• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN VITAL SIGN TERHADAP TINGKAT NYERI PASIEN DALAM TEKNIK PEMASANGAN KATETER DENGAN JELI DIMASUKKAN URETRA DAN JELI DIOLESKAN DI KATETER DI RUANG IGD RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA - repository perpustakaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PERUBAHAN VITAL SIGN TERHADAP TINGKAT NYERI PASIEN DALAM TEKNIK PEMASANGAN KATETER DENGAN JELI DIMASUKKAN URETRA DAN JELI DIOLESKAN DI KATETER DI RUANG IGD RSUD DR. R. GOETENG TAROENADIBRATA - repository perpustakaan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Kateterisasi Urin

Kateter urin adalah alat berbentuk tabung yang dimasukkan ke dalam kandung kemih dengan maksud untuk mengeluarkan air kemih melalui uretra. Tindakan pemasangan kateter urin dilakukan dengan memasukkan selang plastik atau karet melalui uretra ke dalam kandung kemih. Kateter memungkinkan mengalirnya urin yang berkelanjutan pada pasien yang tidak mampu mengontrol perkemihan atau pasien yang mengalami obstruksi. Kateter dapat menjadi alat untuk mengkaji saluran urin perjam pada pasien yang status hemodinamiknya tidak stabil (Potter

& Perry, 2013).

Kateterisasi urin merupakan suatu tindakan dengan memasukkan selang ke dalam kandung kemih yang bertujuan untuk membantu mengeluarkan urin. Kateter urin merupakan tindakan keperawatan dengan cara memasukkan kateter ke dalam kandung kemih melalui uretra yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan eliminasi dan sebagai pengambilan bahan pemeriksaan (Hidayat, 2010).

Kateter urin membantu pasien dalam proses eliminasinya.

Pemasangan kateter menggantikan kebiasaan normal dari pasien untuk berkemih. Pengunaan kateter intermiten dalam waktu yang lama dapat

(2)

menyebabkan pasien mengalami ketergantungan dalam berkemih (Ulfa &

Rosa E M, 2017).

B. Tipe Kateterisasi

Menurut Hidayat, pemasangan kateter dapat bersifat sementara ataupun menetap. Pemasangan kateter sementara atau intermitten catheter dilakukan jika pengosongan kandung kemih dilakukan secra rutin sesuai dengan jadwal, sedangkan pemasangan kateter menetap atau idwelling catheter dilakukan apabila pengosongan kateter dilakukan secara terus menerus (Hidayat, 2011).

1. Kateter Sementara (Stright Kateter)

Pemasangan kateter dilakukan dengan cara kateter lurus yang sekali pakai dimasukkan sampai mencapai kandung kemih yang bertujuan untuk mengeluarkan urin. Tindakan ini dapat dilakukan selama 5-10 menit. Pada saat kandung kemih kosong maka kateter kemudian ditarik keluar, pemasangan kateter intermiten dapat dilakukan berulang jika tindakan ini diperlukan tetapi penggunaan yang berulang meningkatkan resiko infeksi. Pemasangan kateter sementara dilakukan jika tindakan untuk mengeluarkan urin dari kandung kemih pasien dibutuhkan. Efek samping dari penggunaan kateter ini berupa pembengkakan pada uretra, yang terjadi saat memasukkan kateter dapat menimbulkan infeksi (Potter & Perry, 2013).

(3)

Beberapa keuntungan penggunaan kateterisasi sementara yang dikemukakan oleh (Rizki, 2009 dalam Purnomo Bayu, 2017) antara lain:

a. Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi atau over distensi yang mengakibatkan darah naik ke mukosa kandung kemih dipertahankan seoptimal mungkin.

b. Kandung kemih dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan berfungsi normal.

c. Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis tetap terpelihara.

d. Teknik yang mudah pada pasien tidak terganggu kegiatan sehari- harinya, kerugian kateterisasi sementara ini adalah adanya distensi lkandung kemih, resiko utama uretra akibat kateter yang keluar masuk secara berulang, resiko infeksi akibat masuknya kuman- kuman dari luar atau dari ujug distal (flora normal).

2. Kateter Menetap (Foley Kateter)

Kateter menetap digunakan untuk periode waktu yang lama.

Kateter menetap ditempatkan dalam kandung kemih untuk beberapa minggu pemakaian sebelum dilakukan penggantian kateter.

Pemasangan kateter ini dilakukan sampai pasien mampu melakukan berkemih dengan tuntas atau selama pengukuran urin akurat dibutuhkan (Potter & Perry, 2013).

