Perubahan Terhadap
Kitab Undang- Undang
Hukum Pidana
Daud Silalahi & Lawencon Associate Usamah Rievzqy
KUHP Kolonial KUHP Nasional
Aturan Umum (9 Bab, 103 Pasal)
Aturan Umum (8 Bab, 187 Pasal)
Kejahatan
(31 Bab, 385 Pasal)
Tindak Pidana (37 Bab, 437 Pasal) Pelanggaran
(9 Bab, 81 Pasal)
Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional telah disahkan oleh Komisi III DPR RI dan Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan prinsip Rekodifikasi Terbuka terhadap seluruh ketentuan pidana di Indonesia.
• Dekolonialisasi
• Demokratisasi
• Konsolidasi
• Harmonisasi
• Modernisasi
Perubahan Sistem
Pidana pada UU KUHP
• Asas Legalitas
• Kejahatan dan Pelanggaran
• Locus dan Tempus Delicti
• Penafsiran Hukum Pidana
• Pertanggungjawaban Pidana
• Alasan Penghapus dan Peringan
• Alasan Gugur Penuntutan
• Delik Adat
• Korporasi sebagai Subyek Hukum
• Pidana Mati
Asas
Legalitas
"Nullum delictum nulla poena sine praevia lege"
Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana apabila tidak ditentukan terlebih
dahulu dalam
peraturan perundang- undangan.
• Tidak boleh
dihukum apabila tidak diatur
• Tidak boleh menggunakan analogi/kiasan
• Tidak boleh berlaku surut
Fungsi: • Melindungi;
• Instrumental.
Menimbulkan kepastian hukum, sehingga seseorang akan merasa aman dan tidak ragu berbuat
sesuatu.
Terhadap suatu perbuatan yang tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan tindak
pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama.
Tindakan yang memenuhi rumusan delik dilakukan sebelum
berlakunya ketentuan terkait, maka tidak dapat dituntut dan dimintai pertanggungjawaban pidana.
KUHP Kolonial
Pengertian "Hukum yang hidup dalam masyarakat"
adalah Hukum Adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana.
Dengan diberlakukannya hukum yang hidup dalam masyarakat, maka seseorang akan patut dipidana meski tidak diatur dalam peraturan perundang- undangan. Sehingga, antara Kepastian Hukum dan Keadilan Hukum tidak dapat hidup berdampingan dengan adanya ketentuan ini.
KUHP Nasional
Peraturan Daerah Kabupaten Ketapang
No. 8 Tahun 2020
Adanya "Hukum yang hidup dalam masyarakat"
tidak dapat dikatakan sebagai bentuk dari perluasan asas legalitas. Hal ini dikarenakan ketentuan tersebut bersifat kontradiktif, sedangkan asas legalitas hanya dapat dikecualikan pada Tindak Pidana terhadap Hak Asasi Manusia yang berat.
Bahkan terhadap hal tersebut saja masih diharuskan adanya ketentuan khusus yang mengatur seputar definisi hingga jenis-jenis tindak pidana apa saja yang termasuk didalamnya.
Kejahatan dan Pelanggaran
Kejahatan (misdrivjen), yaitu suatu perbuatan tingkah laku yang bertentangan dengan peraturan perundang- undangan
Pelanggaran,
(overtredingen), yaitu perbuatan tingkah laku yang selain merugikan si penderita, juga sangat merugikan masyarakat yaitu berupa hilangnya keseimbangan,
ketentraman, dan ketertiban.
• Kuantitatif
Kejahatan dikatakan sebagai "rechtsedelicten", yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, namun telah dirasakan sebagai
"onrecht", yaitu perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum. Sedangkan Pelanggaran dikatakan sebagai "wetdelicten", yang mana perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada "wet" yang menentukan demikian.
Kejahatan dan Pelanggaran hanya dilihat perbadaannya mengenai persoalan berat atau ringannya suatu ancaman pidana yang diajukan.
