• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum bagi Suami Korban KDRT dari Perspektif Victimologi

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "Perlindungan Hukum bagi Suami Korban KDRT dari Perspektif Victimologi"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SUAMI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DARI

PERSPEKTIF VICTIMOLOGI

HASIL PENELITIAN

Oleh:

HERAWATI 17 03 056

PROGRAM S1 ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

INSTITUT ILMU SOSIAL DAN BISNIS ANDI SAPADA

PAREPARE

2021

(2)

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI SUAMI KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA (KDRT) DARI

PERSPEKTIF VICTIMOLOGI

HASIL PENELITIAN

Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Institut Ilmu Sosial Dan Bisnis Andi Sapada

Diajukan Oleh:

HERAWATI 17 03 056

Telah Disetujui Oleh:

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Dr. Sunardi Purwanda, S.H., M.H. Dr. Bakhtiar Tijjang, S.E., M.H.

NIDN. 0903068802 NIDN. 0902056202

(3)

iii

PRAKATA

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan karunia- Nya, sehingga hasil penelitian ini dengan judul “Perlindungan Hukum Bagi Suami Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Dari Perspektif Victimologi”

dapat dirampungkan sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Tak lupa penulis kirimkan shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW sebagai teladan bagi seluruh umat manusia. Disadari bahwa hasil penelitian kurang sempurna, hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan yang ada pada penulis. Oleh karena itu, kritik, saran dan koreksi untuk perbaikan dan penyempurnaannya sangat penulis harapkan. Pada kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikan rasa terima kasih diiringi do’a kepada Allah SWT. terutama kedua orang tua penulis, Ayahanda Muchtar Tonggo dan ibunda Jawaria yang telah melahirkan, mendidik, membesarkan dan membimbing serta mendoakan kesuksekan penulis dengan tulus sampai hari ini, semoga keduanya senantiasa sehat wal’afiat dan panjang umur. Juga kepada saudara penulis yaitu Ayu, Anti dan Erwin yang senantiasa memberikan dukungan serta semua pihak yang telah memberikan bantuan sehingga hasil penelitian ini dapat terselesaikan, secara khusus kepada:

1.

Bapak Dr. Ir. H. Achmad Faisal Andi Sapada, S.E., M.M. Selaku Dewan Pembina Yayasan Perguruan Amsir Parepare.

2.

Ibu Martina Artani, S.E. Selaku Ketua Yayasan Perguruan Amsir Parepare.

3. Bapak Dr. Bakhtiar Tijjang, S.E., M.H. Selaku Rektor Institut Ilmu Sosial Dan Bisnis Andi Sapada dan sekaligus sebagai Dosen Pembimbing satu Dua (II) yang telah banyak meluangkan waktunya memberikan bimbingan serta senantiasa memberikan petunjuk dan masukan dalam penyelesaian hasil penelitian ini.

4.

Bapak Dr. Sunardi Purwanda, S.H., M.H. Selaku Wakil Rektor I Institut Ilmu Sosial Dan Bisnis Andi Sapada dan sekaligus Sebagai Dosen Pembimbing Satu (I) yang telah banyak meluangkan waktunya memberikan bimbingan serta senantiasa memberikan petunjuk dan masukan dalam penyelesaian hasil penelitian ini.

(4)

5.

Bapak Kairuddin Karim, S.H., M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Institut Ilmu Sosial Dan Bisnis Andi Sapada dan sekaligus sebagai Dosen Penilai.

6. Bapak Dr. Muh. Sabir Rahman, S.H., M.H. Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada dan sekaligus sebagai Dosen Penilai.

7. Terima kasih kepada seluruh dosen dan staff bagian akademik Institut Ilmu Sosial dan Bisnis Andi Sapada atas segala bentuk pelayanan yang diberikan kepada penulis dalam membantu pengurusan berkas ujian skripsi.

8.

Terima kasih kepada sahabat-sahabat penulis: Anni, Lulu, Miftah, Putri, Sari, Nopi yang selalu membantu, mendukung, serta mensupport penulis dalam hal apapun.

9. Rekan-rekan mahasiswa pada Fakultas Hukum Institut Ilmu Sosial Dan Bisnis Andi Sapada yang senantiasa memberikan motivasi dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan hasil penelitian ini. Semoga hasil penelitian ini bermanfaat bagi penulis dan bagi para pembaca.

Parepare, 15 Juni 2021 Penulis,

HERAWATI

(5)

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PRAKATA ... iii

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 7

A. Perlindungan Hukum ... 7

1. Pengertian Perlindungan Hukum ... 7

2. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum ... 8

B. Korban ... 9

1. Pengertian Korban ... 9

2. Hak-hak dan Kewajiban Korban ... 9

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 11

1. Pengertian Kekerasan ... 11

2. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ... 14

3. Jenis-jenis Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 16

4. Faktor-faktor Penyebab KDRT Terhadap Suami ... 16

(6)

5. Dasar Hukum Larangan Kekeran Dalam Rumah Tangga ... 17

D. Victimologi ... 20

1. Pengertian Victimologi ... 20

2. Tujuan dan Manfaat Victimologi ... 22

BAB III METODE PENELITIAN ... 25

A. Jenis Penelitian ... 25

B. Pendekatan Penelitian ... 25

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum ... 26

1. Bahan Hukum Primer ... 26

2. Bahan Hukum Sekunder ... 26

3. Bahan Hukum Tersier ... 26

D. Analisis Bahan Hukum ... 27

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 28

A. Suami Selaku Korban KDRT Berhak Mendapatkan Perlindungan Hukum Sesuai Dengan Ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT ... 28

B. Suami Selaku Korban KDRT Mengalami Kesulitan Dalam Mendapatkan Perlindungan Hukum Sesuai Dengan Haknya yang Ada Pada Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT………... 39

BAB V PENUTUP ... 47

A. Kesimpulan ……… ... 47

B.

Saran ……….. ... 48

DAFTAR PUSTAKA ... 49

(7)

vii

ABSTRAK

HERAWATI.

Perlindungan Hukum Bagi Suami Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) Dari Perspektif Victimologi. (dibimbing oleh Sunardi Purwanda dan Bakhtiar Tijjang).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui suami selaku korban KDRT berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT dan untuk mengetahui kesulitan yang di alami suami selaku korban KDRT dalam mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan haknya yang ada pada Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan victimologi. Jenis dan sumber bahan hukum menggunakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Analisis data akan dikaji secara penalaran logika deduktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suami selaku korban KDRT berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT yaitu upaya pemenuhan hak- hak korban, berupa pelayanan hukum, kesehatan, dan pelayanan psikologis. Dan suami selaku korban KDRT mengalami kesulitan dalam mendapatkan perlindungan hukum karena pada saat pembuktian alat bukti terutama keterangan saksi dapat mengundurkan diri sebagai saksi atau dapat didengar keterangannya sebagai saksi, tidak Jarang berusaha mencabut kembali kama merasa ia sangat memerlukan masa depan bagi anak-anaknya dan masih menginginkan rumah tangga yang dapat dibangun kembali, korban yang tidak mengetahui bahwa kekerasan dalam mmah tangga adalah mempakan perbuatan pidana, serta saksi sulit dihadirkan dipersidangan dikarenakan saksi telah mengalami trauma atas kejadian kekerasan sehingga sulit untuk dimintai keterangan.

Kata kunci: Korban, Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Victimologi

(8)

ABSTRACT

HERAWATI. Legal Protection for Husbands of Victims of Domestic Violence from a Victimological Perspective. (supervised by Sunardi Purwanda and Bakhtiar Tijjang).

This study aims to find out husbands as victims of domestic violence are entitled to legal protection in accordance with the provisions of Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence and to find out the difficulties experienced by husbands as victims of domestic violence in obtaining legal protection in accordance with their rights in the law. Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence.

This study uses a normative type of research with a statutory approach and a victimology approach. Types and sources of legal materials using primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. Data analysis will be studied using deductive logic reasoning.

The results of the study indicate that the husband as the victim of domestic violence is entitled to legal protection in accordance with the provisions of Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence, namely efforts to fulfill the rights of victims, in the form of legal services, health, and psychological services. And husbands as victims of domestic violence have difficulty in getting legal protection because when proving evidence, especially witness statements, can resign as a witness or can be heard as a witness, not infrequently trying to revoke kama feels he really needs a future for his children and still want a household that can be rebuilt, victims who do not know that domestic violence is a criminal act, and witnesses are difficult to present in court because witnesses have experienced trauma from violent incidents so it is difficult to be questioned.

Keywords: Victims, Domestic Violence, Victimology.

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Setiap warga negara pada hakikatnya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Hal ini secara tegas dijelaskan dalam Pasal 27 ayat (1) Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini sekaligus menegaskan bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama di hadapan hukum.

Perempuan adalah mitra sejajar bagi laki-laki begitupun sebaliknya, mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dalam setiap lapangan kehidupan termasuk dalam rumah tangga.

Masyarakat Indonesia saat ini sedang menghadapi berbagai masalah sosial yang khususnya berkaitan dengan Hukum, moralitas serta ketidakadilan. Permasalahan yang terjadi dalam masyarakat tidak lepas dari hukum. Hal ini disebabkan karena hukum dan masyarakat sangat berkaitan erat, seperti adagium lama (ibi ius ibi societas) yang di mana ada masyarakat di situ ada hukum (Rena Yulia, 2010: 69).

Permasalahan hukum yang sedang dihadapi masyarakat Indonesia saat ini salah satunya terdapat dalam rumah tangga. Pada satu rumah tangga terdapat anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak.

Masyarakat Indonesia memandang bahwa dalam sebuah keluarga seorang ayah memiliki kedudukan sebagai kepala atau pemimpin dalam rumah tangga. Seorang suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga suami

(10)

seharusnya mampu memberikan rasa aman dan nyaman terhadap istri dan anak-anaknya. Kekerasan merupakan perilaku atau perbuatan yang terjadi dalam relasi antar manusia, baik individu maupun kelompok yang dirasa oleh salah satu pihak sebagai situasi yang membebani, membuat berat, dan tidak menyenangkan sehingga menimbulkan pihak lain menjadi sakit baik secara fisik maupun psikis (A. Nunuk P. Murniati, 2004: 222).

Kekerasan sering terjadi dalam masyarakat yang berujung pihak korban sakit, luka-luka, hingga berujung pada kematian. Kondisi seperti ini tidak hanya dialami dalam lingkup masyarakat yang luas, tetapi kekerasan juga terjadi dalam lingkup rumah tangga.

Pada banyak kasus, korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) biasanya dialami oleh perempuan atau istri, tetapi tidak menutup kemungkinan juga berlaku bagi laki-laki atau suami. Kekerasan dalam ranah rumah tangga tersebut cenderung disembunyikan (hidden crime), karena baik pelaku ataupun korban berusaha untuk merahasiakan tindakan tersebut dari pandangan publik (Muhammad Ishar Hilmi, 2017: 1). Oleh sebab itu, KDRT yang muncul ke permukaan justru disebabkan karena korban tidak bisa lagi menahan dan merahasiakannya.

KDRT salah satu bentuk tindak kejahatan dan telah diatur secara khusus dalam undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga pada Bab VIII Undang-Undang tepatnya Pasal 44 ayat (1) menyebutkan, setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp.

(11)

3

15.000.00,00 (lima belas juta rupiah). Tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga yang dapat dihukum tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik, pelaku kekerasan psikis juga dihukum sebagaimana disebutkan Pasal 45 yaitu pelaku bisa diancam dari hukuman 3 (tiga) bulan hingga 4 (empat) bulan penjara.

Ancaman hukuman bagi pelaku KDRT tersebut merupakan usaha untuk melindungi semua unsur rumah tangga dari kemungkinan terjadinya KDRT. Dipahami juga bahwa korban pelaku tindak KDRT bisa saja dialami oleh istri, anak, maupun suami (Muhammad Ishar Hilmi, 2017: 50).

KDRT memiliki keunikan dan kekhasan karena kejahatan ini terjadi dalam lingkup rumah tangga dan berlangsung dalam hubungan personal yang intim, yaitu antara suami dan istri, orang tua dan anak atau antara anak dengan anak atau dengan orang yang bekerja di lingkup rumah tangga yang tinggal menetap.

Hubungan pelaku dengan adanya KDRT antara lain orang yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian dengan suami, dan anak bahkan pembantu rumah tangga yang tinggal di rumah tersebut. Tindak pidana KDRT yang terjadi korbannya tidak hanya perempuan dan anak-anak tetapi laki-laki (suami) pun dapat menjadi korban KDRT.

KDRT pada umumnya dialami oleh perempuan dan anak di mana yang menjadi pelaku adalah laki-laki (suami). Kaum laki-laki (suami) terkesan sebagai aktor yang paling banyak melakukan KDRT tetapi bukan berarti KDRT tidak pernah dilakukan oleh perempuan (istri) terhadap anggota keluarga lainnya khususnya terhadap suami. Masyarakat menganggap

(12)

bahwa kekerasan yang dilakukan istri terhadap suaminya dalam lingkup rumah tangga merupakan suatu hal yang wajar di mana hal tersebut merupakan bagian dari dinamika kehidupan berumah tangga yang bisa terjadi, serta menganggap bahwa suami akan mampu menghadapi dan mengatasinya (Gilang Kusuma Hadi, 2015: 3).

Korban KDRT juga dialami oleh suami, bentuk kekerasan yang dialami suami bisa dalam bentuk fisik maupun psikis. Terkait dengan suami yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, secara umum mengacu pada ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwa korban berhak mendapatkan perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pemerintah perlindungan dari pengadilan.

Namun, selama ini undang-undang yang dibentuk hanya dipahami oleh masyarakat umum untuk memberikan perlindungan hukum terhadap istri yang menjadi korban KDRT sehingga sering terjadi kesalahpahaman terhadap suami dalam hal memperoleh perlindungan hukum, yang pada kenyataannya kedudukan suami dalam rumah tangga selaku korban KDRT sesungguhnya sama kedudukannya dengan istri (perempuan) di mata hukum (equal before the law). Oleh karena itu, dapatkah perlindungan hukum bagi suami yang menjadi korban KDRT mengacu pula ke Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

(13)

5

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang timbul adalah sebagai berikut:

1. Apakah suami selaku korban KDRT berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT?

2. Apakah suami selaku korban KDRT mengalami kesulitan dalam mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan haknya yang ada pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui suami selaku korban KDRT berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT.

2. Untuk mengetahui kesulitan yang di alami suami selaku korban KDRT dalam mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan haknya yang ada pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun yang menjadi kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoretis

(14)

Diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat memberikan manfaat kontribusi bagi perkembangan ilmu dan pengetahuan hukum pidana, khususnya dalam kasus-kasus KDRT.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi praktis berdasarkan hambatan-hambatan yang muncul dalam upaya menanggulangi tindak pidana KDRT.

(15)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perlindungan Hukum

1. Pengertian Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun (Sajipto Raharjo, 2000: 74).

Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari lainnya (Sunardi Purwanda, & M. A. F. Syahril, 2021). Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut (Philipus M. Hadjon, 1987: 25).

Menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia (Setiono, 2004: 3).

(16)

2. Bentuk-bentuk Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Bentuk perlindungan hukum terbagi atas 2 yaitu:

a. Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.

Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.

b. Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum di mana ditujukan dalam penyelesaian sengketa (Philipus M. Hadjon, 1987: 3).

Korban KDRT mendapat perlindungan hukum dari segi preventif sebagaimana dalam Pasal 351 KUHP yang berbunyi “Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.

Secara preventif, korban perlindungan hukum dapat menempuh jalur hukum dengan melaporkan pelaku tindak pidana dalam lingkup rumah tangga untuk ditindaklanjuti sebagai pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga (Emy Rosna wati, 2017: 4).

Secara Konseptual, Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan suatu implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila (Philipus M. Hadjon, 1987: 117).

(17)

9

B. Korban

A. Pengertian Korban

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita (Arif Gosita, 1993: 65).

Mengenai pengertian korban itu sendiri seperti yang tercantum dalam Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan Saksi dan Korban menyatakan korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.

Ditinjauan dari perspektif tingkat keterlibatan korban dalam terjadinya kejahatan, Ezzat Abde Fattah menyebutkan beberapa tipologi korban (Lilik Mulyadi, 2007: 124), yaitu:

a. Nonparticiping victims, adalah mereka yang menyangkal atau menolak kejahatan dan penjahat tetapi tidak turut berpartisipasi dalam penanggulangan kejahatan.

b. Latent of predisposed victims, adalah mereka yang mempunyai karakter tertentu cenderung menjadi korban pelanggaran tertentu.

c. Provocative victims, adalah mereka yang menimbulkan kejahatan atau pemicu kejahatan.

d. Participating victims, adalah mereka yang tidak menyadari atau memiliki perilaku lain sehingga memudahkan dirinya menjadi korban.

e. False victims, adalah mereka yang menjadi korban karena dirinya sendiri.

B. Hak-hak dan Kewajiban Korban

Sebagai pihak yang mengalami penderitaan dan kerugian tentu korban mempunyai hak-hak yang dapat diperoleh sebagai seorang korban. Hak-hak tersebut diantaranya termuat dalam Pasal 5 ayat (1)

(18)

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang menyebutkan bahwa korban berhak:

a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, danHarta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;

b. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan perlindungan dan dukungan keamanan;

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;

d. Mendapat penerjemah;

e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;

f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;

g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;

h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;

i. Mendapat identitas baru;

j. Mendapat tempat kediaman baru;

k. Memperoleh bantuan biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;

l. Mendapat nasihat;

m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir;

n. Mendapat nasihat hukum;

o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir; dan/atau

p. Mendapat pendampingan.

Adapun hak-hak para korban menurut Van Boven adalah hak untuk tahu, hak atas keadilan dan ha katas reparasi (pemulihan), yaitu hak yang menunjuk kepada semua tipe pemulihan baik material maupun nonmaterial bagi para korban pelanggaran hak asasi manusia. Hak-hak tersebut telah terdapat dalam berbagai instrument- instrumen hak asasi manusia yang berlaku dan juga dalam yurisprudensi komite-komite hak asasi manusia internasional maupun pengadilan regional hak asasi manusia (Theo Van Boven, 2002: 15).

Demi keadilan dan kepastian hukum, perumusan mengenai hak dan kewajiban dalam suatu peraturan atau undang-undang harus dipertanggungjawabkan secara yuridis ilmiah. Hak dan kewajiban korban (Arif Gosita 1993: 53) adalah sebagai berikut:

(19)

11

a. Hak-hak korban antara lain:

1) Mendapat ganti kerugian atau penderitaannya. Pemberian ganti kerugian tersebut harus sesuai dengan kemampuan memberi ganti kerugian pihak pelaku dan taraf keterlibatan pihak korban dalam terjadinya kejahatan dan delikuensi tersebut.

2) Menolak restitusi untuk kepentingan pelaku (tidak mau diberi restitusi karena tidak memerlukannya) .

3) Mendapat restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.

4) Mendapat pembinaan dan rehabilitasi.

5) Mendapat hak miliknya kembali.

6) Mendapat perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan menjadi saksi.

7) Mendapatkan bantuan penasihat hukum.

8) Mempergunakan upaya hukum.

b. Kewajiban korban antara lain:

1) Korban tidak main hakim sendiri

2) Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah timbulnya korban lebih banyak lagi

3) Mencegah kehancuran si pelaku baik oleh diri sendiri, maupun orang lain

4) Ikut serta membina pembuat korban

5) Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi

6) Tidak menuntut restitusi yang tidak sesuai dengan kemampuan pelaku

7) Memberi kesempatan kepada pelaku untuk memberi restitusi kepada pihak korban sesuai dengan kemampuannya

8) Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan keamanannya.

C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga

1. Pengertian Kekerasan

Kekerasan merupakan suatu problema yang sering muncul di tengah-tengah masyarakat, masalah tersebut muncul, berkembang dan membawa akibat tersendiri. kekerasan merupakan suatu tindakan-tindakan yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja oleh seseorang terhadap orang lain baik untuk kepentingan

(20)

diri sendiri atau orang lain, dan menimbulkan penderitaan mental, fisik dan sosial.

Bila ditinjau dari segi bahasa (estimologi), maka kekerasan berasal dari kata dasar “keras” yang mendapat awalan “ke” dan kemudian mendapat akhiran “an”. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kekerasan menunjukkan kata sifat (hal dan sebagainya) keras pada suatu kegiatan, kekerasan dapat diartikan sebagai perihal keras atau perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain dan menyebabkan kerusakan fisik orang lain. Kekerasan berasal dari bahasa latin, yaitu violentia yang berarti kekerasan, keganasan, kehebatan, kesengitan, kebengisan, kedahsyatan, kegarangan, aniaya, perkosaan.

Kekerasan menurut Johan Galtung amatlah luas, ia menolak konsep kekerasan sempit yang mencakup kekerasan fisik belaka. Ia melihat kekerasan dari segi akibat dan pengaruhnya pada manusia.

Enam dimensi penting dalam kekerasan yang dikemukakan Johan Galtung (Rena Yulia, 2010: 6), sebagai berikut:

a. Kekerasan fisik dan psikologis, karena Galtung menolak konsep kekerasan sempit yaitu kekerasan fisik. Menurutnya, kekerasan juga berdampak pada jiwa seseorang. Kebohongan, indoktrinasi, ancaman dan tekanan adalah contoh kekerasan psikologis karena dimaksudkan untuk mengurangi kemampuan mental atau otak.

b. Pengaruh positif dan negatif, contoh yang dipakai adalah kekerasan terjadi tidak hanya hila ia dihukum bila bersalah, namun juga dengan memberi imbalan ketika ia 'tidak bersalah'.

Sistem imbalan sebenarnya mengandung 'pengendalian', tidak bebas, kurang terbuka dan cenderung manipulatif, meskipun membawa kenikmatan, la mau menekankan bahwa kesadaran untuk memahami kekerasan yang luas itu penting.

c. Ada objek atau tidak, objek yang disakiti umumnya adalah manusia secara langsung.

(21)

13

d. Ada subjek atau tidak, jika kekerasan memiliki subyek atau pelaku, maka ia bersifat langsung atau personal, namun jika tidak ada pelakunya, maka kekerasan tersebut tergolong pada kekerasan struktural atau tidak langsung.

e. Disengaja atau tidak, perbedaan ini penting ketika orang harus mengambil keputusan mengenai kesalahan. Sering konsep tentang kesalahan ditangkap sebagai suatu perilaku yang disengaja, Caltung menekankan bahwa kesalahan yang walau tidak disengaja tetap merupakan suatu kekerasan, karena dilihat dari sudut korban, kekerasan tetap mereka rasakan, baik disengaja maupun tidak.

f. Yang tampak dan yang tersembunyi, kekerasan yang tampak adalah yang nyata dirasakan oleh objek, baik secara personal maupun struktural. Sedangkan kekerasan tersembunyi tidak kelihatan namun tetap bisa dengan mudah meledak. Kekerasan tersembunyi terjadi jika situasi menjadi begitu tidak stabil sehingga tingkat realisasi aktual manusia dapat menurun dengan begitu mudah. Situasi ini disebut sebagai keseimbangan yang goyah (unstable equilibrium).

Namun perlu diketahui bahwa melakukan kekerasan bukan hanya dapat ditujukan terhadap orang saja. R. Soesilo (R. Soesilo, 1995: 146) menjelaskan bahwa kekerasan juga dapat dilakukan dalam beberapa cara yaitu:

a. Pengrusakan terhadap barang

b. Penganiayaan terhadap hewan atau orang

c. Melemparkan batu-batu kepada orang atau rumah

d. Membuang barang-barang hingga berserakan dan lain sebagainya.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan pengertian yang otentik tentang apa yang dimaksudkan dengan kekerasan. Hanya dalam Pasal 89 KUHP, R. Sughandhi menyebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan melakukan kekerasan, yaitu membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi”.

Lebih lanjut pada penjelasan Pasal 89 KUHP tersebut, dijelaskan bahwa: Arti daripada “melakukan kekerasan” ialah “menggunakan tenaga atau kekuatan jasmani sekuat mungkin secara tidak sah”

(22)

misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak, menendang dan sebagainya yang membuat orang terkena tindakan kekerasan itu merasa sakit yang sangat.

Menurut pasal ini, “melakukan kekerasan” dapat disamakan dengan “membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya” (R.

Sugandhi, 1981:106):

Pingsan artinya “hilang ingatan atau tidak sadar akan dirinya”

umpamanya karena minum racun kecubung atau obat-obat lainnya yang menyebabkan tidak ingat lagi. Orang yang pingsan itu tidak mengetahui lagi apa yang terjadi dengan dirinya.

.

2. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 ayat (1) Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Pada tanggal 14 September 2004, disahkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dibentuknya undang-undang ini antara lain sebagai upaya untuk mencegah, menanggulangi, dan mengurangi tindak kekerasan ataupun kejahatan yang semakin marak dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga (Bambang Waluyo, 2011: 86).

Menurut Moerti Hadiati Soeroso (Moerti Hadiati Soeroso, 2012:

90) berpendapat bahwa “Tindak kekerasan dalam rumah tangga yang

(23)

15

terwujud dalam tindakan kekerasan terhadap istri, anak, atau orang yang tinggal menetap dalam satu atap dengan pelaku, sebetulnya dapat dikategorikan ke dalam tindak pidana penganiayaan, khususnya pada Pasal 356 KUHP sebagai berikut: “Pidana yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, dan 355 dapat ditambah sepertiga:

Ke-1 : bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau anaknya.

Ke-2 : jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah.

Ke-3 : jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dim1akan atau diminum.

KDRT dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004, memberikan cakupan yang luas mengenai kekerasan dibandingkan dengan Pasal 356 KUHP, yaitu mencakup kekerasan fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan.

Selain itu mengenai lingkup rumah tangga yang dalam Pasal 356 KUHP hanya disebutkan antara lain ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau anaknya. Sedangkan dalam Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2004 ditambah dengan orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan pelaku karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian (yang menetap dalam rumah tangga) serta orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tersebut.

3. Jenis-Jenis KDRT

Banyak orang, baik itu pelaku ataupun korban tidak mengerti dengan apa saja yang dikategorikan KDRT. Seperti yang diatur dalam

(24)

Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, jenis kekerasan yang termasuk KDRT (http://www.amp.kompas.com[diakses pada hari rabu, 14/April/2021, pukul: 22:14 wita]), adalah:

a. Kekerasan terbuka (overt) yakni kekerasan fisik yang dapat dilihat, seperti perkelahian, pukulan, tendangan, menjambak, mendorong, sampai pada membunuh.

b. Kekerasan Tertutup (covert) biasanya dikenal dengan kekerasan psikis atau emosional. Kekerasan ini sifatnya tersembunyi, seperti ancaman, hinaan, atau cemooh yang kemudian menyebabkan korban susah tidur, tidak percaya diri, tidak berdaya, terteror, dan memiliki keinginan untuubunuh diri.

c. Kekerasan Seksual merupakan kekerasan yang dilakukan untuk memuaskan hasrat seks (fisik) dan verbal (fisik). Secara fisik misalnya pelecehan seksual (meraba, menyentuh organ seks, mencium paksa, memaksa berhubungan seks dengan pelaku atau orang ketiga, memaksa berhubungan intim. Sedangkan verbal seperti membuat komentar, julukan, atau gurauan porno yang sifatnya mengejek, juga membuat ekspresi wajah, gerakan tubuh, atau pun perbuatan seksual lain yang sifatnya melecehkan dan atau menghina korban.

d. Kekerasan Finansial atau Definisi Kekerasan yang dilakukan dalam bentuk eksploitasi, memanipulasi, dan mengendalikan korban dengan tujuan finansial. Serta memkasa korban untuk bekerja, melarang korban bekerja tapi menelantarkannya, atau mengambil hartapasangan tanpa sepengetahuan.

4. Faktor-faktor Penyebab KDRT Terhadap Suami

Beberapa faktor penyebab KDRT terhadap suami adalah sebagai berikut:

a. Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi adalah hal yang paling sering memicu terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Hal ini bermula pada tugas suami yang semestinya bukan hanya memenuhi kebutuhan pokok akan tetapi kebutuhan yang lainnya harus dipenuhi. Bahkan suami sering melimpahkan kebutuhan yang lainnya itu terhadap istrinya. Dengan keadaan demikian jadi si istri stress, akhir dari semuanya itu istri melakukan tindakan kekerasan terhadap suaminya seperti menghina suami, dan memaki-maki. Kurangnya rasa tanggung jawab suami mengenai kebutuhan rumah tangga yang lainnya, tidak mengabulkan permintaan istri, apalagi kebutuhannya keinginannya terlalu tinggi, hal ini dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan terhadap suami dengan cara mengomelin.

(25)

17

b. Faktor Perilaku Suami

Faktor lingkungan yaitu tempat dan lingkungan pergaulan kadangkala membawa warna tersendiri dalam kehidupan seseorang. Gaya hidup seseorang yang tidak sesuai dengan tingkat pendapatan juga menjadi hal yang memicu permasalahan ini. Manusia memang tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Mereka selalu merasa tidak puas dengan apa yang mereka miliki dan adakalanya sering melakukan tindakan apa saja yang asalkan apa mereka terpenuhi.

c. Faktor Psikologis

Masalah psikologis merupakan salah satu penyebab terjadinya KDRT, karena kondisi psikologis seorang istri berbeda-beda dapat pula menentukan besar kecilnya tindakan yang dilakukan. Jika kondisi psikologis seorang istri dalam keadaan tidak stabil, maka besar kemungkinan kekerasan yang dilakukan akan besar. Misalnya karena tekanan ekonomi yang dihasilkan oleh sang suami tidak sesuai dengan keinginan istri, mka akan menyebabkan kondisi psikologisnya menjadi lemah.

Kemudian kondisi psikologis juga akibat tindakan kekerasan yang dilakukan oleh orang tuanya sewaktu masih anak-anak sehingga menular kepada istri yang akhirnya menjadi pelaku kekerasan pada suami. Jika kondisi psikologis istri tidak dalam keadaan tidak baik, maka kemungkinan melakukan kekerasan terhadap suami (Basri dkk, 2018: 5).

D. Dasar Hukum Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Dasar hukum larangan kekerasan dalam rumah tangga menurut perspektif hukum positif yang dimaksudkan agar dapat memberi gambaran bagaimana hukum positif mengatur larangan kekerasan dalam rumah tangga.

Dalam persepktif hukum positif, kekerasan dalam rumah tangga (selanjutnya ditulis KDRT) masuk dalam tindak pidana khusus. Dikatakan

“tindak pidana khusus” karena regulasinya tidak ditemukan dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang notabene sebagai pijakan atas tindak pidana pada umumnya, tetapi diatur dalam regulasi tersendiri.

Dasar hukum mengenai tindak kejahatan kekerasan dalam rumah tangga mengacu pada ketentuan Undang-Undang Republik Indonesia

(26)

Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (selanjutnya disingkat UU No. 23/2004). Undang-undang inilah menjadi satu-satunya dasar dan landasan dalam hukum positif terkait larangan dan ancaman begi pelaku kekerasan dalam rumah tangga yang disebutkan secara ekplisit. Meski demikian, lahirnya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut juga tidak terlepas dari amanah Undang-undang Dasar 1945, di mana setiap warga negara berhak mendapat rasa aman dari kekerasan.

Dalam konsideran (mukaddimah) Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasansesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang- undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Segala bentuk kekerasan, terutama kekerasan dalam rumah tangga, merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.

Lahirnya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, menimbang bahwa korban KDRT, yang kebanyakan adalah perempuan, harus mendapat perlindungan dari negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Dalam kenyataannya, kasus kekerasan dalam rumah tangga banyak terjadi, sedangkan sistem hukum di Indonesia belum menjamin perlindungan terhadap korban KDRT. Berdasarkan pertimbangan inilah dibentuk undang-undang khusus, yaitu Undang-undang No. 23 Tahun

(27)

19

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Hal ini senada dengan pendangan Amran Suadi, bahwa lahirnya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga berasal dari keprihatinan bangsa Indonesia atas maraknya KDRT yang secara substansi tidak ada pengaturan secara khusus dalam KUHP sehingga masalah KDRT ini sulit untuk ditangani secara hukum. Satu sisi, tidak adanya pengaturan KDRT tidak dapat memberi jaminan hukum yang nyatanya ada korban KDRT dalam realitas masyarakat. Kondisi inilah menjadi sebab awal diaturnya Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Pada Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga,dan melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga. Terhadap keterangan ini, telah jelas bahwa hukum positif juga melarang tindak KDRT dan harus dihapuskan, bahkan pelakunya diancam dengan hukuman tertentu yang disesuaikan dengan sejauh mana tindak kekerasan yang dilakukan pelaku terhadap korban. Asas yang digunakan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yaitu penghormatan hak asasi manusia;

keadilan dan kesetaraan gender, non diskriminasi, dan perlindungan korban.

Menariknya, Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ini tidak hanya bicara soal sanksi yang menjadi ancaman bagi pelaku, juga diatur mengenai beberapa hak korban kekerasan. Pasal 10 Undang-undang No. 23 Tahun 2004 Tentang

(28)

Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga menyatakan ada 5 (lima) hak para korban KDRT, yaitu:

1. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan 2. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis.

3. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban.

4. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

5. Pelayanan bimbingan rohani

E. Victimologi

1. Pengertian Victimologi

Victimologi berasal dari bahasa latin “victima” yang berarti korban dan “logos” yang berarti ilmu. Secara terminologi, victimologi berarti suatu studi yang mempelajari tentang korban, penyebab timbulnya korban dan akibat-akibat penimbulan korban yang merupakan masalah manusia sebagai suatu kenyataan sosial.

Victimologi adalah suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari suatu viktimisasi sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial (Arif Gosita, 1993: 138).

Korban dalam lingkup victimologi memiliki arti yang luas, karena tidak hanya terbatas pada individu yang secara nyata menderita kerugian, tetapi juga kelompok, swasta maupun pemerintah, sedangkan yang dimaksud dengan akibat penimbulan korban adalah sikap atau tindakan korban dan atau pihak pelaku serta mereka yang

(29)

21

secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam terjadinya suatu kejahatan (Dikdik M. Arief Mansur & Elisatris Gultom, 2007: 34).

Victimologi merupakan suatu pengetahuan ilmiah atau studi yang mempelajari suatu viktimisasi (kriminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial.

Perumusan ini membawa akibat perlunya suatu pemahaman (Arif Gosita, 1993: 40), yaitu:

a. Sebagai suatu permasalahan manusia menurut proporsi yang sebenarnya secara dimensial;

b. Sebagai suatu hasil interaksi akibat adanya suaru interelasi antara fenomena yang ada dan saling mempengaruhi;

c. Sebagai tindakan seseorang (individu) yang dipengaruhi oleh unsur-unsur struktur sosial tertentu suatu masyarakat tertentu.

Victimologi mencoba memberi pemahaman, mencerahkan permasalahan kejahatan dengan mempelajari para korban kejahatan, proses viktimisasi dan akibat-akibatnya dalam rangka menciptakan kebijaksanaan dan tindakan pencegahan dan menekan kejahatan secara lebih bertanggungjawab (Arif Gosita, 1993: 208).

Victimologi memberikan pengertian yang lebih baik tentang korban kejahatan sebagai hasil perbuatan manusia yang menimbulkan penderitaan-penderitaan mental, fisik dan sosial. Tujuannya adalah tidak untuk menyanjung-menyanjung para korban, tepai hanya untuk memberi penjelasan mengenai peranan sesungguhnya para korban dan hubungan mereka dengan para korban. Penjelasan ini adalah penting dalam rangka mengusahakan kegiatan-kegiatan dalam mencegah kejahatan berbagai viktimisasi, mempertahankan keadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan mereka secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam suatu viktimisasi (Arif Gosita, 1993: 208).

(30)

Jika ditelaah lebih dalam, tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa victimologi merupakan bagian yang hilang dari kriminiologi, atau dengan kalimat lain, victimologi membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi. Banyak yang menganggap bahwa victimologi lahir karena munculnya desakan akan perlunya pembahasan tersendiri mengenai korban (Rena Yulia, 2010: 40).

2. Tujuan dan Manfaat Victimologi a. Tujuan Victimologi

1) Menganalisis berbagai aspek yang berkaitan langsung dengan korban.

2) Berusaha untuk memberikan penjelasan sebab musebab terjadinya viktimisasi.

3) Mengembangkan sistem tindakan yang akan berguna untuk mengurangi penderitaan manusia (Ario Ponco Wiguno, 2013: 5).

b. Manfaat Victimologi

Manfaaat victimologi ini dapat memahami kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran. Dalam usaha mencari kebenaran dalam usaha mengerti akan permasalahan kejahatan, delikuensi dan deviasi sebagai satu proporsi yang sebenarnya secara dimensional (Rena Yuia, 2010: 39).

Victimologi juga berperan dalam hal penghormatan hak-hak asasi korban sebagai manusia, anggota masyarakat, dan sebagai warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban asasi yang sama dan seimbang kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan.

Victimologi juga dapat dipergunakan sebagai pedoman dalam upaya memperbaiki berbagai kebijakan/perundang-undangan yang selama

(31)

23

ini terkesan kurang memperhatikan aspek perlindungan korban (Rena Yuia, 2010: 39).

Manfaat yang diperoleh dengan mempelajari victimologi (Rena Yulia, 2010: 37), yaitu sebagai berikut:

1) Victimologi mempelajari hakikat siapa itu korban dan yang menimbulkan korban, apa artinya viktimisasi dan proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi bagi mereka yang terlibat dalam proses viktimisasi. Akibat pemahaman itu, akan diciptakan pengertian-pengertian, etiologi kriminal, dan konsep-konsepsi mengenai usaha-usaha yang preventif, represif, dan tindak lanjut dalam menghadapi dan menanggulangi permasalahan viktimisasi kriminal di berbagai bidang kehidupan dan penghidupan.

2) Victimologi memberikan sumbangan dalam mengerti lebih baik tentang korban akibat tindakan manusia yang menimbulkan penderitaan fisik, mental, dan sosial. Tujuannya tidaklah untuk menyanjung korban, tetapi hanya untuk memberikan beberapa penjelasan mengenai kedudukan dan peran korban serta hubungannya dengan pihak pelaku lain. Kejelasan ini sangat penting dalam upaya pencegahan terhadap berbagai macam viktimisasi demi menegakkan keadilan dan menngkatkan kesejahteeaan mereka yang terlihat langsung atau tidak langsung dalam eksistensi suatu viktimisasi.

3) Victimologi memikan keyakinan bahwa setiap individu mempunyai hak dan kewajiban untuk mengetahui mengenai bahaya yang dihadapinya berkaitan dengan kehidupan dan pekerjaan mereka. Terutama dalam bidang penyuluhan dan pembinaan untuk tidak menjadi korban struktural atau non struktural. Tujuannya adalah bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk memberikan pengertian yang baik agar waspada.

Mengusahakan keamanan atau hidup aman seseorang meliputi pengetahuan yang seluas-luasnya mengenai bagaimana menghadapi bahaya dan juga bagaimana menghindarinya.

4) Victimologi juga memperhatikan permasalahan viktimisasi yang tidak langsung.

5) Victimologi memberikan dasar pemikiran untuk masalah penyelesaian viktimisasi kriminal. Mempelajari korban dalam proses peradilan kriminal, merupakan juga studi mengenai hak dan kewajiban asasi manusia.

Manfaat Victimologi pada dasarnya berkenaan dengan tiga hal utama dalam mempelajari manfaat studi korban (Rena Yulia, 2010:

39), yaitu:

(32)

1) Manfaat yang berkenaan dengan usaha membela hak-hak korban dan perlindun hukum

2) Manfaat yang berkenaan dengan penjelasan peran korban dalam suatu tindak pidana

3) Manfaat yang berkenaan dengan usaha pencegahan terjadinya korban.

Manfaat victimologi ini dapat memahami kedudukan korban sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas dan mencari kebenaran.

Dalam usaha mecari kebenaran dalam usaha mengerti akan permasalahan kejahatan, delikuensi dan deviasi sebagai satu proporsi yang sebenarnya secara dimensional (Rena Yulia, 2010: 39).

(33)

25

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab isu hukum yang dihadapi dengan hasil yang hendak dicapai (Peter Mahmud Marzuki, 2016: 57).

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian hukum normatif atau disebut juga dengan penelitian dogmatik, penelitian hukum doktrinal, penelitian teoretis. Biasa juga penelitian ini disebut sebagai penelitian law in books.

Sifat dari Penelitian hukum normatif ialah teoretis-rasional dengan menggunakan model penalaran dengan logika deduktif (penarikan dari umum ke khusus). Penelitian hukum normatif memiliki kecenderungan mencitrakan hukum sebagai disiplin prespektif (menurut pada ketentuan atau aturan hukum yang berlaku) (Sunardi Purwanda & Mira Nila Kusuma Dewi, 2020).

B. Pendekatan Penelitian

Dalam pendekatan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan Perundang-undangan (Statute Approach) dan pendekatan Victimologi.

Pendekatan Perundang-undangan (Statue Approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam metode pendekatan perundang-undangan perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam peraturan perundang-undangan (Peter Mahmud Marzuki, 2016: 119).

(34)

Pendekatan Victimologi adalah pada hakekatnya mempertimbangkan kondisi korban tindak pidana akibat terjadinya tindak pidana atau akibat kejahatan atau kekerasan, jika dibandingkan dengan perlindungan hukum terhadap tersangka/terdakwa sebagai pelaku tindak pidana dalam hal ini terangka atau terdakwa.

C. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data yang dibedakan menjadi tiga yaitu:

1. Bahan Hukum Primer

Terdiri atas aturan perundang-undangan, catatan resmi seperti naskah akademik dan risalah rapat pembentukan peraturan perundang-undangan, putusan-putusan hakim baik yang ada pada tingkat Pengadilan Negeri maupun tingkat Mahkamah Agung.

2. Bahan Hukum Sekunder

Terdiri atas dokumen-dokumen yang terpublikasi, tetapi tidak dalam bentuk yang resmi. Meliputi buku-buku teks hukum, jurnal-jurnal hukum, makalah hukum, majalah hukum, koran, kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif dan sebagainya.

3. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan yang merupakan pelengkap yang sifatnya memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, 2003: 54).

(35)

27

D. Analisis Bahan Hukum

Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian ini, yaitu studi kepustakaan, aturan perundang-undangan, dan artikel yang dimaksud penulis uraikan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan.

Dalam penelitian normatif digunakan penalaran logika deduktif atau penarikan kesimpulan secara umum ke khusus. Hal ini karena dalam penelitian hukum normatif menggunakan analisis dan argumentasi yang logis dan preskriptif.

(36)

28

A. Kesimpulan

1. Suami selaku korban KDRT berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT yaitu upaya pemenuhan hak-hak korban, berupa pelayanan hukum, kesehatan, dan pelayanan psikologis.

Bentuk perlindungan tersebut ditetapkan dalam Pasal 10, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 23, Pasal 25, Pasal 35, dan Pasal 36, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

2. Suami selaku korban KDRT mengalami kesulitan dalam mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan haknya yang ada pada Undang- undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT yaitu:

a. Berkaitan dengan pembuktian alat bukti terutama keterangan saksi karena orang yang menjadi saksi dalam tindak pidana ini pada umumnya adalah keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus, saudara, suami, atau istri. Padahal orang-orang tersebut menurut pasal 168 KUHAP, tidak dapat didengar dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi atau dapat didengar keterangannya sebagai saksi.

b. Selain dari pada itu hambatan lainnya, walaupun perkaranya memenuhi syarat formil maupun materil, tidak Jarang berusaha mencabut kembali karena merasa ia sangat memerlukan masa

(37)

29

depan bagi anak-anaknya dan masih menginginkan rumah tangga yang dapat dibangun kembali.

c. Masih terdapat korban yang tidak mengetahui bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah merupakan perbuatan pidana yang di atur dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan KDRT.

d. Terkadang saksi sulit dihadirkan dipersidangan dikarenakan saksi telah mengalami trauma atas kejadian kekerasan sehingga sulit untuk dimintai keterangan.

B. Saran

1. Hendaknya, pemerintah perlu memasukkan regulasi tentang tata cara penelusuran dan pencarian sebab terjadinya kekerasan. Hal ini dilakukan agar pelaku juga mendapat perlindungan hukum karena boleh jadi kekerasan yang dilakukan karena ada sebab awal kekerasan yang diterimanya dari pasangannya.

2. Bagi masyarakat, hendaknya tidak melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum, termasuk melakukan kekerasan terhadap pasangan baik suami ataupun isteri. Penelitian-penelitian serupa dengan penelitian ini hendaknya diperbanyak melalui perspektif-perspektif yang berbeda. Hal ini bertujuan untuk memperkaya rujukan pustaka khususnya di program studi Hukum Pidana.

(38)

30

Arif Gosita. 1993. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: CV Akademika Pressindo.

A. Nunuk P. Murniati. 2004. Getar Gender: Buku Pertama Perempuan Indonesia dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum, dan HAM.

Magelang: Yayasan Indonesia Tera.

Bambang Waluyo. 2011. Victimologi Perlindungan Korban & Saksi. Jakarta:

Sinar Grafika.

Dikdik M. Arief Mansur, Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita. Jakarta: Raja Grafindo.

Lilik Mulyadi. 2007. Kapita Selekta Hukum Pidana Kriminologi Dan Victimologi.

Jakarta: Djamban.

Moerti Hadiati Soeroso. 2012. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yurids-Victimologis. Yogyakarta: Sinar Grafika.

Muhammad Ishar Hilmi. 2017. Gagasan Pengadilan Khusus KDRT.

Yogyakarta: Deepublish.

Nur Hasyim. 2020. Good Boys Doing Feminism. Yogyakarta: Buku Mojok Group.

Peter Mahmud Marzuki. 2016. Penelitian Hukum Edisi Revisi Cet 9. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Philipus M. Hadjon. 1987. Perindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia.

Surabaya: PT Bina Ilmu.

R. Soesilo. 1995. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya. Bogor: Politeia.

R. Sugandhi. 1981. KUHP dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Rena Yulia. 2010. Victimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Satjipto Rahardjo. 2000. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti: Bandung

Setiono. 2004. Rule of Law (Supremasi Hukum). Surakarta: Magiser ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

(39)

31

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 2003. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Theo van Boven. 2002. Mereka yang Menjadi Korban, Hak Korban atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi. Jakarta: Elsam.

Non Buku

Ario Ponco Wiguno. Kajian Victimologi Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Kesusilaan. Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, ISSN: 2572- 9505. Vol. 1, 2013.

Basri, Syaifuddin s. Kasim, dan Suharty Roslan. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dialami Suami. ISSN: 2503-359X Vol. 3 No. 2 2018.

Emy Rosna wati. Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kabupaten Sidoarjo Pasca Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004. ISSN: 2548-1762 Vol. 1 Maret 2017.

Gilang Kusuma Hadi. Prambudi Adi Negoro dan Ratna Kusuma Hadi.

Perlindungan Hukum Terhadap Suami Sebagai Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Yang Dilakukan Oleh Istri. ISSN: 0215-3092.

Juli 2015.

Purwanda, S., & Dewi, M. N. K. (2020). The Effects of Monism and Pluralism on Legal Development of a Nation. Amsir Law Journal, 2(1), 21-26.

Purwanda, S., & Syahril, M. A. F. (2021). Bentuk Tanggung Jawab Negara Melalui Pemerataan Buku Bacaan Ke Pulau-Pulau Kecil Terluar. JUSTISI, 7(2), 155-166.

Media Daring

http://www.amp.kompas.com

Perundang-undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Undang-Undang nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan penyuluhan hukum ini adalah sebagai berikut : efektivitas pelaksanaan Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)