• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM CAMAT ATAS PENERBITAN SURAT KETERANGAN GANTI RUGI TANAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM CAMAT ATAS PENERBITAN SURAT KETERANGAN GANTI RUGI TANAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

412

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM CAMAT ATAS PENERBITAN SURAT KETERANGAN GANTI

RUGI TANAH

Vemi Herliza1), Ardiansah1), dan Bagio Kadaryanto1)

1)

Program Studi Magister Ilmu Hukum, Universitas Lancang Kuning Email: vemiherliza@gmail.com

Abstract: This study uses normative legal research because it is to see the form of void norms and legal uncertainty related to the authority of the sub-district head. The results of the research obtained that there is indeed a form of legal uncertainty over the government's actions taken by the sub-district head in issuing the CLC so that the camat always interprets the form of customary law that has been happening so far.

Even the camat does not have legal protection if there is a substantive or procedural error in an CLC. In conclusion, it is necessary to issue complete and concrete laws and regulations regarding the actions of the sub-district heads so far that have issued CLC for the purposes of land administration affairs for the wider community.

Keywords : Goverment Administration, Sub-District Head

Abstrak: Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif karena untuk melihat bentuk kekosongan norma dan ketidakpastian hukum terkait kewenangan camat. Hasil penelitian diperoleh bahwa memang ada bentuk ketidakpastian hukum atas tindakan pemerintah yang dilakukan camat dalam mengeluarkan CLC sehingga camat selalu memaknai bentuk hukum adat yang selama ini terjadi. Bahkan camat tidak memiliki perlindungan hukum jika terjadi kesalahan substantif atau prosedural dalam suatu PKB. Kesimpulannya, perlu diterbitkan peraturan perundang-undangan yang lengkap dan konkrit mengenai tindakan camat selama ini yang telah menerbitkan PKH untuk kepentingan administrasi pertanahan bagi masyarakat luas.

Kata Kunci: Administrasi Pemerintahan, Camat

Pendahuluan

Hubungan antara manusia dengan tanah adalah sebuah hubungan yang bersifat abadi dan saling terkait, baik secara personal maupun sosial. Posisi Pemerintah harus dapat menegaskan kepatian hukum terkait hubungan tersebut dengan membuka seluas- luasnya pelayanan terhadap pertanahan. Aspek pelayanan pertanahan sebagai pelaksanaan dari hak menguasai Negara adalah mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.

Produk akhir dari kegiatan pelayanan pendaftaran tanah adalah pernerbitan sertifikat hak milik tanah. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU No.5 Tahun 1960) merupakan landasan dasar untuk mengatur penguasaan dan kepemilikan tanah, untuk mengaktualisasi kepemilikan tanah maka

(2)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

413 berdasarkan pasal 19 ayat (1) UU No.5 Tahun 1960 mengatur ketentuan tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi “untuk menjamin kepastian hukum, oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia”.

Hal yang paling mendasar dalam proses pendaftaran tanah adalah pengumpulan, pengolahan hingga pembukuan bukti-bukti lama sehingga nantinya akan terbit sertifikat tanah sebagai pembuktian yang sah terhadap kepemilikan tanah, sebagaimana pengertian sertifikat tanah adalah surat tanda bukti hak atas suatu tanah. Tentunya pengumpulan bukti administrasi tersebut membutuhkan pelayanan pemerintahan pada level pejabat administrasi yang dapat menjangkau masyarakat.

Camat adalah pejabat yang paling dekat dengan masyarakat dan dianggap tau atas sisi bidang tanah milik masyarakat, dengan demikian tentunya peran kecamatan dalam pelayanan pertanahan akan semakin bertambah, karena dengan adanya pelimpahan sebagian kewenangan kepada kecamatan diharapkan akan berdampak kepada kepatuhan masyarakat dalam melaksanakan hak dan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku sehingga akan menjadikan pemerintahan menjadi lebih baik, Khususnya dalam bidang tertib pelayanan administrasi pertanahan.