• Kualitatif
Kejahatan Pelanggaran
Perbuatan yang dipandang masyarakat pantas dihukum meski tidak tercantum dalam undang- undang
Perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru diketahui dan dapat dihukum setelah dilarang dan diatur oleh undang-undang.
Sanksi berupa ancaman pidana penjara Tidak mengenal sanksi ancaman penjara
Dapat mengakibatkan kerugian terhadap orang lain
Kerugian lebih ditekankan pada si pelanggar sendiri
Percobaan terhadap kejahatan dapat dipidana Percobaan terhadap pelanggaran tidak dapat dipidana
Perlu adanya pembuktian Tidak perlu pembuktian
KUHP Nasional
Buku I : Ketentuan Umum Buku II : Tindak Pidana
Buku II : Tindak Pidana
Klasifikasi tindak pidana didasari oleh bobot tindak pidana yaitu; Sangat Ringan, Berat, dan Sangat Berat/Sangat Serius
"Perbedaan mengenai Kejahatan dan Pelanggaran dalam penegakan hukum tidak dianggap terlalu mendesak."
- Prof. Marcus Priyo Gunarto
"Konsep Kejahatan sebagai rechtsdelict dan Pelanggaran sebagai wetdelict tidak diterapkan secara konsisten. Ada perbuatan yang sama diatur dalam kedua pembagian tersebut sehingga berakibat pada penggabungan dalam Bab pada KUHP Lama."
- Tim Ahli Pembahasan UU KUHP
Sulitnya membedakan antara Kejahatan dengan Pelanggaran sehingga pada KUHP Baru hanya ada Tindak Pidana. Pelanggaran-pelanggaran hanya dibedeakan berdasarkan bobot ancaman pidananya.
Pembagian Sanksi Pidana
Pidana Pokok Pidana
Khusus
• Pidana Penjara
Pidana Penjara merupakan suatu pidana yang berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang terpidana, yang dilakukan dengan mengurung orang tersebut di dalam lembaga pemasyarakatan yang terdiri dari penjara seumur hidup dan penjara waktu tertentu.
• Pidana Tutupan
Sanksi pidana terhadap orang yang melakukan kejahatan dengan alasan terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
• Pidana Pengawasan
Sanksi pidana dengan cara melakukan pembinaan di luar lembaga atau di luar penjara yang sifatnya alternatif yang sepenuhnya terletak pada pertimbangan hakim.
• Pidana Denda
Pada KUHP Nasional, pidana denda dirumuskan dengan menggunakan sistem pengkategorian yang dimaksud agar dalam penulisannya tidak perlu disebutkan suatu jumlah tertentu melainkan hanya cukup dengan menunjuk kategori denda yang sudah ditentukan.
• Pidana Kerja Sosial
Merupakan sanksi alternatif yang diterapkan pada pidana penjara jangka pendek dan denda yang ringan. Pelaksanaannya dapat dilakukan di rumah sakit, panti asuhan, panti lansia, sekolah, atau lembaga-lembaga sosial lainnya.
Pidana Tambahan
Pembagian Sanksi Pidana
Pidana Pokok Pidana
Khusus Pidana
Tambahan
• Pencabutan Hak Tertentu
Pencabutan terhadap hak si terpidana melalui putusan Hakim yang ditentukan secara limitatif, dan pencabutan hak tidak boleh sampai mengakibatkan kematian perdata bagi si terpidana.
• Perampasan Barang Tertentu
Pidana tambahan yang diberikan dengan melakukan perampasan terhadap barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana.
• Pengumuman Putusan Hakim
Dimaksudkan agar masyarakat mengetahui perbuatan apa dan pidana yang bagaimana yang dijatuhkan pada si terpidana.
• Pembayaran Ganti Rugi
Penggantian yang harus dibayarkan kepada Korban atau Ahli Waris Korban oleh si terpidana.
• Pencabutan Izin Tertentu
Diberlakukan kepada pelaku dan pembantu tindak pidana yang melakukan tindak pidana yang berkaitan dengan izin yang dimiliki.
• Pemenuhan Kewajiban Adat Setempat
Pidana ini dapat dijatuhkan meski tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana, namun teteap memperhatikan ketentuan Hukum yang hidup dalam masyarakat.
Pembagian Sanksi Pidana
Pidana Pokok Pidana
Khusus Pidana
Tambahan Terhadap Pidana Khusus diterapkan sanksi berupa Pidana Mati sebagai pidana alternatif dengan jenis pidana lainnya yakni Penjara Seumur Hidup atau Penjara Maksimal 20 (dua puluh) tahun. Pidana Khusus hanya diancamkan terhadap tindak pidana yang Sangat Berat/Sangat Serius seperti yakni:
• Tindak Pidana Terhadap HAM (Ps. 598- 599)
• Tindak Pidana Terorisme (Ps. 600-602)
• Tindak Pidana Korupsi (Ps. 603-606)
• Tindak Pidana Pencucian Uang (Ps. 607- 608)
• Tindak Pidana Narkotika (Ps. 609-611) - UU No. 26/2000 ttg Pengadilan HAM
- UU No. 5/2018 ttg Tindak Pidana Terorisme
- UU No. 20/2001 ttg Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- UU No. 8/2010 ttg Tindak Pidana Pencucian Uang - UU No. 35/2009 ttg Narkotika
Locus Delicti dan Tempus Delicti
Penentuan Tindak Pidana dilakukan untuk menentukan dan melacak kapan dan dimana terjadinya suatu tindak pidana. Hal ini dikenal dengan "Tempus Delicti" dan "Locus Delicti", penting sebagai dasar untuk memeriksa dan memutuskan suatu tindak pidana.
Sebelum diberlakukannya KUHP Nasional, Doktrin Hakim diperlukan untuk menentukan kapan dan dimana terjadinya suatu tindak pidana. Tempus Delicti diperlukan untuk menentukan apakah suatu Hukum Pidana di Indonesia dapat diberlakukan, terhadap kewenangan Kejaksaan atau Pengadilan mana, dan syarat mutlak sahnya suatu dakwaan.
Sedangkan untuk Locus Delicti terdapat beberapa teori, adapun teori-teori yang digunakan, yaitu:
• Teori Perbuatan Fisik
Teori ini menjelaskan dimana suatu delik dilakukan oleh tersangka, didasari kepada perbuatan yang dilakukan secara fisik. Oleh karena itu teori ini menitikberatkan pada tempat dimana perbuatan tersebut dilakukan.
• Teori Bekerjanya Alat
Teori ini menjelaskan dimana alat yang digunakan untuk melakukan suatu tindak pidana bekerja, menitikberatkan kepada tempat alat tersebut mengakibatkan kematian, penderitaan, kerugian, dan akibat-akibat lainnya.
• Teori Akibat
Teori ini menjelaskan kepada dampak dari suatu tindak pidana, yakni menitikberatkan kepada dimana akibat tersebut timbul.
Penentuan Tindak Pidana berdasarkan Waktu - Pasal 10 KUHP Nasional
"Waktu Tindak Pidana merupakan saat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana."
Penentuan Tindak Pidana berdasarkan Tempat - Pasal 11 KUHP Nasional
"Tempat Tindak Pidana merupakan tempat dilakukannya perbuatan yang dapat dipidana."
Oleh karena itu, KUHP Nasional mengakomodir mengenai cara penentuan waktu dan tempat suatu tindak pidana dilakukan dalam bentuk Pasal beserta penjelasannya.
KUHP Kolonial tidak mengatur secara jelas penentuan Locus dan Tempus Delicti, secara materiil hanya disebutkan pada Pasal 143 ayat 2 KUHAP yaitu: