• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP EKSPLOITASI ANAK OLEH ORANGTUA MENJADI PENGEMIS

N/A
N/A
Pradita Soulthoni

Academic year: 2023

Membagikan "PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP EKSPLOITASI ANAK OLEH ORANGTUA MENJADI PENGEMIS"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP EKSPLOITASI ANAK OLEH ORANGTUA MENJADI PENGEMIS DI KOTA DEPOK

Diajukan untuk memenuhi Ujian Tengah Semester mata kuliah Sosiologi Hukum Dosen: Dr. Dadang Epi Sukarsa, S.H., M.H.

Hannin Pradita Nur Soulthoni 110120227515

PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

2023

(2)

1 A. Latar Belakang

Indonesia masih sering dikaitkan dengan masalah kemiskinan yang merata di seluruh penjuru negeri, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Gejalanya tampak dalam bentuk rumah-rumah berdesakan, keberadaan pengamen, pengemis, dan anak jalanan yang mencerminkan kondisi masyarakat miskin perkotaan. Bahkan di beberapa daerah, terdapat orang-orang tertentu yang tidur di depan toko karena mereka tidak memiliki tempat tinggal.

Situasi ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam dan menuntut penanganan segera.

Masalah yang umum terkait dengan pengemis, gelandangan, dan anak terlantar memiliki dampak signifikan terhadap ketertiban dan keamanan di kota Depok dan wilayah lainnya.

Pertumbuhan jumlah pengemis, gelandangan, dan anak terlantar dapat mengganggu stabilitas dan ketertiban sosial. Masalah ini terus berlanjut dari tahun ke tahun tanpa solusi yang tampaknya memadai.

Pesatnya pembangunan di kawasan kota juga menyimpan potensi bagi munculnya Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial akibat urbanisasi dan kompetisi yang ketat dalam bidang ekonomi di kota. Berdasarkan hasil pendataan Tahun 2019, perkembangan PMKS di Kota Depok mengalami peningkatan setiap tahunnya, data di Tahun 2020 mencapai 187 orang yang ditahun sebelumnya mencapai 115 orang.1 Pekerjaan sebagai pengemis dianggap sebagai alternatif yang dianggap lebih sederhana dibandingkan dengan pekerjaan lainnya, karena mencari uang dengan cara meminta-minta dianggap lebih mudah.

Masyarakat sering kali mengaitkan pengemis dengan penampilan yang tidak rapi dan terpelihara, yang dapat memicu simpati dan rasa kasihan dari orang-orang yang melihatnya.

Selain itu, masalah kemiskinan sering kali timbul akibat kualitas sumber daya manusia yang rendah, termasuk dalam hal kepribadian dan keterampilan.2

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 mengenai perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, menyatakan bahwa anak dianggap sebagai amanah dan anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa, yang harus selalu

1 Rencana Strategis Tahun 2021-2006 Dinas Sosial Kota Depok, 2019.

2 Akhmad Jenggis P, 10 Isu Global di Dunia Islam, (Yogyakarta: NFP publishing, 2012) hlm. 200.

(3)

2

dijaga, mengingat dalam dirinya terdapat nilai, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang perlu dihormati dengan tinggi.3

Badan Pusat Statistik (BPS) meramalkan bahwa pada tahun 2022, sekitar 30,5 persen atau sekitar 79,6 juta penduduk Indonesia adalah anak-anak yang berusia antara 0 hingga 17 tahun. Dengan kata lain, hampir satu dari tiga penduduk Indonesia adalah anak-anak.

Anak-anak memiliki martabat, nilai, dan hak-hak yang melekat pada diri mereka, dan hak asasi anak adalah bagian integral dari hak asasi manusia yang dijelaskan dalam Undang- Undang Dasar tahun 1945, yaitu Pasal 28 A hingga 28 J, serta dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak, khususnya Pasal 16, dan juga diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 tahun 2002, khususnya Bab III, Pasal 4 hingga Pasal 19, yang membahas hak-hak anak.4

Dalam pertimbangan bahwa anak-anak, karena kematangan fisik dan mental yang belum lengkap, memerlukan perlindungan dan perawatan khusus, termasuk perlindungan hukum sebelum dan setelah kelahiran mereka. Anak-anak memiliki hak untuk menerima pendidikan wajib, setidaknya hingga tingkat sekolah dasar. Mereka harus menerima pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan umum mereka dan memberi mereka kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan, pendapat pribadi, serta tanggung jawab moral dan sosial mereka. Hal ini bertujuan agar mereka dapat menjadi anggota masyarakat yang bermanfaat.5 Anak-anak harus mendapatkan perlindungan dari segala bentuk eksploitasi, perlakuan kejam, dan penindasan. Mereka tidak boleh dimanfaatkan sebagai "barang dagangan" dalam konteks apa pun. Tidak ada justifikasi untuk mempekerjakan anak-anak di bawah umur, dan mereka tidak boleh terlibat dalam pekerjaan yang dapat membahayakan kesehatan atau pendidikan mereka, atau yang dapat mempengaruhi perkembangan fisik, mental, atau moral mereka.6

Anak-anak yang mengalami masalah kesejahteraan akan mengalami kesulitan dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga mereka memerlukan layanan dan bimbingan agar dapat menjalani kehidupan sesuai harapan masyarakat. Dalam norma yang

3 Lihat Ketentuan Umum Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

4 Rencana Strategis Tahun 2021-2006 Dinas Sosial Kota Depok, 2019.

5 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak,Ctk Pertama,Akademika Presindo, Jakarta,1985,hlm.132

6 Ibid.Hlm.133

(4)

3

seharusnya, anak-anak seharusnya mendapatkan semua hak dan kebutuhan mereka terpenuhi, tetapi banyak di antara mereka yang tidak dapat memperoleh perhatian yang mereka butuhkan dari keluarga dan orang tua. Sebagai akibatnya, masih ada anak-anak yang terpaksa mencari uang di jalanan sebagai pengemis, menjadi gelandangan, atau menjadi anak jalanan. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada anak-anak yang dieksploitasi oleh orang tua mereka sendiri agar dapat menghasilkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Apabila terjadi eksploitasi anak oleh siapapun, pemerintah wajib memberikan perlindungan khusus kepada anak tersebut. Eksploitasi anak oleh orang tua mencerminkan perilaku yang bersifat diskriminatif atau tindakan sewenang-wenang orang tua terhadap anak mereka, yang mendorong anak untuk melakukan tindakan tertentu demi mencapai tujuan tertentu, tanpa memperhatikan hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan perkembangan fisik, psikologis, dan status sosial mereka.

Maraknya pengemis anak dan anak jalanan di Indonesia adalah permasalahan sosial yang kompleks. Menjadi pengemis anak atau anak jalanan bukanlah pilihan yang diinginkan, karena situasinya tidak menjanjikan masa depan yang jelas bagi mereka. Sesuai dengan Pasal 34 Ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945,

"Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara."

Ini mengindikasikan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menjaga dan membina anak-anak yang terlantar, termasuk anak jalanan dan pengemis anak. Hak asasi yang dimiliki oleh anak jalanan dan pengemis anak sama dengan hak asasi anak-anak lainnya.

Perlindungan anak juga diatur dala1m aturam Hak Asasi Manusia yang sebagaimana tujuannya itu sama dengan isi dari konvensi hak-hak anak. Pasal 22 B ayat (2) Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa:

setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”

Banyak anak yang menjadi korban eksploitasi oleh orang tua mereka. Eksploitasi ini tidak hanya menimpa anak-anak yang sudah berusia sekolah, tetapi juga melibatkan anak-

(5)

4

anak yang masih dalam usia balita, yang diikutsertakan dalam aktivitas mengemis oleh orang dewasa, termasuk dengan cara mengajak anak mereka untuk mengemis.

Permasalahan semacam ini sering ditemui di berbagai lokasi umum, seperti lampu lalu lintas, stasiun kereta, halaman toko, pasar tradisional, dan pusat perbelanjaan.

Kementrian Sosial RI memberikan pengertian tentang anak jalanan adalah

“anak-anak di bawah usia 18 tahun yang karena berbagai faktor seperti: ekonomi, konflik keluarga hingga faktor budaya yang membuat mereka turun ke jalan”.

Pendapatan yang diperoleh oleh anak-anak pengemis seluruhnya diserahkan kepada keluarga mereka. Uang yang dihasilkan dari aktivitas pengemis tersebut kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga. Dengan demikian, keluarga dari anak-anak pengemis tersebut telah melakukan eksploitasi terhadap anak-anak dengan mempekerjakan mereka sebagai pengemis untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka.

Rata-rata, anak-anak pengemis di Kota Depok berusia di bawah usia yang sesuai, sehingga mereka tidak seharusnya dieksploitasi untuk mencari uang demi kebutuhan keluarga.

Mereka seharusnya diberikan kesempatan untuk bermain dan belajar.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pada Alinea Keempat menyatakan bahwa tujuan pembentukan Pemerintahan Negara Republik Indonesia adalah melindungi seluruh Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, meningkatkan tingkat pendidikan nasional, dan turut serta dalam menjaga ketertiban dunia yang didasarkan pada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Pasal 34 dalam Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara berkewajiban untuk menjaga dan memberikan perlindungan kepada fakir miskin dan anak-anak terlantar. Dalam konteks ini, hal ini menekankan bahwa Negara harus membangun sistem jaminan sosial yang mencakup seluruh lapisan masyarakat dan memberdayakan individu yang lemah atau tidak mampu, dengan menjunjung tinggi martabat kemanusiaan. Negara juga bertanggung jawab dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pemerintahan untuk memastikan bahwa seluruh masyarakat mendapatkan perlakuan yang adil.

(6)

5 B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang dari penulisan ini, maka pokok perasalahan di dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Apa faktor-faktor yang mendorong orangtua untuk mengeksploitasi anak-anak sebagai pengemis di Kota Depok?

2. Bagaimana analisis terhadap upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam mencegah eksploitasi anak oleh orang tua sehingga mereka menjadi pengemis?

C. Metode Penelitian

Data penelitian ini diperoleh dari bahan sekunder kemudian dianalisa dengan menggunakan beberapa metode pendekatan yang pada akhirnya diambil kesimpulan untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Jenis pendekatan dari penelitian ini adalah studi literatur (literature review).

Studi literatur merupakan penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan cara mengumpulkan sejumlah buku, majalah yang tentu terdapat kaitan dengan masalah dan juga tujuan penelitian. Teknik ini dilakukan dengan maksud untuk mengidentifikasi berbagai teori yang relevan dengan isu yang tengah dihadapi atau sedang diteliti, yang kemudian akan digunakan sebagai referensi dalam pembahasan hasil penelitian. Hal ini mencakup serangkaian penelitian yang berkaitan dengan cara pengumpulan data dari sumber-sumber kepustakaan, atau penelitian yang melibatkan penelitian obyek yang informasinya diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan seperti buku, ensiklopedia, jurnal ilmiah, koran, majalah, dan dokumen.7

D. Analisis Penelitian

1. Faktor Pendorong Orangtua Mengeksploitasi Anak sebagai Pengemis di Kota Depok

Berdasarkan dari jurnal-jurnal yang dibaca diantaranya jurnal dari Muhammad Andi Akbar yang membahas mengenai pengemis anak di Kota Yogyakarta8 dan jurnal yang

7 Nana Syaodih, 2009, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya

8 Muhammad Andi Akbar, 2020, “Eksploitasi Anak oleh Orangtua Menjadi Pengemis di Yogyakarta Menurut Perspektif Sosiologi Hukum”, Jurnal Universitas Islam Indonesia.

(7)

6

ditulis oleh Rahmadany, Adam, dan Ferrario dengan judul eksploitasi anak yang dijadikan pengemis di Kota Surabaya.9 Dari hasil kedua jurnal tersebut faktor yang paling fundamental terjadinya kasus seperti ini di Indonesia adalah faktor ekonomi, faktor lingkungan, dan faktor pendidikan. Sehingga penulis ingin menganalisis lebih lanjut di Kota Depok dengan berdasarkan data yang di dapat dari Badan Pusat Statistik dan juga laporan dari Dinas Sosial Kota Depok mengenai pengemis anak di Kota Depok yang dikaitkan dengan tiga faktor tersebut.

1.1. Faktor Ekonomi

Faktor pertama menjadi faktor utama dari kedua jurnal tersebut disampaikan bahwa di kota-kota besar di Indonesia termasuk Kota Depok, Kota Surabaya, dan Kota Yogyakarta, faktor ekonomi menjadi alasan untuk mengemis. Alasan yang disampaikan dari kedua jurnal tersebut bahwa ketidakmampuan dan tidak memiliki uang untuk kehidupan sehari-hari termasuk makan, membeli susu, membayar cicilan, membayar sekolah, arisan, dan membeli buku. Sehingga ketidakmampuan ini menyebabkan orangtua mengeksploitasikan anak sebagai pengemis.

Berdasarkan hasil wawancara yang terdapat di jurnal mengenai pengemis di Kota Surabaya bahwa seorang anak memiliki pengaruh besar dalam kegiatan mengemis.

Terkadang, orang merasa bersalah atau prihatin ketika tidak memberikan uang hanya untuk memenuhi kebutuhan makan. Selain itu, tindakan tersebut oleh orang tua merupakan pelanggaran hukum yang dilarang dan dapat disebut sebagai eksploitasi anak sebagai pengemis. Ini secara tidak langsung membentuk pola pikir anak-anak untuk terlibat dalam pengemis.

Hal ini juga mendasari dari data Badan Pusat Statistik di Kota Depok bahwa pengemis anak merupakan hal serius yang menyebabkan eksploitasi terhadap anak itu sendiri. Mengacu pada pernyataan Presiden Joko Widodo tentang perlunya revolusi mental agar Indonesia dapat bersaing dan maju di tingkat internasional, terlihat bahwa orang tua memiliki peran yang sangat signifikan dalam membentuk mental anak-anak.

9 Rahmadany Septian Pratama, Mochamad Adam Fahreza Zein, Ferrario Mahatamtama Harya, 2021,

“Eksploitasi Anak yang Dijadikan Pengemis Oleh Orangtuanya di Kota Surabaya”, Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 1.

(8)

7

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 bersamaan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26 (ayat 1), telah menjelaskan kewajiban orang tua, termasuk memberikan nafkah, tempat tinggal, pendidikan, bimbingan, dan pengawasan perkembangan anak.10

Undang-undang dengan jelas telah menegaskan kewajiban orang tua, tetapi perbuatan orang tua yang sengaja melibatkan anak dalam pengemisan merupakan bentuk eksploitasi yang memerlukan pembinaan agar orang tua tidak mengulangi perilaku tersebut. Ini juga menggarisbawahi pentingnya meningkatkan kondisi ekonomi agar orang tua dapat memberikan dukungan yang memadai bagi keluarga mereka, sehingga anak-anak tidak perlu terlibat dalam pengemisan di jalanan. Selain itu, hal ini juga dapat membantu meningkatkan pemahaman wirausaha di kalangan penduduk di sekitar lingkungan mereka.

Namun kenyataannya bahwa kenaikan harga bahan pokok yang terus berlanjut, kebutuhan yang tinggi, serta peningkatan pengeluaran mendorong anak-anak untuk mulai bekerja sejak usia dini. Hasil dari penuturan tiga belas narasumber dari jurnal di Kota Yogyakarta, yang terdiri dari sepuluh anak dan tiga orangtua atau wali, menggambarkan bahwa mayoritas anak mengalami eksploitasi oleh orangtua mereka, yang terjadi karena tekanan dari orangtua untuk mengemis. Penyebab utamanya adalah masalah ekonomi yang sulit diatasi, sehingga anak-anak terpaksa membantu orangtua mereka.

1.2. Faktor Lingkungan

Berdasarkan dua jurnal tersebut bahwa faktor kedua dari kasus ini adalah lingkungan. Seperti contoh dari jurnal di Kota Yogyakarta bahwa anak tersebut mengikuti temannya untuk menjadi seorang pengemis. Pengaruh lingkungan memiliki dampak yang signifikan pada perilaku masyarakat. Faktor lingkungan mencakup berbagai aspek yang berada di sekitar anak, seperti motif, nilai-nilai, sifat, kepribadian, dan sikap yang saling berinteraksi, dan dapat memengaruhi perilaku mereka.

10 Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 bersamaan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

(9)

8

Berdasarkan wawancara dengan tiga belas narasumber dalam penelitian ini, termasuk sepuluh anak dan tiga orangtua atau wali, dapat disimpulkan bahwa tiga dari anak-anak ini mengikuti teman-teman mereka dalam mengemis karena mereka ingin menambah uang jajan.

Faktor sosial memiliki dampak besar terhadap perkembangan seorang anak. Ini tercermin dalam interaksi sosial yang mereka alami, yang juga dapat menjadi salah satu alasan mengapa seorang anak terlibat dalam tindakan mengemis. Selain itu, faktor lingkungan juga memiliki peran penting dalam memengaruhi perkembangan mental dan sikap anak. Faktor lingkungan ini mencakup berbagai aspek yang ada di sekitar anak, baik di daerah asal mereka maupun di daerah tujuan mereka, termasuk kondisi sarana dan prasarana, akses terhadap informasi, modal usaha, dan masalah penanganan pengemis yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia.

Penting untuk mencatat bahwa kebutuhan sosial, terutama dalam hal rehabilitasi, harus menjadi fokus perhatian pemerintah dalam menjalankan tugas sesuai dengan undang-undang yang ada. Beberapa lembaga swadaya juga telah melakukan upaya sosialisasi untuk mencegah dan memperbaiki kondisi mental anak-anak agar mereka tidak terjerumus dalam pengemisan berulang kali.

1.3. Faktor Pendidikan

Berdasarkan penelitian dari jurnal di Kota Yogyakarta menjelaskan bahwa alasan dari orang tua meminta anaknya untuk mengemis karena orangtua tidak menempuh pendidikan ataupun putus ditengah jalan sehingga menjadikan orangtua tersebut tidak dapat mendapatkan pekerjaan dengan upah yang tinggi. Orangtua dengan tingkat pendidikan yang rendah cenderung memiliki pemahaman yang terbatas mengenai pentingnya pendidikan bagi perkembangan seorang anak. Kurangnya pemahaman ini seringkali menjadi penyebab utama eksploitasi anak oleh orangtua yang berada dalam kelas ekonomi bawah. Bentuk eksploitasi anak di Yogyakarta sangat bervariasi, termasuk memaksa anak untuk bekerja demi kepentingan pribadi orangtua, mengharuskan anak untuk mengemis ketika orangtua tidak bekerja, dan bahkan jika

(10)

9

anak tidak mematuhi keinginan orangtua, mereka mungkin mengalami perlakuan kasar, kata-kata kasar, makian, atau bahkan ancaman untuk diusir dari rumah.

Pendidikan yang rendah pada orangtua berdampak pada pengorbanan waktu bermain dan belajar anak. Mereka tidak menyadari betapa pentingnya pendidikan untuk masa depan anak dan hanya mendorong anak mencari uang dengan cara yang dianggap enteng, karena pemahaman orangtua di kelas ekonomi bawah seringkali menganggap bahwa sekolah hanya menghabiskan uang dan waktu, padahal mengumpulkan uang untuk makan pun sangat sulit.

Pendidikan memiliki dampak signifikan pada kemungkinan seorang anak terlibat dalam tindakan mengemis. Menurut data yang saya temui, terdapat seorang anak yang terpaksa berhenti sekolah dan mengemis karena keterbatasan finansial keluarganya, yang disebabkan oleh kemiskinan. Berdasarkan hasil jurnal di Kota Surabaya menyebutkan sebanyak 215 anak terlibat, terdiri dari 94 laki-laki dan 121 perempuan.

Mereka memiliki beragam tingkatan pendidikan, mulai dari PAUD dengan dua anak, TK dengan sepuluh anak, SD kelas 1-6 dengan 45 anak laki-laki dan 55 anak perempuan, SMP dengan empat anak laki-laki dan empat anak perempuan, serta SMK sederajat dua anak. Terdapat juga 41 anak laki-laki dan 46 anak perempuan yang tidak bersekolah. Jumlah anak yang tidak bersekolah cukup besar, terutama di tingkat SD, yang berisiko mengalami eksploitasi akibat mengemis. Kurangnya perhatian dari sekolah adalah salah satu tanda bahwa anak, khususnya yang kurang mampu secara finansial, mungkin akan menghadapi kesulitan dalam melanjutkan pendidikan mereka.

Anak yang tidak memiliki akses ke pendidikan atau yang tidak bersekolah memiliki risiko untuk kekurangan pengetahuan atau pemahaman tentang nilai-nilai moral, agama, dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat membentuk karakter mereka dan mencegah mereka terlibat dalam tindakan seperti mengemis atau meminta-minta. Dalam konteks ini, akan lebih baik jika sekolah dapat mengidentifikasi masalah finansial ini dan mengajukan permohonan bantuan biaya pendidikan kepada pemerintah atau lembaga terkait. Hal ini bertujuan agar anak-anak tetap dapat melanjutkan pendidikan mereka dan tidak menjadi korban tindakan eksploitasi.

(11)

10 2. Analisis Upaya dari Pemerintah Indonesia

Pernyataan yang ada dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Alinea keempat, dengan tegas menyatakan bahwa tujuan pendirian pemerintah Negara Republik Indonesia adalah untuk meningkatkan kesejahteraan umum, mengembangkan kehidupan bangsa, serta berpartisipasi dalam menjaga perdamaian dunia berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian yang abadi, dan keadilan sosial. Selain itu, dalam Pasal 34 ayat (10) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dinyatakan bahwa "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara."11

Oleh karena itu, pemerintah memiliki kewenangan dan tanggung jawab dalam menjaga anak-anak yang mengalami eksploitasi oleh orangtua mereka dan terlibat dalam tindakan pengemisan, sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2018, dan Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 16 Tahun 2012. Ketiga dari Peraturan Daerah ini memiliki peraturan yang hamper sama mengenai eksploitasi anak, dimana eksploitasi terhadap anak paling sering dilakukan oleh orang tua anak tersebut, yang memaksa anak bekerja di jalan atau bahkan mengemis, yang kita ketahui merupakan kegiatan yang sangat berbahaya bagi keselamatan anak itu sendiri.

Sebagai respons terhadap situasi ini, ada tim Pekerja Sosial Masyarakat yang bertugas untuk memantau lokasi atau lingkungan di mana tindakan eksploitasi ini terjadi. Informasi hasil pemantauan ini kemudian dilaporkan kepada Dinas Sosial untuk mengumpulkan data, yang selanjutnya akan ditindaklanjuti bekerja sama dengan SATPOL PP.

Masalah eksploitasi anak yang dilakukan oleh orang tua harus segera diatasi, karena jika tidak, kita berisiko kehilangan generasi penerus dan pemimpin bangsa di masa depan.

Generasi yang seharusnya mewarisi cita-cita bangsa akan lenyap. Biasanya, tindakan eksploitasi anak dilakukan oleh orang tua mereka sendiri. Oleh karena itu, diperlukan upaya pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam hal ini, melalui lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, dan lembaga pendidikan.

11 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

(12)

11 2.1. Pembinaan terhadap Orangtua

Pembinaan terhadap orang tua yang terlibat dalam eksploitasi anak adalah salah satu upaya yang diterapkan oleh pemerintah. Kegiatan ini dilakukan secara terencana dan bertahap dengan memberikan panduan dan arahan kepada orang tua agar mencegah anak-anak dari tindakan mengemis atau bekerja di jalanan. Pembinaan ini dapat dilakukan oleh pemerintah maupun oleh masyarakat dengan tujuan untuk mengendalikan dan mengurangi jumlah anak yang terlibat dalam tindakan eksploitasi oleh orang tua mereka.

Pemerintah memiliki tim yang tugasnya adalah mencapai orang tua yang melibatkan anak-anak dalam eksploitasi. Tim ini melakukan pendekatan kepada orang tua, mengamati keadaan rumah tangga mereka, serta cara mereka merawat anak-anak sehari-hari dan berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Melalui pendekatan ini, pemerintah berharap dapat membuka hati orang tua agar tidak lagi memaksa anak-anak mereka untuk mengemis atau bekerja di jalanan. Tujuannya adalah agar orang tua mengakui hak-hak anak mereka dan tidak memaksakan anak-anak mereka untuk mencari rezeki di jalanan.

Dalam konteks ini, pembinaan kepada orang tua telah dilaksanakan melalui pendekatan yang bertujuan untuk meraih simpati dan pemahaman orang tua sehingga mereka tidak lagi memaksa anak-anak mereka untuk bekerja atau mengemis di jalanan.

Tim yang bertugas di lapangan berharap bahwa pendekatan ini akan membuat orang tua lebih memahami pentingnya hak-hak anak mereka dan mencegah anak-anak mereka untuk mencari nafkah di jalanan.

Pembinaan terhadap orang tua telah dilaksanakan melalui pendekatan langsung kepada mereka. Pendekatan ini dimaksudkan untuk menggerakkan hati orang tua sehingga mereka tidak lagi memaksa anak-anak mereka untuk bekerja atau mengemis di jalan. Pemerintah telah membentuk tim yang beroperasi di lingkungan jalanan untuk melakukan pemantauan dan observasi terhadap kehidupan orang tua tersebut. Dengan menerapkan pendekatan ini, diharapkan orang tua akan lebih memahami dan menghargai hak-hak anak mereka, sehingga tidak lagi memaksa anak-anak mereka untuk mencari nafkah di jalanan.

(13)

12 2.2. Pemberian Jaminan Sosial

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan agar para orang tua dapat memperoleh kemampuan untuk bekerja dan mandiri sehingga mereka tidak perlu bergantung pada pendapatan anak-anak mereka. Anak-anak tidak seharusnya dipaksa untuk bekerja atau mengemis di jalanan. Selain itu, harapannya adalah agar orang tua terus menghormati hak-hak anak mereka dan mendidik anak-anak dengan cara yang benar.

Pemerintah daerah telah memenuhi kewajiban yang seharusnya, dengan mengeluarkan peraturan daerah yang relevan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah telah memberikan berbagai bentuk dukungan kepada orang tua yang membutuhkannya, seperti jaminan sosial dan pembinaan. Namun, langkah selanjutnya sangat bergantung pada orang tua sendiri dan lingkungan sekitar yang memberikan dukungan dalam memutuskan apakah mereka akan keluar dari pekerjaan eksploitatif atau melanjutkannya.

Dinas Sosial memainkan peran penting dalam pemberdayaan anak-anak jalanan melalui rumah singgah. Rumah singgah berfungsi sebagai tempat pemusatan sementara yang bersifat nonformal. Di sini, anak-anak dapat memperoleh informasi, pengetahuan, wawasan, dan bimbingan, yang merupakan langkah awal sebelum memasuki proses pembinaan yang lebih lanjut. Tujuan dari pembentukan rumah singgah adalah untuk membantu anak-anak jalanan menyelesaikan masalah mereka dan menemukan solusi untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.

Melalui rumah singgah, anak-anak jalanan dapat mendapatkan bimbingan, termasuk pengembangan keterampilan sesuai dengan bakat dan minat mereka, melalui program pendidikan di luar sekolah. Ini memberikan mereka pengetahuan tentang nilai- nilai normatif, ilmu pengetahuan, dan peluang untuk bersosialisasi dengan sesama anak- anak. Rumah singgah membentuk sikap, perilaku, moralitas, dan karakter anak-anak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat serta memberikan pemenuhan kebutuhan dasar anak-anak tersebut. Hal ini mempersiapkan masa depan mereka sebagai anggota masyarakat yang bermanfaat, produktif, dan berpotensi cerah.

(14)

13

Kenyataannya, masalah anak-anak jalanan memiliki banyak penyebab yang sering kita jumpai, termasuk faktor pembangunan. Model pembangunan yang lebih berfokus pada pertumbuhan ekonomi di pusat-pusat kota dapat menyebabkan masalah bagi masyarakat pedesaan yang melakukan urbanisasi. Kurangnya pendidikan, pengetahuan, dan keterampilan juga menjadi alasan mengapa anak-anak sulit bersaing atau memasuki sektor formal. Hal ini sering membuat mereka terpaksa bekerja apa saja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, dan sebagian dari mereka akhirnya menjadi keluarga gelandangan, hidup bersama anak-anak mereka, yang akhirnya disebut sebagai anak jalanan.

E. Kesimpulan

Masalah eksploitasi anak sebagai pengemis di Indonesia adalah masalah serius yang disebabkan oleh faktor-faktor seperti ekonomi, lingkungan, dan pendidikan yang memaksa anak-anak terlibat dalam kegiatan pengemisan. Orangtua, terutama mereka dengan pendidikan rendah dan ekonomi lemah, cenderung memaksa anak-anak mereka untuk mencari nafkah dengan cara ini. Undang-Undang dan peraturan daerah mengamanatkan kewajiban pemerintah untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi, termasuk pengemisan.

Selain itu, pembinaan dan jaminan sosial telah diimplementasikan sebagai upaya untuk mencegah eksploitasi anak oleh orang tua.

Pendidikan, pembinaan, dan pembangunan kesadaran sosial merupakan langkah- langkah yang sangat penting untuk mengatasi masalah eksploitasi anak sebagai pengemis.

Anak-anak harus diberikan peluang untuk mendapatkan pendidikan yang baik dan keluarga harus diberikan dukungan untuk meningkatkan situasi ekonomi mereka. Pentingnya peran masyarakat, termasuk lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial, dunia usaha, dan lembaga pendidikan dalam membantu mengatasi masalah ini. Partisipasi aktif dari berbagai pihak adalah kunci untuk mencapai perubahan yang signifikan dalam menghentikan eksploitasi anak sebagai pengemis.

(15)

14

DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Jenggis P, “10 Isu Global di Dunia Islam”, Yogyakarta: NFP publishing, 2012 hlm.

200.

Arif Gosita, “Masalah Perlindungan Anak”,Ctk Pertama,Akademika Presindo, Jakarta,1985,hlm.132

Gosita, Arif, Masalah Perlindungan Anak, 1985

Lihat Ketentuan Umum Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Muhammad Andi Akbar, 2020, “Eksploitasi Anak oleh Orangtua Menjadi Pengemis di Yogyakarta Menurut Perspektif Sosiologi Hukum”, Jurnal Universitas Islam Indonesia.

Nana Syaodih, 2009, “Metode Penelitian Pendidikan”, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Nashriana, Perlindungan Hukum Bagi Anak Di Indonesia, 2011

Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 16 Tahun 2012 Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 2 Tahun 2018

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Rahmadany Septian Pratama, Mochamad Adam Fahreza Zein, Ferrario Mahatamtama Harya, 2021, “Eksploitasi Anak yang Dijadikan Pengemis Oleh Orangtuanya di Kota Surabaya”, Jurnal Penelitian Hukum, Vol. 1.

Rahmat Yusfi, Tanggung Jawab Hukum Pemerintah Kota Batu Terhadap Anak Yang Bekerja Sebagai Pengemis Perspektif Undang-Undang Perlindungan Anak Dan Hukum Islam, Jurnal Hukum, 2020

Ratnasari, Eksploitasi Anak Pengemis Di Pelabuhan Kamal, Jurnal Hukum, 2020 Rencana Strategis Tahun 2021-2006 Dinas Sosial Kota Depok, 2019.

Syarifah, Aslichatus, Perlindungan Hukum Terhadap Eksploitasi Anak Sebagai Pengemis Dalam Perspektif Islam, Jurnal Hukum, 2018

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 bersamaan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Referensi

Dokumen terkait

Indonesia adalah negara hukum dengan pemerintahan yang demokratis. Konsep ini disebutkan secara langsung dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun