penyedia platform tidak dapat disalahkan apabila konten tersebut berasal dari merchant yang merupakan user situsnya. Hal ini secara jelas dikehendaki di dalam Angka Romawi V Huruf C angka 2 yang diatur:

“Tanggung Jawab Penyedia Platform UGC meliputi:

a. Bertanggungjawab atas penyelenggaraan sistem elektronik dan pengelolaan konten di dalam Platform secara andal, aman dan bertanggung jawab.

b. Ketentuan huruf (a) diatas tidak berlaku dalam hal dapat dibuktikan terjadinya kesalahan dan/atau kelalaian dari pihak pedagang (merchant) atau pengguna Platform.”

Filosofi pemikiran atas ketentuan tersebut juga dapat tercermin dalam kalimat-kalimat yang ada dalam Angka Romawi I bagian Umum yang memuat:

“Di samping kemudahan tersebut, Platform juga rentan terhadap penyalahgunaan oleh pemilik akun dan/atau pengunggah yang dengan sengaja memasukkan data dan/atau informasi yang melanggar hukum, baik untuk tujuan mencari keuntungan maupun tujuan lain (perbuatan yang dilarang). Penyalahgunaan oleh pemilik akun dan/atau pengunggah di atas dapat merugikan Penyedia Platform sehingga

(21)

76 Penyedia Platform dapat dipersepsikan terlibat atas perbuatan yang melanggar hukum tersebut. Persepsi ini akan menjadi momok bagi Penyedia Platform apabila tidak dilakukan penempatan pada posisi yang tepat, sehingga dapat berpengaruh pada kelangsungan bisnis layanannya.”

Klausul tersebut telah memberikan gambaran bagaimana penyedia platform mendapatkan kedudukan perlindungan yang kuat dari kesalahan yang dilakukan oleh pengguna melalui Surat Edaran tersebut.

Dikeluarkannya Surat Edaran Menkominfo tersebut sejatinya merupakan upaya pemerintah untuk memberi pedoman dalam menentukan batasan dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam market place.

Meskipun demikian, karena peraturan tersebut hanya berupa Surat Edaran, tentunya belum menjadi dasar hukum yang kuat bagi penyelenggaraan market place yang berkeadilan. Apalagi sebagai Surat Edaran di dalamnya belum diatur mengenai tanggung jawab hukum yang harus diemban oleh setiap pihak terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukan.

Penentuan tanggung jawab dari permasalahan barang yang melanggar merek dalam market place ini dapat dikembalikan kepada perjanjian yang disepakati oleh penyedia platform dan pemilik platform. Pada umumnya, sebelum pengguna platform mendaftarkan diri untuk memiliki akun dalam market place, terdapat syarat dan ketentuan yang harus disepakati oleh pengguna untuk memiliki akun tersebut. Dengan adanya syarat dan ketentuan tersebut maka pengguna mengikatkan diri dengan penyedia platform market place untuk membentuk suatu hubungan perdagangan. Dimana pengguna ini dapat membuat, mengakses, dan mengelola akun, agar dapat bertransaksi di dalam platform e-commerce yang bersangkutan. Sehingga pengguna platform tersebut mampu untuk memperdagangkan dan/atau membeli barang yang diunggah dalam platform e-commerce.

Syarat dan ketentuan tersebut pada umumnya berbentuk perjanjian baku. Dimana pengguna tidak dapat mengubah klausul perjanjian yang terdapat di dalamnya. Dan karena bentuknya yang baku, kesediaan dan

(22)

77 persetujuan pengguna terhadapnya bersifat mutlak harus disetujui tanpa dapat diubah. Akibat hukumnya, kedua pihak tersebut terikat pada perjanjian yang ada. Pada kebanyakan syarat dan ketentuan yang diajukan oleh setiap penyedia platform juga memuat mengenai tanggung jawab terhadap konten yang diunggah oleh pengguna platform.

Perjanjian tersebutlah yang dapat digunakan sebagai rujukan batasan tanggung jawab antara penyedia platform dengan pengguna platform. Karena tentunya sesuai dengan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPdt) telah diatur:

“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang. bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang- undang...”

