• Tidak ada hasil yang ditemukan

PLURALITAS AGAMA PERSPEKTIF AL-QUR'AN

N/A
N/A
ahmad dhani

Academic year: 2023

Membagikan "PLURALITAS AGAMA PERSPEKTIF AL-QUR'AN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PLURALITAS AGAMA PERSPEKTIF AL-QUR’AN:

SEBAGAI TAWARAN TERHADAP KERUKUNAN UMAT BERAGAMA A. Pendahuluan

Pengamatan penulis, Aceh akhir-akhir ini rentan konflik antarumat beragama akibat isu pendangkalan akidah. Hal ini berdampak pada kecurigaan terhadap para pemeluk agama lain, padahal tidak semua mereka bertindak sebagai misionaris. Kecurigaan ini semakin tajam karena adanya anggapan bahwa pluralitas adalah jargon propaganda barat.

Anggapan di atas tidak sepenuhnya dapat dibenarkan, sebab al-Qur’an sendiri juga membicarakan pluralitas agama. Dari itu, penulis merasa perlu mengkajinya berdasar ungkapan al-Qur’an sendiri. Maka tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengungkapkan pandangan al-Qur’an tentang pluralitas agama.

Tulisan ini diperlukan agar masyarakat memperoleh referensi bacaan yang dapat memberi pencerahan tentang konsepsi pluralitas agama menurut al-Qur’an.

Manfaatnya agar masyarakat memiliki konsepsi pluralitas agama yang berdasar al-Qur’an dalam mewujudkan kerukunan agama yang ada di Indonesia. Untuk menghasilkan tulisan sebagaimana diharapkan, maka penulis menggunakan metode integratif-induktif dengan menggabungkan perspektif al-Qur’an dengan temuan-temuan temuan filsafat, sosiologi dan antropologi secara holistik melalui kajian tematik.

B. Al-Qur’an dan Konsepsi Pluralitas Agama

Pluralitas agama terdiri dari dua kata: pluralitas dan agama. Pluralitas berasal dari kata plural. Kata plural secara etimologi adalah banyak atau majemuk,1 kata agama berarti ajaran atau sistem yang mengatur tatacara keimanan (kepercayaan).2 KBBI mengartikan kata pluralitas dengan kata banyak, sehingga hal ini merupakan realitas faktual di Indoneseia yang mengakui beberapa agama resmi.

1 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008), hal. 1195.

2 Tim Redaksi, Kamus Besar…hal. 17.

(2)

Pluralitas agama merupakan fakta adanya heterogenisasi dalam kehidupan masyarakat. Di dalam tataran sejarah, pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan aksiomatis (tidak terbantahkan) dalam kehidupan masyarakat. Di dalam al-Qur’an, pluralitas agama adalah ketetapan Allah (sunnatullah). Allah swt berfirman:

َنوُُُلاَزَي َلَو ًةَدُُُِحاَو ًةّم ُأ َساّنلا َلَُُعَجَل َكّبَر َءا َُُش ْوَُُلَو

َنيِفِلَتْخُم :دوه) .

118 (

Artinya: Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat). (Q.S. Hud [11]:118)

Menurut Ibn Katsir, ayat tersebut menjelaskan tentang kekuasaan Allah tidak menjadikan manusia sebagai umat yang satu. Sebab manusia selalu berselisih pendapat, baik dalam agamanya maupun alirannya (madzhab). Ibn Katsir mengutip pendapat ‘Ikrimah yang mengatakan bahwa perselisihan tersebut terjadi dalam agama.3 Muhammad Shiddiq Khan menjelaskan pula bahwa perselisihan tersebut terjadi pula diberbagai agama lainnya, seperti: Yahudi, Nasrani, Majusi dan Islam. Pendapat beliau mengutip Hadits Nabi Muhammad saw, sebagai berikut4:

ملُُسو هُُيلع هُُللا ىلُُص هللا لوسر نأ ةريره يبأ نع وأ ةُُقرف نيعبُُسو ىدُُحإ ىلع دوُُهيلا تقرتُُفا " :لاُُق ىلع يتُُمأ قرتفتُُسو كلذُُك ىراُُصنلاو نيعبسو نيتنثا ةقرف نيعبسو اثلث

Artinya: Dari Abi Hurairah berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: Yahudi terpecah menjadi 71 golongan atau 72 golongan, begitupula nasrani dan umat-ku akan terpecah kepada 73 golongan. (HR. Abu Daud)

3 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz 4, (Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al- Tauzi’, 1999), hal. 361.

