• Tidak ada hasil yang ditemukan

politik hukum pelarangan kegiatan ormas - UNISMA Repository

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "politik hukum pelarangan kegiatan ormas - UNISMA Repository"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh : ABDUL KADIR N.P.M: 21902021011

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM MALANG

MALANG

2021

(2)

vi

Abdul Kadir Abdul Wahid Moh. Muhibbin

Abstrak

Pembubaran Ormas yang dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, lebih menonjolkan sikap otoriter dan membuka ruang kesewenang-wenangan terhadap segala bentuk ormas di Indonesia. Hal ini tentu mengancam terhadap kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat bagi masyarakat Keberadaan Front Pembelas Islam (FPI) dengan segala aktifitasnya yang dianggap meresahkan oleh banyak kalangan, terutama pasca kepulangan Habib Rizieq Shihab, maka pada tanggal 30 Desember 2020 pemerintah secara resmi melarang setiap kegiatan yang dilakukan atas nama FPI. Keputusan ini disampaikan pemerintah setelah rapat bersama yang dilakukan di Kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan.

Dengan berpijak pada permasalahan dan tujuan dari penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan jenis penelitian bersifat yuridis normatif. Dengan obyek penelitian atau pendekatan dari kajian hukum Indonesia terhadap Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia, dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami kajian hukum Indonesia terhadap pelarangan kegiatan ormas di Indonesia dalam perspektif politik hukum.

Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa substansi materi yang mengatur tentang pembubaran organisasi kemasyarakatan sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 maupun UU Nomor 16 Tahun 2017 perlu dielaborasi dengan prinsip-prinsip dasar di dalam konstitusi Republik Indonesia, yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan pengukuhan dari prinsip yang dituangkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yaitu Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka. UUD NRI Tahun 1945 menekankan pentingnya sistem ‘

check and balances’

(pengawasan dan keseimbangan) yang mana perlu ada pembagian kekuasaan yang jelas antara fungsi eksekutif dan yudikatif. Artinya dalam permasalahan pembubaran organisasi kemasyarakatan sangat penting untuk melibatkan pengadilan untuk memutus vonis pembubaran organisasi kemasyarakatan di Indonesia dengan cara melakukan penataan penyelesaian sengketa di pengadilan dengan menggunakan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sehingga proses penyelesaian sengketa pembubaran organisasi kemasyarakatan bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien.

(3)

vii

Keywords: Ormas, FPI, Prohibition and Legal Politics.

Abdul Kadir Abdul Wahid Moh. Muhibbin

Abstract

The dissolution of CSOs, which can be carried out unilaterally by the government, further emphasizes the authoritarian attitude and opens up space for arbitrariness against all forms of mass organizations in Indonesia. This certainly threatens the freedom of association, assembly, and expression of opinion for the community. The existence of the Islamic Defenders Front (FPI) with all its activities which are considered disturbing by many people, especially after the return of Habib Rizieq Shihab, then on December 30, 2020 the government officially banned any activities carried out on behalf of FPI. This decision was made by the government after a joint meeting held at the Office of the Ministry of Politics, Law and Security.

Based on the problems and objectives of this scientific paper, the author uses a normative juridical type of research. With the object of research or an approach from the study of Indonesian law on Law Number 16 of 2017 concerning Social Organizations in Indonesia, with the aim of knowing and understanding Indonesian legal studies on the prohibition of mass organizations activities in Indonesia in the perspective of legal politics.

From the results of the study it was concluded that the substance of the

material governing the dissolution of community organizations as described in

Law Number 17 of 2013 and Law Number 16 of 2017 needs to be elaborated on

the basic principles in the constitution of the Republic of Indonesia, namely

Article 1 paragraph (3) of the 1945 Constitution which is an affirmation of the

principles set forth in the General Elucidation of the 1945 Constitution, namely

that the State of Indonesia is based on law, not based on mere power. The 1945

Constitution of the Republic of Indonesia emphasizes the importance of a system

of 'checks and balances' in which there needs to be a clear division of power

between the executive and judicial functions. This means that in the case of the

dissolution of civil society organizations, it is very important to involve the court

to decide the verdict on the dissolution of social organizations in Indonesia by

arranging dispute resolution in court using the principles of fast, simple and low

cost justice so that the dispute resolution process for the dissolution of

community organizations can be implemented effectively and efficiently

(4)

1 A. Latar Belakang Masalah

Penegasan Indonesia adalah Negara hukum yang selama ini diatur dalam Penjelasan UUD 1945, dalam Perubahan UUD 1945 telah diangkat ke dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3), berbunyi sebagai berikut: “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. Konsekuensi ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan, dan perilaku alat Negara dan penduduk harus berdasar dan sesuai dengan hukum. Bahkan, ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi kekuasaan, baik yang dilakukan oleh alat Negara maupun penduduk.1

Konsep negara hukum bertujuan untuk menghindarkan negara atau pemerintahan bertindak sewenang-wenang. Dengan kata lain, konsep Negara hukum bertujuan untuk membatasi kekuasaan Negara atau pemerintah. Kekuasaan pemerintah yang terbatas atau yang dibatasi merupakan salah satu cirri dari pemerintahan yang berkedaulatan rakyat (pemerintahan demokratis).2 Ciri-ciri dari Negara hukum menurut Jimly Ashidiqqie ada dua belas diantaranya adalah Supremasi hukum

(supremacy of law),

persamaan dalam hukum

(equality before the law)

, asas legalitas, pembatasan kekuasaan, organ eksekutif yang independen, peradilan bebas dan tidak memihak, peradilan tata usaha Negara, peradilan tata Negara, mahkamah konstitusi (

constitutional court

), perlindungan hak asasi

1 Ni‟matul Huda, Hukum Tata Negara Ed.Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 88.

2 Iriyanto A. Baso Ence, Negara Hukum & Hak Uji Konstitusionalitas Mahkamah Konstitusi Telaah Terhadap Kewenangan Mahkamah Konstitusi, (Bandung: PT. Alumni, 2008),

(5)

manusia, bersifat demokrasi

(democratishe Rechstaat),

berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (

welfare rechtstaat

), serta transparansi dan kontrol sosial.3

Indonesia merupakan negara hukum yang berdemokrasi. Istilah negara hukum di Indonesia dapat ditemukan dalam penjelasan UUD 1945 yang berbunyi:

“Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka”

.4

Beberapa faktor penting penegak negara demokrasi, yakni negara yang berdiri dalam konsepsi hukum, adanya masyarakat madani, infrastruktur politik yang meliputi partai politik dan organisasi masyarakat (Ormas), dan juga adanya pers yang bebas serta bertanggung jawab. Salah satu poin penting dalam negara demokrasi yakni adanya jaminan kebebasan berserikat yang terefleksikan oleh pendirian Ormas. Ormas ini diharapkan sebagai wadah masyarakat dalam rangka kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul.5

Negara Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi demokrasi sudah semestinya menempatkan kedaulatan di tangan rakyat seperti yang telah tertulis dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”

sehingga rakyatlah yang seharusnya menjadi pemegang kedaulatan yang sejati.

3 Jimly Asshidiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h.130

4 A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2003), h.,79

5 Ayang Utriza Yakin, Islam Moderat dan Isu-isu Kontemporer (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016), h., 41.

(6)

Hukum yang baik adalah hukum yang dapat melindungi berbagai kepentingan umum, sedangkan tanda dari suatu masyarakat yang bebas adalah setiap orang dimungkinkan untuk mengikuti pilihan mereka sendiri sepanjang tidak melanggar hukum. Oleh karenanya yang terpenting adalah motivasi dan kemauan politik

(political will)

para penyelenggara negara.

Kita mafhum bahwa pada dasarnya kebebasan berserikat dan berkumpul yang diaplikasikan dengan berdirinya ormas oleh sejumlah kelompok masyarakat adalah bagian dari hak asasi manusia, tentunya keberadaannya dilindungi oleh undang-undang sebagai wujud nyata dari demokrasi.

Karenanya, adanya hukum menjadi penting untuk memberi batasan terhadap demokrasi itu sendiri. Sebuah adagium menyatakan,

“demokrasi tanpa hukum bisa liar dan menimbulkan anarki

,

sedangkan hukum tanpa demokrasi bisa dzalim juga sewenang-wenang”.

Adagium itu bermakna, demokrasi harus selalu dikawal oleh hukum agar berjalan tertib serta tidak menimbulkan kekacauan atau tindakan anarkis karena semuanya bisa berbuat sendiri-sendiri berdasarkana kekuatannya.

Namun hukum pun harus dibuat secara demokratis agar dapat menampung dan mencerminkan aspirasi yang ada dalam masyarakat untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia pada umumnya, dan hak-hak warga negara pada khususnya. Dalam hubungan antara demokrasi dan hukum yang seperti itulah, dari perspektif politik hukum, didalilkan bahwa hukum dibuat secara demokratis melalui proses-proses

(7)

politik, tetapi kemudian politik harus tunduk pada hukum, politik tidak boleh mengintervensi hukum.6

Meskipun dirumuskan dengan jelas bahwa Undang-Undang Dasar 1945 menganut asas kedaulatan rakyat atau demokrasi, jika para penyelenggara Negara tidak berjiwa demokrasi dan tidak mempunyai tekad dan komitmen untuk mewujudkan demokrasi dalam kenyataan atau hanya menjadikan demokrasi hanya sebagai retorika semata. Maka Pasal yang jelas menentukan adanya demokrasi itu tidak akan terwujud dalam praktik.7 Bagian dari kebebasan berdemokrasi tersebut tercermin dalam UUD 1945 Pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan bahwa

“setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”

, maka kebebasan tersebut dapat diwujudkan salah satunya melalui berdirinya Organisasi Kemasyarakatan (Ormas).