Dengan Pasal 1338 KUHPdt tersebut maka perjanjian yang telah disepakati oleh pengguna dan penyedia platform berlaku sebagai peraturan yang mengikat keduanya. Meskipun demikian, dengan kondisi perjanjian baku yang harus disepakati oleh pengguna platform maka beban tanggung jawab terhadap barang yang diunggah oleh pengguna ini biasanya hanya dibebankan kepada pengguna platform. Seperti beberapa perjanjian yang penulis kutip dari beberapa situs platform market place ini:

a. Tanggung Jawab atas Konten yang melanggar HAKI dalam Tokopedia Syarat dan ketentuan yang ada dalam platform Tokopedia dikutip dari situs (https://www.tokopedia.com/terms.pl#konten). Pengaturan mengenai tanggung jawab terhadap konten yang melanggar merek dalam platform Tokopedia terdapat dalam huruf J tentang Konten angka 6, yang berketentuan:

“Pengguna menjamin bahwa tidak melanggar hak kekayaan intelektual dalam mengunggah konten Pengguna kedalam situs Tokopedia. Setiap Pengguna dengan ini bertanggung jawab secara pribadi atas pelanggaran hak kekayaan intelektual dalam mengunggah konten di Situs Tokopedia.”

(23)

78 Klausul di atas secara jelas membebankan tanggung jawab atas konten yang melanggar HAKI kepada pengguna semata. Dengan demikian atas konten barang yang melanggar merek, penyedia platform tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas dasar klausul perjanjian yang ada dalam ketentuan tersebut. Selain itu dalam huruf U bagian Ganti Rugi, juga telah diatur:

“Pengguna akan melepaskan Tokopedia dari tuntutan ganti rugi dan menjaga Tokopedia (termasuk Induk Perusahaan, direktur, dan karyawan) dari setiap klaim atau tuntutan, termasuk biaya hukum yang wajar, yang dilakukan oleh pihak ketiga yang timbul dalam hal Anda melanggar Perjanjian ini, penggunaan Layanan Tokopedia yang tidak semestinya dan/ atau pelanggaran Anda terhadap hukum atau hak-hak pihak ketiga.”

Atas ketentuan tersebut maka Tokopedia telah menyatakan bahwa pihak penyedia platform tidak dapat digugat karena kesalahan yang dilakukan oleh pengguna platform yang mengakibatkan tuntutan ganti rugi.

b. Tanggung Jawab atas HAKI dalam Bukalapak

Syarat dan ketentuan platform Bukalapak terdapat dalam situs (https://www.bukalapak.com/terms). Dalam bagian Jual Barang, angka 1 ditentukan:

“Pelapak bertanggung jawab secara penuh atas segala risiko yang timbul di kemudian hari terkait dengan informasi yang dibuatnya, termasuk, namun tidak terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan hak cipta, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit, hak paten dan/atau izin lain yang telah ditetapkan atas suatu produk menurut hukum yang berlaku di Indonesia.”

Klausul di atas menentukan bahwa pertanggungjawaban terhadap barang yang melanggar merek dalam platform Bukalapak secara penuh menjadi tanggung jawab dari pengguna platform Bukalapak. Lalu atas pelanggaran tersebut juga ditentukan dalam bagian Pembatasan Tanggung Jawab angka 2 sebagai berikut:

(24)

79

“Bukalapak tidak bertanggung jawab atas segala pelanggaran hak cipta, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit, hak paten atau hak-hak pribadi lain yang melekat atas suatu barang, berkenaan dengan segala informasi yang dibuat oleh Pelapak.

Untuk melaporkan pelanggaran hak cipta, merek, desain industri, desain tata letak sirkuit, hak paten atau hak-hak pribadi lain, klik di sini...”

Dengan demikian atas ketentuan tersebut bila terdapat barang yang melanggar merek dalam platform Bukalapak, penyedia platform Bukalapak menyatakan berlepas dari tanggung jawabnya.

Kedua penjabaran di atas menjadi contoh bagaimana perjanjian yang harus disepakati oleh pengguna platform market place sebagai syarat dan ketentuan, menekankan pertanggungjawaban atas penjualan barang yang melanggar merek menjadi tanggung jawab dari pengguna platform semata.

Penyedia platform secara jelas melepas diri dari tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan terhadapnya. Klausul perjanjian seperti yang tertuang dalam contoh-contoh di atas disebut dengan klausula eksonerasi dalam perjanjian baku.

Klausula eksonerasi dapat didefinisikan sebagai klausula yang dicantumkan dalam suatu perjanjan di mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melawan hukum (Mariam Darius Badrulzaman. 1994: 47). Dengan kata lain klausula ini membebaskan seseorang atau badan usaha dari suatu tuntun atau tanggung jawab (I.P.M.

Ranuhandoko. 2008: 55),

Pada prinsipnya, sesuai dengan Pasal 1338 KUHPdt selama persetujuan tersebut sesuai dan tidak bertentangan dengan undang-undang maka akan berlaku sebagai undang-undang bagi kedua pihak. Pertanyaannya, apakah perjanjian baku yang diajukan oleh penyedia platform yang membebankan pertanggungjawaban hanya kepada pengguna platform seperti kedua contoh di atas melanggar undang-undang?

(25)

80 Jika menilik kepada ketentuan yang ada dalam Pasal 15 ayat (3) UU ITE, maka sejatinya klausul perjanjian seperti demikian menerapkan muatan ketentuan yang tertuang dalam pasal tersebut. Karena Pasal 15 ayat (3) UU ITE pun juga mengehendaki pertanggungjawaban atas konten yang diunggah oleh pengguna platform tidak dapat dibebankan kepada pengguna platform.

Dan fundamental ketentuan inilah yang juga diterapkan dalam PP Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik serta SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce.

Menilik pada keadaan tersebut, lantas diperlukan suatu pengkajian mengenai penyelesaian atas problematika perlindungan atas hak merek dalam e-commerce seperti sebagaimana yang telah dipaparkan. Tujuannya adalah untuk mengetahui bagaimana konstruksi hukum yang ada dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan itu sendiri. Dan selain itu juga untuk mengetahui mengenai formulasi yang tepat atas kekurangan dalam konstruksi hukum yang sudah ada. Secara lebih rinci hal tersebut penulis kaji dalam pembahasan subbab selanjutnya.

B. Penyelesaian atas Problematika Hukum Perlindungan Hak Merek dalam E- Commerce berbentuk Market Place

Pemaparan sebelumnya telah memberikan gambaran mengenai bagaimana keadaan hukum yang menaungi perlindungan hak merek dalam e-commerce.

Selain itu problematika hukum yang terjadi sesuai dengan pembahasan tersebut juga terdapat dalam dua hal, yaitu kontrol dan larangan peredaran barang yang melanggar merek dalam e-commerce serta tanggung jawab dari penyedia platform e-commerce terhadap perlindungan atas hak merek itu sendiri. Sebagai akibat dari problematika yang ada dalam pembahasan tersebut, barang yang melanggar merek ini masih saja beredar di situs-situs e-commerce terutama dalam model market place.

(26)

81 Problematika hukum yang ada menunjukkan bahwa hukum yang menaungi e-commerce belum mampu memberikan jaminan perlindungan dari barang yang melanggar merek. Karenanya sebagaimana hal tersebut menjadi permasalahan perlindungan merek, sudah selayaknya dikaji mengenai konstruksi hukum yang tepat terhadap kekurangan dalam peraturan yang telah ada.

Pembahasan kali ini menjelaskan mengenai bagaimana terhadap problematika hukum tersebut ditemukan solusi yang tepat sebagai bentuk perbaikannya. Tentunya solusi juga mempertimbangkan kepada aspek keadilan dan keefektifan dari penerapan hukum yang ada. Dengan demikian diharapkan uraian mengenai penyelesaian atas problematika hukum yang ada dapat menjadi jalan keluar bagi permasalahan yang terkait.

1. Penyelesaian atas Problematika Hukum Kontrol dan Larangan atas barang yang Melanggar Merek dalam E-Commerce Berbentuk Market Place

Belum adanya ketegasan terhadap larangan barang yang melanggar merek dalam e-commerce dalam peraturan perundang-undangan menjadikannya sebagai suatu bentuk permasalahan hukum. Hal tersebut berimplikasi terhadap lemahnya kewajiban kontrol dari penyedia platform untuk mencegah dan menindak peredaran barang tersebut dalam platform e- commerce berbetnuk market place. Adapun walau ketentuan mengenai hal yang demikian sudah dikehendaki dalam SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce, akan tetapi kekuatan hukumnya tidaklah kuat.