(4)

Pemasangan kateter menetap dilakukan dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala (clamping). Pemakaian kateter menetap ini banyak menimbulkan infeksi atau sepsis. Bila menggunakan kateter mentap, maka dipilih adalah penutupan berkala oleh karena itu kateterisasi menetap yang kontinu tidak fisiologis dimana kandung kemih yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot kandung kemih (Perdana, M., Haryani, H., & Aulawi, K. 2017).

Kateter menetap terdiri atas folley kateter (double Iumen) dimana satu lumen berfungsi untuk mengalirkan urin dari lumen yang digunakan untuk mengalirkan cairan ke dalam balon dan lumen yang ketiga dipergunakan untuk melakukan irigasi pada kandung kemih dengan cairan atau pengobatan (Potter & Perry, 2013).

C. Indikasi Kateterisasi

Kateterisasi sementara digunakan pada penatalaksanaan jangka panjang pasien yang mengalami cidera medulla spinalis, digenerasi neuro mucullar atau kandung kemih yang tidak kompeten, pengambila spesimen urin steril, pengkajian residu urin setelah pengosongan kandung kemih dan meredakkan rasa tidak nyaman akibat distensi kandung kemih (Potter &

Perry, 2013).

Menurut Hidayat (2011) Kateterisasi sementara diindikasikan pada pasien yang tidak mampu berkemih 8-12 jam setelah operasi, retensi urin

(5)

akut setelah trauma uretra, tidak mampu berkemih akibat obat sediatif atau analgesik, cedera pada tulang belakang, degres neumoscular secara progresif dan pengeluaran urin residual.

Kateterisasi menetap (foley kateter) digunakan untuk pasien pasca operasi dan struktur disekitarnya (TURP), obstruksi aliran urin, obstruksi uretra, pada pasien inkontinensia urin dan disorientasi berat (Hidayat, 2011).

Kateter di indikasikan untuk beberapa alasan. Pemasangan Kateter dalam jangka waktu yang pendek akan meminimalkan infeksi, sehingga metode pemasangan kateter adalah metode yang sangat baik (Perdana, M., Haryani, H., & Aulawi, K. 2017).

1. Indikasi pemasangan kateter sementara:

a. Mengurangi ketidaknyamanan pada distensi kandung kemih b. Pengambilan urin residu setelah kandung kemih kosong 2. Indikasi pemasangan kateter jangka pendek:

a. Obstruksi kandung kemih (pembesaran kelenjar prostat)

b. Pembedahan untuk memperbaiki organ perkemihan, seperti vesika urinaria, uretra, dan organ sekitarnya.

c. Preventif pada obstruksi uretra dan pembedahan d. Untuk memantau output urin

e. Irigasi vesika urinaria

3. Indikasi Pemasangan kateter jangka panjang:

a. Retensi urin pada penyembuhan penyakit ISK dan atau UTI

(6)

b. Skin rash, uclear, luka yang iritatif jika kontak dengan urin c. Pasien dengan penyakit terminal

d. Inkontinensia urin dan pencegahannya

D. Komplikasi

Adapun komplikasi yang didapatkan dari kateterisasi urin menurut Brunner & Suddarth (2010):

1. Iritasi ataupun trauma pada uretra

Penggunaan kateter yang ukurannya tidak dapat mengiritasi uretra, sehingga kemungkinan terjadinya trauma pun meningkat.

Selain itu, kurangnya penggunaan lubrikasi dapat melukai jaringan sekitar uretra pada saat penyisipan, trauma yang terjadi apabila penyisipan pada letak kateter belum tepat pada saat balon retensi pada kateter dikembangkan. Fiksasi yang kurang tepat dapat menambah gerakan yang mengakibatkan regangan atau tarikan pada uretra atau yang membuat kateter terlepas tanpa sengaja.

2. Krutasi pada Kateter

Urin yang banyak mengandung urea yang memproduksi bakteri seperti proteus mirabilis, yang meningkatkan PH urin memicu terbentuknya kusta pada kateter. Lumen kateter tersumbat oleh kristal yang berasal dari campuran PH urin yang tinggi, bakteri dan io n magnesium. Pembentukkan krusta yang berasal dari garam urin yang dapat menjadi sumber terbentuknya batu krusta.

(7)

Terjadi blocking atau retensi/tersumbat (tidak dapat mngalir dengan lancar). Kerusakan pada kateter terjadi akibat adanya krusta yang menutupi arena lumen kateter.

3. Terjadinya Inkontinensia Urin

Pemasangan kateter dalam waktu yang lama mengakibatkan kandung kemih tidak akan terisi dan berkontraksi sehingga pada akhirnya kandung kemih akan kehilangan tonusnya.

4. Terjadinya Kebocoran

Kateter yang pada bagian balon untuk memfiksasi kateter tidak terfiksasi dengan baik akan menyebabkan pengeluaran urin yang tidak tepat, sehingga urin dapat merembes keluar tidak melalui selang kateter.

