• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET BISNIS GARAM RAKYAT SEBAGAI BENTUK PEMANFAATAN AIR LAUT DI WILAYAH KOTA SURABAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "POTRET BISNIS GARAM RAKYAT SEBAGAI BENTUK PEMANFAATAN AIR LAUT DI WILAYAH KOTA SURABAYA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)

POTRET BISNIS GARAM RAKYAT SEBAGAI BENTUK PEMANFAATAN AIR LAUT DI WILAYAH KOTA SURABAYA

Bagiyo Suwasono1, Ali Munazid1, Aniek Sulestiani1, Sapto J.

Poerwowidagdo2

1. Fakultas Teknik & Ilmu Kelautan, FTIK - UHT Surabaya, Fakultas 2. Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, FISIP - UHT Surabaya,

www.hangtuah.ac.id bagiyo.suwasono@hangtuah.ac.id

ABSTRAK

Saat ini pandangan masyarakat umum terhadap kegiatan produksi garam dianggap sebagai industri yang kurang menguntungkan dan tidak memerlukan tingkat keahlian apapun. Pandangan ini tumbuh dari kenyataan bahwa pengolahan air laut menjadi garam yang dilakukan oleh para petambak garam melalui metode konvensional dan rasa santai yang selalu muncul memberikan dampak pada produk garam yang dihasilkan belum mampu mencapai ketetapan mutu dan keseimbangan hasil produksi.

Kegiatan survei dilakukan di empat kecamatan (Benowo, Pakal, Asemrowo, dan Tandes) dengan memperhatikan pola produksi di lahan garam dan mekanisme bisnis garam di wilayah Kota Surabaya. Pendekatan dalam penentuan strategi model penguatan menggunakan metode gabungan SWOT-AHP dengan melibatkan responden dari petambak garam, penggarap lahan, dan SKPD kota Surabaya

Hasil akhir menunjukkan bahwa strategi progresif yang dilakukan adalah Strategi Keunggulan Komparatif. Strategi implementasi dalam rencana penguatan produktivitas garam dan petambak garam di wilayah kota Surabaya, meliputi: (1) inovasi teknologi produksi di lahan garam melalui metode maduris plus, (2) inovasi teknologi pemurnian garam rakyat melalui teknologi tepat guna, (3) kemampuan diversifikasi produk garam, diantaranya garam dapur, garam aneka pangan, garam cair dan garam industry, dan (4) kemampuan akses modal kerja melalui penguatan koperasi garam Surabaya.

Kata kunci: produksi garam, petambak garam, strategi penguatan

PENGANTAR

Masyarakat petambak garam merupakan bagian dari masyarakat pesisir yang ada di kota Surabaya selain nelayan, petambak, pengolah hasil perikanan, serta masyarakat pelaku usaha kelautan dan perikanan lainnya. Sedangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat petambak garam melalui kelompok usaha bersama (KUB) akan memerlukan sebuah metode pengolahan dan peralatan yang lebih maju untuk membantu dalam percepatan proses produksi garam maupun

(6)

pasca panen garam, utamanya pada saat menghadapi panen raya. Dengan sentuhan metode dan peralatan akan mampu meningkatkan produktivitas areal penggaraman maupun pasca produk. Selain itu pandangan masyarakat umum pada kondisi saat ini menunjukkan bahwa produksi garam dianggap sebagai industri yang kurang menguntungkan karena tidak memerlukan tingkat keahlian apapun. Pandangan ini tumbuh dari kenyataan yang ada terutama apabila dihubungkan dengan pengolahan air laut menjadi garam oleh petani garam tradisional dengan metode konvensional dengan kurang memanfaatkan kaidah- kaidah ilmiah yang mumpuni. Kebiasaan ini didasarkan pada keadaan alamiah dan rasa santai untuk menghasilkan produk yang belum mencapai ketetapan mutu dan ketidakseimbang hasil yang diperoleh. Hal ini merupakan tantangan bagi kita semua, bagaimana mengubah kebiasaan masyarakat petambak garam dari pengendalian yang bersifat alamiah dengan menjadi pengendalian yang menerapkan kaidah-kaidah ilmiah dalam konteks produksi dan pasca produk garam.

Dalam rangka mendukung percepatan penanggulangan kemiskinan yang menjadi program prioritas Pemerintah, maka sejak tahun 2009 Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM Mandiri-KP) melaksanakan program penanggulangan kemiskinan, utamanya bagi masyarakat kelautan dan perikanan. Pada tahun 2011 pelaksanaan PNPM Mandiri KP terdiri dari Pengembangan Usaha Mina Pedesaan (PUMP) dan Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). KKP melaksanakan program PUGAR sebagai salah satu strategi untuk pemenuhan kebutuhan garam nasional sehingga akan mampu mengurangi jumlah impor garam. PUGAR adalah program pemberdayaan yang difokuskan pada peningkatan kesempatan kerja dan kesejahteraan bagi petambak garam melalui prinsip bottom-up, artinya petambak garam akan terlibat dalam perencanaan program, pelaksanaan dan melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan mekanisme yang ditentukan. Adapun tujuan PUGAR adalah: (1) Membentuk sentra-sentra usaha garam rakyat di lokasi sasaran; (2) Memberdayakan dan meningkatkan kemampuan petambak garam rakyat dalam kelompok usaha garam rakyat; dan (3) Meningkatkan akses terhadap permodalan, pemasaran, informasi, serta ilmu pengetahuan dan teknologi bagi petambak garam rakyat. Seluruh tahapan pelaksanaan PUGAR berbasis pemberdayaan masyarakat dengan tujuan untuk menciptakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam melaksanakan proses pembangunan dari, oleh dan untuk masyarakat.

Gambar 1. Visi dan Misi PUGAR

(7)

METODOLOGI

Kegiatan ini merupakan penelitian terapan (applied research) dengan teknik analisa menggunakan metode SWOT-AHP. Lokasi penelitian berada di 4 kecamatan (Asemrowo, Benowo, Pakal, dan Tandes) di wilayah Kota Surabaya dengan fokus penelitian berada di wilayah Kelurahan Romokalisari Kecamatan Benowo dengan pertimbangan lokasi tersebut memiliki wilayah pesisir, luas lahan hingga mencapai 360,70 Ha, sumber bahan baku tidak jauh dari air laut, dan kemudahan akses dari jalan utama.

Gambar 2. Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Produksi Garam 1. Kawasan Lahan

Kota Surabaya merupakan salah satu daerah penyangga penghasil garam di Jawa Timur, sedangkan penghasil garam terbesar adalah di Pulau Madura yang diwakili oleh Kabupaten Sampang dan Sumenep. Daerah penghasil garam di Kota Surabaya berada di wilayah Surabaya barat, antara lain di wilayah Kecamatan Asemrowo dengan dua kelurahan (Tambak Langon dan Kalianak), Kecamatan Benowo dengan empat kelurahan (Tambak Osowilangun, Romokalisari, Sememi,

>dZ><E'

<ĞŐŝĂƚĂŶWh'Z͗

ϭ͘ dĞƌĐĂƉĂŝƚĂƌŐĞƚƉƌŽĚƵŬƐŝŐĂƌĂŵŬŽŶƐƵŵƐŝ͕ŝŶĚƵƐƚƌŝ͕ĚĂŶĨĂƌŵĂƐŝ

Ϯ͘ DĞŶŝŶŐŬĂƚŬĂŶŬĞƐĞũĂŚƚĞƌĂĂŶƉĞƚĂŵďĂŬŐĂƌĂŵŬĞƐƚĂďŝůĂŶŚĂƌŐĂĚĂŶŬƵŽƚĂŐĂƌĂŵ KƌŝĞŶƚĂƐŝƉĂĚĂŬŽŶƐĞŬƵĞŶƐŝ͕ŵĂƐĂůĂŚ͕ĚĂŶƉůƵƌĂůŝƐƚŝŬ͗

1. Anomali cuaca yang cenderung memperkecil masa musim kemarau 2. Semakin berkurangnya dominasi pemilik lahan garam

3. Dominasi teknologi kristalisasi total atau metode maduris

4. Bentuk model penguatan produktivitas garam di Wilayah Kota Surabaya 5. Bentuk model penguatan bagi petambak garan di Wilayah Kota Surabaya.

DK>WE'hdE ϭ͘ ^ƚƌĂƚĞŐŝŵŽĚĞůƉĞŶŐƵĂƚĂŶ

Ϯ͘ ^ƚƌĂƚĞŐŝŝŵƉůĞŵĞŶƚĂƐŝ

DK><KD/E^/^tKdͲ,W

DĂƉƉŝŶŐ͗^/'ʹ'ĂƌĂŵ^ƵƌĂďĂLJĂ

/ĚĞŶƚŝĨŝŬ

ĂƚĂ͗'ĂƌĂŵ^ƵƌĂďĂLJĂ;ϰ<ĞĐĂŵĂƚĂŶĚŐŶϭϮ<ĞůƵƌĂŚĂŶͿ

<ƵĂŶƚŝƚĂƚŝĨ͗

DƐ͘džĐĞůƐŽĨƚǁĂƌĞ

<ƵĂůŝƚĂƚŝĨ͗

DƐ͘džĐĞůƐŽĨƚǁĂƌĞ

^tKdͲ,W͗DŽĚĞůWĞŶŐƵĂƚĂŶ

>ŽŐŝƐΘƉůŝŬĂƚŝĨ

^ƚƌĂƚĞŐŝͲϮ

^ƚƌĂƚĞŐŝͲϭ ^ƚƌĂƚĞŐŝͲϯ

(8)

dan Kandangan), Kecamatan Pakal dengan lima kelurahan (Pakal, Sumberejo, Tambakdono, Babat Jerawat, dan Benowo), dan Kecamatan Tandes dengan satu kelurahan (Buntaran). Garam yang dihasilkan di Kota Surabaya di produksi oleh masyarakat setempat dengan dominasi pengelolaan luas lahan yang bervariasi antara 1 hingga 5 Ha dan ada pula yang mengelola hingga puluhan hektar.

Gambar 3. SIG Kawasan Lahan Garam Surabaya

Tabel 1. Luas Lahan Garam dan Sumber Bahan Baku Garam Tahun 2011

No Kecamatan Jenis Tanah Kelurahan Areal (Ha) Bahan Baku

1 Pakal

Alluvial Endapan dari lumpur sungai

Pakal 113,19 Aliran Sungai

Sumberejo 61,29 Aliran Sungai Tambakdono 101,48 Aliran Sungai Babat Jerawat 73,71 Aliran Sungai

Benowo 19,94 Aliran Sungai

Jumlah-1 369,61 Ha (14.712,27 Ton Garam)

2 Benowo Bukan Abu Vulkanik

Tambak Osowilangun

398,04 Air laut dan Sungai Romokalisari 360,70 Air laut dan

Sungai

Sememi 107,25 Aliran Sungai

Kandangan 110,59 Aliran Sungai Jumlah-2 976,58 Ha (55.109,51 Ton Garam)

3 Asemrowo Alluvial

Tambak Langon

84,80 Air laut dan Sungai

Kalianak 7,54 Air laut dan

Sungai Jumlah-3 92,34 Ha (3.649,78 Ton Garam) 4 Tandes Alluvial, Bukan

Abu Vulkanik Buntaran 51,65 Aliran Sungai Jumlah-4 51,65 Ha (4.208,93 Ton Garam) Total Jumlah Luas Lahan 1.490,19 Ha (77.693 Ton Garam) Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, dan SIG Garam Surabaya

Keterangan tambahan:

(9)

Untuk bahan baku yang langsung dari air laut memiliki jenis pantai berlumpur.

Pantai berlumpur dicirikan oleh ukuran butiran sedimen sangat halus dan memiliki tingkat bahan organik yang tinggi. Pantai dipengaruhi oleh pasang surut yang mengaduk sedimen secara periodik sehingga interaksi organisme dengan sedimen dan pengaruh evaporasi perairan akan sangat tinggi di lingkungannya.

Berdasarkan Gambar 3 dan Tabel 1 menunjukkan bahwa Hamparan luas lahan garam untuk Kecamatan Benowo (diwakili oleh Kelurahan Tambak Osowilangun sebesar 398,04 Ha dan Romokalisari sebesar 360,70 Ha) memiliki luas lahan yang cukup besar, yaitu 976, 58 Ha dengan total produksi garam mencapai 55.109,51 Ton, sedangkan yang terendah di Kecamatan Tandes yang diwakili Kelurahan Buntaran dengan luas lahan sebesar 51,65 Ha.

2. Status Pengelolaan Lahan

Kondisi status pengelolaan lahan garam di wilayah Kota Surabaya menunjukkan bahwa 86% dari pengelolaan lahan garam merupakan bentuk sewa dari investor yang sudah menguasai lahan-lahan garam di kota Surabaya, sedangkan untuk kepemilikan hak milik hanya tinggal 14%.

3. Kondisi Infrastuktur Lahan Garam

Kondisi saluran dan pematang pada lahan garam rakyat di Kota Surabaya sangat dipengaruhi oleh hasil garam yang telah diproduksi. Pada saluran air primer menunjukkan sebanyak 27% dari petambak menyatakan rusak dengan kondisi akibat adanya pendangkalan dan proses pengurukan yang dilakukan oleh investor, sedangkan pada saluaran sekunder, tersier dan pematang dalam kondisi baik (kerusakan ≤ 10%).

Gambar 4. Kondisi Saluran dan Pematang Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011, diolah

Untuk situasi akses distribusi produk dari lahan garam ke jalan utama yang beraspal masih memilik akses antara 200 meter hingga 1.000 meter mencapai 43%, sedangkan 6% saja lahan yang berada di bawah 100 meter. Hal ini menyebakan tingginya biaya pengangkutan hasil panen ke tempat-tempat penampungan.

(10)

Gambar 5. Lahan Garam di Kelurahan Romokalisari 4. Permodalan Usaha

Terdapat dua sumber utama permodalan dalam usaha garam rakyat di Kota Surabaya, yaitu Modal Sendiri (58%) dan Pinjaman dari Pengepul (38%), sangat sedikit Petambak Garam yang berhubungan dengan Perbankan dalam hal penyediaan modal. Pinjaman kepada pengepul sebagai alternatif pilihan pertama ketika petambak tidak mampu untuk menyediakan modal sendiri. Fakta lapangan bahwa menunjukkan pinjaman kepada pengepul tidak dikenai bunga seperti pada Bank, tetapi pengembalian modal akan dilakukan ketika ada garam yang sudah dipanen. Garam yang dipanen dibeli oleh pengepul sekaligus sebagai alat pembayaran pinjaman modal.

5. Produksi Garam

Kapasitas Produksi

Tingkat kapasitas produksi garam per Ha di Kota Surabaya berkisar antara 55,50 hingga 134,70 ton per Ha dalam satu musim. Dengan menggunakan metoda produksi tradisional menunjukkan bahwa kapasitas produksi garam dalam satu musim di Kelurahan Tambak Osowilangon, Kelurahan Romokalisari, Kelurahan Kalianak dan Kelurahan Pakal mampu mencapai diatas 100 ton per Ha pada tahun 2009, sedangkan di kelurahan Buntaran dan Tambak Langon hanya mampu berproduksi dibawah 60 Ton per Ha dalam satu musim seperti ditampilkan pada Gambar 6.

ϱϱ͕ϱϬ ϱϱ͕ϵϱ

ϳϴ͕ϴϲ ϴϰ͕ϬϬ

ϴϰ͕ϱϰ ϴϰ͕ϵϬ ϴϳ͕ϴϴ

ϵϯ͕ϴϳ ϭϬϱ͕Ϯϴ ϭϬϲ͕Ϭϱ

ϭϮϲ͕ϬϬ ϭϯϰ͕ϳϬ

hEdZE dD<>E'KE dD<KEK EKtK

^DD/

d:Ztd

<EE'E

^hDZ:K ZKDK<>/^Z/

W<>

<>/E<

dDK<K^Kt

(11)

Gambar 6. Kapasitas Produksi Garam di Tingkat Kelurahan Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2009, diolah

Gambar 7. Kapasitas Produksi Garam dan Produktivitas Garam Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, diolah

Gambar 7 menunjukkan bahwa ada variasi kapasitas produksi garam dan produkstivitas garam di Kota Surabaya. Kondisi ini memberikan indikasi bahwa semakin lama masa musim kemarau, maka semakin tinggi kapasitas produksi dan tingkat produktivitas garam. Di sisi yang lain belum ada sentuhan terhadap penguatan teknologi dan kaidah-kaidah ilmiah terhadap proses produksi di lahan-lahan garam di Kota Surabaya.

Kualitas Garam

Untuk kualitas garam yang dihasilkan oleh Petambak Garam adalah Kualitas 2 dan Kualitas 3. Diketahui bahwa 51% petambak memilih untuk memproduksi garam Kualitas 3, dan 48% petambak memilih untuk memproduksi garam Kualitas 2. Hal ini disebabkan karena pembeli garam rakyat Kota Surabaya tidak membedakan kualitas garam yang dihasilkan.

Selain Itu dengan memproduksi garam Kualitas 3 jumlah produksi garam lebih banyak daripada memproduksi Kualitas 2 atau Kualitas 1.

6. Pasca Panen Garam

Kebutuhan Karung

Kebutuhan karung menjadi sangat penting karena garam yang telah dipanen harus segera dipindahkan ke dalam karung, dimana 71% para petambak garam mendapatkan karung dengan membeli kepada pengepul.

Hal ini terkait akan permodalan, dimana para petambak garam dengan modal sendiri akan membeli ke toko pengecer atau langsung ke pabrik karung, sedangkan petambak yang modalnya pinjam dari pengepul akan membeli karung sebagai bentuk bentuk pinjaman yang terikat secara moral.

Ketersediaan Gudang

Bagi petambak garam yang memiliki gudang penyimpanan akan mampu menahan untuk tidak menjual garamnya dan menunda hingga harga kembali membaik untuk dijual kembali. Kondisi saat ini hanya sekitar 35%

petambak garam yang memiliki gudang penyimpanan.

(12)

Siklus Harga

Di saat panen raya, maka jumlah produksi garam akan sangat melimpah dan diikuti dengan turunnya harga jual garam rakyat.

Gambar 8. Produksi dan Harga Garam Rakyat Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, diolah

Berdasarkan Gambar 8 menunjukkan bahwa panen garam tahun 2009 dimulai pada Minggu I Agustus hingga Minggu ke II November dengan total 16 minggu. Nilai produksi pada siklus produksi didapatkan dari hasil produksi tambak garam seluas 4 Ha (3 Mantong) di hamparan kelurahan Romokalisari. Garam yang dipanen meningkat dari 3,9 Ton pada minggu pertama dan 30,9 ton pada akhir musim garam. Sedangkan harga garam berkebalikan dengan siklus produksi, dimana harga garam tertinggi hingga Rp. 400/kg berada di awal musim produksi. Setiap minggu terjadi penurunan harga seiring dengan kenaikan jumlah produksi garam. Harga garam yang cenderung stabil berada dikisaran Rp. 250/kg yang dimulai September Minggu ke II hingga berakhirnya musim produksi garam.

^ŝŬůƵƐWƌŽĚƵŬƐŝdŚ͘ϮϬϬϵ ^ŝŬůƵƐ,ĂƌŐĂdŚ͘ϮϬϬϵ ,ĂƌŐĂ^ƚĂďŝůZƉ͘ϮϱϬͬŬŐ

^ŝŬůƵƐWƌŽĚƵŬƐŝdŚ͘ϮϬϭϭ

,ĂƌŐĂцZƉ͘ϯϬϬͬŬŐ ^ŝŬůƵƐWƌŽĚƵŬƐŝdŚ͘ϮϬϭϮ

,ĂƌŐĂцZƉ͘ϮϳϬΕϯϬϬͬŬŐ

^ŝŬůƵƐWƌŽĚƵŬƐŝdŚ͘ϮϬϭϯ ,ĂƌŐĂцZƉ͘ϯϱϬΕϯϴϬͬŬŐ

(13)

Secara umum untuk masa puncak panen raya garam rakyat di kota Surabaya dari Tahun 2009 hingga Tahun 2013 hanya mencapai 2 bulan saja dan selalu bergerak pada periode bulan Agustus hingga Nopember. Kondisi anomali cuaca yang tidak menentu seperti ini akan menuntut para petambak garam untuk mampu menyimpan atau menahan barang agar tidak segera dijual sebagai upaya mendapatkan keuntungan dari naiknnya harga ketika tidak musim produksi garam. Ketersediaan gudang menjadi sesuatu yang mutlak, dimana keniscayaan bagi petambak garam yang hanya mampu menggantungkan mata pencahariannya sebagai pemasok garam dengan mengingat masa puncak panen raya garam rakyat yang relatif cukup pendek.

7. Klimatologi

Secara umum Wilayah Kota Surabaya memiliki iklim tropis yang ditandai dengan dua musim, yaitu musim kemarau dan musim penghujan. Musim kemarau yang panjang, angin yang kencang, kelembaban yang rendah dan suhu yang tinggi merupakan unsur-unsur yang sangat berpengaruh terhadap masa siklus persiapan, proses, dan pasca produk garam rakyat.

Kriteria Bulan Basah dan Bulan Kering (sesuai dengan kriteria Mohr) adalah Bulan Basah dengan curah hujan > 100 mm, Bulan Lembab dengan curah hujan antara 60 – 100 mm, dan Bulan Kering dengan curah hujan < 60 mm. Sedangkan untuk kebutuhan lahan garam di Kota Surabaya cukup menggunakan data klimatologi dari Stasiun Meteorologi dan Geofisika Perak I sebagai salah satu sarana informasi cuaca di wliayah Kota Surabaya Utara. Informasi cuaca disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Informasi Cuaca Surabaya Utara N

o

Item Pengukuran 2012 2013 2014

(Estimasi) 1 Curah hujan < 60 mm Juni~Oktober

5 bulan

Agustus~Oktober 3 bulan

Juli~Nopember 5 bulan 2 Kelembaban Udara

Max

82 ~ 89% 88 ~ 92% 97 ~ 100%

3 Suhu Udara Minimum 22,5 ~ 25,50C 23,5 ~ 250C 20 ~ 240C 4 Lama Penyinaran 205~245 jam 220~240 jam 200~280 jam B. Petambak Garam

1. Gambaran Umum

Kota Surabaya sebagai Ibu Kota Propinsi Jawa Timur terletak di wilayah Utara Jawa Timur dan memiliki wilayah pesisir dan laut. Sebelah Utara Kota Surabaya berbatasan dengan Selat Madura, di sebelah Timur berbatasan dengan Selat Madura dan Laut Jawa, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Gresik. Saat ini Kota Surabaya telah terhubung dengan Pulau madura oleh sebuah Jembatan yang diberikan nama “Jembatan Suramadu”.

Dengan jumlah penduduk yang mencapai 3.110.187 jiwa pada Tahun 2012, Kota Surabaya merupakan kota multi etnis yang kaya akan berbagai budaya,

(14)

seperti: etnis Melayu, Cina, India, Arab, Eropa, Sunda, Batak, Kalimantan, Bali, Sulawesi, dan Madura. Sedangkan sebagian besar penduduk Surabaya adalah orang Surabaya asli dan orang Madura.

Berdasarkan pengolahan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Kota Surabaya dan Dinas Pertanian Kota Surabaya, khususnya di 4 (empat) wilayah kecamatan sebagai salah satu daerah penyangga penghasil garam di Jawa Timur ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk No Kecamatan

Luas Kepadatan (jiwa/km2)

Produksi Garam Km2 1990 2000 2010 Lahan (Ha) 2011 Surabaya Barat

1 Benowo 23,7 3

786 1.46 5

2.280 976,58 55.109,51

2 Pakal 22,0

7

- - 2.088 369,61 14.712,27 3 Asemrowo 15,4

4

- 2.39 2

2.759 92,34 3.649,78 4 Tandes 11,0

7

5.23 0

8.44 3

9.254 51,65 4.208,93 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Surabaya & Dinas Pertanian Kota Surabaya

Gambar 9. Kawasan Lahan Garam dan Kepadatan Penduduk Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, dan SIG Garam Surabaya Gambar 9 menunjukkan bahwa Kecamatan Benowo dan Kecamatan Pakal merupakan wilayah yang memiliki cukup potensi sebagai penghasil garam di Kota Surabaya dengan memperhatikan kedekatan lokasi sumber bahan baku, eksistensi luas lahan garam yang relatif cukup, kepadatan penduduk yang relatif rendah, dan produksi garam rakyat yang relatif cukup.

2. Pengelolaan Lahan Garam

Dalam pengelolaan proses produksi garam di Wilayah Kota Surabaya, petambak garam yang biasa disebut sebagai Juragan tidak menggarap sendiri

Ϯ͘ϬϴϴũŝǁĂͬŬŵϮ ϭϰ͘ϳϭϮ͕ϮϳƚŽŶ

Ϯ͘ϮϴϬũŝǁĂͬŬŵϮ ϱϱ͘ϭϬϵ͕ϱϭƚŽŶ

Ϯ͘ϳϱϵũŝǁĂͬŬŵϮ ϯ͘ϲϰϵ͕ϳϴƚŽŶ

ϵ͘ϮϱϰũŝǁĂͬŬŵϮ ϰ͘ϮϬϴ͕ϵϯƚŽŶ

(15)

lahannya, tetapi dibantu oleh penggarap yang dalam istilah lokal disebut sebagai Mantongan dengan sistem pola bagi hasil. Pola bagi hasil yang diterapkan adalah 2/3 hak petambak garam dan 1/3 hak penggarap lahan. Proporsi tersebut dihitung berdasarkan kontribusi dari masing-masing pihak dan pembagian resiko kegagalan yang ditunjukkan pada Gambar 10.

Gambar 10. Pola Bagi Hasil Garam Rakyat Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011, diolah Keterangan:

• Kesepakatan harga adalah harga yang ditetapkan untuk perhitungan bagi hasil antara juragan dan penggarap.