Keberadaan organisasi kemasyarakatan (Ormas) di Indonesia memiliki Perkembangan yang begitu pesat, lebih-lebih di era reformasi seperti saat ini, dimana saluran kebebasan terbuka sangat lebar. Peranan organisasi kemasyarakatan sangat strategis dan memberikan pengaruh besar terhadap kesadaran masyarakat di Indonesia dalam mewujudkan partisipasi publik serta melakukan kontrol terhadap pemerintahan.

Keberadaan Ormas juga memberikan ruang yang lebar terhadap masyarakat dalam mengimplementasikan kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyampaikan gagasannya. Organisasi kemasyarakatan menjadi sarana untuk menyalurkan pendapat bagi anggota masyarakat serta memiliki

6 https://nasional.sindonews.com/berita/1292238/18/demokrasi-jangan-tabrak- nomokrasi(diakses pada 2 Januari 2021 pukul 10:00 WIB).

7 Jimly Ashiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h., 38.

(8)

peranan penting dalam meningkatkan partisipasi aktif masyarakat berkontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara .

Kebebasan dalam berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pikiran, diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Peraturan tentang Ormas sudah diatur keberadaanya sejak era orde baru, diatur dengan undang-undang yang dijadikan instrumen pengaturan organisasi masyarakat yakni UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Sedangkan yang dimaksud dengan organisasi masyarakat dalam undang-undang ini adalah

“organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperan serta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.

8

Selanjutnya dalam aturan pelaksanaannya dijabarkan melalui PP No.

18 Tahun 1986 yang mengatur secara detail keberadaan organisasi kemasyarakatan di Indonesia.

Pada era orde baru setiap Ormas wajib menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Hal ini sesuai dengan bunyi UU No. 8 Tahun 1985 pasal 2 ayat (1) “

Organisasi Kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas

”, sehingga setiap Ormas yang hidup di Indonesia tidak boleh menggunakan asas selain Pancasila.

Dalam Undang-Undang Ormas tersebut juga diatur bagaimana suatu Ormas dapat dibekukan keberadaannya oleh pemerintah, karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Pemerintah juga dapat membubarkan suatu

8 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan.

(9)

Ormas yang dianggap mengajarkan suatu paham yang bertentangan dengan ideologi Negara, yakni ideologi Pancasila. Pasal tersebut berbunyi,

Pemerintah membubarkan Organisasi Kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme serta ideologi, paham atau ajaran lain yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam segala bentuk dan perwujudannya”.

9 Sedangkan dalam proses dan prosedur pembubaran Ormas diatur secara teknis melalui PP No. 18 Tahun 1986.

Pembubaran Ormas yang dapat dilakukan secara sepihak oleh pemerintah, lebih menonjolkan sikap otoriter dan membuka ruang kesewenang-wenangan terhadap segala bentuk ormas di Indonesia. Hal ini tentu mengancam terhadap kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat bagi masyarakat.

Di era reformasi, kebebasan bagi masyarakat untuk mengeskpresikan diri melalui pendirian ormas begitu terbuka lebar dengan berbagai dinamika ideologi yang berkembang di Indonesia. Dari sinilah secara perlahan peraturan perundang-undangan mengalami perubahan lebih demokratis, khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keormasan.

Pada tahun 2013 dibentuklah Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 yang mengatur Ormas secara lebih komperehensif sehingga Ormas dapat berkembang dan berpartisipasi seluas-luasnya dalam pelaksanaan pembangunan dan mencapai tujuan nasional Indonesia.

9 Pasal 16 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan

(10)

Secara lebih detil beberapa perubahan mendasar untuk menghindari kecenderungan atau kemungkinan munculnya rezim otoritarian diminimalisasi sedemikian rupa dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013, diantaranya :

1. Asas Ormas tidak lagi menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya asas (asas tunggal).

2. Adanya pembagian kewenangan yang jelas dalam memberikan pelayanan Ormas.

3. Adanya kemudahan dengan menyediakan pilihan layanan kepada Ormas, yaitu untuk Ormas yang berbadan hukum (yayasan dan perkumpulan) oleh Menteri Hukum dan HAM, sedangkan yang tidak berbadan hukum oleh Menteri Dalam Negeri, Gubernur, Bupati/WaliKota sesuai dengan lingkup Ormas. Untuk Ormas yang didirikan warga Negara asing dan badan hukum asing harus mendapat ijin prinsip dari Kementerian Luar Negeri dan ijin operasional dari Kementerian/Lembaga.

