BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wartawan atau jurnalis adalah seorang yang melakukan tugas jurnalisme, yaitu orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/dimuat di media massa secara teratur.
Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet.1 Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat. Pada dasarnya, undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang pers, melindungi wartawan sebagai pelaksana kegiatan jurnalistik maupun hal-hal menjadi subjek dan objek pemberitaan. Perlindungan hukum diberikan bagi wartawan dalam melasankan profesinya dijamin melalui pasal 4 UU Pers.
Jurnalisme dan jurnalis juga dikenal sebagai lembaga keempat (the fourth estate) setelah cabang eksekutif, judikatif dan legislatif pemerintah. Istilah lembaga keempat konon diciptakan oleh Sir Edmund Burke, filsuf politik dan negarawan Inggris abad ke-18, yang mengatakan pada 1841 bahwa “ada tiga lembaga di Parlemen, namun di balkon wartawan, duduklah lembaga keempat
1 ‘’pengertian jurnalis’’, http ://smandainmagazine.blogspot.com /2010/08/pengertian-jurnalis-dan-jurnalistik.html, diakses 29/03 2019.
yang lebih penting dari ketiga lembaga lainnya.2 Estate keempat ini adalah check and balance dalam sistem. Berada di posisi “check and balance” artinya mereka harus siap menanyakan pertanyaan keras, menngungkap tindak kejahatan, dan membantu orang-orang yang berada di kekuasaan tetap jujur.
Salah satu kebebasan dasar manusia dalam diskursus hak asasi manusia adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi (freedom of opinion and expression). Setiap manusia berhak atas kebebasan ini termasuk didalamnya kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan pemikiran apapun bentuknya tanpa memandang batas-batas. Dalam hak ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi, buah pikir melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah). Dinyatakan dalam Article 19 The Universal Declaration of Human Rights (UDHR) dan Article 19 The International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), kebebasan ini menjadi syarat yang mutlak ada bagi terwujudnya prinsip transparansi dan akuntabilitas suatu pemerintahan yang pada gilirannya akan membawa pada pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM)
Hak asasi manusia (human rights) merupakan hak manusia, yang melekat pada manusia, dimana manusia juga dikaruniai akal pikiran dan hati nurani.3 Hak asasi manusia (HAM) sebagai gagasan serta kerangka konseptual tidak lahir secara tiba-tiba sebagaimana kita lihat dalam Universal Declaration
2 Media Massa dan Negara Demokrasi’’,
http://aryakusuma17.blogspot.com/2011/06/media-massa-dan-negara-demokrasi.ht ml, diakses 29 /03/2019.
3 Suryadi Radjab, Dasar-dasar Hak Asasi Manusia, PBHI, Jakarta, 2002, hlm. 7
of Human Right 10 Desember 1948, namun melalui suatu proses yang cukup panjang dalam sejarah peradaban manusia. Awal perkembangan HAM dimulai ketika ditandatangani Magna Charta (1215), oleh Raja Jhon Lacklaand.
kemudian juga penandatanganan Petition of Right pada tahun 1628 oleh Raja Charles I. Dalam hubungan inilah maka perkembangan hak asasi manusia ini sangat erat hubungannya dengan perkembangan demokrasi, karena ciri-ciri dari demokrasi salah satunya tentang adanya perlindungan HAM.
Pada level domestik, jaminan atas kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagai bagian dari kebebasan berekspresi terdapat dalam amandemen konstitusi. Pasal 28F UUD 1945 menegaskan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dengan mengakui hak setiap orang untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi danlingkungan sosialnya, serta hak setiap orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.4
Dalam level undang-undang, kebebasan ini pula dijamin dalam Pasal 14 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Adalah kewajiban negara menurut Pasal 40 ICCPR untuk melaporkan kebijakan hukum, praktik-praktik administrasi dan berbagai kebijakan sektoralnya kepada Human Rights Committet terkait dengan pemenuhan kebebasan ini maupun pemulihannya jika kebebasan ini terlanggar. Dengan demikian, secara
4 Wina Armada Sukardi. Keutamaan dibalik Kontroversi Undang -Undang Pers Jakarta : Penerbit Dewan Pers, 2007, hal. 38
formal, segenap cabang kekuasaan negara baik itu legislatif, eksekutif, maupun yudisial, serta aktor-aktor non-negara terikat untuk menghormati kebebasan ini pada level apapun. Kebebasan berekspresi memiliki makna yang penting, karena kebebasan itu memungkinkan orang untuk eksis dan berkembang sebagai manusia yang utuh dan beradab. Informasi memungkinkan orang melakukan pilihan-pilihan dalam hidupnya, mengembangkan diri dengan ilmu pengetahuan, dan bertukar pikiran dengan sesama warga lainnya. Tanpa informasi, orang akan berada dalam kegelapan, mengakibatkan kehidupan yang tak berkualitas sebagai manusia.
Dalam negara yang berpaham kedaualatan rakyat, keputusan politik rakyat dalam mengontrol jalannya kekuasaan amat tergantung pada informasi yang diterima. Semakin transparan kekuasaan terawasi, semakin demokratis dan berkeadilan suatu negara dapat diharapkan, tidak mengherankan, sejarah resim-resim yang menindas selalu lekat dengan berbagai sensor terhadap pers, buku, karya tulis dan seni demi mengekalkan kuasa. Pers yang bebas, informasi yang mengalir bebas dipercaya akan membahayakan kekuasaan dan oleh karenanya hukum-hukum yang mengekang terhadap kebebasan pers dan kebebasan berekspresi pada umumnya tersedia untuk itu, memberi dasar pembenar pada tirani kekuasaan. Dalam negara yang berpaham kedaulatan rakyat, laporan media menjadi bahan bagi lembaga perwakilan dan elemen- elemen masyarakat yang berkesadaran untuk melakukan kontrol, koreksi, dan pengawasan kekuasan agar selalu berjalan di rel konstitusi. Sekalipun
peradaban manusia kini telah sampai pada era di mana setiap warga dapat menjadi pewarta, sebuah era yang disebut dengan citizen journalis.5
Jurnalis/wartawan tetap memainkan peranan penting lagi tak dapat diabaikan dalam distribusi informasi demi terkawalnya kekuasaan. Kerap kali bersinggungan dengan kekuasaan mengakibatkan profesi wartawan menjadi rawan akan kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi.6
Dalam melakukan fungsi (check and balance) jurnalis, terkadang mereka disebut sebagai “anjing penjaga (watchdog) bagi masyarakat”. Mereka diharapkan untuk mengawasi orang-orang yang memiliki kekuasaan di pemerintahan dan di masyarakat. Agar jurnalis dapat menjalankan fungsinya sebagai “check and balance”, serta sebagai “anjing penjaga bagi masyarakat”
dan “lembaga keempat”, mereka harus menikmati kebebasan pers. Ini artinya mereka diizinkan untuk mencetak dan menerbitkan laporan berita tanpa intervensi luar (baik politik maupun finansial atau ketakutan atas pembalasan atau penganiayaan).7 Mereka juga harus memiliki akses ke informasi untuk mendapatkan materi laporan mereka atau untuk memverifikasi laporan mereka.
Akan tetapi, urusan “melaporkan kebenaran” sama sekali tidak sederhana. Di
5 Emi Puasa Handayani, Perlindungan Hukum Jurnalisme warga, Jurnal vol 2, april 2016, hlm 241
6 Ana Nadhya Abrar, Fenomena Jurnalisme Direflek sik an. Cetakan Pertama. PT.
Penebar Swadaya, Jakarta. 1997 hlm. 35
7 Memahami peran media sebagai watchdog, https://www.portal-
islam.id/2015/03 /mema hami -peran-media-sebagai-watchdog.html diakses 19/03/2019
banyak negara, reporter selalu berada di bawah ancaman ketika menjalankan tugas mereka.8
Keselamatan jurnalis dan pekerja media laki-laki dan perempuan semakin terancam di Indonesia ,berdasarkan data yang di keluarkan oleh aliansi jurnalis independen (AJI) dari tahun 2006 – 2019 terdapat 720 kasus kekerasan terhadap jurnalis.9 Salah satu fakta yang dapat dikemukakan adalah peristiwa yang dialami oleh salah satu jurnalis Ridwan Saslamun. Ridwan Salamun merupakan wartawan dari Sun TV yang dibunuh di Tual, Maluku Tenggara pada tanggal pada 21 Agustus 2010. Ridwan tewas akibat di bacok dari belakang ketika melakukan liputan bentrokan warga kompleks Banda Eli melawan warga Dusun Mangun, Desa Fiditan, Kota Tual.10 Mengingat bahwa jurnalis hanya menjalankan tugas mereka, yaitu menjadi penghubung antara apa yang terjadi di lapangan dengan masyarakat. Jurnalis adalah bagian penting dari kebebasan berekspresi. Pembunuhan terhadap wartawan adalah bentuk pensensoran yang paling nyata. Selain itu, banyak juga jurnalis baik laki-laki maupun perempuan yang dipenjara tanpa mengikuti prosedur hukum yang layak, hanya karena mereka melaporkan “isu-isu sensitif”.11 Rentetan kasus kekerasan dan persekusi terhadap jurnalis menujukan adanya ancaman kekerasan nyata terhadap jurnalis. Selain kekerasan fisik langsung juga
8 Ancaman reporter : http: //www. Unesco .org/new/ fileadmin/ MULTIMEDIA /HQI /CI/pdf/news/foe-toolkit-indonesian.pdf diakses tanggal 13/03/2019 pukul 03.30 WIT
9 data kasus kekerasan terhadap jurnalis,: https://.aji.or.id, diakses 19/03/2019
10 Kasus pembunuhan wartwan: https://nasional .kompas.com /read/2019 /02/08/
17302821/ mengingat-lagi-10-kasus-pembunuhan-wartawan-di-indonesia?page=all. Diakses tanggal 23/03/2019.
11 Media Sosial: Suaka atau Penjara Baru untuk Berekspresi?", https://tirto.id/media-sosial-suaka-atau-penjara-baru-untuk-berekspresi-cp5c. diakses tanggal 13/03/2019pukul 03.50 WIT
terdapat pola kekerasan baru yaitu perkusi dengan cara doxing atau tracking data pribadi jurnalis, kemudian di-upload di media sosial dengan menambahkan narasi provokatif.12 Keselamatan jurnalis adalah prasyarat dasar bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Jurnalisme adalah oksigen demokrasi dan pembunuhan terhadap jurnalis adalah bentuk penyensoran yang paling puncak. Jika tidak ada keselamatan bagi jurnalis, maka tidak akan ada jurnalisme berkelanjutan dan akhirnya tidak ada demokrasi yang layak dan dapat bertahan (viable). Keselamatan jurnalis adalah isu yang mempengaruhi kita semua. Setiap agresi terhadap jurnalis adalah serangan atas salah satu kebebasan paling mendasar. Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi tidak dapat dinikmati tanpa adanya pengawasan perlindungan yang menjamin keselamatan bagi jurnalis.
Atas dasar pemahaman-pemahaman dan alasan-alasan seperti yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk membuat penulisan hukum dalam bentuk Skripsi yang berjudul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK JURNALIS BERDASARKAN HUKUM HAK ASASI MANUSIA.
B. Rumusan masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut diatas, maka permasalahan yang handak diteliti adalah: Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Hak-hak Jurnalis Berdasarkan Hukum Hak Asasi Manusia ?
12 Stop Kekerasan Seksual, Penuhi Hak Jurnalis Perempuan di Ruang Kerja, https://aji.or.id /read/berita/622/stop-kekerasan-seksual-penuhi-hak-jurnalis-perempuan- di-ruang-kerja.html, diakses tanggal 13/03/2019 pukul 04.30 WIT
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengkaji dan mengetahui perlindungan hukum terhadap hak-hak jurnalis berdasarkan hukum hak asasi manusia
2. Sebagai salah satu persyaratan akademik menyelesaikan studi pada Fakultas Hukum Universitas Pattimura Ambon.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan memberikan sumbangan pikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan bermanfaat bagi perkembangan perlindungan hukum terhadap hak-hak jurnalis berdasarkan deklarasi universal hak asasi manusia.
2. Manfaat Praktis:
Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan pemahaman dan kontribusi nyata bagi klangan pihak terkait dalam bentuk konstruksi pemikiran tentang perlidungan hukum bagi jurnalis dalam perspektif hak asasi manusia.
E. Kerangka Konseptual 1. Konsep Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh
hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.13
Perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak- hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum. Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.14
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat diketahui bahwa perlindungan hukum adalah segala bentuk upaya pengayoman terhadap harkat dan martabat manusia serta pengakuan terhadahak asasi manusia di bidang hukum. Prinsip
13 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Huk um, Kencana Pranada Media Group, Jakarta, 2008, hlm. 23
14 Setiono. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta. Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, jurnal vol 2, 2004. hlm. 3
perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia bersumber pada Pancasila dan konsep Negara Hukum, kedua sumber tersebut mengutamakan pengakuan serta penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia. Sarana perlindungan hukum ada dua bentuk, yaitu sarana perlindungan hukum preventif dan represif.
2. Konsep Jurnalis Dan Hak-Hak Jurnalis
Wartawan atau jurnalis atau pewarta adalah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalistik atau orang yang secara teratur menuliskan berita (berupa laporan) dan tulisannya dikirimkan/dimuat di media massa secara teratur.
Laporan ini lalu dapat dipublikasi dalam media massa, seperti koran, televisi, radio, majalah, film dokumentasi, dan internet. Wartawan mencari sumber mereka untuk ditulis dalam laporannya; dan mereka diharapkan untuk menulis laporan yang paling objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat.15
Hak adalah segala sesuatu yang mutlak menjadi milik seseorang dimana penggunaannya tergantung kepada orang tersebut dengan rasa tanggung jawab. Pendapat lain mengatakan bahwa arti hak adalah segala sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh setiap manusia, bahkan sejak manusia tersebut masih di dalam kandungan. Hak untuk menerima atau melakukan sesuatu yang seharusnya diterima atau dilakukan oleh suatu pihak dan secara prinsip tidak dapat dituntut secara paksa oleh pihak lain. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, pengertian hak adalah sesuatu hal yang benar, milik,
15 Asep Syamsul M.Romli., Jurnalistik Prak tis Untuk Pemula. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2009, hlm. 54
kepunyaan, kewenangan, dan kekuasaan seseorang untuk berbuat sesuatu karena telah diatur oleh undang-undang atau peraturan.16 Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa definisi hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi miliki kita dimana penggunaan hak tersebut tergantung kepada diri kita sendiri.17
Hak-hak jurnalis di atur di dalam Undang-Undang Republik Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers Pasal 4 :
a. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara.
b. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.
c. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
d. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
3. Konsep Hak Asasi Manusia
Deklarasi Universal HAM yang juga disebut “Magna Carta”18 adalah suatu pernyataan dari berjuta-juta manusia di bumi yang merindukan adanya proteksi dari HAM dalam dunia. Deklarasi ini dapat disebut sebagai ideologi internasional untuk HAM, karena telah dijadikan pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia internasional. Nilai-nilai universal HAM pertama kali dikumandangkan dalam deklarasi tersebut. Meski implementasi dari HAM tersebut masih memerlukan perjuangan panjang yang menuntut perhatian semua umat manusia, tetapi adanya pedoman bagi penilaian terhadap
16 Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningram, Jurnalistik teori dan politik . PT. Remaja Rosdakarya.Bandung, 2012, hlm. 39
17 Pengertian hak: https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-hak-adhtml diakses tanggal 13/03/2019 pukul 04.26 WIT
18 Peter Davies, Hak-Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hlm 19
penghormatan HAM itu merupakan suatu prestasi penting.19 Tidaklah berlebihan jika Deklarasi Universal HAM kemudian disebut sebagai Piagam Mulia. Karena sejak itu, semua manusia mengerti apakah tindakan atas sesamanya merupakan sesuatu yang melanggar HAM atau tidak, dan ketika deklarasi tersebut dijadikan pedoman bagi pembuatan Undang-Undang Dasar dalam suatu negara, maka HAM kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan dalam suatu negara. Deklarasi HAM itu juga telah membuat negara-negara di dunia bertanggung jawab untuk menjaga implementasi HAM di negara tempat mereka memerintah.
Deklarasi Universal HAM yang juga disebut “Magna Carta” adalah suatu pernyataan dari berjuta-juta manusia di bumi yang merindukan adanya proteksi dari HAM dalam dunia. Deklarasi ini dapat disebut sebagai ideologi internasional untuk HAM, karena telah dijadikan pedoman bagi pelaksanaan HAM dalam dunia internasional. Nilai-nilai universal HAM pertama kali dikumandangkan dalam deklarasi tersebut. Meski implementasi dari HAM tersebut masih memerlukan perjuangan panjang yang menuntut perhatian semua umat manusia, tetapi adanya pedoman bagi penilaian terhadap penghormatan HAM itu merupakan suatu prestasi penting. Tidaklah berlebihan jika Deklarasi Universal HAM kemudian disebut sebagai Piagam Mulia. Karena sejak itu, semua manusia mengerti apakah tindakan atas sesamanya merupakan sesuatu yang melanggar HAM atau tidak, dan ketika deklarasi tersebut dijadikan pedoman bagi pembuatan Undang-Undang Dasar
19 Ibid hlm 20
dalam suatu negara, maka HAM kemudian mempunyai kekuatan hukum untuk ditegakkan dalam suatu negara. Deklarasi HAM itu juga telah membuat negara-negara di dunia bertanggung jawab untuk menjaga implementasi HAM di negara tempat mereka memerintah.
Pemahaman tentang manusia yang diciptakan oleh Allah dengan martabat yang mulia dan dalam kesamaan merupakan pikiran yang berdasarkan keagamaan, bukan sekuler, jadi Pengakuan HAM tidak dapat dilepaskan dengan pengaruh agama. Dalam sejarah agama-agama terlihat bahwa semua agama besar di dunia ini pernah melakukan tindakan kekerasan terhadap agama-agama lain, tetapi tidak dapat diartikan bahwa di dalam agama tersebut melekat kekerasan. Biasanya kekerasan-kekerasan yang dilakukan umat beragama terhadap umat agama yang berbeda dilatarbelakangi oleh hal lain seperti politik atau ekonomi yang bukan berasal dari isi agama itu sendiri.
Pada mulanya proteksi HAM hanya bersifat lokal, namun setelah perang dunia pertama dan kedua di mana dunia mengalami trauma yang dalam akibat perang yang membawa korban bagi jutaan manusia, serta perlakuan yang tidak manusiawi dalam peperangan, sejak itu promosi dan proteksi HAM tidak lagi bersifat domestik.20 Perjuangan HAM yang bersifat mendunia tersebut nyata setelah didirikannya organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1945. Dalam pembukaan Piagam PBB dijelaskan bahwa PBB telah sepakat untuk menegaskan kepercayaannya akan HAM. Perjuangan HAM yang bersifat internasional tersebut akhirnya menghasilkan Deklarasi
20 A. Gunawan Setiarja, Hak-hak Asasi Manusia, kanisius, Jakarta, 2000, hlm. 85.
Universal HAM yang lahir tanggal 10 Desember 1948.21 Dan piagam tersebut oleh majelis PBB ditetapkan sebagai standar umum untuk semua rakyat dan negara. Dua puluh pasal pertama deklarasi tersebut memiliki kesamaan dengan Bill Of Rights Amerika Serikat.22 Karena itu tidaklah mengherankan jika Deklarasi Universal HAM tersebut dianggap dipengaruhi oleh Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan Deklarasi Perancis, di mana keduanya dipengaruhi oleh pikiran Locke tentang hukum kodrati. Konsep HAM dianggap dipengaruhi oleh konsep Locke tentang hukum kodrati tersebut tidak boleh dianggap menjadi buah karya masyarakat sekuler, karena peran agama sangat nyata, dimana hukum kodrati itu sendiri sudah ada sebelum dicetuskan oleh Locke, dan hukum kodrati merupakan sesuatu yang berasal dari kekristenan.23
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian hukum ini adalah penelitian hukum yuridis normatif. Menurut Soerjono Soekanto pendekatan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan
21 Ibid hlm 87
22 Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negri, Yayasan Obor, Jakarta 2002, hlm. 6.
23 Lubis, T. Mulya, Hak Asasi Manusia dan Pembangunan, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Jakarta, 1997 hlm. 12
penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.24
2. Tipe Penelitian
Adapun tipe penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis, pengertian dari metode deskriptif analitis adalah suatu metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum.
3. Pendekatan masalah
Penelitian yang dilakukan oleh penulis lebih ditujukan kepada pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual. Pendekatan undang- undang dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani, Pendekatan Konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.
4. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum dapat dibedakan menjadi 3, yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber bahan hukum yaitu sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer: Bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan resmi, risalah dalam pembuatan
24 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 13-14.
perundang-undangan dan putusan hakim.25 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah sebagai berikut :
1) Undang – Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
2) undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang – Undang terkait lainya.
b. Bahan Hukum Sekunder: Bahan hukum sekunder yang utama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi.26 Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi buku-buku ilmiah dibidang hukum, makalah-makalah, jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah.
c. Bahan Hukum Tersier: Bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.
Dalam penelitian ini bahan hukum tertier yang digunakan meliputi Kamus Besar Bahasa Indonesia, kamus hukum, wikipedia, situs internet yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap hak-hak jurnalis berdasarkan deklarasi universal hak asasi manusia tahun 1948.
5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Analisis bahan hukum merupakan faktor yang penting dalam suatu penelitian karena akan menjawab semua persoalan yang timbul dari pokok permasalahan yang ada. Analisa bahan hukum dapat dilakukan setalah semua bahan terkumpul. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik deskrtif
25 Ibid.,hlm. 141 26 Ibid.,hlm. 142
analitis berdasarkan penelitian kepustakaan, dengan maksud untuk mendeskripsikan hasil berdasarkan data konkret sumber data sekunder maupun sumber data primer sehingga demikian dapat menghasilkan kesimpulan untuk mengimplikasikan penelitian hukum.27
27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitan Huk um, Prenada Media Group. Edisi Pertama, Jakarta, 2005, hlm 35