Pertumbuhan dan Produksi Aksesi BC2F4 Hasil Persilangan Padi Varietas Inpago 5 di Lahan Rawa Lebak Desa Ibul Besar III, Kec. Pemulutan, Kab. Ogan Ilir,
Sumatera Selatan
Growth and Production of BC2F4 Accessions from the Inpago 5 Rice Crossbreeding Variety in Non Tidal Swamp Ibul Besar III Village, Pemulutan District, Ogan Ilir
Regency, South Sumatra
Rizky Budiyani Fadil MN1, Rujito Agus Suwignyo2, Irmawati2
1Mahasiswa Program Studi Agronomi Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya
2Dosen Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Jl.
Raya Palembang-Prabumulih KM 32 Indralaya Ogan Ilir 3066 Sumatera Selatan
ABSTRACT
Rice plants are a food crop commodity that produces rice which plays an important role in Indonesia's economic life. So that the existence of rice is the main priority of the community in meeting the need for carbohydrate intake that can be filling and is the main source of carbohydrates. Most of the swamp land is used for developing rice cultivation.
One of the problems faced by farmers to increase rice production in non tidal swamp land is the lack of resistance of rice varieties to submerged stress in the vegetative phase and drought stress in the generative phase during rice plant growth. The method used in this research was a Randomized Group Design (RAK), with each treatment consisting of 3 replicates. The treatments used in this study consisted of 7 genotypes, namely 6 BC2F4 accessions (T1, T2, T3, TR1, TR2 and TR3) and Inpago 5 variety. The results of this study indicate that the production of some BC2F4 accessions is not optimal, with lower yields compared to the original variety, namely Inpago 5. This is due to the drought that hit, especially due to low rainfall and the absence of a qualified irrigation management system, which has a significant impact on the decline in rice production. Based on the results of the study, it can be concluded that several BC2F4 accessions, namely T1, T3 and TR 1, have higher production yields compared to Inpago 5. However, several of these accessions show advantages in terms of better survival in shiny swampy land when hit by drought stress. This indicates that several accessions from BC2F4 are more adaptive to high environmental stress conditions, although their production results have not reached their maximum potential due to drought conditions.
Keywords: BC2F4, T1, T2, T3, TR1, TR2, TR3, Inpago 5, Non Tidal ABSTRAK
Tanaman Padi merupakan komoditas tanaman pangan penghasil beras yang memegang
sebagian besar dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya padi. Salah satu masalah yang di hadapi para petani untuk meningkatkan hasil produksi padi pada lahan rawa lebak yaitu kurangnya ketahanan varietas padi terhadap cekaman terendam pada fase vegetatif dan cekaman kekeringan pada fase generatif saat pertumbuhan tanaman padi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Adapun perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 7 genotipe yaitu 6 aksesi BC2F4 (T1, T2, T3, TR1, TR2 dan TR3) dan padi varietas Inpago 5. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa produksi beberapa aksesi BC2F4 yakni T1, T3 dan TR 1 belum cukup optimal, dengan hasil yang lebih rendah dibandingkan varietas asalnya, yaitu Inpago 5. Hal ini disebabkan oleh kekeringan yang melanda, terutama akibat rendahnya curah hujan serta tidak adanya sistem tata kelola irigasi yang mumpuni sehingga berdampak signifikan terhadap penurunan hasil produksi padi. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa beberapa aksesi BC2F4 yakni T1, T3 dan TR 1 memiliki hasil produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Inpago 5. Meskipun demikian, beberapa aksesi ini menunjukkan keunggulan dalam hal ketahanan hidup yang lebih baik di lahan rawa lebak dangkal ketika dilanda cekaman kekeringan. Hal ini mengindikasikan bahwa beberapa aksesi dari BC2F4 lebih adaptif terhadap kondisi stress lingkungan yang tinggi, meskipun hasil produksinya belum mencapai potensi maksimal dikarenakan kondisi kekeringan.
Kata kunci: BC2F4, T1, T2, T3, TR1, TR2, TR3, Inpago 5, Lahan Rawa Lebak Dangkal PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanaman Padi merupakan komoditas tanaman pangan penghasil beras yang memegang peranan penting dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Yaitu beras sebagai makanan pokok sangat sulit digantikan oleh bahan pokok lainnya. Diantaranya jagung, umbi-umbian, sagu dan sumber karbohidrat lainnya. Sehingga keberadaan beras menjadi prioritas utama masyarakat dalam memenuhi kebutuhan asupan karbohidrat yang dapat mengenyangkan dan merupakan sumber karbohidrat utama yang mudah diubah menjadi energi (Donggulo et al., 2017).
Pada umumnya permintaan padi terus meningkat seiring meningkatnya pertumbuhan penduduk. Perluasan lahan yang digunakan untuk pertanian tidak lagi menjadi pilihan yang lebih baik, karena lahan yang tersedia untuk ekstensifikasi pertanian sebagian besar berupa lahan sub-optimal. Peningkatan produktivitas padi juga memiliki tantangan tersendiri (Lindiana et al., 2016).
Produksi padi pada 2021 yaitu sebesar 54,42 juta ton GKG, mengalami penurunan sebanyak 233,91 ribu ton atau 0,43 persen dibandingkan produksi padi di 2020 yang sebesar 54,65 juta ton GKG. Produksi beras pada 2021 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,3 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 140,73 ribu ton atau 0,45 persen dibandingkan produksi beras di 2020 yang sebesar 31,50 juta ton (BPS, 2021).
Oleh sebab itu dengan bertambahnya penduduk maka harus diimbangi dengan peningkatan produksi padi. Penanaman padi di rawa lebak dipengaruhi oleh tinggi dan lama genangan air sehingga terdapat tiga kategori lebak yaitu lebak dangkal, lebak tengahan dan lebak dalam. Penanaman padi berdasarkan air surut yang dimulai dari lebak dangkal, selanjutnya ke lebak tengahan dan lebak dalam. Sehingga produksi padi dari ke tiga tipologi tersebut bervariasi (Suparwoto & Waluyo, 2019).
Lahan rawa lebak sebagian besar dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya padi. Lahan rawa lebak dangkal dapat ditanami dua kali setahun dengan pola tanam padi surung (umur 180 hari) tanam pertama dan padi rintak (padi unggul: berumur 110-115 hari) untuk tanam kedua (Hatta et al., 2018).
Di Indonesia luas lahan rawa mencapai 34,12 juta hektar. Namun kontribusinya dalam produksi pangsa pangan nasional masih rendah, tidak sebanding dengan luas lahan rawa lebak. Dari luasan tersebut yang berpotensi untuk pengembangan pertanian sekitar 41% dari total luas lahan rawa. Namun demikian, luas lahan rawa yang telah dikembangkan masih rendah (Sulaiman et al., 2018).
Untuk meningkatkan produktivitas lahan rawa lebak terutama pada tipologi lahan yang memungkinkan untuk ditanam padi varietas unggul, dengan meningkatkan kesuburan yang dilakukan dengan pengapuran dan pemupukan (Waluyo & Suparwoto, 2014). Varietas padi unggul yang berdaya hasil tinggi, tahan terhadap hama penyakit utama, dan adaptif pada lingkungan spesifik berperan sangat penting dalam menunjang peningkatan produksi padi. Untuk mendukung pencapaian swasembada beras, produksi padi perlu ditingkatkan di antaranya melalui pemanfaatan sumber daya genetik dalam perakitan varietas (Suhartini, 2017).
Salah satu masalah yang di hadapi para petani untuk meningkatkan hasil produksi padi pada lahan rawa lebak yaitu kurangnya ketahanan varietas padi terhadap cekaman terendam pada fase vegetatif dan cekaman kekeringan pada fase generatif saat pertumbuhan tanaman padi. Kendala utama dalam budidaya tanaman padi di lahan rawa lebak adalah tata air yang masih belum terkendali, sehingga pada musim hujan seluruh areal tergenang cukup dalam dan dalam waktu yang cukup lama. Hal ini menyebabkan petani sulit menduga masa tanam padi dan budidaya tanaman menjadi sulit dikendalikan dengan baik (Gusmiatun et al., 2015).
Kesulitan yang dihadapi petani dalam menentukan waktu tanam adalah datang dan surutnya air pada areal persawahan yang tidak menentu dan setiap tahun selalu berubah- ubah, kadang-kadang perkiraan surutnya air yang memungkinkan untuk menanam dan setelah beberapa waktu tiba-tiba datang air besar yang mengakibatkan areal pertanaman dan tanaman padinya terendam, sebaliknya sering terjadi penurunan air yang drastis (Waluyo & Suparwoto, 2014).
Pada daerah dataran rendah, tingkat ancaman banjir juga meningkat karena terjadinya kerusakan lingkungan pada wilayah tangkapan hujan yang menyebabkan debit
Kemudian (Suryana, 2016) mengatakan bahwa lahan rawa lebak mempunyai kendala di antaranya fluktuasi air yang cukup tinggi, yaitu banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau terutama pada lahan rawa lebak dangkal. Fluktuasi genangan menjadi salah satu permasalahan yang cukup menantang untuk dihadapi dalam pengelolaan lahan lebak untuk pertanian (Hatna et al., 2022).
Cekaman kekeringan menyebabkan kerusakan pada membran sel akar, sehingga penyerapan air dan unsur hara ke tanaman terganggu. Air digunakan tanaman untuk proses fotosintesisnya, apabila kekurangan air maka proses fotosintesis juga terhambat dan hasil fotosintesis tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup tanaman (Fadhilah
& dan Kristanto, 2021).
Menurut (Maisura et al., 2015) menyatakan cekaman kekeringan secara umum berdampak negatif terhadap pertumbuhan padi. Akibat dari cekaman kekeringan menyebabkan komponen pertumbuhan vegetatif seperti tinggi tanaman, luas daun dan pertumbuhan reproduktif seperti umur berbunga, jumlah anakan produktif dan bobot gabah menurun dibandingkan dengan pertumbuhan pada kondisi optimum. Cekaman kekeringan menyebabkan terjadinya perubahan terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman.
Hal ini sejalan dengan penelitian (Mawardi et al., 2016) bahwa cekaman kekeringan memberikan pengaruh daya pertumbuhan dan hasil tanaman padi, semakin tingginya tingkat kekeringan maka semakin tinggi tingkat menurunnya hasil dan daya pertumbuhan tanaman padi.
Cekaman kekeringan memengaruhi semua faktor pertumbuhan tanaman padi, mulai dari perubahan fisiologi, morfologi, pola pertumbuhan, dan akhirnya memengaruhi hasil. Respons morfologi dan fisiologi dapat digunakan sebagai salah satu indikator yang dapat digunakan dalam seleksi varietas yang toleran kekurangan air. Mekanisme ketahanan tanaman terhadap kekeringan adalah dengan cara lolos dari kekeringan dan ketahanan terhadap kekeringan dengan pengelakan dan toleran kekeringan (Sujinah &
Jamil, 2016).
Pembentukan varietas unggul padi toleran cekaman rendaman dilakukan melalui pendekatan penggabungan sifat-sifat baik yang diinginkan ke dalam suatu varietas.
Penggabungan sifat-sifat tersebut dilakukan dengan melakukan persilangan antar genotipe yang telah teridentifikasi sebagai sumber sifat yang diinginkan, kemudian menyeleksi dan memfiksasi rekombinan yang merupakan gabungan dari sifat-sifat baik yang diinginkan tersebut.
Strategi yang ditempuh dalam pembentukan varietas unggul padi toleran rendaman adalah dengan pembentukan populasi bahan pemuliaan, kemudian menyeleksi galur-galur yang memiliki sifat agronomi baik sekaligus toleran cekaman rendaman, serta mengevaluasi daya hasil galur-galur harapan di lingkungan target (Yullianida et al., 2014).
Perakitan varietas-varietas baru yang tahan terendam sangat penting dilakukan dengan memperhatikan material genetik lokal rawa lebak. Pada tingkat nasional, dalam rangka penyediaan jenis varietas yang toleran terhadap kondisi lahan rawa, telah
dikembangkan beberapa varietas yang toleran untuk lahan rawa, seperti varietas Inpara yang apabila ditanam pada kondisi lahan rawa lebak rata-rata dapat mencapai hasil 5,65- ton GKG/ha (Lakitan & Gofar, 2013).
Telah dilakukan penelitian sebelumnya menghasilkan keturunan BC2F4 dengan menyilangkan padi Inpago 5 sebagai tetuanya. Kelompok aksesi BC2F4 ini, yang terdiri dari T1, T2, T3 dan TR1, TR2, TR3 harus diuji untuk memilih varietas baru yang memiliki pertumbuhan dan hasil produksi yang baik.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aksesi T1, T2, T3 dan TR1, TR2, TR3 pada BC2F4 hasil persilangan padi varietas Inpago 5 yang memiliki pertumbuhan dan produksi yang tinggi.
Hipotesis
Diduga ada beberapa aksesi T1, T2, T3 dan TR1, TR2, TR3 pada BC2F4 yang memiliki pertumbuhan dan hasil produksi yang baik untuk digunakan sebagai calon varietas baru.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan pada lahan rawa lebak dangkal di Desa Ibul Besar III, Jalan Lingkar Selatan, Kec. Pemulutan, Kab. Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Penelitian akan berlangsung pada bulan Juli sampai dengan November 2024.
Adapun alat yang digunakan pada penelitian adalah 1) Alat tulis, 2) Baki, 3) Kain, 4) Kamera, 5) Label, 6) Meteran, 7) Neraca analitik, 8) Patok, 9) Pinset, 10) Spidol, 11) Sprayer, dan 12) Tali.
Sedangkan bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah: 1) Air, 2) Benih padi BC2F4 kelompok aksesi T1, T2, T3 dan TR1, TR2, TR3 serta tetua Inpago 5, 3) Pestisida, 4) Pupuk NPK Mutiara, dan 5) Tanah top soil.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan masing-masing perlakuan terdiri dari 3 ulangan. Adapun perlakuan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 7 genotipe, yaitu 6 aksesi BC2F4 (T1, T2, T3 dan TR1, TR2, TR3) dan padi varietas Inpago 5. Sehingga jumlah keseluruhan tanaman adalah 2.016, dengan 96 tanaman per petakan dan masing-masing petakan diambil 10 sampel tanaman.
Data yang di dapat dari hasil pengamatan di analisis menggunakan metode Analysis of variance (ANOVA). Jika F hit > F tabel pada peluang F yang lebih besar 1%
maka perbedaan pengaruhnya berbeda sangat nyata di lambangkan dengan **. Jika F hit >
F tabel pada peluang F yang lebih besar 5%, maka perbedaan pengaruhnya berbeda nyata.
Pada tabel sidik ragam dilambangkan dengan *. Jika F hit < F tabel maka tidak berbeda
Cara kerja dalam penelitian ini, langkah pertama adalah mempersiapkan lahan dan menyemai benih. Lahan dibersihkan dari sisa-sisa tanaman sebelum dilakukan pemindahan bibit. Setelah benih berumur 28 hari setelah semai (HSS), bibit dipindahkan ke lahan rawa dengan jarak tanam 25 x 25 cm pada petakan berukuran 2 x 3 meter untuk setiap ulangan. Terdapat tiga ulangan untuk setiap perlakuan, sehingga total ada 21 petakan. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyulaman, pemupukan, pengendalian gulma, serta pengendalian hama dan penyakit tanaman.
Proses panen dilakukan ketika umur tanaman padi mencapai maksimum sekitar 90-120 hari setelah tanam (HST), atau kurang lebih 30 hari setelah fase reproduksi.
Peubah yang diamati dalam penelitian ini meliputi tinggi tanaman, jumlah anakan, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah per malai, persentase gabah isi, berat gabah per rumpun, dan berat 100 butir gabah.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil
Tabel 1. Hasil analisis keragaman terhadap semua parameter yang diamati
No Parameter yang diamati F Hitung KK (%)
1. Tinggi tanaman 14 HST
28 HST 42 HST 56 HST 70 HST
3,30*
1,88tn 0,65tn 1,47tn 1,85tn
4,01 4,41 7,38 10,54
9,39 2. Jumlah anakan
14 HST 28 HST 42 HST 56 HST 70 HST
4,19*
5,68**
2,66tn 1,38tn 0,84tn
8,06 5,89 16,53 24,40 19,70 3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Jumlah Anakan Produktif Umur Berbunga
Umur Panen Panjang Malai
Jumlah Gabah Per Malai Berat Gabah Per Rumpun Persentase Gabah Isi Berat 100 Butir Gabah Hasil Produksi
0,75tn 1,19tn 2,57tn 2,22tn 7,02**
2,72tn 3,63*
5,25tn 1,48tn
18,27 5,24 5,82 4,47 14,54 26,76 2,81 3,34 71,04
F Tabel 5% 3,00
F Tabel 1% 4,82
Keterangan : * = Berbeda nyata
** = Berbeda sangat nyata tn = Tidak berbeda nyata
KK = Koefisien Keragaman
Tinggi Tanaman (cm)
Berdasarkan data yang disajikan pada (Gambar 2), pertumbuhan tinggi tanaman terus mengalami peningkatan pada setiap periode pengamatan, yaitu 14 HST, 28 HST, 42 HST, 56 HST dan 70 HST. Pada pengamatan 70 HST, aksesi T1 mencatatkan tinggi tanaman tertinggi dengan rata-rata 97,89 cm, sedangkan aksesi TR2 memiliki tinggi tanaman terendah dengan rata-rata 79,09 cm, seperti yang terlihat pada (Gambar 1).
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO 5
0 20 40 60 80 100 120
97.89 83.87 86.21 89.83 79.09 83.96 93.89
Aksesi/Varietas Tinggi Tanaman 70 HST (cm)
Gambar 1. Tinggi tanaman pada masing-masing aksesi BC2F4/varietas padi yang diamati pada 70 HST
14 28 42 56 70
0 20 40 60 80 100 120
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO 5 HST
Tinggi Tanaman (cm)
Gambar 2. Tinggi tanaman pada masing-masing aksesi BC2F4/varietas padi yang diamati pada 14 HST sampai 70 HST
Hasil uji BNT dengan taraf 5% pada tinggi tanaman saat umur tanaman 14 HST menunjukkan hasil dengan nilai BNT 0,9, aksesi T2 memiliki nilai rata-rata terendah (11,92). Aksesi T3, TR1, dan varietas INPAGO 5 berada dalam kelompok yang tidak berbeda nyata satu sama lain, tapi berbeda nyata dengan kelompok lainnya. Kelompok dengan nilai rata-rata tertinggi terdiri dari aksesi TR3, T1, dan TR2, dengan TR2 memiliki nilai tertinggi (13,58). Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan dalam hasil yang dicapai oleh perlakuan-perlakuan tersebut. Uji lanjut BNT 5% terhadap tinggi tanaman dapat dilihat pada (Tabel 2)
Tabel 2. Pertumbuhan dan produksi aksesi dan varietas pada parameter tinggi tanaman di umur 14 HST
Aksesi/Varietas Tinggi Tanaman
T1 13,01 b
T2 11,92 a
T3 12,41 ab
TR1 12,51 ab
TR2 13,58 b
TR3 12,98 b
Inpago 5 12,54 ab
BNT 5% 0,90
Keterangan: Perlakuan dengan notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata Jumlah Anakan
Berdasarkan data yang disajikan jumlah anakan pada setiap periode pengamatan dapat dilihat pada (Gambar 4) terus mengalami peningkatan pada setiap periode pengamatan, yaitu 14 HST, 28 HST, 42 HST, 56 HST dan 70 HST. Rata-rata jumlah anakan tertinggi pada umur 70 HST ditemukan pada aksesi T1 sebanyak 24,29, seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 3). Sebaliknya, aksesi TR2 memiliki rata-rata jumlah anakan terendah sebanyak 17,25 pada pengamatan tersebut.
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO
5 0
5 10 15 20 25 30
24.29
20.38 19.2 20.71 17.25 19.86 20.16
Aksesi/Varietas
Jumlah Anakan 70 HST
Gambar 3. Jumlah anakan pada masing-masing aksesi BC2F4/varietas padi yang diamati pada 70 HST
14 HST 28 HST 42 HST 56 HST 70 HST 0
5 10 15 20 25 30
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO 5
HST
Jumlah Anakan
Gambar 4. Jumlah anakan pada masing-masing aksesi BC2F4/varietas padi yang diamati pada 14 HST sampai 70 HST
Hasil uji BNT dengan taraf 5% dan dengan nilai BNT sebesar 0,33 pada jumlah anakan saat umur tanaman 14 HST menunjukkan aksesi TR1, TR3, dan T2 tidak menunjukkan perbedaan nyata dalam hasil, sedangkan aksesi TR2 dan varietas INPAGO 5 berbeda nyata dari kelompok sebelumnya tetapi tidak berbeda nyata satu sama lain.
Perlakuan T3 dan T1 memiliki hasil tertinggi dan berbeda nyata dari kelompok lainnya.
Dengan demikian, TR1 memiliki nilai rata-rata terendah (2,09) dan T1 memiliki nilai rata- rata tertinggi (2,66), menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam hasil pengukuran antar perlakuan yang diuji. Uji lanjut BNT 5% terhadap jumlah anakan di umur 14 HST dapat dilihat pada (Tabel 3)
Tabel 3. Pertumbuhan dan produksi aksesi dan varietas pada parameter jumlah anakan di umur 14 HST
Aksesi/Varietas Jumlah Anakan 14 HST
T1 2,66 c
T2 2,19 a
T3 2,60 c
TR1 2,09 a
TR2 2,33 b
TR3 2,13 a
Inpago 5 2,34 b
BNT 5% 0,33
Keterangan: Perlakuan dengan notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata Berdasarkan perhitungan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dengan taraf 5% sebesar 0,67, aksesi TR2 dengan nilai rata-rata 5,66 memiliki hasil yang paling rendah dan berbeda nyata dengan aksesi T1 yang memiliki nilai rata-rata tertinggi sebesar 7,42.
Aksesi T3, TR3, TR1, T2 dan varietas INPAGO 5 tidak menunjukkan perbedaan nyata satu sama lain, tetapi berbeda nyata dengan aksesi TR2) dan T1. Dengan demikian, aksesi TR2 menghasilkan rata-rata terendah sementara aksesi T1 menghasilkan rata-rata tertinggi, menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan dalam hasil antara perlakuan-
perlakuan tersebut. Uji lanjut BNT 5% terhadap jumlah anakan pada umur 28 HST dapat dilihat pada (Tabel 4)
Tabel 4. Pertumbuhan dan produksi aksesi dan varietas pada parameter jumlah anakan di umur 28 HST
Aksesi/Varietas Jumlah Anakan 28 HST
T1 7,42 b
T2 6,55 ab
T3 6,3 ab
TR1 6,38 ab
TR2 5,66 a
TR3 6,30 ab
Inpago 5 6,53 ab
BNT 5% 0,67
Keterangan: Perlakuan dengan notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata Jumlah Anakan Produktif
Jumlah anakan produktif diamati saat panen, dan hasil pengamatan menunjukkan bahwa aksesi T1 menghasilkan jumlah anakan produktif tertinggi sebanyak 22,14.
Sebaliknya, aksesi TR2 memiliki jumlah anakan produktif paling rendah sebanyak 17,25, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO
5 0
5 10 15 20 25
22.14 19.81 18.37 20.62
17.25 17.56 18.75
Aksesi/Varietas
Jumlah Anakan Produktif
Gambar 5. Jumlah anakan produktif pada masing-masing aksesi BC2F4/varietas padi Umur Berbunga (HST)
Umur berbunga pada setiap aksesi atau varietas menunjukkan keragaman.
Berdasarkan pengamatan yang disajikan pada Gambar 6, varietas Inpago 5 memiliki rata- rata umur berbunga tercepat, yaitu 62,02 HST. Sementara itu, aksesi TR1 memiliki rata- rata umur berbunga terlama, yaitu 67,24 HST.
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO 5 0
10 20 30 40 50 60 70 80
62.81 64.87 63.97 67.24 67.17 62.76 62.02
Aksesi/Varietas
Umur Berbunga (HST)
Gambar 6. Umur berbunga keenam aksesi BC2F4/varietas padi Umur Panen (HST)
Pada Gambar 7, terlihat bahwa aksesi TR3 memiliki rata-rata umur panen yang paling cepat, yaitu 90,6 HST, jika dibandingkan dengan beberapa aksesi dari BC2F4 dan varietas Inpago 5. Sementara itu, aksesi TR2 memiliki rata-rata umur panen paling lama di antara keseluruhan perlakuan, dengan umur panen mencapai 106,08 HST.
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO
5 0
20 40 60 80 100 120
96.86 95.14 102.27 103.19 106.08
90.6 97.77
Aksesi/Varietas
Umur Panen (HST)
Gambar 7. Umur panen pada masing-masing aksesi BC2F4/varietas padi Panjang Malai (cm)
Malai tanaman padi terpanjang terdapat pada tanaman padi aksesi TR1 dengan rata-rata panjang malainya 32,86 cm. Sementara itu aksesi T2 memiliki panjang malai terpendek, yaitu 29,67 cm. Perbandingan rata-rata panjang malai pada masing-masing aksesi atau varietas dapat dilihat Pada (Gambar 8).
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO 5 0
5 10 15 20 25 30 35
32.52 29.67 30.9 32.86 30.83 31.83 30.1
Aksesi/Varietas
Panjang Malai (cm)
Gambar 8. Panjang malai pada masing-masing aksesi/varietas padi Jumlah Gabah per Malai (butir)
Pada Gambar 9, terlihat bahwa aksesi T1 memiliki jumlah gabah per malai terbanyak, dengan rata-rata 201,76 butir. Namun, aksesi T2 memiliki jumlah gabah per malai paling sedikit, dengan rata-rata 111,9 butir.
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO 5
0 50 100 150 200 250
201.76
111.9 126.63
185.1
132.25 134.9 142.05
Aksesi/Varietas Jumlah Gabah Per Malai (butir)
Gambar 9. Jumlah gabah per malai pada masing-masing aksesi BC2F4/varietas padi Berdasarkan Hasil uji BNT dengan taraf 5% dengan nilai BNT sebesar 38,07 pada jumlah gabah per malai menunjukkan hasil yaitu aksesi T2 memiliki nilai rata-rata terendah (111,89), sedangkan aksesi T1 memiliki nilai rata-rata tertinggi (201,76). Aksesi T3, TR2, dan TR3 memiliki nilai rata-rata yang lebih tinggi dari T2, tapi masih lebih rendah dari varietas INPAGO 5 yang berada di tengah-tengah. Aksesi TR1 dan T1 memiliki hasil tertinggi. Ini menunjukkan ada perbedaan signifikan dalam hasil yang dicapai oleh perlakuan-perlakuan tersebut, di mana aksesi T2 adalah yang paling rendah, dan aksesi T1 adalah yang tertinggi. Uji lanjut BNT 5% terhadap jumlah gabah per malai dapat dilihat pada (Tabel 5)
Tabel 5. Pertumbuhan dan produksi aksesi dan varietas pada parameter jumlah
Aksesi/Varietas Jumlah Gabah Per Malai
T1 201,76 c
T2 111,89 a
T3 126,63 ab
TR1 185,09 c
TR2 132,25 b
TR3 134,90 b
Inpago 5 142,04 bc
BNT 5% 38,07
Keterangan: Perlakuan dengan notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata Persentase Gabah Isi (%)
Persentase gabah isi pada masing-masing aksesi atau varietas dapat dilihat pada Gambar 12. Aksesi TR2 memiliki rata-rata persentase gabah isi tertinggi, yaitu 86,08%, sementara aksesi T1 menunjukkan persentase terendah dengan rata-rata 79,57%.
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO
5 0
20 40 60 80 100
79.57 85.83 85.4 81.52 86.08 81.68 84.76
Aksesi/Varietas
Persentase Gabah Isi (%)
Gambar 12. Persentase gabah isi pada masing-masing aksesi BC2F4/varietas padi Dari Hasil uji BNT dengan taraf 5% dengan nilai BNT sebesar 4,15 pada persentase gabah isi menunjukkan hasil bahwa aksesi T1 memiliki nilai rata-rata terendah (79,57), sedangkan aksesi TR2 memiliki nilai rata-rata tertinggi (86,08). Aksesi TR1 dan TR3 memiliki nilai yang lebih tinggi dari T1, tetapi lebih rendah dari varietas INPAGO 5, aksesi T3, T2, dan TR2. Kelompok varietas INPAGO 5, aksesi T3, T2, dan TR2 memiliki hasil yang lebih tinggi dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata satu sama lain. Ini menunjukkan bahwa ada perbedaan signifikan dalam hasil yang dicapai oleh perlakuan- perlakuan tersebut, dengan aksesi T1 menjadi yang terendah dan aksesiTR2 menjadi yang tertinggi. Uji lanjut BNT 5% terhadap jumlah gabah per malai dapat dilihat pada (Tabel 6) Tabel 6. Pertumbuhan dan produksi aksesi dan varietas pada parameter jumlah persentase gabah isi
Aksesi/Varietas Persentase Gabah Isi
T1 79,57 a
T2 85,83 b
T3 85,4 b
TR1 81,52 ab
TR2 86,08 b
TR3 81,68 ab
Inpago 5 84,76 b
BNT 5% 4,15
Keterangan: Perlakuan dengan notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata Berat Gabah per Rumpun (gram)
Berdasarkan hasil penelitian, varietas T1 memiliki rata-rata berat gabah per rumpun tertinggi, yaitu 69,88 gram. Lalu, aksesi TR2 memiliki rata-rata berat gabah per rumpun terendah, yaitu 37,35 gram. Perbandingan rata-rata berat gabah per rumpun pada masing-masing aksesi atau varietas dapat dilihat pada Gambar 13.
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO 5
0 10 20 30 40 50 60 70 80
69.88
42.61 46.08
69.1
37.35 48.1 44.5
Aksesi/Varietas Berat Gabah Per Rumpun (gram)
Gambar 13. Berat gabah per rumpun pada masing-masing aksesi/varietas padi Berat 100 Butir Gabah
Berat 100 butir gabah pada masing-masing aksesi atau varietas dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan Gambar 14, aksesi T3 memiliki berat 100 butir gabah terbesar, dengan rata-rata 2,4 gram. Sementara itu, aksesi T2 memiliki berat 100 butir gabah terendah, yaitu 2,16 gram.
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO 5 0
0.5 1 1.5 2 2.5 3
2.22 2.16 2.4 2.18 2.25 2.39 2.34
Aksesi/Varietas Berat 100 Butir Gabah (gram)
Gambar 14. Berat 100 butir gabah pada masing-masing aksesi BC2F4/varietas padi Hasil uji BNT dengan taraf 5% dengan nilai BNT sebesar 0,13 pada berat 100 butir gabah menunjukkan hasil aksesi T2, TR1, dan T1 memiliki hasil yang hampir sama dan merupakan yang terendah. Aksesi TR2 memiliki hasil yang sedikit lebih tinggi dari kelompok sebelumnya. Varietas INPAGO 5, aksesi TR3, dan T3 memiliki hasil tertinggi dan berbeda nyata dari yang lainnya. Jadi, aksesi T2 memiliki hasil terendah, sementara aksesi T3 memiliki hasil tertinggi, menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam hasil pengukuran antar perlakuan yang diuji. Uji lanjut BNT 5% terhadap berat 100 butir gabah dapat dilihat pada (Tabel 7)
Tabel 7. Pertumbuhan dan produksi aksesi dan varietas pada parameter berat 100 butir gabah
Aksesi/Varietas Berat 100 Butir Gabah
T1 2,21 a
T2 2,15 a
T3 2,40 b
TR1 2,18 a
TR2 2,25 ab
TR3 2,39 b
Inpago 5 2,34 b
BNT 5% 0,13
Keterangan: Perlakuan dengan notasi yang sama berarti tidak berbeda nyata Hasil Produksi
Hasil produksi pada masing-masing aksesi atau varietas dapat dilihat pada Gambar 15. Berdasarkan Gambar 15, varietas TR1 memiliki hasil produksi terbanyak, dengan rata-rata 3,95 ton/ha. Sementara itu, aksesi TR2 memiliki hasil produksi terendah, yaitu 0,69 ton/ha.
T1 T2 T3 TR1 TR2 TR3 INPAGO5 0
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5
3.33
1.7
3.33 3.95
0.69
1.69 1.83
Aksesi/Varietas
Hasil Produksi (ton/ha)
Gambar 15. Hasil Produksi pada masing-masing aksesi/varietas padi Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis tinggi tanaman bahwa aksesi T1 berbeda nyata dengan varietas Inpago 5. Pada pengamatan 70 HST, aksesi T1 mencatatkan tinggi tanaman tertinggi dengan rata-rata 97,89 cm, sedangkan aksesi memiliki tinggi tanaman terendah dengan rata-rata 79,09 cm. Keberadaan unsur hara sangat diperlukan dalam jumlah cukup dan kondisi yang optimal dalam menunjang proses pertumbuhan tanaman padi khususnya pada bentuk fisik itu sendiri. Pada lahan rawa lebak keberadaan unsur hara seperti nitrogen dan fosfor sangat penting dalam pertumbuhan tanaman, karena ketersediaan hara yang cukup dapat meningkatkan aktivitas fotosintesis dan pertumbuhan secara keseluruhan. (Soemarno, 2008). Lalu tinggi tanaman dihasilkan pada populasi tanaman yang lebih banyak dalam satu hamparan. Tinggi tanaman padi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk varietas, kondisi lingkungan, dan teknik budidaya. Penelitian menunjukkan bahwa penggunaan varietas unggul dan pemupukan yang tepat dapat meningkatkan tinggi tanaman padi secara signifikan (Wulandari, 2018). Pertumbuhan tanaman yang tinggi belum tentu menjamin produktivitas tanaman juga tinggi. Kondisi lingkungan, seperti curah hujan dan suhu, juga memainkan peran penting dalam pertumbuhan tanaman padi. Tanaman padi membutuhkan curah hujan yang cukup dan suhu yang optimal untuk tumbuh dengan baik (Hasanah, 2007). Pemilihan varietas padi yang tepat dan pengelolaan air yang optimal sangat penting untuk mencapai tinggi tanaman yang diinginkan. Faktor-faktor seperti ketersediaan air dan nutrisi sangat berperan dalam menentukan tinggi tanaman padi (Prasetyo, 2020)
Berdasarkan hasil analisis jumlah anakan yang diamati rata-rata jumlah anakan tertinggi pada umur 70 HST ditemukan pada varietas T1. Jumlah anakan padi yang dihasilkan pada jarak tanam tertentu menunjukkan peningkatan yang signifikan dibandingkan dengan jarak tanam yang lebih rapat. Jumlah anakan optimal tercapai pada jarak tanam 25 x 25 cm (Jamilah, 2022). Jumlah anakan akan maksimal apabila tanaman
hingga 25% dibandingkan dengan metode konvensional (Prasetyo, 2020). Namun faktor genetik dan faktor lingkungan juga menentukan produktivitas padi tersebut.
Berdasarkan hasil analisis jumlah anakan produktif bahwa varietas T1 menghasilkan jumlah anakan produktif tertinggi sebanyak 22,14 anakan produktif.
Sebaliknya, aksesi TR2 memiliki jumlah anakan produktif paling rendah yakni 17,25 anakan produktif. Hal ini diduga karena setiap varietas mempunyai kemampuan yang berbeda. Sesuai dengan pendapat (Mahmud & Purnomo, 2014), bahwa kemampuan tanaman menghasilkan anakan dan kemampuan berbagai fungsi fisiologi tanaman. Jumlah anakan produktif per rumpun tergantung banyaknya jumlah anakan per rumpun yang muncul.
Semakin banyak jumlah anakan yang dihasilkan maka akan meningkatkan jumlah malai sehingga persentase anakan produktif juga semakin besar (Ofdiansyah et al,. 2023).
Berdasarkan hasil analisis umur berbunga menunjukkan bahwa varietas Inpago 5 memiliki rata-rata umur berbunga tercepat, yaitu 62,02 HST. Sementara itu, aksesi TR2 memiliki rata-rata umur berbunga terlama, yaitu 67,17 HST. Pertumbuhan tanaman padi yang optimal bisa ditandai dengan umur berbunga yang lebih cepat (Marlina dkk, 2017).Perbedaan umur berbunga menunjukkan respon tanaman yang berbeda terhadap kondisi lingkungan yang berbeda (Tampoma, 2017).
Berdasarkan hasil analisis umur panen bahwa aksesi TR3 memiliki rata- rata umur panen yang paling cepat, yaitu 90,6 HST, sementara itu, aksesi TR2 memiliki rata-rata umur panen paling lama, dengan umur panen mencapai 106,8 HST. (Ardiansyah et al., 2020) menyatakan tiga faktor utama yang mempengaruhi produktivitas padi, yaitu varietas, pupuk, dan ketersediaan air. Lalu faktor lain seperti cara dan lokasi penanaman berpengaruh terhadap produktivitas padi. Berdasarkan penelitian oleh (Ardiansyah et al., 2020) menyatakan umur tanaman padi tidak termasuk dalam faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas padi. Hal ini bersumber dari pengamatan di beberapa lokasi, padi dengan umur panen terlalu pendek justru memiliki produktivitas rendah. Oleh karena itu, padi berumur pendek tidak selalu menghasilkan produktivitas yang tinggi.
Berdasarkan hasil analisis malai tanaman aksesi TR1 adalah yang terpanjang dengan rata-rata panjang malainya 32,86 cm. Sementara itu aksesi T2 memiliki panjang malai terpendek, yaitu 29,67 cm. Panjang malai akan berpengaruh terhadap jumlah gabah total per malai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Haryanto dan Idwar, (2015) bahwa malai yang panjang akan meningkatkan jumlah hasil gabah. Peningkatan panjang malai akan memengaruhi banyaknya hasil karena setiap bertambahnya panjang malai maka akan tumbuh cabang-cabang tangkai gabah yang menghasilkan gabah yang lebih banyak.
Panjang malai dapat dibedakan menjadi tiga ukuran yaitu malai pendek (kurang dari 20 cm), malai sedang (antara 20-30 cm) dan malai panjang (lebih dari 30 cm). Sehingga pada penelitian ini panjang malai semua varietas termasuk ke dalam ukuran sedang.
Berdasarkan hasil analisis jumlah gabah per malai aksesi T1 adalah yang terbanyak dengan rata-rata 201,76 butir. Sedangkan, aksesi T2 memiliki jumlah gabah per malai paling sedikit, dengan rata-rata 111,9 butir. Hal ini diduga karena dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Sesuai dengan pendapat (Donggulo et al., 2017) bahwa jumlah anakan berbeda dari setiap varietas dan daya adaptasi dari varietas yang berbeda dimana
ditentukan oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan.