5. Resiko Tinggi Infeksi

Pemasangan kateter akan menurunkan sebagian besar daya tahan alami pada saluran kemih bagian bawah dengan menyumbat duktus preuretalis, mengiritasi mukosa kandung kemih dan menimbulkan jalur artificial untuk masuknya kuman ke dalam kandung kemi. Banyaknya mikroorganisme ini merupakan bagian dari flora endogen atau flora usus normal, atau didapat melalui kontaminasi silang oleh pasien atau petugas rumah sakit maupun melalui kontak dengan peralatan yang tidak steril.

(8)

E. Definisi Nyeri

Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik secara ringan maupun berat karena terjadinya kerusakan jaringan (International Association for The Study Of Pain, 2011). Nyeri merupakan suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak menyenagkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat akut yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi kerusakan (Potter & Perry, 2013).

Nyeri merupakan sensasi yang sangat tidak menyenangkan dan bervariasi pada tiap individu. Nyeri dapat mempengaruhi seluruh pikiran seseorang, mengatur aktivitasnya, dan mengubah kehidupan orang tersebut (Patasik, C. K, Tangka, J, & Rottie, J. 2013).

Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial, atau yang digambarkan sebagai kerusakan (International Association For The Study Of Pain) yang tiba-tiba atau lambat dengan intensitas ringan hingga berat, dengan berakhirnya dapat diantisipasi atau diprediksi, dan dengan durasi kurang dari 3 bulan atau lebih dari 3 bulan (Herdman &

Kamitsuru, 2017).

Nyeri adalah pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau fungsional, dengan onset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga berat yang berlangsung kurang dari 3 bulan atau lebih dari 3 bulan (PPNI SDKI, 2017).

(9)

F. Klasifikasi Nyeri 1. Nyeri Akut

Nyeri akut adalah nyeri yang terjadi setelah cedera akut dan berlangsung dalam waktu yang singkat, nyeri akut juga dapat dijelaskan sebagai suatu nyeri yang berlangsung dari beberapa detik atau kurang dari 6 bulan (Smeltzer, 2009). Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivitas sistem saraf simpatis yang disertai dengan gejala-gejala peningkatan respirasi, peningkatan tekanan darah, peningkatan denyut jantung, diaphoresis dilatasi pupil. Secara verbal pasien yang mengalami nyeri akut juga biasanya akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis, mengerang kesakitan dan mengerutkan wajah (Andarmoyo, 2013).

2. Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri yang menetap dalam suatu periode yang lama, biasanya berlangsung lebih dari 6 bulan. Tanda-tanda yang muncul pada nyeri kronik berbeda dengan nyeri akut, dalam pemeriksaan tanda-tanda vital sering didapatkan masih dalam batas normal dan tidak disertai dengan dilatasi pupil. Manifestasi yang biasanya muncul berhubungan dengan respon psikososial seperti rasa keputusasaan, kelesuan, penurunan libido, penurunan berat badan, perilaku menarik diri, mudah tersinggung, marah dan tidak tertarik pada aktivitas fisik. Secara verbal pasien akan melaporkan adanya ketidaknyamanan, kelemahan dan kelelahan (Andarmoyo, 2013)

(10)

G. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Yanuarista (2015) berpendapat bahwa rasa nyeri merupakan suatu hal yang bersifat kompleks, menckup pengaruh fisiologis, sosial, spiritual, psikologis, dan budaya. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi nyeri berbeda-beda satu sama lain.

1. Faktor Fisiologis

Faktor fisiologis terdiri dari usia, gen, dan fungsi neurologis. Pada usia 1-3 tahun (toodler) dan usia 4-5 tahun (pra sekolah) belum mampu menggambarkan atau mengekspresikan nyeri secara verbal terhadap orang tuanya. Sedangkan pada usia dewasa akhir, kemampuan dalam menafsirkan nyeri yang dirasakan sangat sulit karena terkadang menderita beberapa penyakit sehingga mempengaruhi anggota tubuh yang sama (Potter & Perry, 2010).

2. Faktor Sosial

Faktor sosial yang dapat mempengaruhi nyeri yaitu perhatian, pengalaman sebelumnya, dukungan keluarga, dan sosial. Perhatian adalah tingkat dimana pasien memfokuskan perhatian terhadap nyeri yang sedang dirasakan (Potter & Perry, 2010).

Frekuensi terjadinya nyeri di masa lampau tanpa adanya penangan yang adekuat akan membuat seseorang salah dalam menginterpretasikan nyeri sehingga mengakibatkan ketakutan. Pasien yang tidak memiliki pengalaman terhadap kondisi yang sedang dirasakan (nyeri), persepsi pertama terhadap nyeri dapat merusak

(11)

kemampuan seseorang untuk mengatasi masalah. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Linton dan Shaw (2011) bahwa dukungan dan perhatian dari keluarga dan orang terdekat pasien sangat mempengaruhi persepsi nyeri pasien.

3. Faktor Spiritual

Spiritualitas dan agama merupakan kekuatan bagi seseorang.

Apabila seseorang memiliki kekuatan spiritual dan agama yang lemah, maka akan menganggap nyeri sebagai suatu hukuman yang diberikan kepadanya. Apabila seseorang memiliki kekuatan spiritual dan agama yang kuat, maka akan lebih tenang sehingga dapat memungkinkan nyeri hilang. Spiritual dan agama merupakan salah satu koping adaptif yang dimiliki seseorang sehingga akan emningkatkan ambang toleransi terhadap nyeri (Potter & Perry, 2010).

4. Faktor Psikologis

Faktor psikologis dapat juga mempengaruhi tingkat nyeri. Faktor tersebut terdiri dari kecemasan dan teknik koping. Teknik koping dapat mempengaruhi kemampuan untuk mengatasi nyeri. Seseorang yang belum pernah mendapatkan teknik koping yang baik, tentu respon nyerinya buruk (Potter & Perry, 2010).

5. Faktor Budaya

Faktor budaya terdiri dari makna nyeri dan suku bangsa. Makna nyeri adalah sesuatu yang diartikan seseorang sebagai nyeri akan mempengaruhi pengalaman nyeri dan bagaimana seseorang dapat

(12)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0 Nyeri berat

tidak terkontrol Nyeri Ringan Nyeri Sedang Nyeri berat

terkontrol Tidak

nyeri

beradaptasi pada kondisi tersebut. Seseorang merasakan sakit yang berbeda apabila terkait dengan ancaman, kehilangan, hukuman, dan tantangan. Suku bangsa sangat berkaitan dengan budaya.

Budaya dapat mempengaruhi ekspresi nyeri. Beberapa budaya percaya bahwa menunjukkan rasa sakit adalah suatu hal yang wajar.

Sedangkan yang lain cenderung memilih untuk lebih introvert (Potter

& Perry, 2010).

H. Pengukuran Intensitas Nyeri

Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling mugkin adalah menggunakan respon fisiologik tubuh terhadap nyeri itu sendiri, namun pengukuran dengan pendekatan objektif juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Andarmoyo, 2013).

Beberapa skala intensitas nyeri :

1. Skala Intensitas Nyeri Deskriftif / Verbal Descriptor Scale (VDS) Gambar 2.1 Skala Intensitas Nyeri Deskriftif

Gambar 2.1

(13)

Keterangan:

0 : Tidak nyeri

1-3 : Nyeri ringan (dapat berkomunikasi dengan baik)

4-6 : Nyeri sedang (menyeringai dan dapat menunjukkan lokasi nyeri)

7-9 : Nyeri berat terkontrol (tidak dapat mengikuti perintah) 10 : Nyeri berat tidak terkontrol (tidak dapat lagi

berkomunikasi)

(Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz).

Skala pendeskripsi verbal atau Verbal Descriptor Scale (VDS) merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objekti. Pendeskripsian VDS diranking dari “tidak nyeri” sampai

“nyeri yang tidak tertahankan” (Andarmoyo, 2013). Perawat menunjukkan pasien skala tersebut dan meminta pasien untuk memilih intensitas nyeri terbaru yang ia rasakan. Alat ini memungkinkan pasien memilih sebuah ketegori untuk mendeskripsikan nyeri (Andarmoyo, 2013).

2. Skala Intensitas Nyeri Numerik / Numerical Rating Scale (NRS) Dianggap sederhana dan mudah dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih baik daripada VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya adalah keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak memungkinkan

(14)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0

Nyeri berat Nyeri Sedang

Nyeri Ringan

Tidak nyeri

untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek analgesik. (Andarmoyo, S. (2013). Konsep & Proses Keperawatan Nyeri, Jogjakarta: Ar-Ruzz).

Gambar 2.2 Skala Intensitas Nyeri Numerik (Numerical Rating Scale)

Gambar 2.2 Keterangan:

0 : Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan 4-6 : Nyeri sedang 7-10 : Nyeri berat

Skala penilaian numerik atau Numerical Rating Scale (NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsian kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas nyeri sebelum dan setelah intervensi (Andarmoyo, 2013).

(15)

3.

Wong-Baker FACES Pain Rating Scale

Gambar 2.3 Wong-Baker FACES Pain Rating Scale

Gambar 2.3

Gambar wajah ini menunjukkan seberapa jauh rasa sakit yang dialami. Gambar wajah ini (ditunjuk gambar paling kiri) menunjukkan tidak ada rasa sakit. Gambar berikutnya menunjukkan rasa sakit yang berat (tunjuk satu persatu dari kiri ke kanan) sampai gambar ini (tunjuk gambar paling kanan), ini menunjukkan sangat nyeri.

Skor untuk gambar wajah yang dipilih adalah 0, 2, 4, 6, 8, atau 10, mulai dari paling kiri ke paling kanan, sehingga “0” = tidak nyeri dan

“10” = sangat nyeri (tak tertahankan).

Digunakan pada pasien dewasa dan anak >3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka. (Yudiyanta, N. K.,

& Novitasari, R. W, 2015).

I.

Tanda-Tanda Vital (Vital Sign)

Tanda – tanda vital merupakan cara yang cepat dan efisien dalam memantau kondisi klien atau mengidentifikasi masalah dan mengevaluasi respons terhadap intervensi yang diberikan. Penggunaan tanda – tanda vital memberikan data dasar untuk mengetahui respons terhadap stress

(16)

fisiologi/psikologi, respons terapi medis dan keperawatan. Hal ini sangatlah penting sehingga disebut tanda – tanda vital.

Waktu untuk mengukur tanda – tanda vital:

1. Saat klien pertama kali masuk ke fasilitas 2. Saat memeriksa klien pada kunjungan rumah

3. Di rumah sakit/fasilitas kesehatan dengan jadwal rutin sesuai program 4. Sebelum dan sesudah prosedur bedah atau diagnostic invasif

5. Sebelum, saat, dan setelah transfuse darah 6. Saat keadaan umum klien berubah

7. Sebelum, saat, dan sesudah pemberian obat

8. Sebelum dan sesudah intervensi keperawatan yang mempengaruhi tanda – tanda vital

9. Saat klien mendapat gejala fisik yang non spesifik

10. Menggigil adalah respon tubuh terhadap perbedaan suhu dalam tubuh.

Menurut Jones dalam jurnal Lopes, dikatakan bahwa nyeri dalam pemasangan kateter dapat mempengaruhi tanda-tanda vital. Tanda-tanda vital meliputi temperatur / suhu tubuh, denyut nadi, laju pernafasan / respirasi, dan tekanan darah. Pengukuran tanda-tanda vital memberikan informasi yang berharga terutama mengenai status kesehatan pasien secara umum (Lopes, 2017).

Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi tekanan darah, frekuensi pernapasan dan frekuensi denyut nadi.

(17)

Faktor yang dapat mempengaruhi tekanan darah salah satunya adalah nyeri yang mengakibatkan stimulasi simpatik, yang meningkatkan frekuensi darah, curah jantung dan tahanan vaskular perifer. Efek stimulasi simpatik meningkatkan tekanan darah.

Faktor yang dapat mempengaruhi frekuensi pernapasan adalah nyeri, hal ini dapat meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernapasan sebagai akibat stimulasi simpatik. Kemudian salah satu faktor yang mempengaruhi frekuensi denyut nadi adalah emosi yang diakibatkan oleh nyeri akut, dan kecemasan meningkatkan stimulasi simpatik, dapat meningkatkan frekuensi nadi sedangkan nyeri berat yang tidak hilang meningkatkan stimulasi parasimpatik, dapat menurunkan frekuensi denyut nadi (Guyton, 2012).

J. Jenis–Jenis Tanda-Tanda Vital 1. Tekanan Darah

Tekanan darah merupakan salah satu parameter hemodinamik yang sederhana dan mudah dilakukan pengukurannya. Tekanan darah menggambarkan situasi hemodinamik seseorang saat itu.

Hemodinamik adalah suatu keadaan dimana tekanan dan aliran darah dapat mempertahankan perfusi atau pertukaran zat di jaringan (Muttaqin, 2014).

(18)

Faktor yang mempengaruhi Tekanan Darah:

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah diantaranya adalah usia, ras, jenis kelamin, stress, medikasi, variasi diural, olah raga dan hormonal (Sudoyo, et, al, 2009).

a. Usia

Tekanan darah bervariasi sepanjang kehidupan. Menurut WHO (2011) adanya hubungan yang positif antara umur dengan tekanan darah disebagian populasi, tekanan darah sistolik cenderung meningkat pada usia anak-anak, remaja dan dewasa untuk mencapai nilai rata-rata 140 mmHg. Tekanan darah diastolik juga cenderung meningkat dengan bertambahnya usia.