Karena selain surat edaran tersebut bukanlah merupakan salah satu hierarki peraturan perundang-undangan, surat edaran juga tidak mengatur mengenai sanksi terhadap pelanggaran atas ketentuan yang diatur. Dengan kata lain kekuatan hukum dari peraturan tersebut belum cukup kuat untuk dijadikan landasan utama penyelenggaraan e-commerce.

Penegasan terhadap larangan atas barang yang melanggar merek tersebut menurut hemat penulis tetap memiliki urgensi untuk diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kegunaannya adalah untuk memberikan

(27)

82 kepastian perlindungan yang lebih kuat bagi pemilik merek dari adanya peredaran produk yang mencatut mereknya dalam platform market place. Dan terhadap pencatutan tersebut agar dapat memiliki landasan untuk penindakan bagi pihak-pihak yang melanggar.

Kasus semacam ini pernah terjadi dalam gugatan yang dilakukan oleh Loius Vuitton kepada eBay. Adapun kejadiannya adalah sebagai berikut:

(Kanina Cakreswara, 2016: 197)

“Pada tahun 2008 di Prancis, Louis Vuitton Moet Hennessy (LVMH) atau yang sering disebut Louis Vuitton, menuntut eBay karena menjual parfum dan tas palsu di eBay. Louis Vuitton menuduh bahwa Bay tidak melakukan upaya yang cukup untuk menghentikan penjualan produk Louis Vuitton palsu. Pengadilan Perancis akhirnya memenangkan Louis Vuitton dan memerintahkan agar Bay membayar 40 juta Euro pada Louis Vuitton”

Peristiwa di atas terjadi karena eBay dianggap melakukan pembiaran terhadap diperdagangkannya barang yang melanggar merek dalam situsnya.

Pembiaran tersebut lah yang menjadi dasar tuntutan yang dilakukan oleh Lous Vuitton kepada eBay..

Larangan atas pembiaran semacam inilah yang perlu dipertegas dalam peraturan perundang-undangan. Dalam pembahasan sebelumnya telah tercantum juga mengenai peredaran barang yang melanggar merek ini dengan keterangan yang secara terang-terangan mengakuinya. Terhadap hal yang demikian, pembiaran terhadap barang tersebut dalam platform market place tidak dapat dibiarkan.

Mengenai pembiaran ini, penulis mengutip pembiaran barang yang melanggar hak cipta dalam e-commerce berbentuk market place dan mekanisme solusi yang dapat diterapkan terhadapnya dari Kanina Cakreswara.

Meskipun materinya mengenai hak cipta, substansinya masih sesuai dengan pembahasan penulisan hukum (skripsi) ini. Adapun pembiaran ini dibagi ke dalam dua indikator, yaitu: (Kanina Cakreswara, 2016: 202-205)

(28)

83 a. Pengelola tidak berusaha mengetahui jenis barang dan status HaKI barang

yang dijual di tempat perdagangan online yang dikelolanya.

Solusinya, pengelola platform untuk mengetahui jenis barang dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:

1) Pre-moderation.

Proses ini dapat dilakukan dengan melalui metode verifikasi terhadap barang yang akan dijual terlebih dahulu. Dengan verifikasi tersebut, maka barang yang melanggar hak merek, ataupun ketentuan peraturan perundang-undangan lain tidak dapat diberikan persetujuan untuk dapat ditampilkan atau diperdagangkan dalam platform e-commerce. Kontrol atas barang ini dilakukan sebelum barang tersebut ditayangkan dalam platform e-commerce. Kekurangan dari sistem ini adalah untuk melakukan verifikasi tersebut akan memerlukan waktu bagi pedagang agar barangnya mendapatkan izin. Yang mana hal tersebut akan sukar untuk diterapkan dalam platform-platform e-commerce yang tergolong besar dan dalam waktu yang singkat banyak pedagang yang mengunggah barang.

2) Post-moderation

Proses ini dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan terhadap barang yang diperdagangkan dalam platform e-commerce. Pengawasan ini dilakukan oleh penyedia platform untuk memastikan barang yang ditampilkan dalam platformnya bukan merupakan barang yang melanggar hukum dan tentunya juga salah satunya melanggar merek.

Metode kontrol ini dapat dilakukan dengan menunjuk moderator yang oleh penyedia platform bertugas untuk mengawasi barang-barang yang sedang dan masih ditampilkan dalam platformnya. Hal seperti ini juga dipraktekkan dalam subforum yang diterapkan dalam situs Kaskus.

3) Reactive-moderation

(29)

84 Proses ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan dan bergantung pelaporan yang dilakukan oleh pengguna platform terhadap barang yang melanggar peraturan. Pelaporan ini biasanya ditandai dengan adanya kolom atau halaman pelaporan yang disediakan oleh platform untuk memberitahukan kepada penyedia platform. Atas pelaporan tersebut penyedia platform akan menindaklanjutinya dengan menilai apakah konten yang dilaporkan tersebut melanggar ketentuan atau tidak. Apabila konten tersebut melanggar aturan maka akan dihapus oleh pengelola.

Pengelola platform selain dengan berusaha untuk mengetahui jenis barang dalam melakukan kontrol atas barang yang melanggar merek juga dapat dilakukan dengan mengetahui status HaKI dari barang yang dijual.

Status HaKI ini dapat diketahui dari pencantuman tulisan "non-ori", "KW",

"bajakan", "mangascan" dan lain-lain baik pada judul barang maupun deskripsi barang. Pengelola juga dapat mengetahui status HKI barang dari penampilan barang. Menurut hemat penulis terhadap barang-barang yang seperti demikian perlu untuk ditindak/dihapus tanpa melalui mekanisme pembuktian pelanggaran terlebih dahulu. Karena barang-barang tersebut secara jelas dan terang-terangan diakui sebagai barang yang melanggar merek.

b. Pengelola mengetahui adanya penjualan dan penggandaan barang yang melanggar namun tidak berbuat apa-apa.

Situasi ini terjadi ketika penyedia platform sudah mengetahui adanya dugaan pelanggaran barang yang diperdagangkan dalam situs e- commerce baik melalui pre-moderation (verifikasi), pra-moderation (pengawasan), maupun reactive moderation (pelaporan) sebagaimana kondisi yang ada dalam bagian (a) akan tetapi tidak dilakukan penindaklanjutan apapun terhadapnya. Padahal dengan sudah ketahuinya status barang tersebut yang melanggar peraturan, sudah selayaknya penyedia platform melakukan penindakan dengan memberikan teguran

(30)

85 kepada pedagang yang mengunggah dan/atau dengan menghapus barang tersebut dalam platformnya.

Pemaparan dalam indikator pertama di atas dapat dijadikan sebagai dasar bagi sistem kontrol dan penindakan terhadap adanya barang yang melanggar merek dalam e-commerce berbentuk market place. Adapun ketiga sistem kontrol (verifikasi, pengawasan, dan pelaporan) yang ada dapat diterapkan secara bersama-sama untuk hasil yang optimal (Kanina Cakreswara, 2016: 204). Jika menilik pada peraturan perundang-undangan yang menaungi pelaksanaan e-commerce sesungguhnya belum ada pengaturan mengenai penerapan dari ketiga sistem kontrol tersebut yang harus dilakukan oleh penyedia platform.

SE Menkominfo tentang Batasan dan Tanggung Jawab E-Commerce sendiri sebenarnya sudah mulai mengatur mengenai pelaksanaan sistem reactive-moderation. Yang ketentuannya diatur dalam Angka Romawi V Huruf C Angka 1 tentang Kewajiban Penyedia Platform huruf b sampai d.

Meskipun demikian penulis menilai terhadap hal tersebut, perlu adanya sistem moderasi lain yang perlu diatur untuk diterapkan. Karena dalam sistem reactive-moderation bergantung kepada pelaporan dari pengguna terlebih dahulu untuk menindak barang yang melanggar merek. Dalam hal ini perlunya penerapan dari sistem lain adalah untuk menuntut peran aktif dan inisiatif dari penyedia platform dalam menegakkan perlindungan dari barang yang melanggar peraturan. Dan tentunya dengan status dan dasar hukum yang lebih kuat.

Pembiaran yang terjadi terhadap barang yang melanggar merek dalam market place selain itu sebagaimana seperti keadaan yang ada dalam indikator kedua, penulis menilai sudah selayaknya dijadikan sebagai bentuk pelanggaran terhadap hukum. Atas pelanggaran tersebut seharusnya diberikan pengaturan mengenai proses penindakan hukum terhadap penyedia platform yang terbukti melakukan pembiaran tersebut.

(31)

86 Barang yang melanggar merek pada dasarnya merupakan barang yang melanggar hukum. Perlindungan tersebut sudah diberikan dalam UU Merek dan Indikasi Geografis. Sebagaimana penggunaan merek tanpa hak merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum yang dilarang oleh UU Merek dan Indikasi Geografis.

Pasal 83 UU Merek dan Indikasi Geografis mengatur bahwa pemilik merek dapat mengajukan gugatan terhadap pihak yang menggunakan merek tanpa hak untuk:

a. memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang ditimbulkan; dan

b. menghentikan segala perbuatan yang berkaitan dengan penggunaan merek tersebut.

Ketentuan pidana terhadap penggunaan merek tanpa hak sebagaimana diatur dalam Pasal 100 UU Merek dan Indikasi Geografis, yaitu:

a. memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang merupakan hasil pemalsuan merek diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

b. memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang merupakan hasil peniruan merek diancam dengan pidana pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

c. memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang merupakan hasil pemalsuan dan peniruan merek yang jenis barangnya mengakibatkan gangguan kesehatan, gangguan lingkungan hidup, dan/atau kematian manusia diancam dengan pidana pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(32)

87 . Lalu untuk penjual barang yang dimaksud tersebut dapat dikenakan Pasal 102 yaitu:

“Setiap Orang yang memperdagangkan barang dan/atau jasa dan/atau produk yang diketahui atau patut diduga mengetahui bahwa barang dan/atau jasa dan/atau produk tersebut merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 101 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).”

Ketentuan-ketentuan tersebut sudah selayaknya menjadi dasar ilegalitas dari barang-barang palsu yang beredar dalam platform market place.

Penegasan terhadap hal tersebut yang harus dihadirkan dalam peraturan yang menaungi market place. Dengan demikian penyedia platform juga memiliki landasan kontrol atas barang yang melanggar peraturan dan pertanggungjawaban hukum terhadapnya. Untuk penjelasan lebih lanjut penulis paparkan dalam pembahasan selanjutnya.

Kegunaan terhadap adanya ketentuan yang menegaskan larangan atas konten-konten yang ada dalam market place yang diunggah oleh pengguna platform akan berdampak terhadap adanya penguatan kontrol platform market place dari barang-barang yang melanggar peraturan. Implikasinya tentunya diharapkan akan memberikan dasar penindakan atas barang-barang yang melanggar merek dalam situs platform marketplacenya sebagai pemacu pengelolaan platform market place yang terhindar dari perbuatan pelanggaran.

Kontrol terhadap barang yang melanggar peraturan ini pada dasarnya juga menjadi ranah tanggung jawab dari pemerintah. Kewenangan tersebut telah diberikan oleh UU ITE kepada pemerintah dalam Pasal 40 ayat (2a) dan ayat (2b) UU ITE yang diatur:

(2a) Pemerintah wajib melakukan pencegahan penyebarluasan dan penggunaan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang dilarang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2b) Dalam melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2a), Pemerintah berwenang melakukan pemutusan akses dan/atau memerintahkan kepada Penyelenggara Sistem Elektronik untuk

(33)

88 melakukan pemutusan akses terhadap Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar hukum.

Pasal tersebut telah menekankan kewajiban bagi pemerintah untuk mencegah adanya konten yang melanggar peraturan perundang-undangan dalam sistem elektronik. Dan tentunya pasal ini juga berlaku terhadap barang yang melanggar merek dalam platform market place sebagai bentuk perdagangan yang dilakukan melalui sistem elektronik. Bahkan untuk melaksanakan ketentuan tersebut pemerintah diberikan kewenangan untuk memutus akses terhadap barang tersebut, atau memerintahkan kepada penyedia platform untuk memutus akses tersebut.

Peran aktif pemerintah atas dasar hal tersebut sudah selayaknya lebih ditingkatkan lagi untuk mencegah peredaran barang yang melanggar merek dalam market place. Ketentuan dalam Pasal 40 ayat (2a) dan ayat (2b) UU ITE tersebut cukup untuk menjadi landasan bagi pemerintah untuk menindak penyedia platform yang membiarkan peredaran barang yang melanggar merek. Hal tersebut merupakan tanggung jawab dari pemerintah sebagai pemangku kebijakan untuk dapat menjamin terjaganya kepentingan semua pihak yang dilindungi oleh undang-undang. Tentunya pemilik merek dan penerima merek berhak juga atas perlindungan tersebut. Hanya saja penjelasan mengenai mekanisme penindakan atau pencegahan tersebut belumlah disebutkan secara rinci dalam peraturan perundang-undangan.

Solusi atas problematika hukum perlindungan hak merek dalam market place ini pada akhirnya tidak dapat dibebankan kepada satu pihak saja. Dari pemaparan yang penulis uraikan, setiap pihak pada dasarnya memiliki kewajiban dan peran masing-masing untuk menegakkan kepentingan perlindungan hak merek dalam kegiatan perdagangan online. Tak terkecuali dan terbatas pada pengguna platform, penyedia platform bahkan pemerintah sendiri yang kesemuanya memiliki perannya masing-masing sesuai porsi dan kedudukannya.

(34)

89 2. Penyelesaian atas Problematika Hukum Tanggung Jawab Penyedia Penyedia Platform E-Commerce Berbentuk Market Place terhadap Perlindungan Merek Pembebanan tanggung jawab barang yang melanggar ketentuan kepada pedagang yang mengunggah barang pada dasarnya menimbulkan permasalahan dalam penerapannya. Permasalahan tersebut dikarenakan salah satunya adalah tidak jelasnya status subyek hukum dari pelaku usaha atau pedagang (Abdul Halim B, 2017: 39). Dasarnya adalah, karena cakupan transaksinya yang sangat luas menyebabkan sukar untuk menentukan mengenai kedudukan atau identitas asli dari pedagang yang dimaksud. Maka dari itu sudah selayaknya ditentukan bentuk pembebanan pertanggungjawaban yang tepat dengan mempertimbangkan berbagai kondisi yang ada.

Menentukan bentuk pertanggungjawaban yang tepat dari penyedia platform memerlukan pemahaman bagaimana hubungan hukum antarpihak dalam platform e-commerce di mata hukum. Dengan adanya penjualan barang hasil pelanggaran merek dalam situs market place (yang tidak mesti dilakukan oleh penyedia platform), dapatkah pertanggungjawaban dari penyedia platform dipersamakan dengan pertanggungjawaban dari penjual (merchant) yang merupakan pengguna platform? Maka dari itu perlu sekiranya untuk mengetahui kedudukan para pihak tersebut dalam sistem perundang-undangan di Indonesia.

Berbedanya prinsip pelaksanaan perdagangan melalui sarana e- commerce dengan perdagangan konvensional tercermin dalam sifat khusus e- commerce yang dilakukan dengan kontrak elektronik yang memanfaatkan sistem elektronik. Meskipun demikian pada prinsipnya kedua sistem perdagangan tersebut menjadi tempat bertransaksinya penjual dan pembeli.

Suwardi pun menjelaskan, terlepas dari perbedaan dalam kontrak tersebut, keduanya tunduk pada aturan hukum kontrak/hukum perjanjian/hukum perikatan (Suwardi, 2015: 164). Maka dari itu, peraturan yang mengatur perdagangan konvensional juga dapat berlaku terhadap e-commerce, dengan hal-hal lain yang secara khusus diatur untuk itu.

(35)

90 Barang yang ditawarkan dalam platform e-commerce dalam pelaksanaannya dapat dimiliki oleh penyedia platform sendiri atau penggunanya. Penjualan barang pengguna platform yang dilakukan dalam platform e-commerce menimbulkan suatu bentuk hubungan perantara dengan penyedia platform. Penyedia platform dengan kata lain tidak mesti merupakan penjual langsung (produk yang ditawarkan merupakan produk yang dimiliki sendiri). Dengan adanya konsep UGC dalam model market place, penyedia platform e-commerce dapat menjadi perantara (intermediary) yang bertugas menawarkan produk dari pedagang lain yang menjadi user. Dasarnya adalah tugas utama dari perantara adalah untuk menghubungkan antara produsen dengan konsumen (M. Manulang dalam Sentosa Sembiring, 2015: 125).

Dengan demikian disediakannya platform market place yang menghubungkan penjual dan pembeli melalui menjadikan penyedia platform sebagai perantara.

Hubungan perantara antara penyedia platform dengan pengguna yang berlaku sebagai pedagang ini terikat dalam sebuah perjanjian. Perjanjian tersebut terlaksana semenjak pengguna platform mendaftarkan diri sebagai user yang membuat akun dalam platform e-commerce tersebut. Di mana perjanjian inilah yang berlaku sebagai perikatan diantara keduanya. Dengan demikian diantara keduanya timbul suatu hubungan hukum berbentuk perikatan yang timbul karena perjanjian. Dasar hukumnya adalah sesuai dengan Pasal 1338 KUHPdt yang berketentuan, “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang. bagi mereka yang membuatnya.”

Berkaitan dengan penjualan barang yang melanggar hak merek dalam platform e-commerce juga turut menyebabkan terciptanya hubungan hukum antara pelaku usaha dengan pemilik merek yang berhak. Hubungan hukum diantara kedua pihak tersebut berbentuk perikatan yang lahir karena undang- undang. Perikatan ini pada dasarnya timbul karena adanya perbuatan yang menyebabkan kerugian kepada pemilik merek yang berhak atas merek yang dicatutnya.

(36)

91 Hal ini sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1352 dan Pasal 1353 KUHPdt. Yang mana dalam Pasal 1352 berketentuan: “Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dan undang-undang sebagai undang-undang atau dan undang-undang sebagai akibat perbuatan orang”. Lalu dalam Pasal 1353 KUHPdt diatur: ”Perikatan yang lahir dan undang-undang sebagai akibat perbuatan orang, muncul dan suatu perbuatan yang sah atau dan perbuatan yang melanggar hukum”.

Apabila ketentuan tersebut diterapkan ke dalam hubungan hukum yang tercipta antara penyedia platform dengan pemilik merek yang sah, perbuatan penjualan barang yang melanggar merek dapat menjadi suatu perbuatan yang melanggar hukum. Perincian mengenai perbuatan yang termasuk melanggar hukum mengacu pada Pasal 1365 KUHPdt, diatur: “Setiap perbuatan melawan hukum yang oleh karenanya menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang karena kesalahannya menyebabkan kerugian itu mengganti kerugian.”

Ketentuan mengenai perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPdt tersebut pada dasarnya menganut prinsip pertanggungjawaban berdasarkan unsur kesalahan. Dimana prinsip ini menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya (Celina Tri S. K., 2008: 93). Yang menurut Munir Fuady secara lebih rinci unsur-unsur kesalahan ini sendiri terdiri dari: (Munir Fuady, 2003: 12)

a. adanya unsur kesengajaan;

b. adanya unsur kelalaian (negligence, culpa); dan

c. tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf (rechtvaardigingsgrond), seperti keadaan overmacht, membela diri, tidak waras, dan lain-lain;

Gugatan atas kesalahan pun didasarkan dengan syarat-syarat (Zulham, 2013: 84) :

Gambar

Gambar 1. Tangkapan layar penjualan sepatu bermerek Adidas “KW  Super” di dalam situs Shopee
Gambar 3. Tangkapan layar penjualan sepatu bermerek Vans seri Zapato
Gambar 5. Tangkapan layar penjualan kaos bermerek Supreme dengan  harga sangat murah dalam Tokopedia

Referensi

Dokumen terkait