Catatan SEMKIM 120 LATAR BELAKANG
Air adalah salah satu kebutuhan pokok yang sangat vital bagi keberlangsungan makhluk hidup.
Munculnya mikropolutan baru (MP) termasuk bahan-bahan beracun seperti: pestisida, bahan pembuat plastik, obat-obatan, bahan kimia atau hormon yang dilepaskan ke lingkungan secara signifikan dapat meningkatkan resiko terhadap ketersediaan air bersih
Filtrasi membran menjadi fokus utama dalam metode pemurnian air karena memiliki konsumsi energi yang rendah, jejak lingkungan yang minim, dan biaya yang terjangkau
Saat ini terdapat dua jenis membran yang umum digunakan dalam pemurnian air yakni membran berpori: ultrafiltrasi (UF) dan mikrofiltrasi (MF) serta membran padat: komposit film tipis yang biasa digunakan sebagai reverse osmosis (RO) dan nanofiltrasi (NF). Membran nanofiltrasi (NF) memiliki kemampuan secara selektif untuk memisahkan zat terlarut dalam air dalam skala nanometer, namun NF memiliki kelemahan bawaan yaitu trade-off antara permeabilitas dan selektivitas.
Self-assembly merupakan pendekatan yang efektif untuk merancang membran dengan pori-pori yang terdefinisi baik serta sesuai kebutuhan sehingga mecapai ukuran pori ke tingkat molekul.
Proses perakitan struktur pori secara mandiri memberikan kontrol atas morfologi dan distribusi ukuran pori, serta dapat mengintegrasikan “fungsi kimia” antara dinding pori dengan zat terlarut.
Metode elegan untuk membuat struktur berpori dengan ukuran pori tertentu pertama kali dilaporkan oleh Kim. dkk. dengan menghilangkan molekul templat dari struktur kolom. Mesofasa kolom dapat diperoleh dari kompleks ikatan hidrogen LC antara turunan asam benzoat dan molekul aromatik templat. Kelompok kami menggunakan kompleks 3:1 antara turunan asam galat dan 1,3,5-Tris(1 H-benzo[d]imidazol- 2-il)benzena (TBIB) sebagai templat. Disini, kami menggunakan asam sulfonat elektrolit yang lebih kuat daripada asam karboksilat yang digunakan pada penelitian sebelumnya, kenapa? karena untuk mengurangi interaksi dengan kation dan untuk meningkatkan permeabilitas air
Turunan monomer asam sulfonat akan mengkomplekskan templat 1,3,5-tris(1H- benzo[d]imidazol-2-il) benzena (TB) menjadi unit supramolekul. Fungsi alkena dari monomer sulfonat adalah crosslinked dan molekul templat dapat dihilangkan sehingga menghasilkan pori- pori berukuran sekitar 1,3 nm dengan gugus sulfonat di bagian dalamnya.
Ket gambar:
Gambar tersebut merupakan representasi skema kompleks supramolekul yang mengarah ke susunan kolom yang akhirnya digunakan untuk membuat membran NF. Kemudian, filtrasi melalui lapisan selektif diwakili dengan gugus SO3 pori-pori yang menciptakan interaksi elektrostatis antara zat terlarut dalam air dan pengayakan berdasarkan ukuran pori.
Urgensi penelitian
Penelitian ini memiliki urgensi yang besar dalam konteks pemurnian air dan perlindungan lingkungan.
Pertama-tama, dengan munculnya mikropolutan baru yang berpotensi beracun bagi makhluk hidup, diperlukan metode pemurnian air yang efektif dan selektif. Penggunaan membran berpori dengan teknologi self-assembly yang diusulkan dalam penelitian ini, dapat menjadi solusi yang lebih ramah lingkungan dengan konsumsi energi rendah dan biaya yang terjangkau.
Kedua, penelitian ini memperluas pemahaman kita tentang kemampuan membran berbasis liquid crystal (LC) untuk memisahkan zat terlarut dalam air. Kenapa? Karena dilakukan pengembangan struktur pori yang memiliki ukuran pori seragam dan terdistribusi baik sehingga membran yang dihasilkan memiliki potensi yang lebih baik untuk meningkatkan efisiensi pemurnian air, Ketiga, penelitian ini menggunakan asam sulfonat yang lebih kuat dalam pembentukan membran dapat mengurangi interaksi dengan kation dan meningkatkan permeabilitas air. Hal ini penting merupakan pendekatan inovatif dalam konteks pemurnian air.
Keempat, penggunaan kompleksasi antara templat 1,3,5-tris(1H-benzo[d]imidazol-2-il) benzene dengan turunan monomer asam sulfonat membentuk unit supramolekul memberikan keunggulan tambahan dalam pembentukan pori-pori dengan ukuran dan distribusi yang terkontrol secara tepat.
Terakhir, penelitian ini bukan hanya tentang meningkatkan kualitas air, tetapi pemahaman baru tentang struktur dan fungsi membran, yang dapat membuka jalan bagi pengembangan teknologi pemurnian air yang lebih canggih dan efisien di masa depan.
METODOLOGI Fabrikasi Membran
Tujuannya untuk meningkatkan kinerja membran komposit nanofiltrasi, dilakukan fabrikasi membran menggunakan membran pendukung PES. Pembuatan membran ini dilakukan melalui metode foto-polimerisasi diikuti metode transfer. Proses ini melibatkan pelapisan spin ke permukaan kaca dan transfer material dengan teknik spin-coating untuk mencapai pengendapan lapisan.
Sebelumnya, pelat kaca telah dibersihkan menggunakan pelarut organik: aseton dan isopropanol menggunakan metode sonikasi selama 10 menit di dalam bak mandi. Metode sonikasi adalah teknik penggunaan gelombang ultrasonik untuk membersihkan sampel. LC mixture ini terdiri dari campuran monomer asam sulfonat 4 dan templat 1,3,5-tris (1H-benzo[d]imidazol-2-il) benzene (TB) (3:1). Kemudian, ditambahkan pula 1,10-dekaneditiol (setara 4,6) dalam DCE/EtOH.
Terakhir, larutan bis(2,4,6-trimethylbenzoyl)-phenylphosphineoxide ditambahkan sebagai inisiator.
1. Lapisan PVA diletakkan di atas pelat kaca menggunakan teknik spin-coating dengan kecepatan 1500 rpm selama 60 s.
Commented [SM1]:
2. LC mixture di spin-coating di atas nya dengan kecepatan 2500 rpm selama 30 s
3. LC/PVA dipindahkan menggunakan steal roller ke PES. "Sanwich" dipanaskan hingga 70 C
4. Membran didinginkan hingga suhu kamar, lalu dilakukan metode foto-polimerisasi dengan sinar UV (15 menit, intensitas 8 mw cm^-2) menghasilkan lapisan tipis 100 nm dari fase sebelumnya
5. Lapisan kaca dan PVA dihilangkan dengan merendamnya dalam air, membran dikeringkan dalam oven vakum pada 40 C
Permeabilitas air
Tujuannya untuk mengukur permeabilitas membran (kemampuan membran dalam meloloskan zat terlarut tertentu) dengan memanfaatkan fluks air murni pada berbagai tekanan (1 hingga 5 bar) menggunakan sel filtrasi buntu tipe Amicon khusus yang memiliki diameter 1,5 cm.
1. Membran dipotong (d = 1,5 cm) dan dibersihkan dengan air deionisasi 2. Membran ditempatkan di dalam sel filtrasi yang diisi 20 mL air
3. Membran diberi tekanan 1-5 bar (gas N2) dan dihitung fluks air selama 2 jam (sampai kondisi stabil). Artinya disini, membran yang tidak menunjukkan fluks air setelah 2 jam di bawah tekanan 5 bar dianggap tidak memiliki cacat.
4. Membran dikocok dalam NaOH 1 M selama 3 jam untuk menghilangkan templat dan dibilas dengan air
5. Permeabilitas dihitung dengan persaman 1
Permeat pada setiap tekanan dikumpulkan setelah fluks kondisi tunak dan dikonversi ke volume untuk mendapatkan fluks air
Permeabilitas (P [bar]) dihitung dari hubungan linear antara fluks air (J [L·m-2 ·h -1 ]) dan perbedaan tekanan (Δ𝑃), dengan menggunakan setidaknya dua membran berbeda untuk memastikan hasil yang konsisten. Pengukuran permeabilitas dapat mengikuti persamaan berikut:
𝑃= 𝐽/Δ𝑃
Perhitungan fluks air teoretis
Kami menggunakan asumsi bahwa aliran melalui membran mengikuti pola aliran yang seragam dan terarah secara vertikal dari struktur kolom heksagonal kolumnar, sebagaimana telah diamati dalam penelitian sebelumnya pada membran serupa.
Representasi kisi heksagonal dengan parameter karakteristik dan representasi orientasi homeotropik untuk fluks air teoretis.
Rejection garam
Konduktivitas larutan umpan dan permeat diukur dengan menggunakan meter konduktivitas Consort C319. Konsentrasi garam dalam larutan ditentukan dari kurva kalibrasi sebelumnya, dimana: 𝜎 𝑁𝑎𝐶𝑙=1.945 [𝐶] 𝜎 𝑀𝑔𝑆𝑂4=0.759 [𝐶]
(dengan konsentrasi garam [C] dalam g L -1 dan konduktivitas σ dalam μS⋅cm -1 ) Penolakan (R) dihitung dari selisih konsentrasi umpan (CF) dan permeat (CP):
𝑅(%)= (𝐶𝐹−𝐶𝑃) / 𝐶𝐹 × 100% (4) Rejection protein
• Bovine Serum Albumin (BSA) dan Green Fluorescence Protein (GFP) digunakan untuk uji filtrasi dalam pengaturan sel Amicon. Larutam BSA sebanyak 1 g L -1 disiapkan dalam buffer PBS. Larutan GFP sebanyak 50 μL dilarutkan dalam buffer PBS. Keduanya memiliki pH netral (IP BSA = 4,7, IP GFP = 5,9).
• Fluks air murni pertama disaring untuk membersihkan membran dan setelah fluks stabil tercapai, sel dikosongkan dan diisi dengan larutan umpan protein sebanyak 10 mL.
• Uji filtrasi dilakukan pada tekanan 4 bar dengan seluruh proses dimonitor secara berkala selama 2 jam.
• Empat buah sampel permeat diambil dimana masing-masing berisikan 1 mL. Sampel pertama dibuang untuk menghindari tercampurnya air sisa di bawah membran dalam sel.
• Sampel BSA segera diukur dengan spektroskopi UV-VIS dengan rentang (240 – 400 nm) dalam mikrokuvet kuarsa. Puncak serapan berada pada 280 nm. Intensitas fluoeresensi emisi GFP 510 nm diukur dengan eksitasi pada 488 nm. Penolakan zat terlarut dihitung dari intensitas UV maksimum (I) untuk BSA dan intensitas fluoresensi untuk GFP antara larutan umpan (F) dan larutan permeat (P).
𝑅(%)= (I𝐹−I𝑃) / I𝐹 × 100% (5)
Penetapan MWCO
Tujuannya untuk mengkarakterisasi batas berat molekul MWCO menggunakan filtrasi PEG.
Larutan dibuat menggunakan pelarut air ultra murni yang mengandung 8 PEG dengan konsentrasi
0.5 g/l untuk setiap polimer. Sebanyak 10 mL dari dua larutan yang mengandung 4 Mn PEG berbeda (dari 600 hingga 4000 dan dari 4500 hingga 20000 g mol -1 ) disaring secara terpisah dan tiga fraksi dari 1 mL larutan permeat dikumpulkan
Analisis dengan Size Exclusion Chromatography (SEC):
• Evapori secara terpisah setiap fraksi yang dikumpulkan dari 1 mL sampel permeat.
• Larutkan masing-masing fraksi dalam 1 mL Dimethylformamide (DMF).
• Suntikkan 10 μL sampel yang telah dilarutkan ke dalam SEC yang dijalankan pada kecepatan aliran 10 mL⋅menit^(-1).
• Gunakan photodiode array detector (PDA) untuk mendeteksi konsentrasi PEG.
• Terapkan kurva kalibrasi yang sesuai untuk mengkonversi waktu penolakan menjadi berat molekul.
Penolakan (R) dihitung dari selisih intensitas maksimum puncak umpan (F) dan permeat (P) sebagai berikut:
𝑅(%)= (𝐼𝐹−𝐼𝑃) / 𝐼𝐹 ×100% (6)
Puncak rata-rata yang diperoleh dari masing-masing larutan dinormalisasi ke puncak PEG 600 g mol -1 , yang terbukti melewati membran LC terpolimerisasi tanpa penolakan (jari-jari hidrodinamik kumparan, R h = 0,81 nm) dalam percobaan filtrasi tunggal dari Mn PEG
Prinsip SEC: Pemisahan senyawa berdasarkan ukuran molekul dimana molekul dengan ukuran kecil berpenetrasi ke dalam pori-pori fase diam, sedangkan molekul berukuran besar akan terelusi lebih dahulu.
Prinsip dasar dari PDA adalah pengukuran absorbansi cahaya pada berbagai panjang gelombang oleh rangkaian photodiode yang disusun dalam larik. Fungsinya untuk mendeteksi komponen- komponen yang terelusi dalam kromatografi cair.
Selektivitas ukuran dan muatan (LANGSUNG BACA AJA UDH NGALIR SM PPT) Tujuannya untuk menentukan selektivitas ukuran dan muatan terhadap molekul yang memiliki ukuran dan muatan yang sama / berbeda
Serangkaian pewarna berbeda dengan berat molekul antara 186 dan 1299 g mol -1 digunakan untuk uji filtrasi. Larutan pewarna berair 50 μM disaring secara terpisah pada tekanan 4 bar dalam pengaturan Amicon. Setelah kondisi stabil tercapai, sampel permeat dikumpulkan dalam triplo untuk menentukan rata-rata penolakan. Sampel segera diukur dalam UV-Vis antara 300 dan 600 nm dalam mikrokuvet kuarsa.
Penolakan (R) zat terlarut ditentukan dengan membandingkan intensitas (I) maksimum masing- masing pewarna dalam serapan UV larutan umpan (F) dan larutan permeat (P) menggunakan persamaan (6) .
Filtrasi campuran yang mengandung Riboflavin dan Methylene Blue dilakukan dengan cara yang sama dan penolakan Riboflavin dihitung seperti dijelaskan di atas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sintesis dan Karakterisasi Kompleks Supramolekul 4.3 TB
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, penelitian ini menggunakan turunan monomer asam sulfonat akan mengkomplekskan templat 1,3,5-tris(1H-benzo[d]imidazol-2-il) benzena (TB) menjadi unit supramolekul.
Monomer turunan asam sulfonate (senyawa 4) disintesis dalam empat langkah mengikuti rute sintetik pada skema.
Langkah pertama, tiga gugus fenolik metil galat dialkilasi dengan 11-bromo-1-undecanol dalam pelarut DMF pada suhu 120 ℃ diikuti dengan deproteksi penghilangan gugus asam karboksilat menggunakan pelarut metanol dan air, serta kalium hidroksida sebagai basa yang menghasilkan senyawa 2. Langkah kedua, senyawa 2 ditambahkan tionil klorida (SOCl2) dan menghasilkan asam klorida 3. Langkah ketiga, asam klorida 3 dicampurkan dengan N-asam metil sulfanilat dalam pelarut DCM dan trimetilamina sebagai basa pada suhu 0 ℃ sehingga menghasilkan senyawa 4
Senyawa 4 dikarakterisasi dengan 1 H NMR, 13 C NMR, FT-IR dan MALDI-TOF. Sifat termal dan kristal cair juga dikarakterisasi dengan kalorimetri pemindaian diferensial (DSC), mikroskop optik polarisasi (POM), dan hamburan sinar-X.
Senyawa 4 ditemukan berbentuk kristal cair saat divisualisasikan di bawah POM pada RT, dengan domain berukuran mikrometer berbentuk tekstur kerucut yang khas untuk mesofasa kolumnarnya Berdasarkan siklus pemanasan DSC, puncak transisi senyawa 4 dari isotropik ke LC pada 57 °C (ΔH = 3,48 J g -1 )
Pola hamburan sinar-X sudut sedang (MAXS) senyawa 4 menunjukkan puncak dengan rasio nilai q 1:√3:2:√7 … sesuai dengan fase Col hex dengan diameter kisi 3,84 nm.
Senyawa 4 dicampurkan dengan templat TB dengan rasio 3:1, digunakan senyawa 4 lebih banyak karena untuk mencegah pemisahan templat TB dari campuran. Kompleksasi senyawa 4 dan TB dilakukan dalam EtOH:CHCl 3 (1:4) menghasilkan kompleks supramolekul 4 3 TB.
Karakterisasi kompleks supramolekul 4.3 TB dimulai dengan menguji kristalinitas cair menggunakan POM, visualisasi POM menunjukkan tekstur kerucut khas dengan domain berukuran mikrometer yang mirip dengan senyawa 4. Pengamatan ini dilakukan setelah sampel dipanaskan hingga 150 °C dan didinginkan kembali ke suhu ruang (Gambar 5b). Tekstur ini adalah ciri khas dari mesofasa kolumnar dengan domain kecil.
Prinsip kerja POM penggunaan cahaya polarisasi linier atau sirkular untuk membedakan, memperbesar, dan memvisualisasikan detail-detail objek yang biasanya tidak dapat terlihat dengan jelas menggunakan mikroskop konvensional
Data DSC (Gambar 5c) menunjukkan dua puncak transisi saat pemanasan kedua yakni: transisi kaca pada suhu rendah (suhu diberikan) dan isotropisasi pada 55 °C
Prinsip kerja kalorimetri pemindaian diferensial (DSC) didasarkan pada pengukuran perubahan kalor yang terjadi pada sampel ketika dipanaskan atau didinginkan secara bertahap. Teknik ini berfungsi untuk memahami sifat termal dari berbagai bahan, termasuk transisi fase, reaksi kimia, dan perubahan struktural.
Pengukuran difraksi sinar-X pada suhu kamar (Gambar 5d) memastikan bahwa kompleks tersebut memiliki struktur heksagonal kolumnar dengan rasio 1:√3:2 dari puncak utama difraksi yang memberikan parameter kisi a sebesar 4,47 nm.
Prinsip difraksi sinar-X adalah bahwa sinar-X yang bersinar pada sebuah kristal akan dipantulkan atau difraksi oleh atom-atom dalam struktur kristal tersebut. Proses ini menghasilkan pola difraksi yang khas yang dapat digunakan untuk menganalisis struktur kristal sampel tersebut.
Karakterisasi Film Polimer Berbasis LC
Film LC nanopori dibuat melalui reaksi tiol-ena, suatu polimerisasi radikal yang diinduksi cahaya di mana gugus tiol bereaksi dengan alkena untuk menghasilkan jaringan ikatan silang yang homogen (Gambar 6a).
Larutan yang mengandung TB, senyawa 4, dan 1,10-dekaneditiol berperan sebagai pengikat silang (1,5 molekul ditiol per molekul senyawa 4 memiliki perbandingan tiol:ena 1:1
Film self-standing dikarakterisasi dengan FT-IR untuk mengkonfirmasi keberhasilan fotopolimerisasi dengan hilangnya ikatan rangkap terminal (=C–H bending vibration at 908 cm- 1) seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 6b).
Karakterisasi menggunakan difraksi POM dan sinar-X mengkonfirmasi retensi kisi heksagonal kolumnar setelah polimerisasi terlihat pada (Gambar 6c dan d)
Jarak kisi d100 meningkat dari 3,90 menjadi 4,65 nm pada polimer karena diperkenalkannya cross- linker dalam jaringan.
Terjadi penghilangan templat dengan cara mengocok perlahan film di DMSO selama 3 jam. Secara kualitatif penghilangan templat fluoresen dapat dilihat oleh mata, karena di bawah sinar UV 256 nm. Film yang dibuat berwarna kuning-hijau kini berubah menjadi biru setelah templat dilepas (Gambar 6e). Penghilangan TB dilakukan secara kuantitatif setelah tiga ekstraksi dengan DMSO dikonfirmasi dengan spektroskopi UV-Vis untuk menentukan konsentrasi templat dalam larutan.
Karakterisasi Membran
Membran nanokomposit yang dihasilkan dari proses fabrikasi membran, kemudian dikarakterisasi. Karakterisasi dimulai menggunakan Mikrograf Pemindaian Mikroskop Elektron (SEM) pada permukaan membran.
Gambar 7.b : HR-SEM tampak atas permukaan lapisan LC menunjukkan bahwa lapisan LC berstruktur nano menutupi permukaan PES sepenuhnya tanpa cacat dalam skala mikrometer.
Gambar. 7.c : Menunjukkan keberhasilan pemindahan LC ke dukungan PES dikonfirmasi di mana ketebalan rata-rata lapisan terpolimerisasi LC sekitar 200 nm di atas dukungan PES yang tebal dan berpori
Permeabilitas air
Penelitian ini mempelajari sifat penyaringan ultrapure water melalui membran komposit terpolimerisasi berbasis LC. Penggunaan istilah “ultrapure water” merujuk pada kemampuan membran untuk meloloskan air dengan fluks air stabil selama minimial 1 jam (Gambar 8a). Dari kesesuaian linier fluks vs ΔP (Gambar 8b). Permeabilitas air murni ditentukan sebesar 2,36 ± 0,27 L m -2 jam -1 ·bar -1, sedangkan untuk membran yang hanya menggunakan penyangga PES permeabilitasnya adalah 106 ± 3,92 L m -2 jam -1 ·bar -1.
Hal ini menunjukkan bahwa lapisan LC merupakan faktor dominan terhadap kinerja membran secara keseluruhan dan dukungan PES tidak mempengaruhi permeabilitas secara signifikan.
Gambar 8.
A) Hubungan antara fluks air vs tekanan yang diperoleh nilai permeabilitas P dan
B) Plot permeabilitas air vs waktu.
Permeabilitas membran nanokomposit dekat dengan membran NF saat ini (antara 1 dan 10 L m -
2 jam -1 ·bar -1 ) dan mirip dengan nilai permeabilitas membran berbasis LC terbaru yang dilaporkan oleh kelompok Kato dan Osuji
Perhitungan Fluks Air Teoretis
Permeabilitas teoretis dihitung untuk membran setebal 200 nm dengan penyelarasan pori-pori homeotropik yang sempurna (kerapatan pori yang dihitung ϵ = 6,73·10 16 m -2 ) dengan memiliki ukuran pori sekitar 1,3 nanometer, hal ini dihitung berdasarkan perkiraan dari perangkat lunak Chem3D dan referensi. Menentukan ukuran pori secara eksperimental itu sulit, karena metode yang digunakan itu tidak dapat mengukur pori hingga skala nanometer. Permeabilitas eksperimental adalah 35% dari nilai teoritis.
Rejection terhadap Garam
Penolakan garam dengan kation monovalen atau divalen ditentukan oleh NaCl dan MgSO4 dan diplot terhadap waktu.
(Gambar 9) menunjukkan penolakan kurang dari 10%. Membran tidak dapat menahan garam- garam anorganik seperti NaCl dan MgSO4 dengan baik karena ukuran pori dalam membran (sekitar 1,3 nanometer) lebih besar dari jari-jari ionik garam-garam ini (Na + = 0,102, Cl - = 0,181 nm, Mg 2+ = 0,072 dan SO 4 2− = 0,290) (Marcus, 1994).
Hal ini disebabkan oleh koordinasi yang lemah antara gugus sulfonat pada dinding pori membran dengan ion-ion garam tersebut.
Rejection terhadap Protein
Kemampuan membran komposit untuk menolak zat terlarut seperti protein globular diuji dengan filtrasi dua jenis protein: yaitu Bovine Serum Albumin (BSA) dan Green Fluorescence Protein (GFP).
BSA memiliki berat molekul sebesar 66 kDa dan radius molekul sekitar 2,6 nm sedangkan GFP memiliki berat molekul sebesar 40 kDa dan radius molekul sekitar 2,2 nm (Erickson, 2009).
Penolakan ditentukan setelah kondisi stabil.
Analisis data penolakan menunjukkan bahwa 99,6% protein BSA dan 99,2% GFP ditolak (Tabel 2). Hal ini disebabkan ukuran fluks zat terlarut yang besar, angka penolakan yang sangat tinggi menegaskan bahwa membran bebas cacat dengan pori-pori lebih kecil dari 2 nm.
Filtrasi BSA menghasilkan penurunan permeabilitas dari 2,39 menjadi 0,82 [L·m -2 ·h -1 ·bar -1], namun saat larutan protein digantikan oleh air murni fluks hampir pulih secara sempurna (>99 %) (Gambar 10).
Penetapan MWCO
MWCO membran LC ditentukan dengan mengukur penolakan polietilen glikol (PEG). Nilai MWCO membran LC komposit menunjukkan 5000 g mol-1 PEG Hal ini menunjukkan bahwa membran LC komposit tersebut dapat menahan molekul-molekul PEG dengan berat molekul kurang dari atau sama dengan 5000 g mol-1 sesuai dengan Mn (massa molekul numerik) di mana 90% zat terlarut ditahan
Selektivitas ukuran dan muatan
Hipotesis ini didukung oleh sejumlah pengamatan: Pewarna AB berukuran besar (+4, M W = 1157 g mol -1 ) ditolak seluruhnya dan teradsorpsi sebagian di permukaan, yang dapat diamati dengan mata dengan pewarnaan permukaan membran ( Gbr. S17a kiri).
Selama filtrasi pewarna mono kationik (CV) yang lebih kecil, penolakan meningkat dari nilai awal 60% –80% pada kondisi stabil. ( Gbr. S17c ).
Pewarnaan yang kuat pada seluruh membran setelah proses filtrasi ( Gbr. S17a ) dan rendahnya konsentrasi pewarna dalam larutan retentat ( Gbr. S17b kanan) mengkonfirmasi penyerapan pewarna di dalam membran. Jadi, pada filtrasi pewarna kationik dengan ukuran molekul yang sama atau lebih kecil dari ukuran pori, terjadi penyerapan, yang meningkatkan penolakan pewarna seiring waktu.
Perilaku yang diamati dipelajari lebih rinci dengan memeriksa pengaruh keberadaan pewarna kationik terhadap penolakan molekul lain menggunakan campuran umpan yang mengandung pewarna kationik (MB) dan zat terlarut netral PEG 3000 atau Riboflavin. Tabel 4 memberikan nilai penolakan dan fluks pada kondisi tunak zat terlarut. Membandingkan data dengan dan tanpa MB, kami mengamati fluks yang lebih rendah untuk campuran dan peningkatan penolakan, yang lebih luar biasa untuk PEG 3000 (dari 50 menjadi 75%) yang membenarkan hipotesis kami.
Alasannya mungkin terkait dengan proses perlambatan yang diusulkan di dalam pori-pori membran ketika zat terlarut kationik disaring karena interaksi muatan yang “mengurangi ukuran pori yang tampak”. Kami mengaitkan hasil ini dengan ukuran molekul: riboflavin tidak cukup besar untuk terpengaruh sementara PEG 3000 berada di bagian kurva MWCO yang lebih curam untuk penolakan PEG.