4. Mendorong tata kelola keuangan Ormas dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Pemberdayaan dilakukan dengan menciptakan iklim dan suasana yang memungkinkan Ormas dapat tumbuh berkembang secara sehat, menguatkan kapasitas kelembagaan, dan meningkatkan kualitas sumber daya Ormas. Pemberdayaan bertujuan untuk menjaga keberlangsungan hidup dan mendorong kemandirian Ormas, baik itu oleh pemerintah dan Pemda, melainkan juga oleh pihak swasta dan partisipasi masyarakat asing.

(11)

5. Pengaturan hak, kewajiban dan larangan diperlukan untuk memberi batasan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Ormas di ruang publik. Larangan dibuat semata-mata untuk meciptakan tertib sosial.

6. Melindungi kepentingan publik, melindungi hak asasi warga masyarakat lainnya serta menjaga keutuhan dan kedaulatan Negara kesatuan Republik Indonesia.

7. Adanya mekanisme penyelesaian sengketa Ormas baik dilakukan secara internal, melalui mediasi pemerintah maupun melalui pengadilan.

8. Pemberian sanksi tidak lagi menjadi kewenangan subyektif pemerintah.

Pembubaran terhadap ormas berbadan hukum hanya dapat dilakukan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sedangkan sanksi pencabutan surat keterangan terdaftar bagi Ormas yang tidak berbadan hukum harus mendapat fatwa dari Mahkamah Agung.

9. Undang-Undang Ormas ini juga sangat memperhatikan aspek sejarah, dengan memberikan pengakuan dan penghormatan sebagai aset bangsa kepada Ormas-ormas yang telah lahir sebelum kemerdekaan 17 Agustus 1945, sebagai wadah perjuangan dan pergerakan masyarakat yang konsisten.10

Namun seiring berjalannya waktu, dan adanya perubahan yang muncul baik dari internal maupun eksternal suatu Ormas tertentu, telah menyebabkan pula adanya

disorientasi

ideologi yang dapat membahayakan Pancasila sebagai ideologi negara.

10 Magfirah Maasum, “Penerapan Sanksi Terhadap Ormas Yang Bertentangan Dengan Nilai-Nilai Pancasila Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan”. Lex Crimen Universitas Sam Ratulangi, Vol.6, 2017, h. 7.

(12)

Peraturan Perundang-undangan Keormasan yang telah ada dinilai oleh pemerintah tidak cukup kuat dalam menghalau kekuatan ideologi ekstrim yang dapat merongrong eksistensi ideologi Pancasila, sehingga pada tahun 2017 pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM secara sigap mengeluarkan Perppu Ormas menggantikan undang-undang yang sudah ada yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 yang mengubah UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakat.

Dikeluarkannya Perppu secara jelas dimaksudkan untuk melindungi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Hal tersebut secara eksplisit disebutkan dalam konsideran Perppu tersebut. Dalam hal ini kemenkumham memiliki kewenangan legal administratif dalam aturan pengesahan perkumpulan atau kemasyarakatan (Ormas).

Dengan dikeluarkannya Perppu tentang Ormas tersebut, yang belakangan telah resmi menjadi Undang-Undang ini atas persetujuan bersama dan disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam Rapat Paripurna, pemerintah dapat dengan leluasa untuk membubarkan suatu ormas tanpa harus terlebih dahulu menunggu putusan pembubaran oleh pengadilan.

Ketentuan tersebut didapat dengan perubahan sejumlah aturan dalam UU Ormas.

Presiden sebagai pemimpin dalam pemerintahan atau kekuasaan eksekutif memiliki hak konstitusional dan berhak untuk menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu), sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 22 ayat (1) disebutkan, “

dalam ihwal kegentingan yang memaksa,

(13)

Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah Pengganti undang- undang

”.11

Menjelaskan keadaan darurat atau tidak darurat sebagai alasan dikeluarkannya sebuah Perppu itu tergantung pada presiden. Alasan darurat untuk Perppu (menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945) memang berbeda dengan alasan dikeluarkannya keadaan darurat oleh Presiden (menurut Pasal 12 UUD 1945) yang memang menurut kriteria yang diatur dalam undang-undang.12

Melihat kondisi tersebut, maka penetapan Perppu ini tentu saja tergantung bagaimana subyektifitas Presiden memandang persoalan yang ada, jika memang Presiden memandang perlu dikeluarkannya Perppu, maka Presiden memiliki hak konstitusional untuk menetapkan Perppu tersebut. Adapun obyektifitas dari ihwal kegentingan yang memaksa akan diuji oleh DPR dalam Rapat Paripurna.