Berdasarkan hasil analisis persentase gabah isi memiliki rata-rata persentase gabah isi tertinggi, yaitu aksesi TR2 sebanyak 86,08%, sementara aksesi TR1 menunjukkan persentase terendah dengan rata-rata 79,57%. Hal ini diduga karena adanya pengaruh genetik, sesuai dengan pendapat Mahmud dan Purnomo (2014), perbedaan persentase gabah isi ini diduga disebabkan oleh faktor genetik dari tiap varietas tanaman padi yang digunakan. Semakin tinggi persentase gabah isi merupakan indikator produktivitas tanaman, semakin tinggi persentase gabah isi yang diperoleh suatu varietas menandakan varietas tersebut mempunyai produktivitas yang tinggi. Kondisi lingkungan tumbuh yang sesuai cenderung merangsang proses inisiasi malai menjadi sempurna, sehingga peluang terbentuknya gabah menjadi lebih banyak. Namun demikian, semakin banyak gabah yang terbentuk, meningkatkan beban tanaman untuk membentuk gabah isi.
Apabila saat proses pengisian gabah, tidak diimbangi dengan ketersediaan hara yang mencukupi akan banyak terbentuk gabah hampa. Persentase gabah isi merupakan salah satu indikator produktivitas tanaman, semakin tinggi persentase gabah isi yang diperoleh suatu varietas menandakan varietas tersebut mempunyai produktivitas yang tinggi (Mahmud dan Purnomo, 2014).
Berdasarkan hasil analisis berat gabah per rumpun memiliki rata-rata berat gabah per rumpun tertinggi, yaitu aksesi T1 sebanyak 69,88 gram. Sebaliknya, aksesi TR2 memiliki rata-rata berat gabah per rumpun terendah, yaitu 37,35 gram. Berdasarkan pernyataan (Jaenuristy et al., 2022) berat gabah berkorelasi nyata negatif antara karakter persentase gabah hampa dengan gabah isi per malai dan karakter gabah kering giling.
Korelasi tersebut mengartikan bahwa adanya peningkatan persentase gabah hampa akan menurunkan jumlah gabah isi per malai sehingga akan terjadi penurunan hasil gabah kering giling. Sejalan dengan penelitian (Suryani & Wahyono, 2017) yang menyatakan bahwa peningkatan gabah hampa terjadi jika hasil fotosintat tidak dapat tersalurkan secara optimal pada gabah sehingga jumlah gabah isi lebih sedikit yang berakibat hasil gabah kering giling menjadi rendah.
Berdasarkan hasil analisis berat 100 butir gabah memiliki berat 100 butir gabah terbesar, dengan rata-rata 2,77 gram. Sementara itu, aksesi TR1 dan varietas Inpago 5 memiliki berat 100 butir gabah terendah, yaitu 2,71 gram. Hal ini diduga karena adanya faktor genetik, sesuai pendapat Darwati dan Noeriwan (2019), bahwa faktor adaptasi, pemupukan dan pemeliharaan tanaman menjadi kunci dalam peningkatan pertumbuhan tanaman.
Berdasarkan hasil analisis terhadap parameter hasil produksi di dapat bahwa aksesi TR1 memiliki hasil produksi terbanyak, dengan rata-rata 2,38 ton/ha. Sementara itu, aksesi TR2 memiliki hasil produksi terendah, yaitu 0,42 ton/ha. Penggunaan benih unggul yang tahan terhadap hama, menghasilkan jumlah bulir yang banyak, tahan
(Balafoutis et al. 2017).
Salah satu upaya peningkatan produksi padi yang penting adalah pemberian pupuk secara efektif dan efisien. Dalam proses produksi padi, ketersediaan pupuk yang tepat menjadi faktor pendukung utama untuk pertumbuhan tanaman, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap peningkatan hasil produksi.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi aksesi BC2F4 belum optimal, dengan hasil yang lebih rendah dibandingkan varietas asalnya, yaitu Inpago 5.
Hal ini disebabkan oleh kekeringan yang melanda, terutama akibat rendahnya curah hujan serta tidak adanya sistem tata kelola irigasi yang mumpuni sehingga berdampak signifikan terhadap penurunan hasil produksi padi
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa beberapa aksesi BC2F4 yakni T1, T3 dan TR 1 memiliki hasil produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Inpago 5. Meskipun demikian, beberapa aksesi ini menunjukkan keunggulan dalam hal ketahanan hidup yang lebih baik di lahan rawa lebak dangkal ketika dilanda cekaman kekeringan. Hal ini mengindikasikan bahwa beberapa aksesi dari BC2F4 lebih adaptif terhadap kondisi stress lingkungan yang tinggi, meskipun hasil produksinya belum mencapai potensi maksimal dikarenakan kondisi kekeringan.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, menurut observasi di lapangan kurangnya infrastruktur tata kelola air seperti pengelolaan sistem irigasi akan menyebabkan sawah akan cepat mengering yang berdampak pada kondisi fisiologis tanaman terganggu dan berakibat tanaman harus menanggung stress cekaman kekeringan.
Perlunya membuat sumur/tempat air dan mesin pompa untuk meminimalisir dampak dari kekeringan yang terjadi dan dianjurkan untuk sering melakukan pengairan di setiap petak sawah pada musim kemarau.
DAFTAR PUSTAKA
Ardiansyah M, Wijayanto H, Kurnia A, Djuraidah A. 2022. Kajian Perbandingan Rata- rata Umur Panen dan Produktivitas Padi Antar-Provinsi di Indonesia. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Vol. 6 No. 1, April 2022: 35-40.
Balafoutis A, Beck B, Fountas S, Vangeyte J, van der Wal T, Soto I, Gómez-Barbero M, Barnes A, Eory V. 2017. Agriculture Technologies Precision Positively Contributing to GHG Emissions Mitigation, Farm Productivity and 9 (1339): 1-28.
BPS. (2021). Luas Panen dan Produksi Padi di Indonesia 2021. Badan Pusat Statistik.
Bima Satria, E. M. H., & Jamilah. (2022). Peningkatan Produktivitas Padi Sawah (Oryza sativa L.) Melalui Penerapan Beberapa Jarak Tanam dan Sistem Tanam. Jurnal Agroekoteknologi FP USU, 46(2), 130-137.
Darwati, E. dan Noeriwan. (2019) Keragaan Hasil Vub Padi Inpari 42, 43, 32 Dan Varietas Existing Ciherang Di Kp. Mojosari
Donggulo, C. v, Lapanjang, I. M., & Made, U. (2017). Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Pada Berbagai Pola Jajar Legowo dan Jarak Tanam. J.
Agroland, 24(1), 27–35.
Fadhilah, N., & dan Kristanto, K. B. (2021). Respons pertumbuhan dan produksi padi gogo (Oryza sativa L.) terhadap cekaman kekeringan dan pemupukan silika (Growth and production of upland rice response to drought stress and silica fertilization). J.
Agro Complex, 5(1), 1–13. https://doi.org/10.14710/joac.5.1.1-13
Gusmiatun, Suwignyo, R. A., Wijaya, A., & Hasmeda, M. (2015). Peningkatan Toleransi Rendaman Padi Lokal Rawa Lebak dengan Introgresi Gen Sub1. J. Agron Indonesia , 43(2), 99–104.
Hasanah, S. (2007). "Pengaruh Curah Hujan terhadap Pertumbuhan Tanaman Padi."
Jurnal Penelitian Pertanian, 10(2), 45-52.
Hatna, Rizki Norfajerin, M., Lindawati, & Istiqomah, N. (2022). Keragaan Tiga Varietas Padi Adaptif Lahan Rawa Lebak Yang Ditanam Pada Umur Bibit Berbeda. Ziraa’ah , 47(1), 103–113.
Hatta, M., Noor, M., & Sulakhudin. (2018). Peningkatan Produktivitas Padi Rawa Lebak di Kalimantan Barat. Jurnal Pengkajian Dan Pengembangan Teknologi Pertanian, 2 1(2), 101–112.
Jaenuristy, D. N., Azizah, E., Samaullah, MY., Harmansis, A., & Pramudyawardani, E. F.
(2022) Keragaan Agronomi Galur-galur Padi (Oryza sativa L.) dengan Potensi Hasil Tinggi di Dataran Rendah Sukamandi. Jurnal Agrikultura. 33(2):189-199
Lakitan, B., & Gofar, N. (2013). Kebijakan Inovasi Teknologi untuk Pengelolaan Lahan Sub optimal Berkelanjutan. Seminar Nasional Lahan Sub optimal, 1–11.
Lindiana, Lakitan, B., Herlinda, S., Kartika, Widuri, L. I., Siaga, E., & Meihana. (2016).
Potret Budidaya Padi Lebak oleh Petani Lokal di Kecamatan Pemulutan, Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Jurnal Lahan Sub optimal, 5(2), 153–158.
Mahmud, Y & Purnomo S. 2014. Keragaman Agronomis Beberapa Varietas Unggul Baru
tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Model Pengelolaan Tanaman Terpadu. Jurnal Ilmiah Solusi. 1 (1): 1-10.
Maisura, Ahmad Chozin, M., Lubis, I., Junaedi, A., & Ehara Hiroshi. (2015). Laju Asimilasi Bersih dan Laju Tumbuh Relatif Varietas Padi Toleran Kekeringan Pada Sistem Sawah (Rate of Assimilation Total and Relative Growth of Drought Tolerant Rice on Paddy System). Jurnal Agrium, 12(1), 10–15.
Mawardi, Ichsan, C. N., & Syamsuddin. (2016). Pertumbuhan dan Hasil Beberapa Varietas Tanaman Padi (Oryza sativa L.) pada Tingkat Kondisi Kekeringan (Growth and yield of some varieties of rice plant (Oryza sativa L.) at the level of drought conditions). Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pertanian Unsyiah, 1(1), 176–187.
www.jim.unsyiah.ac.id/JFP
Ofdiansyah, R., Sumarna, P., Tohidin, Mahmud, Y., & Dwimartina, F. (2023). Performa Agronomi Beberapa Galur Harapan Tanaman Padi pada Lahan Sawah Tadah Hujan di Desa Kendayakan Kecamatan Terisi. Jurnal Agro Wiralodra. 6 (1):40-45.
Saleh, E., Umar Harun, M., Jaya Priatna, S., & Sanjaya, R. (2019). Adaptasi Pola Genangan Air Rawa Lebak Dengan Budidaya Tanaman Padi Mengambang di Desa Pelabuhan Dalam, Kabupaten Ogan Ilir. Jurnal Pengabdian Sriwijaya, 7(1).
Setiawan, H., & Prasetyo, A. (2020). "Manajemen Air dan Nutrisi untuk Meningkatkan Pertumbuhan Padi." Jurnal Pertanian Berkelanjutan, 55(3), 210-220
Soemarno, S. (2008). "Penyakit dan Hama Tanaman Padi." Penerbit Universitas Gadjah Mada.
Suhartini, T. (2017). Spesies Padi Liar (Oryza sp.) sebagai Sumber Gen Ketahanan Cekaman Abiotik dan Biotik pada Padi Budidaya. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 35(4), 197–207.
Sujinah, & Jamil, A. (2016). Mekanisme Respons Tanaman Padi terhadap Cekaman Kekeringan dan Varietas Toleran. Iptek Tanaman Pangan, 11(1), 1–7.
Sulaiman, A. A., Subagyono, K., Alihamsyah Trip, Noor, M., Hermanto, Muharam, A., Subiksa, I. G. M., & Suwastika, I. W. (2018). Membangkitkan Lahan Rawa, Membangun Lumbung Pangan Indonesia (A. M. Fagi & Yulianto, Eds.; 1st ed.).
IAARD PRESS.
Suparwoto, & Waluyo. (2019). Aplikasi Tiga Sistem Tanam Budidaya Padi Pada Lebak Dangkal Desa Sugihwaras Kabupaten OKI Sumatera Selatan. Publikasi Penelitian Terapan Dan Kebijakan, 2(2), 126–132.
Suryana. (2016). Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Tani Terpadu Berbasis Kawasan di Lahan Rawa. Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Pertanian, 35(2), 57–68. https://doi.org/10.21082/jp3.v35n2.2016.p57-68
Suryani, IS, dan D Wahyono. 2017. Korelasi Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa l.) Dengan Teknik Penanaman dan Dosis Pupuk Organik. Agrotechbiz.
Tampoma, W.P., T. Nurmala dan M. Rachmadi. (2017). Pengaruh Dosis Silika terhadap Karakter Disiologi dan Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa L.) Kultivar Lokal Poso (Kultivar 36-Super dan Tagolu).
Waluyo, & Suparwoto. (2014). Karakteristik dan Masalah Sistem Produksi Usahatani Padi Secara Tradisional Lahan Rawa Lebak di Kabupaten Ogan Ilir Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Teknologi Pertanian, 77–86.
Yullianida, Suwarno, Ardie, S. W., & Aswidinnoor, H. (2014). Uji Cepat Toleransi Tanaman Padi terhadap Cekaman Rendaman pada Fase Vegetatif. J. Agron Indonesia, 42(2), 89–95.