PERTEMUAN 27
PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN MENGENAI KAEDAH HUKUM
A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan pertemuan ke-27 Mahasiswa mampu memberikan pengertian dan pemahaman mengenai kaidah hukum.
B. URAIAN MATERI
1. Proses/lahirnya kaidah hukum
Terbentuknya hukum itu dimulai dari kebiasaan yang mudah dirasakan sebagai kewajiban untuk bersikap tindak yang demikian itu, dan kemudian mendapat sanksi apabila tidak melaksanakan apa yang telah ditentuan oleh kebiasaan tersebut, dalam kaidah hukum ini dinamakan hukum kebiasaan, yang akhirnya merupakan hukum bagi masyarakat. Bila kebiasaan tersebut menjadi tradisi yang turun menurun dan akhirnya menjadi adat. Bila dalam adat ini dijatuhkan sanksi apabila dilanggar, maka lahirlah hukum adat.
Manusia adalah makhluk sosial atau zoon Politicon „kata Aristoteles. Sebagai makhluk sosial selalu ingin hidup berkemlompok, hidup bermasyarakat. Keinginan itu di dorong oleh kebutuhan biologis :
a. Hasrat untuk memenuhi makan dan minum atau untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
b. Hasrat untuk memberla diri.
c. Hasrat untuk mengadakan keturunan.
Dalam kehidupan bermasyarakat tersebut manusia mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan. Untuk itu diperlukan hubungan atau kontak antara anggota masyarakat dalam rangka mencapai tujuannya dan melindungi kepentingannya.
Sebagai pribadi manusia yang pada dasarnya dapat berbuat menurut kehendaknya secara bebas. Akan tetapi dalam kehidupan bermasyarakat,
kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang mengatur tingkah laku dan sikap tindak mereka. Apabila tidak ada ketentuan-ketentuan tersebut akan terjadi ketidakadanya keseimbangan dalam masyarakat dan pertentangan- pertentangan satu sama lain. Dengan pembawaan sikap pribadinya, manusia bisanya ingin agar kepentingannya dipenuhi terlebih dahulu. Tanpa mengingat kepentingan orang lain, kepentingan itu kadang—kadang sama tetapi juga tidak jarang terjadinya kepentingan yang saling bertentangan. Apabila keadaan yang demikian itu tidak diatur atau tidak dibatasi, maka yang lemah akan tertindas atau setidak-tidaknya timbul pertentangan-pertentangan, aturan yang dimaksud disebut kaidah sosial. Dengan demikian kaidah atas norma adalah ketentuan tata tertib yang berlaku dalam masyarakat. Kata kaidah itu sendiri berasal dari bahasa arab dan norma berasal dari bahasa latin yang berarti ukuran.
Ketiga kaidah sosial, kesopanan, kesusilaan, dan agama belum cukup menjamin tata tertib di dalam masyarakat, pergaulan hidup bermasyarakat karena tidak adanya ancaman yang cukup dirasakan sebagai paksaan dari luar. Oleh karenanya diperlukan norma hukum yang mempunyai sifat memaksa untuk melindungi kepentingan manusia dalam pergaulan hidupnya di masyarakat. Sifat yang nampak pada norma hukum adalah :
- Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat degan perantaraan alat-alatnya.
- Sifat undang-undang yang berlaku bagi siapa saja.
norma hukum ditujukan kepada sikap lahir manusia, ia tidak mempersoalkan apakah sikap batin seseorang itu baik atau buruk yang diperhatikan adalah bagaimana perbuatan lahiriahnya.
Norma hukum tidak memberi sanksi kepada seseorang yang mempunyai sikap batin yang buruk, tetapi yang diberi sanksi adalah perwujudan sikap batin yang buruk atau menjadikan perbuatan nyata atau perbuatan konkret.
Selanjutnya berbeda dengan ketiga norma-norma pertama, maka pelanggaran terhadap norma hukum diberi hukuman badan yang dapat dipaksakan oleh penguasa.
Contoh-contoh norma hukum :
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan secara hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (pasal 2 ayat 1 UU No.1/1974).
2. Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu (pasal 1234 BW).
3. Apabila sesuatu persetujuan perburuhan dibuat tertulis maka biaya akta beserta lain-lain biaya tambahan harus dipikul oleh majikan (pasal 1601 di BW).
4. Barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain tanpa hak, diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun (pasal 338 KUHP).
5. Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak enam puluh ribu rupiah (pasal 362 KUHP).1
Dikatakan kaidah mempunyai fungsi sebagai petunjuk kepada manusia bagaimana bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Sesungguhnya kaidah memiliki 2 (dua) macam isi yakni sebagai berikut :
a) Kaidah berisi tentang perintah yakni keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu oleh karena akibat-akibatnya dipandang baik.
b) Kaidah berisi larangan yakni keharusan bagi seseorang untuk tidak berbuat karena perbuatan tersebut dilarang atau tidak diperkenankan.
Dalam pergaulan hidup dikenal 4 (empat) macam jenis kaidah yakni sebagai berikut :
1) Kaidah agama
Kaidah agama adalah aturan tingkah laku yang berasal dari Tuhan dan diyakini oleh penganutnya. Penganut meyakini dan mengakui bahwa peraturan- peraturan hidup itu berasal dari Tuhan dan merupakan tuntunan hidup.
1 R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996. hlm. 218-219.
2) Kaidah kesusilaan
Kaidah kesusilaan berhubungan dengan manusia sebagai individu karena menyangkut kehidupan pribadi manusia. Kaidah ini dianggap sebagai peraturan hidup sebagai suara hati.
3) Kaidah kesopanan
Kaidah kesopanan adalah kaidah yang didasarkan atas kebiasaan, kepatutan, atau kepantasan yang berulang-ulang dan berlaku di tengah-tengah masyarakat. Kaidah ini sering disebut juga dengan peraturan hidup yang timbul dari pergumulan manusia itu sendiri.
4) Kaidah hukum
Kaidah hukum adalah peraturan-peraturan yang timbul dari kaidah hukum itu sendiri, dibuat dalam bentuk tertulis ataupun tidak tertulis oleh penguasa, dan pelaksanaannya dipaksakan. Karenanya apabila tidak dilaksanakan mendapat sanksi.
Menurut Achmad Ali (1996:57), asal-usul kaidah hukum dapat dibedakan atas 2 (dua) macam yakni sebagai berikut :
a) Kaidah hukum yang berasal dari kaidah-kaidah sosial lainnya di dalam masyarakat yang berasal dari proses pemberian ulang, legitimasi, dari suatu kaidah sosial non hukum (moral, agama, kesopanan) menjadi suatu kaidah hukum.
b) Kaidah hukum yang diturunkan oleh otoritas tertinggi sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu dan langsung terwujud dalam bentuk kaidah hukum, serta sama sekali tidak berasal dari kaidah sosial ini sebelumnya. 2
Kaidah hukum sebagai salah satu kaidah sosial mempunyai 2 sifat alternatif, yaitu :
a) Ada kemungkinan bersifat imperatif, yaitu secara a priori wajib ditaati.
Kaidah ini tidak daat dikesampingkan dalam suatu keadaan konkrit, hanya karena para pihak membuat perjanjian.
2 Frence M.Wantu, Pengantar Ilmu Hukum, Reviva cendekia, Gorontalo, 205. hlm. 12.
b) Ada kemungkinan bersifat fakultatif, yaitu tidaklah secara priori mengikat atau wajib ditaati, jadi kaidah yang bersifat fakultatif ini merupakan kaidah hukum yang di dalam keadaan konkrit dapat dikesampingkan oleh perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Roscoe Pound dalam Achmad Ali menganggap bagaimanapun kaidah hukum merupakan suatu kekangan terhadap kebebasan manusian dan kekangan itu walaupun sedikit, berdasarkan pada pembenaran yang kuat. Roscoe Pound juga mengemukakan 12 sifat kaidah hukum yang lazim dianut orang, dikemukakan sebagai berikut:
1. kaidah hukum sebagai suatu kaidah atau perangkat kaidah yang diiturunkan Tuhan untuk mengatur tindkaan manusia.
2. Kaidah hukum merupakan suatu tradisi dari kebiasaan lama yang ternyata dapat diterima oleh dewa-dewa dan karena itu menunjukan jalan yang boleh ditempuh manusia dengan aman.
3. Kaidah hukum sebagai kebijaksanaan yang dicatat dari para budiman di masa yang lampau yang telah mempelajari jalan yang selamat, atau jalan kelakuan manusia yang disetujui oleh Tuhan.
4. Kaidah hukum merupakan satu sistem asas-asas yang ditemukan secara filsafat, yang menyatakan sifat benda-benda, dan karena itu manusia harus menyesuaikan kelakuannya dengan sifat benda-benda itu.
5. Kaidah hukum sebagai satu himpunan penegasan dan pernyataan dari satu undang-undang kesusilaan yang abadi dan tidak berubah-ubah.