Munculnya Perppu Ormas ini kemudian menjadi perdebatan dan diskursus publik. Selain saat dilakukan tanpa terlebih dahulu melalui proses putusan pengadilan, juga syarat ditetapkannya Perppu ini harus dalam ihwal kegentingan yang memaksa. Dalam keadaan ini jelas seharusnya Perppu dikeluarkan jika keadaan negara berada dalam kondisi darurat dan harus menggunakan langkah-langkah yang cepat dan luar biasa.

Keberadaan Front Pembelas Islam (FPI) dengan segala aktifitasnya yang dianggap meresahkan oleh banyak kalangan, terutama pasca kepulangan Habib Rizieq Shihab, maka pada tanggal 30 Desember 2020 pemerintah secara resmi melarang setiap kegiatan yang dilakukan atas nama FPI. Keputusan ini

11 Pasal 22 Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945

12 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), cet.3, h. 107-108.

(14)

disampaikan pemerintah setelah rapat bersama yang dilakukan di Kantor Kementerian Politik, Hukum, dan Keamanan.

Adapun, penghentian kegiatan yang juga menandakan pembubaran ormas FPI ini dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Bersama yang ditandatangani enam menteri/kepala lembaga. Mereka yang menandatangani SKB itu adalah Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate. Kemudian, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis, Jaksa Agung ST Burhanuddin, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafly Amar.

Keenamnya menuangkan Surat Keputusan Bersama Nomor 220/4780 Tahun 2020, Nomor M.HH/14.HH05.05 Tahun 2020, Nomor 690 Tahun 2020, Nomor 264 Tahun 2020, Nomor KB/3/XII Tahun 2020, dan Nomor 320 Tahun 2020 tentang Larangan Kegiatan Penggunaan Simbol dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan FPI.13

Isi SKB yang berlaku mulai 30 Desember 2020 itu dibacakan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariejm sebagai berikut:

1. Menyatakan Front Pembela Islam adalah organisasi yang tidak terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan sehingga secara de jure telah bubar sebagai organisasi kemasyarakatan.

2. Front Pembela Islam sebagai organisasi kemasyarakatan yang secara de jure telah bubar pada kenyataannya masih terus melakukan kegiatan yang

13nasional.kompas.com/read/2020/12/30/13205551/isi-lengkap-skb-tentang-

pembubaran-dan pelarangan kegiatan- fpi (diakses pada 2 Januari 2021 pukul 10:00 WIB).

(15)

mengganggu ketentraman, ketertiban umum, dan bertentangan dengan hukum.

3. Melarang dilakukannya kegiatan, penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam dalam wilayah hukum Republik Indonesia.

4. Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana diatur dalam diktum ketiga di atas, aparat penegak hukum akan menghentikan semua kegiatan yang diselenggarakan Front Pembela Islam.

5. Meminta kepada masyarakat:

a. Untuk tidak terpengaruh, terlibat dalam kegiatan, penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam.

b. Untuk melaporkan kepada aparat penegak hukum setiap kegiatan penggunaan simbol dan atribut Front Pembela Islam

6. Kementerian/lembaga yang menandatangani Surat Keputusan Bersama ini agar melakukan koordinasi dan mengambil langkah-langkah hukum sesuai ketentuan perundang-undangan.

7. Keputusan Bersama ini mulai berlaku ditetapkan.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah tersebut penulis merinci dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana pelarangan kegiatan ormas (FPI) di Indonesia dalam perspektif politik hukum?

2. Bagaimana implikasi hukum dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia?

(16)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan memahami kajian hukum Indonesia terhadap pelarangan kegiatan ormas di Indonesia dalam perspektif politik hukum.

2. Untuk mengetahui dan memahami kajian implikasi hukum dari Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia.

D. Manfaat penelitian

1. Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap diri penulis dalam memperdalam masalah ilmu hukum atau melakukan kajian keilmuan.

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pelaksanaan sistem peradilan pidana yang baik, terutama pada saat dilakukan pelarangan kegiatan ormas di Indonesia dan implikasinya.

3. Secara Sosial, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pemerintah yang akan memberlakukan pelarangan terhadap kegiatan sebuah Organisasi kemasyarakatan.

E. Orisinalitas Penelitian

Pertama, ”

SISTEMPEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DI INDONESIA”( Wiwik Afifah, 2018)

(17)

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui sistem pembubaran ormas di Indoensia, yang hingga kini masih belum memiliki indicator yang jelas dan mekanisme yang sesuai dengan keberadaan Negara hukum. Pembubaran ormas didasarakan pada ormas tidak menjalankan kewajiban dan larangan. Sehingga alasan pembubaran ormas dapat diklasifikasikan kedalam bentuk ancaman terhadap demokrasi, ideologi bangsa, konstitusi, kedaulatan negara, dan kemaanan nasional.