Dalam tatanan praktik, Camat dapat mengeluarkan SKGR ataupun mengeluarkan surat keterangan tanah (SKT) yang telah diketahui oleh Lurah. SKGR pada dasarnya merupakan bentuk penguasaan fisik atas tanah, bukan penguasaan secara hak. Timbulnya SKGR ini berdasarkan pihak-pihak yang berkepentingan atas kepemilikan tanah yang diatasnya terdapat transaksi jual beli atau perpindahan penguasaan tanah namun dari itu harus tetap juga menempuh proseder administrasi yang lazim dilakukan dalam instansi pemerintahan kecamatan.

Cara kerja Camat dalam mengeluarkan SKGR yang berlangsung selama ini tidak mempunyai dasar hukum yang jelas. Misalnya bagaimana tata cara pengajuan permohonan SKGR, bagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi pemohon SKGR, lalu upaya hukum apa yang harus ditempuh oleh Camat jika belakangan hari setelah mengeluarkan SKGR tiba-tiba ada pihak yang mengakui ada tanah miliknya diatas SKGR yang sudah dikeluarkan Camat tersbut. Bahkan Camat sangat berpotensi dilaporkan secara pidana karena telah mengeluarkan SKGR diatas milik tanah orang lain.

Padahal patut diketahui Camat bukanlah pejabat yang diwajibkan untuk mengetahui sejarah tanah yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Karena tidak adanya perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan berdampak Camat diseret pada setiap persengketaan pertanahan. Jika memang SKGR tersbut merupakan sebuah kebijakan yang bersifat keputusan dalam hukum administrasi negara maka sebaiknya jugalah ada produk hukum yang melindungi Camat dari segala tuntutan perdata maupun pidana sepanjang mempunyai itikad baik dalam menjalankan kewenangannya.

Pada tahun 2021 pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang. Kenyataan hukum yang terjadi bahwa PP No.18 tahun 2021 justru tidak menggambarkan bagaimana pola pertanggung jawaban hukum Camat dalam mengeluarkan SKGR. Didalam PP No.18 Tahun 2021 menegaskan pengakuan SKGR sebagai produk hukum yang dikeluarkana Camat, tepatnya pada pasal 97 bahwa SKGR yang dimaksudkan sebagai keterangan atas penguasaan dan kepemilikan tanah yang dikelaurkan oleh Camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah. Dengan demikian setidaknya ada kepastian terkait kedudukan hukum produk SKGR tersebut.

Berdasarkan latar belakang diatas sebenarnya bagaimana pertanggungjawaban hukum camat atas penerbitan surat keterangan ganti rugi tanah? dan bagaimana konsep ideal pertanggungjawaban hukum Camat Atas penerbitan surat keterangan ganti kerugian?

(3)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

414 Pemilihan tema penelitian juga tidak tertutup kemungkinan ada bentuk pola-pola yang sama, namun dalam tinjauan pustaka ini dipertegas adanya bentuk perbedaan yang mendasar sehingga dapat dibuktikan nilai originalitas penelitian yang mengangkat Bentuk Kekosongan Hukum Fungsi Camat Dalam Mengeluarkan Surat Keterangan Ganti Rugi Tanah.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder”. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif adalah suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi”. Pada penelitian hukum jenis ini, seringkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia hingga patokan pemerintahan menjalankan undang-undang yang telah dibentuk.

Hasil dan Pembahasan

Pertanggungjawaban Hukum Camat Atas Penerbitan Surat Keterangan Ganti Kerugian Tanah

Secara teoretik, tanggung jawab mengandung dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Pertanggungjawaban yang beraspek internal, hanya dlwujudkan dalam bentuk laporan pelaksanaan kekuasaan. Pertanggungjawaban dengan aspek eksternal adalah pertanggungjawaban terhadap pihak ketiga, apabila dalam melaksanakan kekuasaan itu menimbulkan suatu derita atau kerugian.

