PAPER AGRARIA Nama : Afifa Tyastiti NIM : 12103193062 Kelas : HTN 6B
Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas Tanah Yang Menjadi Korban Penyerobotan Tanah Tanah
Pendahuluan
Tanah adalah anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa dan negara berhak menguasainya.
Pendaftaran tanah meliputi pemeriksaan tanah, pembukuan, pendaftaran dan peralihan hak atas tanah, serta pemberian alat bukti yang sah sebagai alat bukti yang kuat (Pasal 19 UU No.
5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Selanjutnya pendaftaran tanah dilakukan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Menciptakan kepastian hukum di bidang tanah memerlukan ketersediaan dokumen hukum yang lengkap dan jelas secara tertulis yang ditegakkan secara konsisten sesuai dengan semangat dan isi peraturan perundang-undangan. Saat ini, sebagian besar sengketa tanah ini diselesaikan dengan tiga cara
1. Kesepakatan langsung antara para pihak melalui musyawarah. Dasar musyawarah mufakat adalah Pancasila sebagai dasar kehidupan bermasyarakat Indonesia dan UUD 1945. Sidang akan diadakan di luar pengadilan, dengan atau tanpa mediasi. Mediator biasanya berasal dari partai politik berpengaruh seperti walikota/Lula, tokoh adat, dan tentunya Badan Pertanahan Nasional.
2. Melalui arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa, perjanjian dibuat secara tertulis dan disepakati antara para pihak.
3. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Selanjutnya Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah menyatakan bahwa “Sertifikat adalah alat bukti hak yang berlaku sebagai alat bukti yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang terkandung di dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut masih ada. sesuai dengan yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang bersangkutan.” Jumlah kasus konflik tanah semakin meningkat setiap tahunnya. Berita bentrokan antara aparat dan masyarakat dalam kasus tanah
memenuhi artikel berita harian cetak dan elektronik. Meningkatnya jumlah konflik pertanahan merupakan kombinasi dari kurangnya upaya untuk menyelesaikan secara sistematis konflik-konflik tersebut, terutama dalam rangka mencapai rasa keadilan dan hak asasi para korban. Ada beberapa penyebab utama, pertama, diseminasi pengadaan tanah yang berpihak pada investor, kedua kurangnya pengetahuan, dalam hal ini adalah masyarakat yang tidak mengetahui prosedur pendaftaran tanah yang benar.
Hal ini tidak terlepas dari akses lemah masyarakat terhadap sumber daya alam akibat kurangnya perlindungan negara. Posisi rakyat melemah karena tanah yang mereka kuasai tidak sepenuhnya diakui. Sekalipun memiliki sertifikat, hanya dengan membuktikan bahwa sertifikat itu dikeluarkan oleh lembaga publik (dalam hal ini BPN) belum tentu menjamin tidak akan ada masalah. Politik pertanahan Indonesia sebenarnya telah lama dirumuskan dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945, dan dijelaskan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang lebih dikenal dengan UUPA yang didukung oleh peraturan yang telah dikeluarkan terkait dengan pendaftaran tanah, yaitu Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pendaftaran tanah adalah rangkaian penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh pemerintah yang berkesinambungan, dan teratur, meliputi data fisik dan yuridis, pengumpulan, pengolahan, penyajian, dan pemeliharaan data. Disebutkan bahwa hal tersebut termasuk penerbitan sertifikat yang menyatakan hak atas tanah yang telah dimohonkan kepemilikannya atas bidang tanah dan hak beban tertentu.
Negara harus bisa melindungi pemilik tanah yang sah dari penyerobotan tanah oleh mafia tanah. Namun pada kenyataannya, saat ini sulit untuk memberantas praktik penyerobotan tanah. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengaturan pertanahan yang tepat untuk mencegah kegiatan ilegal tersebut dan lemahnya integritas institusi nasional.