Tabel 2.1 Tekanan Darah Normal Rata-Rata

Usia Tekanan Darah (mmHg)

10-13 tahun 110/65

14-17 tahun 120/75

Dewasa Tengah 120/80

Lansia 140/90

Sumber: Potter & Perry (2013) b. Ras

Kajian populasi menunjukkan bahwa tekanan darah pada masyarakat berkulit hitam lebih tinggi dibandingkan dengan golongan suku lainnya. Suku atau ras mungkin berpengaruh pada hubungan antara umur dan tekanan darah.

Orang Afrika-Amerika lebih tinggi dibanding orang Eropa Amerika. Kematian yang dihubungkan dengan hipertensi juga

(19)

lebih banyak pada orang Afrika-Amerika. Kecenderungan populasi ini terhadap hipertensi diyakini hubungan antara genetik dan lingkungan (Koizer et al, 2010).

c. Jenis Kelamin

Miller (2010) menunjukkan bahwa perubahan hormonal yang sering terjadi pada wanita menyebabkan wanita lebih cenderung memiliki tekanan darah tinggi. Hal ini juga menyebabkan resiko wanita untuk terkena penyakit jantung menjadi lebih tinggi.

d. Stress

Ansietas, takut, nyeri dan stress emosi mengakibatkan stimulus simpatis secara berkepanjangan yang berdampak pada vasokonstriksi, peningkatan curah jantung, tahanan vaskular perifer dan peningkatan produksi renin. Peningkatan renin mengaktivasi mekanisme angiotensin dan meningkatakan skresi aldosteron yang berdampak pada peningkatan tekanan darah (Lewis, et al, 2011).

e. Medikasi

Banyak pengobatan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi tekanan darah. Beberapa obat antihipertensi seperti diuretik, penyakit beta adrenergic, penyekat saluran kalsium, vasodilator dan ACE inhibitor langsung berpengaruh pada tekanan darah (Muttaqin, 2014).

(20)

f. Kemoreseptor

Kemoreseptor yang terletak di arteri karotis dan aorta, yang berkaitan erat tetapi berbeda dengan baroreseptor, peka terhadap kadar oksigen rendah atau asam tinggi dalam darah. Fungsi utama kemoreseptor ini adalah untuk secara rileks meningkatkan aktivitas pernafasan sehingga lebih banyak oksigen masuk atau lebih banyak karbondioksida pembentuk asam yang keluar. Reseptor tersebut juga secara rileks meningkatkan tekanan darah sengan mengirimkan impuls eksitatori ke pusat kardiovaskuler (Lewis, et al, 2011).

g. Olahraga

Perubahan mencolok sistem kardiovaskular pada saat berolahraga, termasuk peningkatan aliran darah otot rangka, peningkatan bermakna curah jantung, penurunan resistensi perifer total dan peningkatan sedang tekanan arteri rata-rata (Muttaqin, 2014).

h. Zat Vasoaktif

Zat-zat vasoaktif yang dikeluarkan dari sel endotel mungkin berperan dalam mengatur tekanan darah. Inhibisi eksperimental enzim yang mengkatalis NO (Nitric Oxide) menyebabkan peningkatan cepat tekanan darah. Hal ini mengisyaratkan bahwa zat kimia ini dalam keadaan normal mungkin menimbulkan vasodilatasi (Muttaqin, 2014).

(21)

i. Natriuretic factors atau Atrial Natriuretic Paptide

Atrial Natriuretic Paptide (ANP) dilepaskan dari miosit atrial akibat respon dari stimulus reseptor renggang akibat volume yang berlebihan. Pelepasan ANP mengakibatkan peningkatan filtrasi glomerolus, eksteri natrium dan air dan vasodilatasi.

Sebagai tambahan, ANP menghambat sekresi renin, aldosteron dan vasopresssin. Kondisi ini mengakibatkan penurunan tekanan darah (Lewis, et al, 2011).

Adanya respon nyeri yang berbeda-beda pada pasien kemungkinan juga dapat dipengaruhi beberapa faktor, seperti pengalaman terhadap nyeri maupun kecemasan. Hal ini sesuai pendapat Smeltzer dan Bare (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi respon nyeri antara lain, pengalaman masa lalu, ansietas, budaya, usia, efek plasebo.

2. Denyut Nadi

Denyut nadi adalah suatu gelombang yang teraba pada arteri bila darah di pompa keluar jantung. Denyut ini mudah diraba di suatu tempat dimana ada arteri melintas. Darah yang didorong ke arah aorta sistol tidak hanya bergerak maju dalam pembuluh darah, tapi juga menimbulkan gelombang bertekanan yang berjalan sepanjang arteri (Sandi, 2016).

(22)

Faktor yang mempengaruhi Denyut Nadi:

a. Usia

Frekuensi nadi secara bertahap akan menetap memenuhi kebutuhan oksigen selama pertumbuhan. Usia seseorang sangat berpengaruh terhadap denyut nadi, denyut nadi maksimum pada orang lanjut usia sangat menurun (penurunan 50% dari usia remaja pada usia 80 tahun). Hal ini disebabkan berkurangnya massa otot, dan daya maksimum otot yang dicapai sangat berkurang 2. Pada anak umur 5 tahun denyut nadi istirahat antara 96-100 denyut permenit, pada usia 10 tahun mencapai 80-90 denyut permenit, dan pada orang dewasa mencapai 60-100 denyut permenit (Sandi, 2013).

b. Jenis Kelamin

Denyut nadi pada wanita lebih tinggi apabila dibandingkan dengan laki-laki. Pada laki-laki dengan kerja 50% maksimal rata- rata nadi kerja mencapai 128 denyut per menit, pada wanita 138 denyut per menit (Potter & Perry, 2010).

c. Indeks Massa Tubuh (IMT)

Denyut nadi juga dipengaruhi oleh berat badan dengan perbandingan berbanding lurus, sedangakan berat badan berkaitan dengan IMT. Makin tinggi berat badan semakin tinggi IMT, begitu sebaliknya makin rendah berat badan IMT semakin rendah.

(23)

Sehingga makin tinggi IMT denyut nadi istirahat semakin tinggi (Sandi, 2013).

d. Aktifitas Fisik

Kurangnya aktivitas fisik meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung memompa, dan makin tinggi tekanan yang dibebankan pada arteri (Potter & Perry, 2010).

e. Rokok dan Kafein

Rokok dan kafein juga dapat meningkatkan denyut nadi.

Pada suatu studi yang merokok sebelum bekerja denyut nadinya meningkat 10 sampai 20 denyut per menit dibanding dengan seorang yang dalam bekerja tidak didahului merokok. Hal tersebut dikarenakan, rokok dapat mengakibatkan vasokonstriksi pada pembuluh darah (Potter & Perry, 2010)

3. Pernafasan (Respirasi)

Pernafasan (respirasi) adalah peristiwa menghirup udara dari luar yang mengandung O2 (oksigen) ke dalam tubuh serta menghembuskan udara yang banyak mengandung CO2 (karbondioksida) sebagai sisa dari oksidasi keluar tubuh. Peristiwa menghirupkan udara ini disebut inspirasi dan menghembuskannya disebut ekspirasi. Respirasi eksternal adalah proses pertukaran gas antara darah dan atmosfer

(24)

sedangkan respirasi internal adalah proses pertukaran gas antara darah sirkulasi dan sel jaringan (Syaifudin, 2011).

4. Suhu

Suhu adalah keadaan panas dan dingin yang diukur dengan menggunakan termometer. Di dalam tubuh terdapat 2 macam suhu, yaitu suhu inti dan suhu kulit. Suhu inti adalah suhu dari tubuh bagian dalam dan besarnya selalu dipertahankan konstan, sekitar ± 1ºF (±

0,6ºC) dari hari ke hari, kecuali bila seseorang mengalami demam.

Sedangkan suhu kulit berbeda dengan suhu inti, dapat naik dan turun sesuai dengan suhu lingkungan. Bila dibentuk panas yang berlebihan di dalam tubuh, suhu kulit akan meningkat. Sebaliknya, apabila tubuh mengalami kehilangan panas yang besar maka suhu kulit akan menurun (Guyton & Hall, 2012).

Suhu tubuh yang normal adalah 35,8°C – 37,5°C. Pada pagi hari suhu akan mendekati 35,5°C, sedangkan pada malam hari mendekati 37,7°C. Pengukuran suhu di rektum juga akan lebih tinggi 0,5°-l°C, dibandingkan suhu mulut dan suhu mulut 0,5°C lebih tinggi dibandingkan suhu aksila (Sherwood, 2014).

(25)

K. Kerangka Teori

Kerangka teori penelitian merupakan kumpulan teori yang mendasari suatu topik penelitian. Yang disusun berdasarkan teori yang sudah ada dalam tinjauan teori dan mengikuti kaidah input dan output (Saryono, 2011)

Gambar 2.4 Kerangka Teori

Sumber: Modifikasi dari beberapa referensi Perdana, M., Haryani, H., &

Aulawi, K. (2017), Potter & Perry (2010) Indikasi Pemasangan

Kateter

a. Mengurangi ketidaknyamanan pada distensi kandung kemih b. Obstruksi kandung

kemih (pembesaran kelenjar prostat) c. Pembedahan untuk

memperbaiki organ perkemihan, seperti vesika urinaria, uretra, dan organ sekitarnya

d. Retensi urin pada penyembuhan penyakit ISK dan atau UTI

Faktor yang mempengaruhi nyeri:

1. Faktor Fisiologis 2. Faktor Sosial 3. Faktor

Spiritual 4. Faktor

Psikologis 5. Faktor Budaya Pemasangan

Folley Kateteter

Penanganan Nyeri:

1. Pemberian Jeli a. Dimasukkan

Uretra b. Dioleskan di

kateter 2. Relaksasi 3. Distraksi

Nyeri saat dipasang kateter

Perubahan Vital Sign

(26)

L. Kerangka Konsep

M. Hipotesis

Menurut Saryono (2011) mengemukakan bahwa hipotesis penelitian adalah sebagai terjemahan dari tujuan penelitian ke dalam dugaan atau prasangka yang jelas.

Ha : Ada perubahan vital sign terhadap tingkat nyeri pada responden yang dipasang kateter dengan jeli dioleskan di kateter dan jeli dimasukkan uretra.

Ho : Tidak ada perubahan vital sign terhadap tingkat nyeri pada responden yang dipasang kateter dengan jeli dioleskan di kateter dan jeli dimasukkan uretra.

N. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian

a. Anamnesa

Identitas pasien seperti nama pasien, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat rumah, No RM. Penanggungjawab (orang tua, Pemasangan kateter

dengan Jeli dioleskan di Kateter

Pemasangan kateter dengan Jeli dimasukkan

Uretra

Tingkat Nyeri Pemasangan Folley

Kateter

Perubahan Vital Sign

(27)

keluarga dekat seperti ayah/ibu, suami/istri, anak, dan lain-lain) pendidikan terakhir, jenis kelamin, No. HP.

b. Riwayat Kesehatan

Riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, gunakan PQRST jika pasien merasa nyeri, yaitu:

1) P (Provokes) : Penyebab timbulnya nyeri

2) Q (Quality) : Rasa nyeri seperti tertekan, tertusuk, atau diremas-remas

3) R (Region) : Lokasi nyeri berada dibagian tubuh mana 4) S (Saverity) : Skala nyeri

5) T (Time) : Nyeri yang dirasakan c. Pemeriksaan Fisik

1) Keadaan umum

Mengkaji keadaan umum pasien atau pasien seperti terlihat lemas dan peningkatan tanda-tanda vital akibat nyeri.

2) Pemeriksaan persistem

Dalam penatalaksanaan ini menggunakan tekhnik 6 B yaitu:

a) B1: Breathing (Pernafasan)

Untuk mengukur pola nafas, bunyi nafas, kesimetrisan dada, ada atau tidaknya gerakan cuping hidung, ada atau tidaknya sianosis.

(28)

b) B2: Bleeding (Kardiovaskuler atau sirkulasi)

Untuk mengukur bunyi jantung, irama jantung, nadi dan tekanan darah.

c) B3: Brain (Pemikiran)

Untuk mengukur nilai GCS atau tingkat kesadaran.

d) B4: Bowel (Pencernaan)

Rongga mulut terdapat lesi atau tidak, adanya dehidrasi atau tidak, bising usus.

e) B5: Bone (Muskuloskeletal)

Warna kulit, suhu, integritas kulit, adanya lesi atau decubitus atau tidak.

f) B6: Bladder (Perkemihan)

Melihat warna urin, bau, jumlah urin, biasanya bau menyengat akibat adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, apakah terdapat nyeri saat berkemih atau tidak yang mnandakan disuria akibat infeksi.

d. Pemeriksaan diagnostik 1) Pemeriksaan radiografi 2) Urinalisa

3) Pemeriksaan lab seperti kimia darah.

4) Pemeriksaan lainnya

(29)

2. Diagnosa a. Nyeri Akut

(NANDA-I Edisi 11, 2018-2020) Kriteria Hasil

1) Melaporkan nyeri berkurang atau hilang 2) Frekuensi nyeri berkurang

3) Lamanya nyeri berlangsung 4) Ekspresi wajah saat nyeri 3. Intervensi

a. Lakukan pengkajian secara komprehensip meliputi lokasi, durasi, kualitas, keparahan nyeri dan faktor pencetus

b. Observasi ketidaknyamanan non verbal

c. Ajarkan untuk teknik non farmakologis misal, relaksasi nafas dalam, guided imagery.

d. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan

e. Kolaborasi: pemberian analgesik sesuai indikasi

Referensi

Dokumen terkait

Kemahasiswaan FIA UB Jam Kerja Adapun nama-nama yang terdaftar pada wisuda periode Xll bisa dicek pada web FIA di file pengumuman : "Daftar Nama Peserta Wisuda Periode Xll"..