• Kesepakatan harga ditetapkan oleh kesepakatan para juragan, dimana kesepakatan tersebut ditetapkan berdasarkn harga garam pada saat puncak panen dikurangi biaya-biaya.

• Harga yang ditentukan oleh pihak pabrik akan dilepas sesuai dengan kekuatan pasar terhadap adanya permintaan dan penawaran, dimana dalam mekanisme pasar tidak ada aturan atau perlindungan terhadap harga di tingkat petambak garam

3. Penggarap Lahan Garam

Kontribusi penting dalam usaha garam rakyat di kota Surabaya adalah keberadaan penggarap (mantongan) yang terampil dan rajin, dimana sebagian besar berasal dari Wilayah Kabupaten Sumenep. Penggarap akan melakukan kegiatan proses produksi di lahan garam bersama keluarga (istri dan atau anak).

Keterampilan membuat garam didapatkan secara turun menurun sehingga dengan membawa serta anaknya yang belum masuk dalam kategori angkatan kerja untuk pengenalan dalam menggarap lahan garam.

(16)

Gambar 11. Daerah Asal Penggarap Lahan Garam di Kota Surabaya Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011, diolah

Para penggarap yang bekerja berasal dari beberapa desa di Kecamatan Kalianget. Diantaranya adalah Desa Marengan Laok, Desa Kertasada, Desa Karanganyar, Desa Pinggir Papas, Desa Kalimooh dan desa Kalianget Barat.

Mayoritas penggarap berasal dari Desa Marengan Laok yang mencapai 49%, Kecamatan Kalianget Kabupaten Sumenep. Para penggarap mulai datang ke Surabaya pada saat awal musim kemarau antara bulan Mei dan bulan Juni.

Pekerjaan sebagai penggarap garam dilakukan hingga akhir musim kemarau antara bulan oktober dan bulan November.

Gambar 12. Desa Asal Penggarap Kecamatan Kalianget Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011, diolah

Sulitnya mendapatkan pendapatan di daerah asal, membuat para penggarap bersedia untuk bekerja di Surabaya dengan tinggal di Gubuk kecil di tengah tambak garam tanpa akses listrik, salinitas buruk dan sulit mendapatkan air bersih. Mata pencaharian utama di wilayah asal adalah sebagai nelayan dan penarik becak. Pola bagi hasil yang diterapkan di Kota Surabaya dianggap lebih

(17)

menguntungkan daripada tetap bekerja di daerah asalnya. Setiap penggarap (dalam satu keluarga) mengerjakan 1 hingga 5 mantong, dimana di setiap mantong terdiri dari 7 hingga 12 belas petak. Sedangkan 1 mantong memiliki ukuran yang setara ± 1 Ha.

Sedangkan ruang lingkup pekerjaan yang dilakukan oleh penggarap, meliputi:

• Kegiatan melakukan semua proses pembuatan garam terdiri dari (1) mengatur lahan, (2) mengatur dan mengisi air ke dalam petakan, (3) menimbang kadar air, dan (4) memanen garam. Pendapatan diperoleh melalui Pembagian Hasil sebagai Penggarap (1/3).

• Kegiatan melakukan pekerjaan pengarungan garam. Upah/insentif disesuaikan dengan harga di tingkat lokal yang dihitung berdasarkan jumlah karung.

• Kegiatan melakukan pekerjaan pengangkutan garam. Upah/insentif disesuaikan dengan harga di tingkat lokal yang dihitung berdasarkan jumlah karung.

Gambar 13 menunjukkan pekerjaan pengarungan garam, 92% dilakukan penggarap, dan 8% dilakukan pekerja dari wilayah sekitar. Sedangkan untuk pekerjaan pengangkutan garam, 76% dilakukan penggarap, 19% dilakukan pekerja dari wilayah sekitar, dan 5% dilakukan pekerja dari luar Kota Surabaya.

Gambar 13. Kegiatan Pengarungan dan Pengangkutan Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011, diolah

4. Pelaku Bisnis Garam Rakyat

Perekonomian garam di Kota Surabaya akan selalu bergerak dengan adanya transaksi yang dilakukan antar pelaku-pelaku pengaraman sehingga sektor usaha di bidang garam rakyat masih tetap hidup sampai dengan hari ini.

(18)

Gambar 14. Para Pelaku Bisnis Garam Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011, diolah

Transaksi-transaksi yang telah terjadi mampu memberikan penghasilan pada kurang lebih 100 Kepala Keluarga Penggarap yang berasal dari Madura, ratusan Petambak Garam di Kota Surabaya, ratusan Buruh Pabrik, Buruh Angkut dan lain-lain. Masing-masing pelaku berkontribusi secara khusus dalam hubungan yang saling terjalin dan mempengaruhi. Masing-masing pelaku menjadi penghela yang mampu mengerakkan transaksi secara keseluruhan. Melihat Gambar 14 dapat diketahui bahwa sentra produksi garam rakyat kota Surabaya hanya salah satu entitas diantara kerumunan entitas bisnis pengaraman. Kualitas interaksi antar pelaku sangat menentukan bagaimana Sentra Produksi Garam Rakyat di Kota Surabaya dapat beroperasi sehingga upaya untuk memberdayakan para petambak garam tidak bisa lepas dari pelaku-pelaku lain di seputar sentra garam tersebut.

Gambar 15. Prakiraan Nilai Transaksi Garam Rakyat Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011, diolah

Pada Gambar 15 menunjukkan data prakiraan hasil perhitungan nilai transaksi usaha garam rakyat yang luas pengelolaan lahan garam berkisar 1

>ƵĂƐϭ͘ϰϵϬ͕ϭϵ,Ă ϮϬŬĞůͬϭϴϬŽƌĂŶŐ

(19)

hingga 5 Ha di Wilayah Kota Surabaya. Nilai transaksi pada Sentra Produksi Garam Rakyat di Wilayah Kota Surabaya adalah sebagai berikut:

• Transaksi dengan Pembeli Garam (Pengepul Surabaya, Pengepul di luar Surabaya, dan Pabrik Garam) mencapai hingga Rp. 15,6 milyar.

• Transaksi dengan Pemasok Garam (Penggarap dari Madura) mencapai hingga Rp. 4 milyar.

• Transaksi dengan Penunjang (Buruh, Penyedia Saprotam Garam, dan Pabrik Karung) mencapai Rp 1 milyar hingga Rp. 1,5 milyar.

Dari sisi pengeluaran untuk biaya kebutuhan karung (35%), sewa lahan garam (18%), dan biaya pengangkutan garam dengan sepeda menuju ke collecting point (21%) merupakan dominasi anggaran yang terbesar. Proporsi pengeluaran ini berdasarkan usaha produksi garam dengan luas lahan garam mencapai 4 Ha (3 mantong) untuk satu musin di Wilayah Kelurahan Romokalisari seperti ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengeluaran Juragan dengan Luas Lahan 4 Ha

No Item Rupiah Prosen

tase

1 Karung 8.585.000 35%

2 Solar 250.000 1%

3 Sewa lahan garam 4.500.000 18%

4 Bambu+sesek+paku+kintiran 1.385.000 6%

5 Keduk teplok 500.000 2%

6 Angkut Sepeda 5.214.000 21%

7 Angkut Truck 2.028.000 8%

8 Ngarungi 2.028.000 8%

Jumlah 24.489.000

Sumber: Dinas Pertanian Kota Surabaya, 2011, diolah

Dari sisi pola pembayaran yang berlaku bagi petambak garam dalam menjual produk garam rakyat ke pengepul atau pabrik adalah dengan cara tunai, dimana barang tersebut dibeli diatas truk dengan ongkos naik ke truk ditanggung oleh petambak garam. Berbeda dengan pola pembayaran dengan pembeli dari luar Kota Surabaya, barang dibeli dengan cara kredit 1 hingga 2 bulan, dimana barang yang dijual ke pembeli luar kota merupakan kelebihan stok gudang yang sudah terisi penuh. Sedangkan aliran dan transaksi garam rakyat didominasi oleh pembeli sebagai Pengepul Garam Kota Surabaya yang mencapai hingga 71%, kemudian yang lain langsung ke Pabrik Garam sebesar 17% dan Pengepul luar Kota Surabaya sebesar 12%.

C. SWOT – AHP

1. Parameter Faktor Strength

Hasil pendekatan dengan metode SWOT-AHP untuk faktor strength pada model penguatan produktivitas dan petambak garam adalah sebagai berikut:

• Kontribusi Faktor Strength

a. Pengembagangn inovasi teknologi mencapai 49%

b. Penguatan metode maduris plus untuk kapasitas produksi mencapai 18%

(20)

c. Peningkatan modal bisnis mencapai 15%

d. Perbaikan saluran dan pematang mencapai 9%

e. Asosiasi pengepul garam rakyat kota Surabaya mencapai 8%

• Prioritas Model Penguatan

a. Dukungan inovasi teknologi mencapai 48%

b. Dukungan pemberdayaan mencapai 31%

c. Dukungan revitalisasi mencapai 21%

2. Parameter Faktor Weakness

Hasil pendekatan dengan metode SWOT-AHP untuk faktor weakness pada model penguatan produktivitas dan petambak garam adalah sebagai berikut:

• Kontribusi Faktor Weakness

a. Penambahan luas lahan garam mencapai 44%

b. Peningkatan kemampuan sewa lahan garam mencapai 23%

c. Peningkatan kualitas garam rakyat mencapai 10%

d. Pembangunan gudang penyimpanan garam mencapai 8%

e. Penguranagan metode maduris untuk kapasitas produksi mencapai 4%

f. Perbaikan kelemahan metode maduris mencapai 4%

g. Memperpendek askse jalan menuju colleting point mencapai 3%

h. Penentuan salinitas sumberdaya air laut mencapai 2%

• Prioritas Model Penguatan

a. Dukungan revitalisasi mencapai 42%

b. Dukungan inovasi teknologi mencapai 30%

c. Dukungan pemberdayaan mencapai 29%

3. Parameter Faktor Opportunity

Hasil pendekatan dengan metode SWOT-AHP untuk faktor opportunity pada model penguatan produktivitas dan petambak garam adalah sebagai berikut:

• Kontribusi Faktor Opportunity

a. Adanya kegiatan PUGAR – KKP mencapai 58%

b. Munculnya variasi aneka pangan dan industri mencapai 28%

c. Munculnya berbagai produk diversifikasi garam mencapai 14%

• Prioritas Model Penguatan

a. Dukungan pemberdayaan mencapai 37%

b. Dukungan inovasi teknologi mencapai 35%

c. Dukungan revitalisasi mencapai 28%

4. Parameter Faktor Threat

Hasil pendekatan dengan metode SWOT-AHP untuk faktor threat pada model penguatan produktivitas dan petambak garam adalah sebagai berikut:

• Kontribusi Faktor Threat

a. Kebutuhan impor garam mencapai 41%

b. Anomali musim kemarau mencapai 30%

c. Dominasi pengepul dalam bisnis garam mencapai 21%

(21)

d. Fluktuasi harga garam mencapai 5%

e. Kebutuhan penambahan modal usaha 3%

• Prioritas Model Penguatan

a. Dukungan inovasi teknologi mencapai 35%

b. Dukungan pemberdayaan mencapai 34%

c. Dukungan revitalisasi mencapai 31%

5. Strategi Model Penguatan

Hasil pendekatan dengan metode SWOT-AHP untuk strategi model penguatan produktivitas garam dan petambak garam adalah sebagai berikut:

• Rencana Strategi Pengelolaan a. Strength mencapai 58%

b. Opportunity mencapai 23%

c. Weakness mencapai 12%

d. Threat mencapai 7%

• Prioritas Model Penguatan

a. Dukungan inovasi teknologi mencapai 42%

b. Dukungan pemberdayaan mencapai 32%

c. Dukungan revitalisasi mencapai 26%

6. Rangkuman

Hasil pendekatan dengan metode SWOT-AHP menunjukkan bahwa strategi progresif yang harus dilakukan oleh Pemkot Surabaya adalah “Comparative Advantage Strategy”, dimana srategi ini akan memberikan kemungkinan perkembangan yang lebih cepat dalam implementasi rencana penguatan produktivitas garam dan petambak garam di wilayah kota Surabaya yang terdiri dari:

• Inovasi teknologi produksi di lahan garam melalui Metode Maduris Plus.

• Inovasi teknologi pemurnian garam rakyat melalui Teknologi Tepat Guna.

• Kemampuan diversifikasi produk garam, diantaranya garam dapur, garam aneka pangan, garam cair, dan garam industri.

• Kemampuan akses modal kerja melalui Penguatan Koperasi Garam Surabaya.

KESIMPULAN

1. Kegiatan pembenahan, perbaikan maupun pembangunan titik-titik gudang penyimpanan garam rakyat.

2. Kegiatan pembenahan, perbaikan maupun pembuatan saluran dan pematang sebagai lokasi lahan sumber bahan baku garam di wilayah pesisir Utara Kota Surabaya.

3. Sosialisasi dan pengembangan teknologi lahan garam dengan metode Madura plus melalui sistem bertingkat dan penggunaan bahan plastic HDPE atau bahan lain yang mampu menyerap panas matahari di lahan peminihan dengan tingkat kepekatan antara 150 hingga 200 Be.

4. Sosialisasi dan pengembangan teknologi pemurnian garam higienis skala industri kecil sebagai upaya diversifikasi produk garam rakyat untuk memenuhi berbagai kebutuhan garam aneka pangan dan industri.

(22)

5. Pengaturan dan penguatan tata niaga garam melalui Asosiasi Pelaku Garam dan Koperasi Garam di Wilayah Kota Surabaya

UCAPAN TERIMA KASIH

Dukungan penelitian dari DP2M Dikti – Kemendiknas dalam rangka Pelaksanaan Hibah Program Penelitian Multi Tahun dengan Skema Penelitian MP3EI Tahun Anggaran 2014 ~ 2016, dan Bappeko Kota Surabaya beserta Dinas Pertanian Kota Surabaya dengan Skema Pekerjaan Perencanaan Strategis Penguatan Produktivitas Garam dan Petambak Garam di Kota Surabaya Tahun Anggaran 2014.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1993, Sodium Chloride dalam Chemical Index.

Anonim, _____, The Salt Manufaturers ’ Association, Manchester, United Kingdom.

BAKOSURTANAL, 2010, Peta Lahan Garam Indonesia Edisi Jawa dan Madura, Pusat Survei Sumber Daya Alam Laut, Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.

Bengen, D.G., 2002, Menuju Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis DAS, Seminar HUT LIPI, 25 – 26 September, Jakarta

Dit. Industri Kimia Hilir Dit. Jend, 2009, Agrokim, Paper Rapat Pengadaan dan Penyerapan Garam Tahun 2009.

Mendenhall, W. and Sincich, 1992, Statistics for Engineering and the Science, Third Edition, Maxwell Macmillan International Editions, New York.

Peraturan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Nomor 02/DAGLU/PER/5/2011 tentang Penetapan Harga Penjualan di Tingkat Petani Garam

Rilley and Skirrow, 1975, Chemical Oceanography, Academic Press London.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Desentralisasi Kewenangan yang berhubungan dengan Batas Kewenangan Mengelola Wilayah Laut.

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (WP3K) yang berhubungan dengan Batas Kewenangan Mengelola Wilayah Pesisir.

Wyrtki, K. 1961. Phyical Oceanography of the South East Asian Waters. Naga Report Vol. 2 Scripps, Institute Oceanography, California.

Referensi

Dokumen terkait

The issue and payment by the Treasurer, from time to time, of any sum or sums of money for the purposes herein- before mentioned, not exceeding in the whole the sums respectively in

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pewarisan budaya produksi garam tradisional melalui proses enkulturasi yang dipengaruhi oleh latar belakang petambak produksi garam tradisional