Pernyataan ini mengacu pada praktik mafia tanah yang merugikan tidak hanya pemilik tanah kecil, tetapi juga bisnis dan bahkan negara. Untuk itu, diperlukan regulasi yang tegas untuk mencegah atau membatasi ruang lingkup mafia tanah. Salah satunya terkait pembatasan kepemilikan tanah. Untuk mengatasi penyerobotan tanah ini perlu diterapkan regulasi yang tegas untuk mencegah munculnya monopoli dalam kepemilikan tanah, namun kendala untuk menegakkan aturan tersebut tidak mudah dan penegakan hukum harus juga dilakukan oleh masyarakat. Keberadaan mafia tanah yang melakukan perampasan tanah ini dapat dirasakan, namun tidak dapat dijangkau.
Uraian di atas menunjukkan pentingnya perlindungan hukum bagi pemilik hak atas tanah yang menjadi korban perampasan mafia tanah. Adapun rumusan masalah dalam tulisan ini adalah bagaimana dengan upaya pemerintah memberantas mafia tanah? Namun bagaimana dengan perlindungan hukum terhadap pemilik tanah yang menjadi korban mafia tanah?
Pembahasan
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUPA yang memuat: Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam pasal 1 bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Artinya, negara bukanlah pemilik, tetapi negara sebagai organisasi kekuasaan sampai dengan persetujuan rakyat Indonesia. negara. Dengan tingkat:
a. Mengatur dan mengelola alokasi, penggunaan, pengiriman, dan pemeliharaan.
b. Menetapkan dan mengelola hak-hak yang dapat diperoleh di Bumi, air, dan (sebagian) ruang angkasa.
c. Menetapkan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan hukum yang berkaitan dengan Bumi, air, dan ruang angkasa.
Indonesia merupakan negara agraris dimana kepemilikan tanah memegang peranan penting dalam kehidupan warganya, terutama sebagai faktor produksi. Tanah memegang peranan yang sangat penting bagi warga negara Indonesia, sehingga tanah menentukan kesejahteraan warga negara, dan semakin banyak tanah yang dimiliki, maka semakin sejahtera. Salah satu upaya pemerintah untuk memberantas penyerobotan tanah oleh mafia tanah adalah dengan mengeluarkan peraturan atau petunjuk teknis. Dalam hal ini Kementerian Penataan Ruang Pertanian, Departemen Pertanahan, telah mengeluarkan petunjuk teknis Nomor 01/JUKNIS/D.VII/2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Mafia Tanah.
Selain itu, pemerintah berupaya memberantas mafia tanah melalui Badan Pertanahan Nasional dan mengajukan sertifikat kepemilikan tanah yang sesuai dan benar. Arsip memainkan peran penting bagi setiap instansi atau organisasi karena merupakan bukti kinerja organisasi tersebut. Sebagai bagian dari proses modernisasi di era digital, kecenderungan untuk mendigitalkan arsip dan dokumen dalam bentuk elektronik tidak bisa dihindari. Badan
Pertanahan Nasional (BPN) terus mengupayakan ketersediaan arsip sebagai lembaga yang menangani masalah pertanahan. Arsip pertanahan, khususnya Setifikat Tanah, perlu dimutakhirkan dari segi pengelolaan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Pembaruan ini dapat dilakukan dengan pengarsipan elektronik atau digitalisasi arsip. Sertifikat pendaftaran tanah merupakan dokumen bukti yang sah karena di dalamnya memuat data fisik dan hukum terhadap suatu tanah. Sertifikat tanah merupakan alat bukti hukum yang kuat jika terjadi sengketa tanah. Karena semakin banyaknya kasus sertipikat dan kerentanannya terhadap kerusakan fisik dan hilangnya sertifikat tanah (kertas), BPN diwajibkan untuk menyerahkan sertifikat tanah secara elektronik. Tujuannya adalah untuk melindungi pendaftaran tanah dari kerusakan dan kehilangan serta mempercepat pencarian arsip. Model pengajuan pendaftaran tanah secara elektronik sudah dapat dimulai pada tahap pendaftaran tanah. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang terus menerus dan berkesinambungan termasuk pemungutan, manajemen, pembukuan. dan pemeliharaan data fisik serta data yuridis, berupa peta dan daftar bidang tanah dan satuan rumah susun termasuk penerbitan sertifikat sebagai bukti hak atas bidang tanah yang telah mempunyai hak dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun dan hak-hak tertentu yang membebani pemiliknya.
Proses pendaftaran tanah melalui tiga tahap: pengukuran, pemetaan dan pembukuan.
Tingkat pembukuan ini biasanya diakhiri dengan penerbitan sertifikat pendaftaran tanah.
Sertifikat tanah diterbitkan dalam bentuk kertas. Sertifikat dilengkapi dengan hologram dengan logo BPN yang ditambahkan untuk mencegah pemalsuan sertifikat. Akan tetapi, dalam hal pengajuan secara elektronik, tahapannya tidak hanya berakhir dengan dikeluarkannya petikan dari daftar tanah, tetapi dokumen daftar tanah juga diarsipkan secara elektronik. Diperlukan mekanisme tertentu untuk mengetahui bahwa daftar tanah elektronik tidak berubah dibandingkan dengan aslinya. Tanda tangan digital adalah cara untuk melindungi dokumen dari perubahan yang tidak sah. Cara kerja tanda tangan digital adalah dengan menggunakan algoritma enkripsi untuk meringkas konten dokumen yang dilindungi dan dienkripsi kemudian memasukkan hasilnya ke dalam dokumen. Dokumen digital dan tanda tangan digital selalu dalam satu file. Tanda tangan digital memiliki tiga proses utama:
mendapatkan ringkasan isi dokumen, mengkodekan ringkasan, dan akhirnya memasukkan ringkasan terenkripsi. Setelah pengarsipan elektronik, berkas pendaftaran tanah elektronik disimpan oleh Kantor Pendaftaran Tanah dan dapat diakses oleh pemiliknya kapan pun
diperlukan. Arsip elektronik sertifikat tanah dimaksudkan sebagai alat bukti yang sah apabila terjadi sengketa tanah.
Melihat hal tersebut pendaftaran tanah menjadi isu penting, dan seiring berjalannya waktu ikut berkembang sesuai dinamika hukum pertanahan untuk mencegah penyerobotan tanah. Undang-undang merupakan dasar dari berbagai pelaksanaan, yang salah satunya secara aktif diundangkan di Indonesia untuk tertib administrasi dan kepastian hukum status hipotek.
Indonesia menganut paham positivisme dan harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Misalnya, aplikasi pendaftaran tanah yang sebelumnya manual kini menjadi digital. Tugas penyelenggaraan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia menjadi tanggung jawab Pemerintah, yang ditetapkan sesuai dengan Pasal 19 (1) UUPA, tujuannya semata-mata untuk menjamin kepastian hukum.
Baik perumahan maupun kegiatan komersial meningkatkan peran tanah dalam memenuhi kebutuhan yang berbeda. Kebutuhan akan bantuan berupa kepastian hukum atas tanah juga akan semakin meningkat. Untuk memberikan jaminan kepastian hukum di bidang tanah pertama-tama diperlukan ketersediaan dokumen hukum yang tertulis, lengkap, dan jelas yang ditegakkan secara konsisten sesuai dengan semangat dan isi ketentuan yang ada. Selain itu, perlu untuk mendaftarkan tanah untuk mencegah konflik atau sengketa. Hal ini memungkinkan pemegang hak tanag untuk dengan mudah membuktikan hak mereka atas tanah yang mereka kuasai dan kepada pihak yang berkepentingan seperti pembeli dan kreditur di masa depan. Memperoleh informasi yang diperlukan tentang tanah yang dikenai tindakan hukum dan informasi yang diperlukan bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan pertanahan. Pendaftaran tanah dilakukan untuk menjamin kepastian hukum bidang pertanahan, dan sistem penerbitannya merupakan sistem negatif, tetapi mengandung unsur positif, karena akan menghasilkan surat-surat bukti hak yang menjadi alat bukti yang kuat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 38 ayat (2) UUPA.
Pendaftaran tanah juga masih dilakukan dengan dua cara, yaitu pertama secara sistematis meliputi wilayah satu desa atau kelurahan atau sebagiannya, yang terutama dilakukan atas prakarsa pemerintah dan secara sporadis yaitu pendaftaran bidang tanah. atas permintaan pemegang atau penerima hak masing-masing secara sendiri-sendiri atau massal.
Perbaikan dalam peraturan pendaftaran tanah yang dilakukan antara lain penegasan terhadap berbagai hal yang tidak jelas dalam aturan lama, seperti pengertian pendaftaran tanah itu sendiri, asas dan tujuan pelaksanaannya. Hal tersebut di atas juga dimaksudkan untuk
mengumpulkan dan menyajikan informasi yang lengkap dalam data fisik dan yuridis dari properti yang bersangkutan. Prosedur pengumpulan data kepemilikan tanah juga telah ditekankan, disederhanakan dan dipersingkat. Untuk menjamin kepastian hukum dalam bidang penguasaan dan kepemilikan tanah, kepastian mengenai letak dan luas masing-masing tanah tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, masalah survei, kartografi, dan penyediaan peta skala besar tidak dapat diabaikan dalam proses pendaftaran tanah.
Bangsa harus mampu melindungi tanah yang sebenarnya dimiliki oleh rakyat. Hal tersebut agar masyarakat tidak mudah tertipu oleh mafia tanah yang hanya membawa dokumen tidak resmi untuk melakukan penyerobotan tanah. Aparat penegak hukum harus mampu memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus yang menyangkut hak masyarakat atas tanah. Aparat penegak hukum harus mematuhi peraturan perundang- undangan yang terkait dengan masalah lahan dan pertanahan. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah memberikan kepastian hukum kepada pemilik tanah, tempat tinggal dan hak-hak lain yang terdaftar sehingga mereka dapat dengan mudah membuktikan bahwa mereka adalah pemilik hak yang bersangkutan. Tujuannya adalah untuk memudahkan pemerintah memperoleh data yang diperlukan untuk mengambil tindakan hukum terkait dengan bidang tanah yang terdaftar untuk pelaksanaan pengelolaan tanah yang baik.
Dalam hal ini tentunya diperlukan sanksi pidana bagi mafia tanah yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melindungi masyarakat sebagai korban penyerobotan tanah. Penegakan hukum pidana merupakan bagian dari politik pidana (criminal policy) sebagai salah satu bagian dari keseluruhan kebijakan penanggulangan kejahatan. Meskipun memang penegakan hukum pidana bukanlah satu-satunya harapan bagi penyelesaian atau penanggulangan suatu kejahatan secara tuntas. Tak perlu dikatakan, kejahatan pada dasarnya adalah masalah kemanusiaan, masalah sosial, dan bahkan masalah sosial tertua, yang telah dinyatakan sebagai masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan hukum pidana. Banyak orang beranggapan bahwa jika ada masalah dengan tanah yang mereka miliki, hukum perdata akan digunakan untuk menyelesaikannya, tetapi kerugian yang ditimbulkan pada atas sengekat juga dapat dituntut menggunakan hukum pidana. Hal ini diatur dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Dinamika pembangunan berarti sementara kebutuhan ruang semakin meningkat, ketersediaan ruang semakin terbatas. Akibatnya, ada peningkatan permintaan untuk penggunaan lain dan mengurangi ketersediaan lahan. Hal ini tidak hanya meningkatkan konversi lahan dari pertanian ke non-pertanian, tetapi juga meningkatkan kemungkinan penyerobotan lahan. Dalam penegakan hukum pidana di bidang tersebut ada beberapa tahapan yang dilakukan yaitu:
a. Peran Badan Pertanahan Negara (BPN) dalam penyelesaian masalah pertanahan Secara teoritis, penanganan masalah pertanahan dapat dilakukan oleh badan yang menangani masalah pertahanan, tanpa selalu berada di bawah lembaga peradilan.
Dalam hal ini, BPN dapat memimpin penyelesaian secara damai, baik melalui mediasi yang diperantarai BPN maupun dengan memberikan solusi kepada salah satu pihak.
Yang terpenting dalam menyelesaikan suatu masalah melalui nasehat adalah dapat melaksanakan putusan tersebut dan tidak melanggar ketentuan Undang-undang Pertanahan. BPN biasanya mengirimkan salah satu petugas penyelesaian sengketa untuk membantu para pihak mencapai hasil terbaik. Jika mereka tidak menyelesaikan masalah karena tidak dapat mencapai kesepakatan, BPN mendorong kedua belah pihak untuk menerapkan hukum pidana, perdata, dan/atau tata usaha negara.
Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1999, BPN sendiri akan berupaya menyelesaikan sengketa tanah hanya jika masalahnya dianggap kompleks terkait dengan pejabat/wewenang lain.
Tim yang dibentuk perlu berkoordinasi dengan otoritas lain, meminta informasi dari berbagai pemangku kepentingan, dan menyelidiki lokasi.
b. Menyelesaikan masalah menurut hukum pidana di pengadilan umum.
Ada beberapa ketentuan yang dapat dipidana untuk penyelesaian pidana sengketa tanah. Artinya, pidana penyerobotan tanah adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang menjatuhkan sanksi pidana kepada yang melakukannya. Ahli hukum membedakan antara tiga bagian dari kejahatan tanah: pra- akuisisi, kontrol tanpa hukum, dan persetujuan tanpa hukum. Hukum pidana kejahatan tanah, jika dijelaskan secara rinci, kejahatan tanah dalam KUHP terdapat dalam Buku II dan Buku III yang dibedakan dari segi waktu:
1) Pra-perolehan, terdapat dalam Pasal 385, 389, 263, 264, 266 KUHP 2) Pengendalian dengan pemerasan, terdapat dalam Pasal 425 KUHP 3) Pengendalian tanpa hak, terdapat dalam Pasal 167, 168 KUHP.
Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh undang-undang larangan yang disertai dengan hukuman (sanksi) berupa kejahatan tertentu, bagi siapa saja yang melanggar larangan tersebut. Selanjutnya dapat pula dikatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan dan diancam dengan pidana, asalkan pada saat yang sama diingat bahwa larangan itu ditujukan kepada suatu perbuatan (yaitu suatu keadaan atau peristiwa) yang disebabkan oleh tingkah laku seseorang sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menyebabkan kejadian tersebut). Ada hubungan erat antara larangan dan ancaman hukuman, karena ada hubungan erat antara kejadian dan orang yang menyebabkan kejadian itu.
Kesimpulan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah lembaga yang paling mampu untuk sengketa pengelolaan tanah, termasuk dalam hal pengadaan tanah. Salah satu upaya pemerintah memberantas mafia tanah dengan agresi adalah dengan mengeluarkan regulasi atau arahan teknis. Dalam hal ini Kementerian Pertanian dan Penataan Ruang Kementerian Pengelolaan Pertanahan akan menerbitkan Petunjuk Teknis Nomor 01/JUKNIS/D.VII/2018 tentang Pencegahan dan Pemberantasan.
Dari mafia tanah. Selain itu, pemerintah berupaya memberantas mafia tanah melalui Badan Pertanahan Nasional dan mengajukan sertifikat kepemilikan tanah yang sesuai dan benar.
Arsip memainkan peran penting bagi setiap instansi atau organisasi karena merupakan bukti kinerja manajemen suatu instansi atau organisasi pemerintah. Sebagai bagian dari proses modernisasi di era digital, kecenderungan untuk mendigitalkan arsip dan dokumen dalam bentuk elektronik tidak bisa dihindari. Badan Pertanahan Nasional (BPN) terus mengupayakan ketersediaan arsip sebagai lembaga yang menangani masalah pertanahan.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah memberikan kepastian hukum kepada pemilik tanah, satuan rumah, dan hak-hak lain yang terdaftar serta dapat dengan mudah membuktikan bahwa mereka adalah pemilik hak yang bersangkutan.
Tujuannya adalah untuk melakukannya. Memberikan informasi kepada pihak yang berkepentingan. Pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, dapat dengan mudah memperoleh data yang diperlukan untuk mengambil tindakan hukum terkait tanah yang terdaftar, memastikan pelaksanaan pengelolaan tanah yang tepat, dan mencegah pembebasan tanah.
Tentu dalam hal ini, melindungi masyarakat umum sebagai korban serangan penyerobitoan tanah oleh mafia tanah akan membutuhkan sanksi pidana bagi pelaku yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penegakan hukum pidana bukan satu-satunya harapan bagi penyelesaian atau penanggulangan suatu kejahatan secara tuntas, tetapi merupakan bagian dari kebijakan keamanan secara menyeluruh.