4 Muhammad Shiddiq Khan, Fathun al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, Juz 6, (Beirut: Al- Maktabah al-Ashriyyah li al-Thaba’ah al-Nasyri, 1992), hal. 273

(3)

Di dalam ranah filsafat, pluralitas agama disebabkan pengetahuan manusia bersifat prehensi. Teori prehensi pertama sekali digagas oleh Alfred North Whitehead. Prehensi berasal dari bahasa Latin prehendere yang artinya mengambil, memegang atau menangkap. Prehensi menurut A.N Whitehead adalah vector yang menghubungkan satuan aktual dengan dunia di luar darinya atau menggambarkan sebuah proses untuk mengetahui dari setiap satuan aktual terhadap seluruh unsur lingkungan yang ada di sekitarnya.5

Teori prehensi menekankan penyerapan yang paling dasar atas unsur lingkungan dalam proses menjadi dirinya sendiri (konkresi) dan dalam menyumbangkan diri pada proses pembentukan satuan aktual lain (transisi) dan itu tidak semuanya disertai kesadaran serta tidak selalu bersifat kognitif. Setiap satuan aktual merupakan sebuah kesatuan kompleks6 dari berbagai prehensi.7 Prehensi sebagai sebuah proses epistemologis yaitu sebuah perjalanan berkesinambungan untuk mencapai apa yang dinamakan dengan subjective aim, yaitu tujuan hidup yang hendak dicapai dalam proses antara apa yang diresapi dan apa yang tidak diresapi dari pengalaman subjek, tidak hanya berhenti dalam satu proses melainkan saling mempengaruhi satu sama lain.8

Filsafat proses Alfred North Whitehead harus berpijak dan bermuara dalam relung pengalaman. Pengalaman secara ontologis menyangkut seluruh kenyataan yang ada dan tidak dibatasi pada hal ilmiah dan empirik belaka. Teori prehensi menjelaskan bahwa pengetahuan manusia dimungkinkan berbeda, karena pengetahuan merupakan hasil interaksi dengan objek (lingkungan).

Perbedaan sudut pandang antarpemeluk agama membentuk suatu ideologi, sehingga setiap pemeluk agama merasa bangga dengan agamanya masing-masing.

Hal ini termaktub dalam firman Allah surat al-Rum ayat 32:

5 Alfred North Whitehead, Procces and Reality an Essay in Cosmology, (New York: The Free Press, 1979), hal. 13.

6 Alfred North Whitehead, Procces and Reality …, hal. 16.

7 Sudarminta, Filsafat Proses: Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Kanisius 2001), hal . 72.

8 Alfred North Whitehead, Procces and Reality …, hal. 17.

(4)

ْمِهْيَدَل اَمِب ٍبْزِح ّلُك اًعَيِش اوُناَكَو ْمُهَنيِد اوُقّرَف َنيِذّلا َنِم

َنوُحِرَف

Artinya: Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Setiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Q.S. Al-Rum[30]:32)

Menurut Ahmad Ibn Mushtafa Maraghi, ayat tersebut menjelaskan bahwasanya orang-orang musyrik adalah golongan yang menggantikan agama fitrah (Islam) dan merubahnya menjadi agama yang berbeda-berbeda.

Menyimpang dari kebenaran dan condong pada yang batil. Golongan tersebut merasa senang terhadap sesuatu yang mereka yakini dan menganggap bahwa kebenaran tidak akan condong kepada selain mereka.9 Ibn Abbas juga berpendapat bahwa tiap-tiap pemeluk agama merasa bangga terhadap agamanya.

Mereka melihat bahwasanya agama merekalah yang paling benar. 10

Ideologi dapat mempengaruhi sesuatu yang dilakukan oleh manusia.

Ideologi adalah seperangkat kepercayaan, tata hukum, prinsip, praktek dan tradisi yang dominan yang mengatur masyarakat tertentu.11 Di dalam ilmu antropologi, sesuatu yang dilakukan oleh manusia merupakan perwujudan artefak (artifact), sosiofak (sociofact) dan ideofak (ideofact).

Artefak merupakan benda arkeologi atau peninggalan benda-benda bersejarah, yaitu semua benda yang dibuat atau dimodifikasi oleh manusia yang dapat dipindahkan. Artefak sering digunakan konsep teknomik yaitu suatu artefak di dalam konteks fungsionalnya berhubungan langsung dengan lingkungan.12 Sosiofak merupakan artefak yang di dalam konteks fungsionalnya berhubungan dengan subsistem sosial (adat istiadat).13 Ideofak adalah suatu artefak yang berfungsi di dalam komponen ideologi dan agama suatu masyarakat. Kelompok

9 Ahmad Ibn Mushtafa Maraghi, Tafsir al-Maraghi, juz 21, (Mesir: Syirkah Maktabah, 1964), hal. 47.

10 Ibn ‘Abbas, Tafsir Ibn ‘Abbas, (Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th), hal. 341.

11 Mudji Sutrisno, Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas, (Yogyakarta: PT.

Kanisius, 2007), hal. 176.

12 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, (Jakarta: UI-Press, 1987), hal. 24.

13 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi …, hal. 52.

(5)

artefak yang digolongkan sebagai ideofak yaitu benda-benda yang berfungsi di dalam kawasan ideologi dari suatu kebudayaan.14

Simbol-simbol antropologi tersebut menjelaskan bahwa keyakinan beragama mulai tumbuh dan menjadi ideologi masyarakat disebabkan pengaruh lingkungan, budaya dan adat istiadat yang telah ada semenjak manusia lahir.

Secara realitas, manusia tidak dapat menerima dan meyakini dua ideologi sekaligus.

Di dalam Islam, agama tidak dilihat dari budaya, melainkan sebagai sebuah ideologi. Setiap agama pada dasarnya berbeda secara idiologi dan syiarnya, Allah berfirman::

:ةدئاملا) ...اًجاَهْنِمَو ًةَعْرِش ْمُكْنِم اَنْلَعَج ّلُكِل...

48 (

Artinya: … Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang… (Q.S. Al-Maidah[5]:48)

Menurut Jalaluddin Muhammad, ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap umat manusia telah diberikan syariat dan jalan yang jelas dalam setiap perkara agamanya. Tiap-tiap agama berjalan sesuai aturan dan jalannya masing-masing.15 Perbedaan ideologi antaragama seringkali memunculkan klaim-klaim kebenaran (truth claims) dan telah banyak menimbulkan konflik sosial politik, sehingga mengakibatkan berbagai macam perang antaragama yang sampai sekarang masih terus menjadi kenyataan di zaman modern ini.16

Kekhawatiran terhadap klaim-klaim tersebut, menjadi landasan utama para pemikir Islam liberal berargumen bahwa pluralisme agama mutlak dibutuhkan untuk menjaga kerukunan antarumat beragama. Pluralisme adalah keterlibatan aktif dalam keragaman dan perbedaannya untuk membangun peradaban bersama.

Dalam pengertian ini, pluralisme lebih dari sekedar mengakui pluralitas

14 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1992), hal.35.

15 Jalaluddin Muhammad, Tafsir Jalalain, (Kairo: Dar al-Hadits, t.th), hal. 146.

16 A.N. Wilson, Against Religion: Why We Should Try to Live Without It, (London:

Chatto and Windus, 1992), hal. 1.

(6)

keragaman dan perbedaan, tetapi aktif merangkai keragaman dan perbedaan tersebut untuk tujuan sosial yang lebih tinggi, yaitu kebersamaan dalam membangun peradaban, seperti: agama, sosial, budaya, sistem politik, etnisitas, tradisi lokal, dsb 17

Menurut John Hick, pola keberagaman yang pluralis adalah yang paling cocok dengan kehidupan masa kini. Cara yang arif untuk memahami kebenaran agama-agama lain adalah dengan menerima semua agama mereperesentasikan banyak jalan menuju ke satu realitas tunggal (Tuhan) yang membawa kebenaran dan keselamatan. Tidak ada satu jalan (agama) pun yang boleh mengklaim lebih benar daripada yang lain, karena semua agama sama dekat dan sama jauhnya dari realitas tunggal tersebut. Realitas tunggal tersebut adalah realitas yang sama, yaitu semua agama sedang mencari-Nya.18

John Hick juga menjelaskan realitas tunggal yang sama tersebut dengan menggunakan dualisme Immanuel Kant tentang the real in it self (an sich) dan the real as humanly thought and experienced. The real in it self adalah realitas tunggal yang dituju oleh semua agama dikarenakan manusia mengalami keterbatasan untuk mengenal-Nya secara penuh. Itulah kemudian menurut Hick mewujud pada gambaran the real as humanly thought and experienced (realitas tunggal yang dapat dipikirkan dan dialami secara manusiawi). Keterbatasan dan faktor budayalah yang kemudian menyebabkan respon orang tentang gambaran realitas tunggal tersebut berbeda-beda.19

Pluralisme telah menjadi kesadaran tiap agama secara universal. Agama umumnya muncul dalam lingkungan pluralistik dan membentuk eksistensi diri dalam menanggapi pluralitas tersebut. Dalam artian yang luas, pluralisme adalah keyakinan bahwa tidak ada agama yang memonopoli kebenaran atau kehidupan yang mengarah kepada keselamatan. Pluralisme agama sebagai paham

17 Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam untuk Pluralisme, (Jakarta: PT. Grasindo, 2010), hal. 17.

18 John Hick, Religious Pluralism and Salvation, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hal. 54-97.

19 John Hick, Religious Pluralism…, hal. 98.

(7)

menyatakan bahwa semua agama mempunyai peluang untuk memperoleh keselamatan di akhirat. Dengan kata lain, pluralisme memandang bahwa semua agama berpotensi memperoleh keselamatan.20 Pendapat Budhy Munawar- Rachman merujuk pada firman Allah surat al-Kafirun ayat 6, sebagai berikut:

:نورفاكلا) . ِنيِد َيِلَو ْمُكُنيِد ْمُكَل 6

(

Artinya: Bagimu agamamu dan bagiku agamaku. (Q.S. Al-Kafirun[109]:6)

Menurut Budhy Munawar-Rachman, maksud ayat ini adalah semua orang bebas untuk menjaga agama dan keyakinan masing-masing. Menurutnya, di dalam pandangan teologi Islam, sikap kebebasan beragama ini dapat ditafsirkan sebagai suatu harapan bahwa semua agama yang ada menganut prinsip transendental yang sama (kalimatun sawa).21 Pendapat Budhy Munawar-Rachman tersebut, juga berlandaskan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 64:

ّلَأ ْمُكَنْيَبَو اَنَنْيَب ٍءاَوَس ٍةَمِلَك ىَلِإ اْوَلاَعَت ِباَتِكْلا َلْهَأ اَي ْلُق ا ًُُضْعَب اَن ُُُضْعَب َذُُِخّتَي َلَو اًئْي َُُش ِهُُِب َكِر ُُْشُن َلَو َهّللا ّلِإ َدُبْعَن اّنَأِب اوُدَه ْ ُُُشا اوُُُُلوُقَف اْوّلَوَت ْنِإَُُُف ِهّللا ِنوُد ْنِم اًُُُباَبْر َأ :نارمع لآ) .َنوُمِلْسُم 64

(

Artinya: Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah". Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Q.S. Ali Imran[3]:64)

Implikasi kalimatun sawa’ menurut Budhy adalah siapun dapat memperoleh keselamatan jika beriman kepada Tuhan, hari kemudian dan berbuat

20 Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam…, hal. 29-30.

21 Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam…, hal. 44.

(8)

baik meski apapun agamanya. Pendapat tersebut merujuk pada firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 62 22:

ْنَم َنيِئِبا ُُّصلاَو ىَرا َُُصّنلاَو اوُداَُُه َنيِذّلاَو اوُنَمآ َنيِذّلا ّنِإ

َدُُْنِع ْمُهُرُُْج َأ ْمُهَلَف اًحِلاَص َلِمَعَو ِرِخْلا ِمْوَيْلاَو ِهّللاِب َنَمآ :ةرقبلا) .َنوُنَزْحَي ْمُه َلَو ْمِهْيَلَع ٌفْوَخ َلَو ْمِهّبَر 62

(

Artinya: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Q.S. Al-Baqarah[2]:62)

Pada umumnya, pemahaman pluralisme yang dikembangkan kalangan intelektual Islam progresis berkaitan dengan pemahaman mengenai hakikat universalisme agama-agama, yaitu semua agama pada dasarnya secara transenden disatukan dengan kebajikan universal yang menjadikan setiap agama sama-sama memilki pandangan dasar yang sama tentang realitas yang absolut (absolut reality).23

K.H. Husein Muhammad menggambarkan juga hakikat universalisme agama dengan sangat indah, karena Allah telah menciptakan manusia secara plural, beragam dan berbeda-beda. Islam sendiri menurut Husein merupakan penyempurnaan ajaran-ajaran sebelumnya yang membawa arti bahwa agama yang lain tetap harus hidup, bukan harus mati dan melebur ke dalam Islam. Hal ini disebabkan tidak ada satupun ayat al-Qur’an yang mengatakan bahwa agama lain sebelum Islam harus dihapus dan Islam kemudian menjadi satu-satunya yang benar. Justru dengan pluralisme, Islam memperkenalkan kepada manusia adanya keanekaragaman budaya, pikiran, ideologi, ras, keyakinan, jenis kelamin, biologi, sosial dan geografis yang membawa implikasi adanya pluralitas kebenaran.24

22 Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam…, hal. 45.

23 Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam…, hal. 45 24 Budhy Munawar-Rachman, Argumen Islam…, hal. 45-46.

(9)

Islam sebagai agama rahmatan li al-‘alamin (rahmat sekalian alam) menghargai adanya pluralitas agama (keragaman agama) dan menolak pluralisme agama (keseragaman agama). Menurut penulis, pluralisme agama lahir dikarenakan kesalahan penafsiran yang dilakukan oleh pakar Jaringan Islam Liberal (JIL) terhadap ayat-ayat al-Qur’an. Mereka menafsirkan ayat-ayat al- Qur’an secara ra’yun (akal pikiran), tanpa memperhatikan syarat dan ketentuan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an.25 Landasan utama pluralisme agama menurut pakar JIL bersumber dari al-Qur’an surat al-Kafirun ayat 6 dan Ali Imran ayat 64.

Mereka menafsirkan surat al-Kafirun ayat 6 bahwa semua agama berpotensi memperoleh keselamatan, sehingga semua orang bebas untuk menjaga dan memelihara agama (keyakinan) masing-masing.

Penafsiran surat al-Kafirun ayat 6 di atas dibantah oleh Ibn Katsir.

Menurutnya, ayat ini menjelaskan kebodohan kaum kafir Quraisy yang mengajak Rasulullah saw untuk beribadah sesuai agama mereka selama setahun dan mereka juga akan menyembah Allah selama setahun pula. Maka turunlah ayat ini ini dan Allah memerintahkan kepada Muhammad saw untuk beribadah sesuai agama masing-masing.26

Pada surat Ali Imran 64, para ahli Islam liberal juga menafsirkan kalimatun sawa sebagai suatu harapan bahwa semua agama yang ada harus menganut prinsip transendental, yaitu siapun dapat memperoleh keselamatan jika beriman kepada Tuhan, hari kemudian dan berbuat baik meski apapun agamanya.

Penafsiran ayat tersebut dibantah pula oleh Abdurrahman al-Jauzi.

Menurutnya ayat ini menjelaskan tentang perintah bersegera kepada kalimat yang

25 Terdapat sembilan syarat untuk menafsirkan ayat al-Qur’an adalah: 1) sehat aqidah; 2)

terbebas dari hawa nafsu; 3) menafsirkan al-quran dengan al-quran; 4) menafsirkan al-quran dengan as-sunnah; 5) merujuk kepada perkataan sahabat; 6) merujuk kepada perkataan tabi’in; 7) menguasai bahasa arab dan ilmu cabang-cabangnya (sastra, ilmu bayan, ilmu balaghah, ilmul-”arudh, ilmu mantiq, dan lainnya); 8) menguasai cabang-cabang ilmu yang terkait dengan ilmu tafsir (ilmu asbabunnuzul, ilmu nasakh-manskukh, ilmu tentang al-”aam wal khash, ilmu tentang al-mujmal dan mubayyan, dan lainnya); 9) pemahaman yang mendalam (mengerti hukum dan syariat islam). Manna’ al-Qaththan, Mabahits fi Ulum al-Qur’an, (Beirut: Mansyurat al-‘Ashr al- Hadits, 1973), hal. 332.

26 Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz 8, (Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al- Tauzi’, 1999), hal. 507.

(10)

benar (Islam) dan wajib mengkhususkan ibadahnya hanya kepada Allah semata, serta tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain. Ringkasnya, semua manusia di dunia wajib beragama Allah (Islam).27 Hal ini dikarenakan Allah tidak akan menerima semua agama selain Islam. Allah berfirman:

:نارمع لأ) ...ُم َلْسِ ْلا ِهّللا َدْنِع َنيّدلا ّنِإ 19

(

Artinya: Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah adalah Islam… (Q.S. Ali Imran[3]: 19)

Pada ayat lain, Allah berfirman:

يِف َوُُُهَو ُهُُْنِم َلَُُبْقُي ْنَلَف اًُُنيِد ِم َل ُُْسِ ْلا َرُُْيَغ ِغَُُتْبَي ْنَمَو :نارمع لا) .َنيِرِساَخْلا َنِم ِةَرِخ ْلا 85

(

Artinya: Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang merugi. (Ali Imran[3]:85)

Ide pluralisme agama dicetuskan oleh pakar Islam liberal karena khawatir terhadap konsep pluralitas yang menurut mereka akan menyebabkan perpecahan dan disintegrasi bangsa akibat klaim-klaim kebenaran dari tiap agama dan menyalahkan agama yang lain secara terang-terangan. Kekhawatiran tersebut dibantah langsung oleh al-Qur’an dalam surat al-An’am ayat 108 sebagai berikut:

اًوْدَُُع َهّللا اوّبُسَيَف ِهّللا ِنوُد ْنِم َنوُعْدَي َنيِذّلا اوّبُسَت َلَو

ْمِهّبَر ىَلِإ ّمُث ْمُهَلَمَع ٍةّم ُأ ّلُُُُُكِل اّنّيَز َكِلَذَُُُُك ٍمْلِع ِرُُُُْيَغِب :ماعنلا) .َنوُلَمْعَي اوُناَك اَمِب ْمُهُئّبَنُيَف ْمُهُعِجْرَم 108

(

Artinya: Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampai batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. (Q.S. Al- An’am[6]:108)

27 Abdurrahman al-Jauzi, Tafsir al-Wadhih al-Maisir, juz 1 (Saudi: Majma’ al-Malik Fahad li Thiba’ah al Mushhaf al-Syarif, 2009), hal. 58.

(11)

Pemikiran yang menyatukan agama (pluralisme agama) adalah pemikiran yang menganggap bahwa agama berada dalam ranah budaya. Di dalam Islam, agama tidak dilihat dari budaya, melainkan dilihat dari subtansi-subtansi agama, yaitu syariaat dan pedoman. Perbedaan subtansi antaragama menjadi perbedaan yang sangat mendasar, sehingga manusia tidak dapat menerima agama lain secara bersamaan (berdasarkan teori ideologi). Jika manusia memiliki integritas, maka antaragama tidaklah sama.

Pernyataan yang menganggap bahwa setiap agama sama (pluralisme agama) adalah sesuatu yang tidak realis dan mustahil. Sebab secara teoritik, agama berada di ranah idiologi, bukan budaya. Pluralisme agama tidak dapat menjadi solusi menjaga kerukunan umat beragama, sebab pluralisme merupakan ajaran yang tidak logis, mengandung kontradiksi dan hanya sebuah idealita.

Adapun pluralitas agama dapat menjadi solusi paling idealis untuk menjaga kerukunan umat beragama. Sebab, pluralitas agama sesuai dengan fitrah, realitas kehidupan manusia dan sesuai pula dengan maqashid al-syari’ah, yaitu untuk memelihara agama dari campuraduk dengan agama lain (mashlahat fi hifdz al-din).

C. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian terkait dengan pluralitas agama perspektif al- Qur’an: sebagai tawaran terhadap kerukunan umat beragama, dapat disimpulkan bahwa pluralitas agama berdasar pandangan al-Qur’an merupakan sunnatullah (ketetapan Allah) dan hal ini sesuai dengan realitas dan fitrah manusia serta sesuai juga dengan maqashid al-syari’ah, yaitu untuk memelihara agama dari campuraduk dengan agama lain.

Islam menghargai pluralitas agama (keragaman agama) dan menolak secara tegas ide pluralisme agama (keseragaman agama). Sebab, pluralisme agama adalah ajaran yang tidak logis dan bertentangan dengan fitrah manusia.

Pluralisme menempatkan agama di ranah budaya, padahal agama berada di ranah ideologi. Pluralisme agama lahir dikarenakan kesalahan para ahli Islam liberal

(12)

dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Penafsiran tersebut biasanya dilakukan secara ra’yun (akal pikiran) tanpa memperhatikan syarat dan ketentuan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Dengan demikian, dikarenakan pluralitas agama sesuai dengan realitas, fitrah manusia dan teori maqashid al-syari’ah, pluralitas agama bukan jargon propaganda Barat. Sebaliknya, pluralismelah merupakan jargon propaganda Barat.

D. Saran

Tulisan ini dapat dijadikan sebagai salah satu referensi belajar bagi masyarakat tentang pluralitas agama berdasar konsepsi al-Qur’an. Oleh karena itu, diharapkan kepada seluruh elemen masyarakat Aceh agar memahami secara benar konsepsi pluralitas agama demi terwujudnya kerukunan antarumat beragama yang ada di Indonesia.

Penulisan karya tulis ilmiah al-Qur’an ini masih memerlukan perumusan kembali metode atau teknik terbaru tentang pluralitas agama dalam upaya menjaga kerukunan umat beragama sebagai implikasi terhadap kajian yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Jauzi, Abdurrahman. Tafsir al-Wadhih al-Maisir. juz 1. Saudi: Majma’ al- Malik Fahad li Thiba’ah al Mushhaf al-Syarif, 2009.

Al-Qaththan, Manna’. Mabahits fi Ulum al-Qur’an. Beirut: Mansyurat al-‘Ashr al- Hadits, 1973.

(13)

Budhy Munawar-Rachman. Argumen Islam untuk Pluralisme. Jakarta: PT.

Grasindo, 2010.

Hick, John. Religious Pluralism and Salvation. Oxford: Oxford University Press, 2000.

Ibn ‘Abbas. Tafsir Ibn ‘Abbas. Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.

Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz 4. Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al- Tauzi’, 1999.

Ibn Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim, Juz 8. Dar al-Thayyibah li al-Nasyr wa al- Tauzi’, 1999.

Khan, Muhammad Shiddiq. Fathun al-Bayan fi Maqashid al-Qur’an, Juz 6.

Beirut: Al-Maktabah al-Ashriyyah li al-Thaba’ah al-Nasyri, 1992.

Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat, 1992.

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi. Jakarta: UI-Press, 1987.

Maraghi, Ahmad Ibn Mushtafa. Tafsir al-Maraghi, juz 21. Mesir: Syirkah Maktabah, 1964.

Mudji Sutrisno. Hermeneutika Pascakolonial: Soal Identitas. Yogyakarta: PT.

Kanisius, 2007.

Muhammad, Jalaluddin. Tafsir Jalalain. Kairo: Dar al-Hadits, t.th.

Sudarminta. Filsafat Proses: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Kanisius, 2001.

Tim Redaksi. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Whitehead, Alfred North. Procces and Reality an Essay in Cosmology. New York: The Free Press, 1979.

Wilson, A.N. Against Religion: Why We Should Try to Live Without It. London:

Chatto and Windus, 1992.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

So in Antarctica was found a rock sy tern which we had long known here and, conversely, we have di covered in South Africa a rock system which was first known from the Antarctic.. In