6. Kaidah hukum sbeagai satu pencerminan dari bagian dari akal ilahi yang menguasai alam semesta ini, satu pencerminan dari bagian yang menentukan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai satuan yang berkesusilaan, yang berbeda dengan yang mesti dilakukan, yang ditujukan kepada makhluk selain, manusia.
7. Kaidah hukum sebagai suatu himpunan persetujuan yang dibuat manusia di dalam masyarakat yang diatur secara politik, persetujuan yang mengatur hubungan antara seseorang dengan pihak lain.
8. Kaidah hukum sebagai satu himpuanan perintah dari penguasa yang berdaulat di dalam satu masyarakat yang disusun menurut satu sistem
kenegaraan, tentang bagaimana orang harus bertindak di dalam masyarakat itu, dan perintah itu pada tingkat terakhir berdasarkan apa saja yang dianggap terhadap di belakang wewenang yang berdaulat itu.
9. Kaidah hukum sebagai satu sistem perintah yang ditemukan oleh pengalaman manusia yang menunjukan bahwa kemauan tiap manusia perseorang akan mencapai kebebasan sesempurna mugkin yang sejalan dengan kebebasan serupa itu pula yang diberikan kepada kemauan orang-orang lain.
10. Kaidah hukum sebagai satu sistem asas-asas, yang ditemukan secara filsafat dan dikembangkan sampai kepada perinciannya oleh tulisan- tulisan sarjana hukum dan putusan pengadilan, yang dengan perantaraan tulisan dan putusan itu kemauan orang yang bertindak diselaraskan dengan kehendak orang lain.
11. Kaidah hukum sebagai seperangkat sistem kaidah yang dibebankan atas manusia di dalam masyarakat oleh satu kelas yang berkuasa untuk sementara buat memajukan kepentingan kelas itu sendiri, baik dilakukukan dengan sadar maupun tidak sadar.
12. Kaidah hukum sebagai perintah dari aturan-aturan ekonomi dan sosial yang berhubungan dengan tindak tanduk manusia di dalam masyarakat yang ditemukan oleh pengamatan, dinyatakan dalam perintah yang disempurnakan oleh pengalaman manusia mengenai apa yang akan terpakai dan apa yang tidak terpakai di dalam penyelenggara peradilan.
Dalam ilmu hukum ada istilah das sollen dan das sein. Das sollen disebut kaidah hukum yang menerangkan kondisi yang diharapkan. Sedangkan das sein dianggap sebagai keadaan yang nyata. Das sein tidak selalu sejalan dengan das sollen. Salah satunya karena penafsiran yang berbeda terhadap kaidah hukum tersebut. Contohnya, fenomena yang terjadi di jalanan kota-kota lain.
Lampu kuning pada lampu lalu lintas dapat ditafsirkan dua hal. Pertama, sudah tidak hijau. Kedua, masih belum merah. Penafsiran keduanya menimbulkan tindakan yang berbeda. Orang yang menafsirkan lampu kuning sebagai sudah tidak hijau, otomatis akan mengurangi kecepatan. Sedangkan orang yang menafsirkan belum merah, akan menambah kecepatan kendaraannya. Potensi akibat yang
muncul dari dua penafsiran itu jelas berbeda, pilihan menambah kecepatan dapat menyebabkan kecelakaan.
Sebagai pilihan kedua dapat terhindar dari kecelakaan. Makna pokok lampu kuning adalah hati-hati dengan mengurangi kecepatan. Ini yang menjadi tujuan hukum yang disimbolkan dengan lampu kuning itu. Tetapi, yang terjadi dijalanan, simbol hukum itu diabaikan. Sebagian besar menafsirakan tidak sesuai dengan tujuan hukum itu. Namun, penafsirannya akan menjadi sama yaitu lampu kuning sebagai sudah tidak hijau ketika ada polisi disekitar lampu lalu lintas itu. Sehingga hukum tidak bisa bekerja sendiri dan mensyaratkan adanya aktor penegak hukum.
Kenapa hal ini bisa terjadi ? tentu karena beberapa faktor.
Dalam berinteraksi, manusia dikendalikan oleh nilai pribadinya, ajaran agama, dan nilai komunitas. Adanya hukum bersifat menyempurnakan tiga aturan itu bagi manusai untuk berinteraksi di masyarakat. Keempat disebut sebagai kaidah sosial. Masing-masing kaidah mempunyai sasaran dan ruang lingkup yang berbeda.
Nilai pribadi yang disebut sebagai kaidah susila dan nilai agama merupakan kaidah yang bersifat subjektif. Sumber ketaatannya bergantung pada diri sendiri.
Manusia bisa mengelak atau membantah untuk tunduk pada kaidah tersebut berdasarkan pertimbangan pribadi. Sasarannya adalah nilai batin manusia.
Sednagkan, nilai komunitas yang disebut juga kaidah kesopanan dan kaidah hukum bersifat objektif. Ketaatannya dipengaruhi oleh faktor dari luar diri, misal adanya ancaman sanksi dan aparat penegak hukum yang mengawasi. Disini manusia tidak bisa lagi mengelak untuk tunduk pada kaidah itu karena adanya sanksi yang langsung. Dua kaidah terakhir ini mempunyai sasaran pada sikap lahir manusia.
Selama ini pemahaman kaidah hukum dipisahkan dari kaidah lain. Mentaati lampu lalu lintas sebatas karena adanya peraturan dan pengawas. Tetapi, akan berbeda apabila ketaatan ini juga dimotivasi karena ingin berbuat baik,memperoleh nilai positif dari sisi keyakinanannya dan penghormatan terhadap hak-hak orang lain.
Tidak mau korupsi bukan semata agar tidak ditangkap KPK, tetapi karena ingin menghindari rasa menyesal, berdosa dan menghargai hak rakyat.
Pemimpin Indonesia yang memimpin sebuah negara hukum ini perlu memahami bahwa membangun kesadaran hukum harus diimbangi dengan membangun kesadaran terhadap kaidah lainnya terutama dalam hubungannya antar manusia. Sehingga ketika hukum dan penegaknya bermasalah dan kepercayaan masyarakat terhadap hukum melemah, masih ada kaidah lain yang mengendalikan perilaku manusia untuk membangun bangsa dan memperbaiki hukum itu sendiri. Smeisal dengan kaidah kesopanan, kebiasaan, kesusilaan, dan keagamaan yang baik.
2. Sanksi dalam kaidah hukum
Hukum memiliki karakter mengatur kepentingan yang bersifat relasional antar manusia. Tujuannya untuk mencapai dan melindungi kepentingan bersama.
Kepentingan yang sifatnya relasional antara manusia ini akan menimbulkan permaslahan dan konflik apabila diserahkan kepada kaidah yang sifatnya subyektif.
Keinginan individu dan kelompok yang akan menonjol. Mengabaikan kepentingan dan tujuan bersama. Oleh karena itu, kaidah hukum harus dijaga agar mendapatkan kepercayaan sebagai pengatur kepentingan bersama.
Permasalahannya di Indonesia anatara hukum dan penegaknya saat ini mengalami krisis, bangkrut, dan degredasi. Penguasa negara memiliki otoritas membentuk hukum juga tidak menunukan perilaku baik di depan hukum. Sebaliknya, banyak kejadian yang menggambarkan pembentuk hukum sedang bermasalah di hadapan hukum. Kondisi kebangkrutan hukum ini harus menjadi tanggungjawab penguasa sebagai pembentuk dan penegak hukum. Tugas penguasa adalah memperbaiki hukum, penegakan hukum dan menjaga kaidah hukum di masyarakat.
Penerapan kaidah yang bersifat subjektif dalam diri manusia akan mempengaruhi putusan tindakan untuk tidak melakukan perbuatan jahat. Kaidah ini yang menimbulkan niat sesorang untuk berperilaku tertentu. Pelanggarannya akan menimbulkan sanksi menyesal atau merasa berdosa.
Sedangkan, nilai komunitas dan kaidah hukum yang tingkat ketaatannya tergantung pada faktor luar dapat menutup peluang atau kesempatan terjadinya tindakan kejahatan. Masalahnya ketika faktor luar itu tidak ada, peluang pelanggaran dan perilaku kejahatan terbuka. Disinilah pentingnya kaidah subjektif dan objektif
untuk menutup terjadinya kejahatan atau pelanggaran dan tidak hnaya dari niat tetapi juga ada kesempatan.
Dalam konteks ini, kaidah hukum dan sanksi hukum merupakan dua serangkai yang tidak terpisahkan. Tanpa sanksi, maka kaidah hukum akan tinggal sebagai “macan ompong” yang tidak berguna. Kaidah hukum akan kehilangan identitas yang menjadi pembedanya dengan kaidah-kaidah sosial lain di masyarakat. Sanksi merupakan atribut yang sangat penting agar kaidah hukum dapat berlaku dan ditaati, karena suatu kaidah hukum seringkali tidak dipatuhi secara sukarela oleh masyarakat.
Hukum dan sanksi dapat diibaratkan dua sisi uang yang satu saling melengkapi. Hukum tanpa sanksi snagat sulit melakukan penegakan hukum, bahkan dapat dikatakan bahwa norma sosial tanpa hukum dalam arti kaidah akan terjadi kesewenang-wenangan penguasa. Sanksi selalu terkait dnegan norma hukum atau kaidah hukum dengan norma-norman lainnya, mislanya norma kesusilaan, norma agama atau kepercayaan, norma sopan santun. Dengan sanksilah maka dapat dibedakan antara norma hukum dengan norma lainnya sebagaimana dikatakan oleh Hans Kelsen sebagai berikut, bahwa :
“Perbedaan mendasar anatar hukum dan moral adalah : hukum merupakan tatanan pemaksa, yakni sebuah ttanan norma yang berupaya mewujudkan perilaku tertentu dengan memberikan tindakan paksa yang diorganisir secara sosial kepada perilaku yang sebaliknya, sedangkan moral merupakan tatanan sosial yang tidak memiliki sanksi semacam itu. Sanksi dari tatanan moral hanyalah kesetujuan atas perilaku yang sesuai norma dan ketidaksetujuan terhadap perilaku yang bertentangan dengan norma, dan tidak ada tindakan paksa yang diterapkan sebagai sanksi..”
Selain norma hukum terdapat norma sosial yang mengatur perilaku manusia terhadap sesamana, yang biasa disebut “moral” dan disiplin ilmu yang ditujukan untuk memahami dan menjealskannya disebut “etika”. Antara keadilan dan kepastian hukum tercakup hubungan moral dnegan hukum positif. Bila keadilan merupakan dalil atau tujuan dari moral, maka kepastian hukum merupakan tujuan dari hukum positif. Di mana tidak ada kepastian hukum, disitu tidak ada keadilan.
Bila keadilan bersifat relatif, maka kepastian hukumlah yang menjadi kebenaran.
Meskipun kaidah-kaidah kepercayaan, kesusilaan, dan kesopanan juga memiliki sanksi, akan tetapi karena sifat sanksinya yang tidak tegas, sehingga ketentuan kaidah-kaidah tersebut cenderung diabaikan oleh anggota masyarakat.
Untuk itulah, kaidah hukum dengan sanksinya yang „istimewa”, dibuat untuk menutupi kelemahan tersebut.
Keistimewaan sanksi kaidah hukum, adalah sebagai berikut :
a. Sifat sanksinya yang tegas, dapat dipaksakan (melalui aparat pelaksanaan hukum) secara langsung termasuk kepada mereka yang tidak sukarela (tidak memiliki kesadaran hukum) untuk menaatinya.
Ketegasan sanksi hukum juga dapat dilihat pada penjatuhan sanksi yang dapat memaksa seseornag untuk mentaatinya, seperti : penjara, denda, dan sebagainya.
b. Sanksi kaidah hukum bersifat eksternal, ada paksaan dari luar diri manusia untuk mentaatinya. Paksaan dari luar ini, tentu saja, lebih efektif dibandingkan sanksi-sanksi yang bersifat internal (rasa menyesal, berdosa), oleh karena seseorang yang tidak mentaati kaidah hukum secara sadar, akan dipaksakan untuk itu.
c. Sanksi kaidah hukum berasal dari pemegang otoritas di masayrakat, yaitu negara, sehingga kemungkinan pemaksaan dengan menggunakan alat-alat kekuasaan negara, akan lebih menjamin terlaksananya kaidah- kidah sosial yang lain.
3
3 Lukman Snatoso AZ dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakarta, 2014. hlm. 51-67.
C. LATIHAN SOAL / TUGAS Soal :
1. Apa saja keistimewaan dari sanksi dalam penegakan hukum? jelaskan!
2. Apa perbedaan mendasar antara hukum dan moral? Jelaskan!
3. Apa makna dari kaidah hukum? Jelaskan!
4. Sebutkan dan jelaskan sifat-sifat dari kaidah hukum!
D. DAFTAR PUSTAKA Buku :
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 1996.
Frence M.Wantu, Pengantar Ilmu Hukum, Reviva cendekia, Gorontalo.
Lukman Snatoso AZ dan Yahyanto, Pengantar Ilmu Hukum, Yogyakarta, 2014.