Dengan metode penelitian yudiris normatif, penulis menyimpulkan, pembubaran organisasi kemasyarakatan harus dengan batasan yang jelas dalam aturan hukum, juga karena bentuk pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai hak konstitusional yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, maka pembubarannya harus dilakukan oleh lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi.

Indonesia sebagai Negara demokrasi, memberikan jaminan atas hak berkumpul, berpendapat dan berorganisasi. Indonesia sejak sebelum kemerdekaan memiliki ormas yang berbasis kedaerahan, agama dan lainnya yang semakin bertambah hingga saat ini.

Namun eksistensi ormas hingga kini ada yang membahayakan kehidupan masyarakat bahkan dianggap membahayakan keutuhan Negara. Diantaranya ormas yang menyerukan kebencian, memposisikan perempuan sub ordinat, membawa nilai-nilai pembentukan Negara non demokrasi dan lainnya.

Sehingga Negara Negara berupaya melakukan pembubaran terhadap organisasi kemasyarakatansebagaimana yang telah diamanatkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

(18)

Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Alasan yang dijadikan dasar pembubaran yaitu melanggar kewajiban dan larangan tidak dikategorikan kedalam bentuk yang lebih spesifik sehingga terjadi multi tafsir yang dapat menstigma. Selain itu, pembubaran ormas masih ada yang tidak melibatkan lembaga yudiciil. Hal ini menjadi ancaman bagi keberlangsungan demokrasimengingat Negara memiliki kuasa dominan atas pelaksanaan hak berorganisasi.

Untuk menghindari kesewenangan-wenangan yang dilakukan oleh pemerintah maka keberadaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dapat dilakukan uji materil ke Mahkamah Konstitusi atau legislative review kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Kedua, “

ANALISIS PEMBUBARAN ORGANISASI KEMASYARAKATAN DALAM PERSPEKTIF NEGARA HUKUM”( NABIH AMER, Jurnal Legalitas Fakultas Hukum Universitas Negeri Gorontalo, 2020).

Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk memberikan penekanan akan pentingnya sistem check and balances (pengawasan dan keseimbangan) yang mana perlu ada pembagian kekuasaan yang jelas antara fungsi eksekutif dan yudikatif. Artinya dalam permasalahan pembubaran organisasi kemasyarakatan sangat penting untuk melibatkan pengadilan untuk memutus vonis pembubaran organisasi kemasyarakatan di Indonesia dengan cara melakukan penataan penyelesaian sengketa di pengadilan dengan menggunakan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sehingga

(19)

proses penyelesaian sengketa pembubaran organisasi kemasyarakatan bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Artikel ini berjudul Analisis Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan Dalam Perspektif Negara Hukum Kajian ini akan menjawab 2 (dua) pertanyaan sebagai rumusan masalah yaitu pertama, bagaimana pengaturan pembubaran organisasi kemasyarakatan di indonesia? dan Kedua, bagaimana mekanisme pembubaran organisasi kemasyarakatan yang ideal dalam perspektif negara hukum?. Kedua rumusan masalah akan dijawab secara metodeologis dengan menggunakan penelitian hukum normatif, karena penulis menggunakan penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif (

normative legal research

) dikarenakan fokusnya adalah mengkaji studi literatur, peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan yang berhubungan dengan objek penelitian.

Pembubaran organisasi kemasyarakatan yang merupakan kewenangan mutlak Pemerintah berdasarkan Undang-UndangNomor16 Tahun 2017 belum mencerminkan prinsip dasar dari sebuah negara hukum yang menghendaki adanya perlindungan hak asasi manusia dan pembagian kekuasaan.

Semestinya pembubaran organisasi kemasyarakatan melibatkan pengadilan untuk mengadili berkaitan pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi kemasyarakatan yang tujuannya untuk menghindari adanya keputusan subjektif yang dilakukan oleh pemerintah.

Substansi materi yang mengatur tentang pembubaran organisasi kemasyarakatan sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 maupun UU Nomor 16 Tahun 2017 perlu dielaborasi dengan prinsip-prinsip dasar di dalam konstitusi Republik Indonesia, yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945

(20)

yang merupakan pengukuhan dari prinsip yang dituangkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yaitu Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka. UUD NRI Tahun 1945 menekankan pentingnya sistem

check and balances’

(pengawasan dan keseimbangan) yang mana perlu ada pembagian kekuasaan yang jelas antara fungsi eksekutif dan yudikatif. Artinya dalam permasalahan pembubaran organisasi kemasyarakatan sangat penting untuk melibatkan pengadilan untuk memutus vonis pembubaran organisasi kemasyarakatan di Indonesia dengan cara melakukan penataan penyelesaian sengketa di pengadilan dengan menggunakan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sehingga proses penyelesaian sengketa pembubaran organisasi kemasyarakatan bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Dari perbandingan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya tersebut, belum dijelaskan secara detail terkait dengan pelarangan kegiatan ormas di Indonesia dalam perspektif politik hukum, dan implikasi hukum dari Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia, seperti yang menjadi tujuan dari penelitian penulis yang lakukan.

F. Sistematika Penulisan

Dalam pembahasan tesis ini dapat disitematikkan sebagai berikut:

Bab I berisi pendahuluan, yang membahas mengenai latar belakang penyusunan atau penulisan. Pelarangan kegiatan organisasi kemasyarakatan di Indonesia, salah satunya adalah Front Pembela Islam (FPI) dalam perspektif politik hukum, dan implikasi hukum dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan di Indonesia, menjadi latar

(21)

belakang dari penelitian ini, yang kemudian dijadikan tujuan dari penulisan.

Dari latar belakang ini kemudian dirumuskan permasalahannya, yang diikuti dengan pembahasan mengenai tujuan dan manfaat penelitian, , originalitas penelitian dan sistematika pembahasan.

Bab II berisi tinjuan pustaka, yang akan membahas tentang beberapa pemahaman seperti pengertian dan bentuk organisasi kemasyarakat dan Front Pembela Islam, Politik Hukum, implikasi hukum, dan lain sebagainya.

Bab III berisi metode penelitian, yang membahas tentang jenis penelitian dan pendekatan, sumber bahan hukum, teknik pengambilan bahan hukum, dan teknik analisi bahan hukum.

Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan, yang menguraikan mengenai kajian Pelarangan kegiatan organisasi kemasyarakatan di Indonesia, salah satunya adalah Front Pembela Islam (FPI) dalam perspektif politik hukum, dan implikasi hukum dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017.

Bab V berisi penutup yang membahas kesimpulan dan saran.

(22)

100 A. Kesimpulan

1. Substansi materi yang mengatur tentang pembubaran organisasi kemasyarakatan sebagaimana dijelaskan dalam UU Nomor 17 Tahun 2013 maupun UU Nomor 16 Tahun 2017 perlu dielaborasi dengan prinsip- prinsip dasar di dalam konstitusi Republik Indonesia, yaitu Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang merupakan pengukuhan dari prinsip yang dituangkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yaitu Negara Indonesia berdasar atas hukum, tidak berdasar atas kekuasaan belaka. UUD NRI Tahun 1945 menekankan pentingnya sistem ‘

check and balances’

(pengawasan dan keseimbangan) yang mana perlu ada pembagian kekuasaan yang jelas antara fungsi eksekutif dan yudikatif. Artinya dalam permasalahan pembubaran organisasi kemasyarakatan sangat penting untuk melibatkan pengadilan untuk memutus vonis pembubaran organisasi kemasyarakatan di Indonesia dengan cara melakukan penataan penyelesaian sengketa di pengadilan dengan menggunakan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan sehingga proses penyelesaian sengketa pembubaran organisasi kemasyarakatan bisa dilaksanakan secara efektif dan efisien.

2. Implikasi hukum dari adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan menurut penulis ada tiga yakni; a) Penerapan Pancasila secara utuh terhadap setiap ormas yang ada di Indonesia, undang-undang ormas menegaskan maksud dan tujuan untuk membedakan dan melindungi ormas yang konsisten dengan tujuan

(23)

berdirinya negara berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Adanya kebebasan berkumpul dan berserikat dalam negara demokrasi di Indonesia juga harus dibatasi, apabila sudah tidak mengindahkan sisi kewajiban yang harus dipenuhi oleh Ormas tersebut. b) Salah satu ketentuan yang mencolok dari UU No. 16 Tahun 2017 tetang Ormas adalah adanya penghapusan proses peradilan dalam pembubaran Ormas.

Dengan undang-undang ini Ormas bisa dicabut SKT atau status badan hukumnya oleh pemerintah apabila sudah diberikan sanksi peringatan tertulis dan penghentian kegiatan. Tentu ketentuan ini berbeda dengan UU No. 17 Tahun 2013 yang mengharuskan proses pembubaran atau pencabutan SKT Ormas harus melalui proses peradilan yang berkekuatan hukum tetap. c) Ada kecenderungan kewenangan sentralisitik dalam UU No. 16 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan, karena segala bentuk pemberian sanksi dan penerapannya dilakukan langsung oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM. Sehingga tidak ada kontribusi pemerintah daerah dalam membina dan memberikan sanksi terhadap Ormas yang berada dalam cakupan daerahnya.

B. Saran

Adapun yang menjadi saran pada kajian ini yaitu: 1) Diperlukan revisi UU Ormas yang berlaku saat ini dengan memasukan kewenangan pengadilan dalam memutus sengketa pembubaran organisasi kemasyarakatan yang didukung dengan penerapan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan. 2) Diperlukan

political good will

dari pemerintah untuk memperhatikan kebebasan berserikat dan berkumpul untuk selektif dan teliti sejak awal

(24)

pendaftaran dalam menilai kelayakan sebuah organisasi kemasyarakatan yang ingin meminta legalisasi dari pemerintah.

(25)

103 Buku

Ali Safa’at, Muchamad. 2011,

Pembubaran Partai Politik

, Jakarta: Raja Garfindo Persada,

Alkostar, Artidjo dan M. Sholeh Amin. 1986.

Pembangunan Hukum dalam Perspektif Politik Hukum Nasional

. Yogyakarta. LBH Yogyakarta dan Rajawali Jakarta

Asshiddiqie, Jimly, 2011,

Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi

, Jakarta : Sinar Grafika

Bambang. 2016,

Penegakan Hukum di Indonesia

, Jakarta: Sinar Garfika

__________, 1975,

Kebebasan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstitusi

Darmosoegondo, Soesanto. Bandung: Falsafah Pancasila, Alumni,

Dirdjosisworo, Soedjono

.

2006,

Pengantar Ilmu Hukum

, Jakarta, Raja Garafindo Persada, Jakarta, 2010. Konstitusi Press

Hadjon, Philipus M. 1987,

Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia

, Bina Ilmu

Mahfud, 1998, Mohammad MD,

Politik Hukum di Indonesia

, Jakarta: LP3ES Prasetyo, Teguh, Arie Purnomosidi,

Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila

,

Nusa Media Waluyo,

Putranto, Hendra, 2016,

Ideologi Pancasila

, Jakarta: Mitra Wacana Media Raharjo, Satjipto. 2000,

Ilmu Hukum

, Citra Aditya Bakti, Bandung

Soekanto, Soerjono. 1993,

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

, Jakarta: Raja Garafindo Persada

Tahir, Azhary Muhammad. (2012).

Beberapa Aspek Hukum Tata Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Islam

. Jakarta: Pernada Media Group.

Triwulan, Titik. Widodo, Ismu Gunadi. 2011,

Hukum Tata Usaha Negara dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia

, Jakarta:

Prenadamedia Group,

Yuswalina dan Kun Budianto, 2015,

Hukum Tata Negara di I

ndonesia, Bandung : Setara Press

(26)

Desertasi/ Tesis:

Hak Berserikat (Suatu Kajian Terhadap Pembekuan Dan Pembubaran Organisasi Kemasyarakatan Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan),

Universitas Indonesia, Jakarta, 2011.

Attamimi, A. Hamid S. (1990).

Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I Pelita IV

, Jakarta: Disertasi Doktoral Universitas Indonesia.

Soemitro, Rochmat. 1965; Disertasi:

Masalah Peradilan Administrasi Dalam Hukum Pajak

, Bandung: Universitas Pajajaran

Jurnal

Djafar, Wahyudi. (2010).

Menegaskan Kembali Komitmen Negara Hukum:

Sebuah Catatan Atas Kecenderungan Defisit Negara Hukum di Indonesia

, Jurnal Konstitusi, 7, 5.

Fauzi, Gamawan. (2015).

Urgensi UU Ormas Dalam Memperkokoh NKRI

, Jurnal Kementerian Sekretariat Negara RI, 29.

Hamzani, Achmad Irwan. (2014).

Menggagas Indonesia Sebagai Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya

, Jurnal Yustisia, 90.

Latipulhayat, Atip. (2017).

Due Process of Law

, Jurnal Ilmu Hukum Padjajaran, 4(2).

Thalhah, HM. (2009).

Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans Kelsen

, Jurnal Hukum, 3 (16).

Website

https://mastel.id/mastel -anggota -jokowi - sudah -tandatangani -pembubaran - 6 -ormas - radikal berdasarkan -perppu - 2 -2017 -2/. diakses pada tanggal 19 Februari 2021. Tuakia, Adhelano. Indonesia di Persimpangan Rechtsstaat dan The Rule Of Law, Lihat:

(27)

https://www.kompasiana.com/adhelanotuaki

a/54f961e1a3331178178b4c1b/indonesia - dipersimpangan -rechtsstaat -the -rule -of-law, diakses pada tanggal 10 Maret 2021

Peraturan Perundang -undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang Undang No 17 Tahun 2013. Republik Indonesia, 2013.

Undang Undang Nomor 16 Tahun 2017. Republik Indonesia, 2017.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dijelaskan bahwa hukum Jinayat merupakan hukum yang mengatur perihal perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam