• Tidak ada hasil yang ditemukan

POSISI DOMINAN Pasal 25 s/d Pasal 29

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "POSISI DOMINAN Pasal 25 s/d Pasal 29"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

POSISI DOMINAN

Pasal 25 s/d Pasal 29

(2)

• Definisi “Posisi Dominan”

• Keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan

dalam kaitan pangsa pasar yang dikuasai,…..

………..pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi…

- dalam kemampuan keuangan - akses pada pasokan dan pasar

- kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang/jasa tertentu

[psl 1 (4)]

(3)

Dari ketentuan Pasal 1 angka 4 tersebut dapat

disimpulkan terdapat 4 syarat yang dimiliki oleh suatu pelaku usaha sebagai pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan, yaitu pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya di pasar yang bersangkutan dalam kaitan:

a) pangsa pasarnya;

b) kemampuan keuangan;

c) kemampuan akses pada pasokan atau penjualan; dan

d) kemampuan menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu

(4)

• Penyalahgunaan Posisi Dominan” Langsung maupun tidak langsung, DILARANG:

• Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi

konsumen memperoleh barang/ jasa yang bersaing dalam harga & kualitas;

• Membatasi pasar dan perkembangan teknologi; dan

• Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar

bersangkutan [psl 25 (1)]

(5)

• “Posisi Dominan” lainnya

• Jabatan rangkap (Direksi atau Komisaris) (psl 26);

• Pemilikan saham mayoritas (psl 27);

• Penggabungan, peleburan dan pengambilalihan (psl 28 & 29)

(6)

Pasal 25

(1) Pelaku usaha dilarang menggunakan posisi dominan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk:

a. menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk

mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas; atau

b. membatasi pasar dan pengembangan teknologi; atau

c. menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

(2) Pelaku usaha memiliki posisi dominan sebagaimana dimaksud ayat (1) apabila:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai 50%

(lima puluh persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu; atau

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai 75% (tujuh puluh lima persen) atau lebih pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

(7)

Bagian Kedua

Jabatan Rangkap

Pasal 26

Seseorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang

bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain, apabila perusahaan- perusahaan tersebut:

a. berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau

b. memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau

c. secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(8)

Bagian Ketiga

Pemilikan Saham

Pasal 27

Pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis yang melakukan kegiatan usaha dalam bidang yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, atau mendirikan beberapa perusahaan yang

memiliki kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan yang sama, apabila kepemilikan tersebut mengakibatkan:

a. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu;

b. dua atau tiga pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 75% (tujuh puluh lima persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.

(9)

Bagian Keempat

Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan

Pasal 28

(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penggabungan atau

peleburan badan usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(2) Pelaku usaha dilarang melakukan pengambilalihan saham perusahaan lain apabila tindakan tersebut dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penggabungan atau

peleburan badan usaha yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ketentuan mengenai pengambilalihan

saham perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dalam Peraturan Pemerintah.

(10)

Pasal 29

(1) Penggabungan atau peleburan badan usaha, atau pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 28 yang berakibat nilai aset dan atau nilai penjualannya melebihi jumlah tertentu, wajib diberitahukan kepada Komisi, selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penggabungan, peleburan, atau pengambilalihan tersebut.

(2) Ketentuan tentang penetapan nilai aset dan atau nilai penjualan serta tata cara pemberitahuan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dalam

• Peraturan Pemerintah.

(11)

Posisi dominan dapat dikatakan salah satu kunci pokok (pusat) dari persaingan usaha. Mengapa? Karena hampir pada setiap kasus hukum persaingan usaha, menjadi

perhatian pertama lembaga persaingan usaha, dalam hal ini di Indonesia, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

adalah terhadap posisi dominan suatu perusahaan pada pasar yang bersangkutan. Siapa yang mempunyai posisi dominan pada pasar yang bersangkutan? Atau kalau suatu kasus dilaporkan ke KPPU apakah terlapor mempunyai posisi dominan? Kalau pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab dengan ya, bagaimana pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya, maka yang akan

dilakukan adalah tinggal membuktikan, apakah pelaku usaha tersebut benar-benar melakukan penyalahgunaan posisi

dominannya dan bagaimana pelaku usaha tersebut melakukan penyalahgunaan posisi dominannya

(12)

• UU No. 5/1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat (UU No. 5/1999) tidak melarang pelaku usaha menjadi perusahaan besar.

• UU No. 5/1999 justru mendorong pelaku usaha untuk dapat bersaing pada pasar yang

bersangkutan. Persaingan inilah yang memacu

pelaku usaha untuk melakukan efisiensi dan inovasi- inovasi untuk menghasilkan produk yang lebih

berkualitas dan harga yang kompetitif dibandingkan dengan kualitas produk dan harga jual dari

pesaingnya. Persainganlah yang mendorong pelaku usaha menjadi pelaku usaha yang dominan.

(13)

UU No. 5/1999 tidak menjelaskan,

apakah syarat-syarat tersebut harus dipenuhi oleh suatu

pelaku usaha secara kumulatif atau tidak. Artinya, apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh pelaku usaha dapat

dinyatakan bahwa pelaku usaha tersebut sudah mempunyai posisi dominan? Akan tetapi salah satu ciri-ciri pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah, jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri/individu tanpa

memperhitungkan pesaing-pesaingnya. Kedudukan seperti ini kepemilikan pasang pasarnya, atau karena kepemilikan

pangsa pasar ditambah dengan kemampuan pengetahuan

tehnologinya, bahan baku atau modal, sehingga pelaku usaha tersebut mempunyai kekuasaan untuk menentukan harga

atau mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian penting dari produk-produk yang diminta

(14)

• Pangsa pasar adalah persentase nilai jual atau beli barang atau jasa tertentu yang dikuasai oleh pelaku usaha pada pasar bersangkutan dalam tahun kalender tertentu

• Pasal 1 Angka 13 UU N. 5/1999

(15)

Pangsa pasar adalah salah satu elemen penting dalam menetapkan, apakah suatu pelaku usaha mempunyai posisi dominan atau tidak. Berapa persen penguasaan

pangsa pasar oleh pelaku usaha dinyatakan sebagai posisi dominan?

Di dalam hukum persaingan usaha Jerman, untuk satu pelaku usaha diduga dapat melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan, jika satu pelaku usaha mempunyai pangsa pasar lebih dari 33,3%, dan untuk dua atau lebih dari tiga pelaku usaha diduga dapat melakukan praktek monopoli atau mempunyai posisi dominan,

apabila menguasai pangsa pasar lebih dari 66,6%.

Menurut hukum persaingan Negara Republik Cekoslovakia dan Spanyol diduga memiliki posisi dominan jika

menguasai pangsa pasar 40%.189

(16)

• di dalam prakteknya KPPU telah menerapkan ketentuan Pasal 25 ayat tersebut dengan pendekatan rule of reason. Hal ini untuk menyesuaikan dengan ketentuan Pasal 4, Pasal 13, Pasal 17 dan Pasal 18 UU No. 5/1999 yang menggunakan pendekatan rule of reason dalam penerapannya. Pertanyaannya adalah mengapa Pasal 25 harus diterapkan dengan menggunakan pendekatan rule of reason ? Secara praktis jika Pasal 25 diterapkan dengan pendekatan per se, maka akan membatasi pertumbuhan (perkembangan) pelaku usaha yang efisien dan inovatif serta kompetitif di pasar yang bersangkutan.

(17)

• karena ketentuan Pasal 4, 13, 17 dan Pasal 18 menggunakan pendekatan rule of reason, maka ketentuan Pasal 25 harus diterapkan dengan

pendekatan rule of reason. Kalau tidak demikian, maka prinsip ketentuan Pasal 25 bertentangan

dengan ketentuan Pasal 4, 13, 17, dan Pasal 18 UU No. 5/1999.

(18)

Penetapan Posisi Dominan

• Lembaga yang berwenang untuk menetapkan posisi dominan suatu pelaku usaha pada pasar yang

bersangkutan, apakah suatu pelaku usaha sudah mempunyai posisi dominan, adalah Komisi

Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Sebelum suatu pelaku usaha ditetapkan mempunyai posisi

dominan, KPPU terlebih dahulu harus melakukan

investigasi terhadap pasar yang bersangkutan. KPPU dalam melakukan investigasi tersebut harus

melakukan pembatasan pasar bersangkutan.

(19)

Pembatasan pasar ada tiga, yang pertama pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk (market

product) atau disebut juga secara obyektif atau faktual, yang kedua pembatasan pasar bersangkutan secara

geografis atau menurut wilayah dan yang ketiga

pembatasan pasar menurut waktu. Metode pertama dan kedua merupakan satu kesatuan dalam pelaksanaan

investigasi pasar bersangkutan sedangkan pembatasan pasar bersangkutan menurut waktu, dilakukan hanya pada waktu tertentu, yaitu pada even-even tertentu.

Misalnya pada pekan raya, pada saat penyelenggaraan olimpiade dll. Metode yang ketiga hampir tidak pernah dilakukan, karena hanya bersifat sementara, yaitu hanya selama even tertentu berlangsung.

(20)

Di dalam UU No. 5 Tahun 1999 metode

pembatasan pasar yang bersangkutan ditetapkan di dalam Pasal 1 No. 10 yang berbunyi: “Pasar

bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas barang dan atau jasa yang sama atau sejenis atau subsitusi dari barang dan atau

jasa tersebut”. Berdasarkan ketentuan ini, maka dapat disimpulkan pembatasan pasar yang

bersangkutan (relevant market) untuk menentukan posisi dominan suatu pelaku usaha menggunakan pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk (product market) dan berdasarkan wilayah atau geografis (geographich market)

(21)

1. Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan pasar produk atau secara obyektif (product market)

Pembatasan pasar bersangkutan berdasarkan produk

atau secara obyektif adalah di mana terdapat barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk subsitusinya.

Pasal 1 angka 10 UU No. 5/1999 tidak memberikan penjelasan dan tidak ada petunjuk khusus mengenai barang yang sama atau sejenis serta barang subsitusi.

Untuk dapat menentukan, apakah suatu barang dengan barang yang lain dapat dinyatakan sama atau dapat

dinyatakan menjadi subsitusi terhadap barang tertentu, perlu dilihat dari 4 aspek, yaitu a) bentuk lahiriah dan sifat barang tersebutb) fungsi barang tersebut, c) harga barang tersebut; dan d) fleksibilitas barang tersebut bagi konsumen.

(22)

a) Bentuk dan sifat barang

• Bentuk dan sifat fisik suatu barang merupakan petunjuk pertama dalam mengidentifikasi

apakah suatu produk satu pasar atau satu produk secara obyektif. Dikatakan secara objektif, karena produk yang berbeda tersebut dilihat secara fisik apakah bentuk dan sifat barang tersebut sama atau tidak. Misalnya apakah soft drink Coca cola dapat dianggap barang yang sama dengan Pepsi?

Kalau ya, maka Coca Cola dengan Pepsi adalah produk yang saling bersaing. Dalam hal ini Coca Cola dengan Pepsi adalah satu pasar, karena

dilihat dari aspek sifat minumannya.

(23)

b) Fungsi barang

Dilihat dari fungsi barang, apakah suatu barang atau produk dengan barang atau produk yang lain

(berbeda) tersebut mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen. Contoh Coca Cola dan Pepsi

mempunyai fungsi yang sama bagi konsumen, yaitu untuk menghilangkan rasa haus. Dilihat dari aspek fungsi barang tersebut, maka Coca Cola dengan Pepsi adalah satu produk. Artinya, satu pasar bersangkutan.

(24)

c) Harga

Unsur yang paling penting dalam menentukan apakah suatu produk dengan produk yang lain dinyatakan sama atau dapat sebagai barang pengganti adalah harga.

Misalnya harga Coca Cola satu botol Rp.4000

sedangkan harga Pepsi satu botol Rp.3900, maka

Coca Cola dengan Pepsi dapat dikatakan satu barang yang sama atau sebagai barang pengganti. Akan

tetapi kalau harga Coca Cola satu botol Rp. 10.000, dan sedangkan harga Pepsi satu botol hanya Rp.

5.000, maka Coca Cola dengan Pepsi bukan satu barang yang sama, atau Pepsi tidak dapat disebut sebagai barang Coca Cola.

(25)

d) Fleksibilitas barang bagi konsumen (interchangeable)

Unsur keempat dalam menentukan apakah suatu produk dapat dinyatakan sebagai barang yang sama atau pengganti bagi produk yang lain adalah

fleksibilitas kebutuhan barang tersebut bagi konsumen. Ini disebut juga konsep kebutuhan

konsumen. Jika konsumen biasanya mengkonsumsi suatu produk tertentu, dan konsumen kehabisan

barang/produk tersebut, maka apakah jika konsumen pada saat membutuhkan produk yang biasa

dibutuhkan tersebut tidak ada di pasar, konsumen

tersebut secara otomatis mau beralih kepada produk yang lain tersebut?

(26)

Kalau ya, maka produk pengganti tersebut menjadi satu produk bagi konsumen terhadap produk yang biasa

dikonsumsinya. Misalnya, apakah mie dapat menjadi barang subsitusi terhadap beras. Artinya jika beras habis dipasar, apakah konsumen bersedia beralih otomatis membeli mie sebagai penggantinya

(interchangeable). Apakah dengan demikian kebutuhan kosumen dapat dipuaskan oleh mie tersebut. Oleh

karena itu, apakah suatu barang tertentu sama dengan barang yang lain, atau sejenis atau dapat sebagai

barang subsitusi biasanya dilihat dari aspek kebutuhan konsumen yang diselidiki kasus per kasus. Dalam hal ini aspek penilaian konsumen sangat penting, karena

konsumen membeli suatu produk untuk kebutuhannya.

(27)

• Pelaku usaha mempunyai posisi dominan tidak dilarang oleh UU No. 5/1999, asalkan

pencapaian posisi dominan tersebut dilakukan melalui persaingan usaha yang sehat atau fair.

Yang dilarang oleh UU No. 5/1999 adalah apabila pelaku usaha tersebut

menyalahgunakan posisi dominannya.

(28)

Contoh :

• Di dalam Putusan KPPU Perkara No. 06/KPPU- L/2004 ditetapkan bahwa PT ABC ditetapkan menyalahgunakan posisi dominannya dengan melakukan program geser kompetitor (PGK).

PT Arta Boga Cemerlang (PT ABC) ditetapkan mempunyai posisi dominan karena menguasai 88,73% pangsa pasar baterai manganese AA secara nasional.

(29)

Di dalam kasus Carrefour KPPU menetapkan dalam putusannya bahwa Carrefour terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19

huruf a UU No. 5/1999, karena menetapkan syarat perdagangan yang mengakibatkan pelaku usaha pemasok tidak dapat memasok

produknya ke Carrefour.

Di dalam Putusan KPPU No. 02/KPPU-L/2005 ditetapkan bahwa Carrefour mempunyai market power dibandingkan dengan

Hypermart, Giant dan Clubstore karena Carrefour mempunyai gerai yang terbanyak. Dengan market power tersebut menimbulkan

ketergantungan bagi pemasok agar produknya dapat dijual di Carrefour.

Bukti menghalangi pemasok ke Carrefour adalah dengan

memberlakukan minus margin yang mengakibatkan salah satu

pemasoknya menghentikan pasokannya kepada pesaing Carrefour yang menjual dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga jual di gerai Carrefour untuk produk yang sama. Carrefour dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a UU No. 5/1999.

(30)

Jabatan Rangkap

Hubungan afiliasi melalui jabatan rangkap ini dapat

memberikan pengaruh terhadap perilaku pelaku usaha yang diafiliasi. Pasal 26 melarang komisaris dan direksi suatu

perusahaan merangkap jabatan di perusahaan yang lain apabila perusahaanperusahaan tersebut; a) berada dalam pasar bersangkutan yang sama; atau b) memiliki keterkaitan yang erat dalam bidang dan atau jenis usaha; atau c) secara bersama dapat menguasai pangsa pasar barang dan atau jasa tertentu, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Prinsip ketentuan Pasal 26 tersebut tidak melarang mutlak

jabatan rangkap. Jabatan rangkap baru dilarang apabila akibat jabatan rangkap tersebut dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat (rule of reason).

(31)

• Contoh jabatan rangkap: PT Garuda Indonesia mempunyai saham 95% di PT Abacus, maka PT Garuda Indonesia menempatkan dua orang

direksinya merangkap jabatan di PT Abacus, yaitu Emirsyah Satar dan Wiradharma Bagus Oka sebagai Komisaris di PT Abacus Indonesia. PT Garuda

dinyatakan sah dan meyakinkan melanggar ketentuan Pasal 26 UU No. 5/1999, karena

keberadaan Emirsyah Satar dan Wiradharma ikut menentukan kebijakan dual acess yang

mengharuskan travel agent untuk mengakses sistem abacus untuk pasar domestik, padahal abacus

adalah untuk pasar internasional (Putusan KPPU No.

01/KPPU-L/2003 tentang Garuda Indonesia)

(32)

• Contoh kasus yang paling tepat yang

diputuskan oleh KPPU dalam kasus kepemilikan saham silang adalah dalam Putusan Perkara

No. 05/KPPU-L/2002 tentang Kasus Cineplex 21, di mana induk perusahaan, yaitu PT

Nusantara Sejahtera Raya mempunyai hubungan terafiliasi dengan anak

perusahaannya, karena mempunyai saham lebih dari 50%, yaitu 98% di PT Intra Mandiri dan 70% di PT Wedu Mitra.

(33)

Merger (PENGGABUNGAN)

• Pelaku usaha sebagai subjek ekonomi senantiasa

berupaya untuk memaksimalkan keuntungan dalam menjalankan kegiatan usahanya (maximizing profit).

Memaksimalkan keuntungan akan diupayakan oleh pelaku usaha dengan berbagai cara, dan salah satu cara yang dapat ditempuh oleh pelaku usaha adalah dengan metode merger. Maksimalisasi keuntungan diharapkan dapat terjadi karena ecara teori, merger dapat menciptakan efisiensi sehingga mampu

mengurangi biaya produksi perusahaan hasil merger.

(34)

Bentuk Umum Merger

Merger secara umum dapat terjadi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu:

a. Merger Horizontal.

Merger horizontal terjadi apabila dua perusahaan yang memiliki lini usaha yang sama bergabung atau apabila perusahaan-perusahaan yang bersaing di industri yang sama melakukan merger;

b. Merger Vertical.

Merger vertical melibatkan suatu tahapan operasional produksi yang berbeda yang saling terkait satu sama lainnya, mulai dari hulu hingga ke hilir. Merger vertikal dapat juga berbentuk 2 jenis, yakni Upstream Vertical Merger dan Downstream Vertical Merger.

c. Merger Konglomerat.

Merger konglomerat terjadi apabila 2 (dua) perusahaan yang tidak memiliki lini usaha yang sama bergabung. Atau dengan kata lain, merger konglomerat terjadi antara perusahaan-perusahaan yang tidak bersaing dan tidak memiliki hubungan penjual-pembeli.

(35)

Pada berbagai bentuk merger yang umumnya terjadi,

yaitu merger horizontal, vertikal dan konglomerat, maka merger horizontal merupakan bentuk merger yang perlu diwaspadai oleh hukum persaingan.

Pada merger jenis ini, dua atau lebih perusahaan yang bergerak dalam lini usaha yang sama bergabung menjadi satu entitas bisnis yang lebih besar. Jika perusahaan

dengan lini usaha yang sama bergabung, maka secara otomatis jumlah pesaing di pasar akan berkurang. Hal inilah yang dapat merusak iklim persaingan, sebab

semakin sedikit jumlah pesaing di dalam pasar, maka akan semakin kecil fleksibilitas persaingan di pasar yang bersangkutan. Pada akhirnya, kondisi ini akan merugikan masyarakat dan kepentingan umum

(36)

• Ketentuan mengenai merger dalam kaitannya dengan persaingan usaha yang tidak sehat telah diatur dalam UU No. 5/1999 dalam Pasal 28 dan Pasal 29 yang merupakan bagian dari Bab Posisi Dominan. Sejalan dengan undang-undang

persaingan usaha, UU No. 40/2007 dalam Pasal 126 ayat (1) butir c, telah mengatur bahwa merger atau pemisahan wajib memperhatikan kepentingan

masyarakat dan persaingan sehat dalam melakukan usaha

(37)

UU No. 5/1999 Pasal 28 tidak menyatakan secara jelas sistem pelaporan merger. Pasal tersebut hanya

menyatakan bahwa pelaku usaha yang hendak

melakukan merger berkewajiban untuk memastikan

bahwa tindakan mergernya tidak mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat. Apabila merger tersebut ternyata berdampak kepada persaingan usaha tidak sehat, maka merger tersebut dapat

dibatalkan oleh KPPU sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, yaitu berdasarkan UU No. 5/1999 Pasal 47 ayat (2) butir e yang mengatur bahwa KPPU dapat

mengenakan sanksi administratif berupa penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham. Selain itu KPPU juga dapat mengenakan sanksi denda dan ganti rugi

(38)

Berbeda dengan ketentuan UU No. 5/1999 Pasal 29 yang

secara tegas menyatakan bahwa kewajiban bagi Pelaku Usaha untuk melaporkan telah terjadinya merger selambat-

lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal terjadinya

merger tersebut. Ketentuan ini jelas memperlihatkan bahwa undang-undang persaingan usaha Indonesia menganut

sistem post-merger notification .

Padahal untuk mencegah terjadinya pembatalan merger, undang-undang persaingan usaha di banyak negara lain mewajibkan pelaku usaha yang hendak merger untuk

memberitahukan rencana mergernya terlebih dahulu (pre- merger notification) kepada otoritas persaingan usaha,

sehingga otoritas tersebut dapat melakukan penilaian apakah merger tersebut mengakibatkan praktek monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat, sehingga bisa ditentukan

apakah merger tersebut dapat diterukan atau tidak.

(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Tidak merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau Pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan, dan/atau lembaga lain... 01 Ikhtisar Data

Perusahaan penyedia jasa memiliki NPWP dan PKP dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun pajak terakhir (SPT Tahunan) serta memiliki laporan bulanan PPh Pasal 23

(7) Apabila Direksi tidak membuat Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) sebagaimana dimaksud pada ayat (6) Pasal ini, maka untuk kelancaran usaha Perusahaan Daerah,

Rangkap jabatan dewan direksi maupun komisaris di suatu perusahaan memiliki. ketentuan larangan yang diatur pada pasal 26 Undang-undang Nomor 5

Namun pada pasal 7 peraturan Bank Indonesia menyatakan bahwa anggota dewan komisaris dapat merangkap jabatan sebagai anggota dewan komisaris, direksi atau pejabat

Apabila Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pengumuman Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam ayat 7 Pasal ini, maka dalam jangka waktu

Beliau tidak merangkap jabatan sebagai anggota Dewan Komisaris, anggota Direksi atau pejabat Eksekutif pada bank, perusahaan, dan/atau lembaga lain, selain sebagai Presiden Direktur PT