Dalam negara hukum demokratis, pertanggungjawaban muncul dalam dua dimensi; dimensi hukum dan dimensi politik. Pertanggungjawaban dalam dimensi hukum mengandung arti bentuk pertanggungjawaban dalam penggunaan kewenangan apakah sesuai atau tidak dengan hukum yang dibuktikan melalui proses peradilan di hadapan hakim, sedangkan pertanggungjawaban dalam dimensi politik dilakukan dalam bentuk

"laporan" penggunaan kewenangan di hadapan rakyat.

Pertanggungjawaban politik di hadapan rakyat ini diperlukan sehubungan dengan penggunaan kewenangan yang berasal dari rakyat. yang sudah dituangkan dalam bentuk undang-undang. Artinya rakyat melalui wakilnya di Parlemen mempunyai hak untuk menilai apakah penggunaan kewenangan oleh pemerintah itu sesuai atau tidak dengan undang-undang yang merupakan kristalisasi kemauan dan kehendak rakyat.

Sudah barang tentu dua dimensi pertanggungjawaban tersebut akan memunculkan dua konsekuensi bagi pemegang kewenangan, konsekuensi hukum dan konsekuensi politik. Telah disebutkan, salah satu prinsip dalam negara hukum demokratis adaiah bahwa setiap tindakan hukum pemerintah atau administrasi negara harus didasarkan pada kewenangan yang berikan oleh undang-undang. Pemberian kewenangan ini dapat terjadi secara atribusi maupun delegasi. Lebih lanjut, tindakan-tindakan hukum dari pemerintah ini, yang secara garis besar bertindak dalam bidang pengaturan dan pelayanan, selanjutnya dituangkan dalam bentuk instrumen yuridis seperti peraturan-peraturan (regeling), keputusan-keputusan (besluiten), ketetapan-ketetapan (beschikkingen), dan peraturan kebijaksanaan (beleidsregef). Oleh karena tindakan pemenntah itu tertuang padainstrumen yuridis, maka pertanggungjawaban publik pemerintah akan berkaitan dengan bagaimana pembuatan dan penggunaan instrumen-instrumen tersebut, serta apa akibat-akibat hukum yang muncul darinya.

(4)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

415 Dalam menjalankan tuganya pemerintah idelanya menjalankan prinsip “Tiada kewenangan tanpa peraturan perundang-undangan yang mendahuluinya”, begitu juga dalan konsep negara hukum yang memiliki asas setiap tindakan organ pemerintah harus berdasarkan kewenangan, dengan demikian terkait erat dengan asas “tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban” atau “zonder bevoegdheid geen verantwoordelijkheid” (tanpa kewenangan tidak ada pertanggungjawaban).

Pada dasarnya tindakan organ pemerintah adalah penggunaan wewenang, karena itu selalu terkait dengan pertanggungjawaban. Siapa saja pejabat yang kewenangannya diberikan oleh peraturan perundang-undangan maka harus juga memiliki bentuk pertanggung jawaban atas dijalankannya kewenannganya itu.

Dalam urusan pertanahan salah satu pejabat yang terlibat didalamnya adalah camat, bahkan camat selalu dilibatkan dalam urusan jual beli bidang tanah yang dilakukan masyarakatnya. Peran camat disini adalah sebagai pelayanan publik yang harus melayani prosedur administrasi pertanahan yang dimohonkan masyarakat. Kelaziman yang sering dilakukan camat adalah penerbitan Surat Keterangan Ganti Kerugian (SKGR) terhadap masyarakat yang memperjual-belikan tanah mereka.

Jika ditelisik, Camat memiliki fungsi dan kewenangan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Undang-Undang No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.23 Tahun 2014), pada pasal 224 menerangkan Kecamatan dipimpin oleh seorang camat yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui sekretaris daerah. Pada pasal 225 ditegaskan beberapa tugas camat seperti menyelenggarakan urusan pemerintahan umum dan urusan-urusan lain sesuai amanah peraturan perundang-undangan lainnya

Jika menyandarkan pada UU No. 23 Tahun 2014 tidak begitu jelas bagaimana pola pengaturan kewenangan camat untuk mengurus administrasi pertanahan untuk masyarakat, begitu pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan (PP No. 17 Tahun 2018), didalam PP terebut tidak juga mengatur secara tegas bagaimana pola kewenangan camat dalam mengurus dan melayani administrasi pertanahan masyarakat.

Pada prespektif lainnya Camat juga berperan sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara, dapat kita lihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menjelaskan bahwa PPAT Sementara adalah Pejabat Pemerintah yang ditunjuk kerana jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT.

Pada saat ini camat sebagai PPAT sudah tidak relevan lagi karena jumlah PPAT pada daaarnya sudah dapat menjangkau masyarakat luas dan jikapun camat masih berfungsi sebagai PPAT sementara maka posisi camat bertindak sebagai palayan publik yang produknya bersifat privat bukan produk hukum yang bersifat memutuskan seperti SKGR.

Camat diangkat menjadi Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara dalam membantu sebagian tugas Badan Pertanahan Nasional tentang perbuatan pelayanan pendaftaran tanah, sampai sekarang banyak ditemukan masalah di lapangan, terutama dalam pembuatan akta - akta tanah. Akta yang dibuat oleh Camat yang diangkat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah Sementara berfungsi sebgai alat bukti yang telah dilakukanya suatu perbuatan hukum mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, dan bisa juga dijadikan bukti untuk mendaftaran kembali yang bertujuan untuk merubah data dari kegiatan pendaftaran tanah yang disebabkan oleh perbuatan hukum tersebut.

Dalam tatanan praktik, Camat dapat mengeluarkan SKGR ataupun mengeluarkan surat keterangan tanah (SKT) yang telah diketahui oleh Lurah. SKGR pada dasarnya

(5)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

416 merupakan bentuk penguasaan fisik atas tanah, bukan penguasaan secara hak. Timbulnya SKGR ini berdasarkan pihak-pihak yang berkepentingan atas kepemilikan tanah yang diatasnya terdapat transaksi jual beli atau perpindahan penguasaan tanah namun dari itu harus tetap juga menempuh proseder administrasi yang lazim dilakukan dalam instansi pemerintahan kecamatan.

Dalam kelazimannya, proses administrasi penerbitan SKGR ditempuh dengan melibatkan Kepala Rukun Tetangga (RT) dan Kepala Rukun Warga (RW) sebagai saksi pengukuran dan lokasi tanah yang nantinya RT dan RW tersebut harus membubuhkan tanda tangan dalam dokumen yang sudah dipersiapkan, begitu juga dengan saksi sempadan tanah yang dimintai kesaksiannya sebagai sempadan tanah yang dibuktikan dengan tanda tangan.

Cara kerja Camat dalam mengeluarkan SKGR yang berlangsung selama ini tidak mempunyai dasar hukum yang jelas. Misalnya bagaimana tata cara pengajuan permohonan SKGR, bagaimana syarat-syarat yang harus dipenuhi pemohon SKGR, lalu upaya hukum apa yang harus ditempuh oleh Camat jika belakangan hari setelah mengeluarkan SKGR tiba-tiba ada pihak yang mengakui ada tanah miliknya diatas SKGR yang sudah dikeluarkan Camat tersbut. Bahkan Camat sangat berpotensi dilaporkan secara pidana karena telah mengeluarkan SKGR diatas milik tanah orang lain.

Padahal patut diketahui Camat bukanlah pejabat yang diwajibkan untuk mengetahui sejarah tanah yang dimiliki oleh setiap masyarakat. Karena tidak adanya perlindungan hukum dari peraturan perundang-undangan berdampak Camat diseret pada setiap persengketaan pertanahan. Jika memang SKGR tersbut merupakan sebuah kebijakan yang bersifat keputusan dalam hukum administrasi negara maka sebaiknya jugalah ada produk hukum yang melindungi Camat dari segala tuntutan perdata maupun pidana sepanjang mempunyai itikad baik dalam menjalankan kewenangannya.

Pada tahun 2021 terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 18 tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun Dan Pendaftaran Tanah (PP No.18 Tahun 2021), dalam PP tersebut menegaskan adanya produk SKGR yang dikeluakan oleh camat namun bukan berarti menimbulkan kepastian hukum terkait kewenangan dan pertanggungjawaban camat dalam menerbitkan SKGR.

Kenyataan hukum yang terjadi bahwa PP No.18 tahun 2021 justru tidak menggambarkan bagaimana pola pertanggung jawaban hukum Camat dalam mengeluarkan SKGR. Didalam PP No.18 Tahun 2021 menegaskan pengakuan SKGR sebagai produk hukum yang dikeluarkana Camat, tepatnya pada pasal 97 bahwa SKGR yang dimaksudkan sebagai keterangan atas penguasaan dan kepemilikan tanah yang dikelaurkan oleh Camat hanya dapat digunakan sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah. Dengan demikian setidaknya ada kepastian terkait kedudukan hukum produk SKGR tersebut namun tidak dengan bentuk kewenangan dan tanggung jawab camat.

PP No.18 tahun 2021 hanya mengatur sepintas lalu tentang SKGR tanpa mengatur lebih lanjut bagaimana standar opersianal ataupun format dalam mengeluarkan SKGR sehingga akan berdampak pada tidak jelasnya peran camat dalam mengeluarkan SKGR.

Seharusnya PP No.18 tahun 2021 juga mengatur dan memeberikan kepastian hukum terhadap peran camat dalam mengeluarkan SKGR dan juga yang penting untuk diatur selanjutnya adalah memberikan kepastian peraturan pelaksana atas PP No.18 tahun 2021 terkait bagaimana seharusnya camat bekerja dalam menerbitkan SKGR.

Adanya kelemahan PP No.18 Tahun 2021 yang tidak begitu jelas sejauh mana Camat bertanggung jawab atas SKGR yang dikeluarkannya. Fakta selama ini yang terjadi ketika Camat mengeluarkan SKGR namun dikemudian hari ada yang masyarakat yang menerangkan dan mengakui kepemilikan tanah diatas SKGR yang sudah diterbitkan

(6)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

417 Camat tersebut, dengan demikian bagaimana seharusnya tanggung jawab Camat melihat keadaan hukum yang terjadi dihadapannya? Lalu apakah dengan demikian Camat dapat mengeluarkan produk hukum pembatalan SKGR sudah dikelauarkannya? karena selama ini dapat kita lihat pula Camat sering menjadi objek laporan pidana yang dilakukan masyarakat karena dianggap telah mengeluarkan dokumen yang dianggap palsu.

Konsep Ideal Pertanggungjawaban hukum Camat Atas Penerbitan Surat Keterangan Ganti Kerugian

Pendaftaran tanah adalah rangkaian yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar mengenai bidang-bidang tanah. Untuk pertama kalinya Indonesia mempunyai suatu lembaga pendaftaran tanah dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yang kemudian disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

Tujuan dari pendaftaran tanah tersebut untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah. Penyelenggaraan pendaftaran tanah dilaksanakan oleh pemerintah untuk kepentingan rakyat agar adanya nilai kepastian hukum pada bidang pertanahan.

Pendaftaran tanah memiliki pengertian sesuai dengan apa yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam Pasal 1 nya, Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.

Unsur-unsur yang terdapat dalam pendaftaran tanah berasal dari penegrtian pendaftaran tanah itu sendiri. Unsur-unsur nya antara lain dalam kata “suatu rangkaian kegiatan” menunjuk kepada adanya berbagai kegiatan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah, yang berkaitan satu sama lain, berurutan menjadi satu kesatuan rangkaian yang bermuara pada tersedianya data yang diperlukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan bagi rakyat.

Berikutnya dalam frasa “terus-menerus” menunjukkan kepada pelaksanaan kegiatan yang sekali dimulai tidak akan ada akhirnya. Data yang sudah terkumpul, dan tersedia harus selalu dipelihara, disesuaikan dengan perubahan-perubahan yang terjadi kemudian, hingga tetap sesuai dengan keadaan yang terakhir. Sedangkan kata “teratur”

menunjukkan bahwa semua kegiatan harus berlandaskan peraturan perundang-undangan yang sesuai, karena hasilnya akan dipergunakan sebagai bukti menurut hukum. Artinya, sekali tanah dilakukan pendaftaran, maka untuk selanjutnya setiap terjadi perbuatan hukum atas tanah tersebut, harus diikuti dengan pendaftaran tanah dengan tujuan agar data yang tersedia sesuai dengan keadaan yang terakhir.

Dalam menjalankan kewenangannya camat selalu melekat dalam proses pelayanan publik, setiap kegiatan masyarakat yang membutuhkan administrasi kecamatan maka dengan demikian pulalah camat harus melerbur kepada publik untuk memberi palayanan yang maksimal. Salah satu kegiatan pelayanan publik itu adalah camat memberi ruang dan waktu untuk proses pendaftaran tanah sebagai titik awal pemberian keterangan tanah yang nantikan akan muncul sertifikat hak milik tanah.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pelayanan memiliki tiga makna, (1) perihal atau cara melayani; (2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh

(7)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

418 imbalan uang; (3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual beli barang atau jasa. Pelayanan umum atau pelayanan publik adalah “Pemberian jasa baik dari pemerintah, pihak swasta atas nama pemerintah maupun pihak swasta kepada masyarakat, dengan atau tanpa pembayaran guna memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan masyarakat.

Berdasarkan organisasi yang menyelenggarakannya, pelayanan publik atau pelayanan umum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi publik. kedua, pelayanan publik atau pelayanan umum yang diselenggarakan oleh organisasi privat.

Pedoman Umum penyelenggaraan Pelayanan Publik yang kemudian dicantumkan juga dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 25 tahun 2004 tentang pedoman umum Penyusunan indeks kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi pemerintah disebutkan disebutkan dalam Prinsip Pelayanan Umum yakni:

a. Kesederhanaan Pelayanan

Prinsip kesederhanaan ini mengandung arti bahwa prosedur/tata cara pelayanan diselenggarakan secara mudah, lancar, cepat, tepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan oleh masyarakat yang meminta pelayanan.

b. Kejelasan dan Kepastian Pelayanan

Prinsip ini mengandung arti adanya kejelasan dan kepastian mengenai : - Prosedur/tata cara pelayanan, baik persyaratan teknis maupun administratif;

- Unit kerja dan atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan;

- Rincian biaya/tarif pelayanan dan tata cara pembayarannya;

- Jadwal waktu penyelesaian pelayanan.

c. Keamanan dalam Pelayanan

Prinsip ini mengandung arti proses serta hasil pelayanan dapat memberikan keamanan, kenyamanan dan dapat memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

d. Keterbukaan dalam Pelayanan

Prinsip ini mengandung arti bahwa prosedur/tata cara, persyaratan satuan kerja/pejabat penanggung jawab pemberi pelayanan, waktu penyelesaian, rincian biaya/tarif serta hal- hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat, baik diminta maupun tidak diminta.

e. Efisiensi dalam Pelayanan

Prinsip ini mengandung arti : Persyaratan pelayanan hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dengan produk pelayanan yang diberikan. Mencegah adanya pengulangan pemenuhan persyaratan, dalam hal proses pelayanan masyarakat adanya kelengkapan persyaratan dari satuan kerja/instansi Pemerintah lain yang terkait.

f. Ekonomis dalam Pelayanan

Prinsip ini mengandung arti pengenaan biaya dalam penyelenggaraan pelayanan harus ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan Nilai barang dan atau jasa pelayanan masyarakat dan tidak menuntut biaya yang terlalu tinggi di luar kewajaran; Kondisi dan kemampuan masyarakat untuk membayar; dan Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

g. Keadilan yang Merata

Dalam Pelayanan Prinsip ini mengandung arti cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat.

h. Ketepatan Waktu dalam Pelayanan

(8)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

419 Prinsip ini mengandung arti pelaksanaan pelayanan masyarakat dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang ditentuk

Tidak hanya cukup dalam sikap pelayanan saja seorang camat harus bertindak cermat, jika kita kaitkan pelayanan publik terhadap penerbitan SKGR maka semestinya harus ada rumusan yang jelas pola dan alur penerbitan SKGR yang tertuang didalam peraturan perundang-undangan. Camat bisa diberi kewenangan untuk menerbitkan SKGR, namun pengaturannya itu harus tertung eksplisit didalam Undang-Undang Pemerintah Daerah.

Undang-Undang Pemerintahan Daerah bisa meletakkan tugas pengurusan administrasi kecamatan dan dari itu Undang-Undang dapat mendelegasikan ketataran aturan yang lebih detail, bisa diatur dalam Peraturan Pemerintah bahkan secara teknis dapat diatur didalam Peraturan Kepala Daerah. Dengan demikian setelah meletakkan kewenangan dan tugas camat maka barulaj dapat diukur sejaumana pola pertanggungjawaban camat dalam menerbitkan SKGR.

Saat ini SKGR baru diakui kedudukannya berdasarkan PP 18 Tahun 2021 mempunyai fungsi bukti petunjuk asal-usul tanah naman tidak melihat pada aspek bagaimana camat mempertanggung jawabkan penerbitan SKGR tersebut. Bahkan seharusnya camat mendapatkan perlingungan hukum dalam penerbitan SKGR sepanjamg dapat dibuktikan itikad baiknya. Namun saat ini camat menjalani keadaan dilematis hukum. Satu sisi harus melayani administrasi pertanahan dan sisi lainnya peran camat tidak begitu tegas mendapatkan perlingungan hukum yang diatur didalam peraturan perundang-undangan.

Simpulan

Dari hasi riset diatas maka dapat diberi kesimpulan bahwa pertanggungjawaban hukum camat atas penerbitan surat keterangan ganti rugi tanah masih sangat belum jelas bahkan belum ada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur detail terkait kewenangan camat dalam menerbitkan SKGR. Konsep ideal pertanggungjawaban hukum camat atas penerbitan surat keterangan ganti kerugian sudah dipastikan belum tercermin dalam peraturan perundang-undangan.

Semestinya peran Presiden bersama Menteri yang membidangi Agraria dan Pemerintah Daerah benar-benar dapat menerbitkan produk perundang-undangan yang baru yang mengatur secara detail fungsi dan peran camat dalam menerbitkan SKGR.

Idealnya pengaturan itu diatur berdasarkan aturan setingkat Undang-Undang dan diberi pendelegasian penuh kepada Presiden untuk mengatur secara teknis peran dan fungsi camat dalam menerbitkan SKGR.

Daftar Pustaka

[1] Adrian Sutedi. 2012, Sertifikat Hak Atas Tanah, Jakarta : Sinar Grafika [2] Adrian Sutedi. 2014, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftaran Tanah,

Jakarta, Sinar Grafika

[3] Andi Muhammad Ade, Rabina Yusuf, Andi M Rusli, Analisis Peran Camat dalam Penyelenggaraan Pemerintahan di Kecamatan Palangga Kabupaten Gowa, dalam Jurnal Covernment : Ilmu Pemerintahan Fak.SosPol Unhas Makassar

[4] Aries Djaenuri, Sistem Pemerinah Daerah, Jakarta, Buku Modul UT Sistem

Pemerintah Daerah

(9)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

420

[5] Irfan Iryadi dengan judul “Kepastian Hukum Kedudukan Camat sebagai

PPAT Sementara” dalam jurnal Negara Hukum, Vol.11 No. 1 Tahun 2020, Pusat Penelitian DPR RI Jakarta

[6] Kartika Widyaningsih, “Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali Terhadap Tanah Yang Belum Bersertifikat Melalui Program Nasional Agraria (PRONA) Di Kantor Pertanahan Jakarta Barat”, dalam Jurnal Notarius Magister Kenotariatan Fak.Hukum Undip Semarang, Vol.12 No.2, 2019

[7] Ketut Oka Setiawan. 2019, Hukum Pendaftaran Tanah dan Hak Tanggungan, Jakarta, Sinar Grafika

[8] Kholida Nabila dan Novina Sri Indrirahati dengan judul “Tinjauan Yuridis Penggunaan Surat Keterangan Ganti Kerugian Tanah Dalam Jual Beli Tanah Di Pekanbaru” dalam Jurnal Reformasi Hukum Fak. Hukum Trisakti Jakarta, Vol.2 No.1 Tahun 2020

[9] Muchtar Wahid. 2008, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah, Jakarta : Republika

[10] M.Rendi Aridhayandi, Peran Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Yang Baik (Good Governance) Dibidang Pembinaan Dan Pengawasan Indikasi Geografis, dalam Jurnal Hukum dan Pembangunan FH UI Jakarta Tahun 2018

[11] Mira Novana Ardani, Tantangan Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dalam Rangka Mewujudkan Pemberian Kepastian Hukum, dalam jurnal Gema Keadilan, Vol.6 Edisi 3 November 2019

[12] Nadila Sandy Dethia, Surat Keterangan Ganti Rugi Sebagai Jaminan Dalam Perjanjian Utang Piutang, dalam Jurnal Notary Indonesian Fak.Hukum UI Jakarta, Vol.2, No.3, 2020

[13] Napolen Tampubolon, Tanggung Jawab Camat Sebagai PPAT Sementara Dalam Hal Menandatangani Akta Jual Beli (Contoh Kasus Nomor Putusan 44/PDT.G/2014/PN.KWG), dalam jurnal Hukum Adigama

[14] Nur Azizah, Peranan Camat Dalam Memberikan Pelayanan Administrasi Pertanahan Di Kecamatan Suradadi Kabupaten Tegal Provinsi Jawa Tengah, dalam Jurnal MSDM e-Jurnal IPDN, 2018

[15] Peter Mahmud Marzuki. 2010, Penelitian Hukum, Jakarta,:Kencana Prenada [16] Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah [17] Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah

[18] Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah

[19] Peraturan Walikota Pekanbaru Nomor 120 Tahun 2016 tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Serta Tata Kerja Kecamatan Tipe A di Lingkungan Pemerintah Kota Pekanbaru

[20] Ridwan, Pertanggungjawaban Publik Pemerintah Dalam Prespektif Hukum Administrasi Negara, dalam Jurnal Jurnal HUKUM No.22 Vol. 10. Januari.

2003.

(10)

National Conference on Social Science and Religion (NCSSR 2022)

421

[21] Soerjono Soekanto. 2003, Penelitian Hukum Normatif :Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta, Raja Grafindo Persada

[22] Upik Hamidah, Peran Kecamatan Sebagai Perangkat Daerah Dalam Pelayanan Pertanahan, dalam Jurnal Fiat Justitia Fakultas Hukum Universitas Lampung, Vol.5 No.2, Mei-Agustus 2012

[23] Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia

[24] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria

[25] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah

[26] Waskito Hadi Arnomo. 2017, Pertanahan Agraria dan Tata Ruang, Jakarta :

Kencana

Referensi

Dokumen terkait

Di samping pro kontra yang timbul atas disahkannya UU Cipta Kerja, pro kontra lain juga timbul atas terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah

Pasal 5 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016 tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan beserta