• Tidak ada hasil yang ditemukan

Praktik politik uang seperti jual beli suara dengan menukarkan keuntungan material untuk memperoleh, atau setidaknya mengharapkan suara adalah bentuk manipulasi Pemilu yang umum terjadi di negara-negara demokrasi baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "Praktik politik uang seperti jual beli suara dengan menukarkan keuntungan material untuk memperoleh, atau setidaknya mengharapkan suara adalah bentuk manipulasi Pemilu yang umum terjadi di negara-negara demokrasi baru"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Beberapa negara modern di dunia mengumumkan diri sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, yaitu negara dengan konsep sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat (Fatiha dkk., 2022). Bila belajar dari sejarah jatuhnya penguasa atau runtuhnya rezim-rezim otoritarianisme- totalitarianisme di beberapa negara seperti di Eropa Selatan, Amerika Latin, Eropa Timur sampai pada beberapa negara di Asia, proses demokratisasi suatu negara hadir sebagai antitesa dari otoriterianisme yang diterapkan rezim otoriter di berbagai negara (Basuki, 2020)..

Dewasa ini paham demokrasi secara formal dan prosedural dilaksanakan melalui mekanisme perwakilan karena tidak dimungkinkan lagi dilaksanakan secara lansung. Sehingga dibutuhkan instrumen yang dapat menjembatani kedaulatan rakyat yaitu, partai politik dan pemilihan umum (Pemilu) (Basuki, 2020). Menurut Huntington dalam Muhtadi (2020) sejak gelombang demokratisasi ketiga dan keempat melanda dunia pada tahun 1970- an, Pemilu telah menjadi norma global untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.

Terlepas dari kualitas penyelenggaraannya, Pemilu bahkan telah menjadi salah satu parameter terpenting bagi masyarakat internasional untuk melihat demokratisnya suatu negara (Suprianto dkk., 2019).

(2)

Menurut Van ham dan Linderberg (2015) dalam Muhtadi (2020) tidak semua rezim mampu meningkatkan kualitas Pemilu, terutama untuk menjamin prinsip Pemilu yang bebas dan adil. Pemilu dijadikan ajang yang di baluti kecurangan dan penyelewengan elektoral. Praktik politik uang seperti jual beli suara dengan menukarkan keuntungan material untuk memperoleh, atau setidaknya mengharapkan suara adalah bentuk manipulasi Pemilu yang umum terjadi di negara-negara demokrasi baru.

Muhtadi (2020) didalam bukunya yang berjudul Kuasa Uang, menampilkan hasil Survei putaran 3 Afrobarometer yang dilaksakan tahun 2005 yang menunjukan bukti massif politik uang di tujuh negara demokratis yang ada di Afrika, yakni Ghana, Mali. Namibia, Afrika Selatan, Benin, Senegal, dan Botswana. Selain itu, berdasarkan temuan-temuan survei Americas Barometer yang dirilis oleh Latin American Public Opinion Project (LAPOP) pada tahun 2010, juga menunjukan praktik massif serta variasi menarik politik uang di seluruh wilayah Amerika Latin dan Karibia. Tak jauh Berberda menurut hasil survei Pulse Asia pada tahun 2013 di Filipina ditemukan sekitar 22% dari total pemilihnya pernah ditawari politik uang selama Pemilu 2013.

Politik uang sendiri dalam beberapa literatur, sering disebut dengan korupsi elektoral, yaitu tindakan curang dalam Pemilu yang merupakan bagian dari praktik korupsi (Estlund, 2012:735). Menurut Joshua Dressler (2002) korupsi elektoral dapat mencakup pembelian suara dengan sejumlah uang

(3)

dalam Pemilu, menjanjikan posisi atau hadiah khusus, dan dalam wujud lainnya.

Menurut Sihidi (2019) Politik uang erat kaitannya dengan tipe pemilih mengambang pragmatis. Sederhananya, pragmatis mengacu pada penyelarasan sifat dan sikap manusia yang cenderung praktis, terbingkai dan kaku. Dalam konteks politik, istilah pragmatisme mengalami operasionalisasi yang agak negatif, yakni mengarah pada sikap di antara para aktor politik yang lebih mementingkan orientasi jangka pendek untuk berkuasa daripada apa yang akan dilakukan setelah mendapatkan kekuasaan. Dalam konteks pemilih atau masyarakat, pragmatisme tercermin dalam penentuan preferensi politik (suara) berdasarkan pertimbangan transaksional. Dalam hal ini, siapa yang bisa mendatangkan keuntungan ekonomi jangka pendek dengan membeli dukungan pemilih. Orang-orang dari strata ekonomi terendah rentan menjadi objek politik uang karena alasan kesulitan ekonomi. Bagi masyarakat, politik uang ibarat bonus rutin di masa Pemilu yang lebih riil dibandingan dengan program- program yang dijanjikan politisi (Hermawan, 2018). Selain itu perilaku politik uang dalam konteks politik saat ini seringkali dimaknai sebagai bantuan dan lain-lain. Pergeseran istilah politik uang ke dalam istilah moral ini secara tidak langsung telah melahirkan perlindungan sosial melalui norma- norma budaya masyarakat yang justru menjadikan tindakan ini lumrah dilakukan (Suprianto dkk., 2019). Dari sini dapat dipahami bahwa interaksi dalam kompetisi politik tentunya mensyaratkan sikap seseorang yang bersifat timbal balik (reciprocity) (Damsar, 2015)

(4)

Sebagai negara demokrasi, Indonesia memberikan jaminan kepada kedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 2 yang berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar 1945” (Alifah & Sari, 2020). Artinya, Indonesia memberikan jaminan kepada kedaulatan rakyat untuk menentukan pemerintahan yang berdaulat melalui Pemilu (Fitriani dkk., 2019). Pemilu di Indonesia dilakukan untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, serta DPRD (Probowoadi & Afandi, 2020)

Menurut Muhtadi (2020) Pemilu di Indonesia merupakan studi kasus yang menarik untuk menjelaskan dinamika jual beli suara di negara pasca- otoriter. Semenjak masa reformasi pasca berakhirnya rezim otoriter Orde Baru pada Mei 1998, sistem kepartaian di Indonesia memasuki era baru dimana banyak partai baru bermunculan. Akibatnya, seiring dengan pengenalan Pemilu di berbagai tingkatan dari legislatif hingga eksekutif, muncul sistem multi-partai yang sangat kompetitif. Ironisnya hampir semua partai baru tidak memiliki kredibilitas politik yang memadai. Perbedaan ideologi partai yang tidak terlalu ekspilisit, menyebabkan masyarakat kebingungan membedakan

“jenis kelamin” partai. Sistem Pemilu akhirnya lebih memfokuskan peran calon legislatif (candidate centered) yang dalam hal ini pemilih dapat memilih kandidat dari partai gagal memitigasi masalah pelembagaan partai di atas.

Sehingga caleg “dipaksa” mengahasilkan personal vote dan melakukan strategi klientelistik, dimana kampanye lebih memprioritaskan pada ketokohan

(5)

caleg daripada kampanye berbasis partai (party centred). Akibatnya agar mereka lebih menonjol dari kompetitor baik dari internal maupun eksternal partai, caleg terperangkap dalam lingkaran setan politik uang.

Politik uang telah menjadi bahasa yang menyatukan interaksi antara politisi dan pemilih serta menjadi fokus kampanye Pemilu di Indonesia.

(Muhtadi, 2020). Politik uang dalam Pemilu di Indonesia terjadi dalam beragam rupa di berbagai fase. Diantaranya adalah mahar politik di tahap pencalonan, jual beli suara di tahap kampanye dan pemungutan suara, penyogokan penyelenggara Pemilu ketika penghitungan serta rekapitulasi suara hingga suap ketika penyelesaian sengketa hasil Pemilu (Sjafrina, 2019).

Beberapa penelitian menjelaskan makna politik uang bagi penerima terutama di Indonesia. Misalnya penerima menginterpretasikannya sebagai pembayaran, hadiah, perbaikan dosa masa lalu, intimidasi, politik Pengakuan calon, mengidentifikasi kejelekan calon, sekaligus ada yang membandingkannya sebagai tanda kekuatan (Rahmi & Putra, 2022). Secara sosial masyarakat memiliki persepsinya sendiri terhadap praktik politik uang.

Politik uang kini dianggap “kebiasaan” oleh masyarakat umum. Bahkan pada masyarakat desa dengan solidaritas kuat, politik uang dianggap mempunyai peran penting untuk menyatukan suara masyakat dalam kompetisi politik.

Masyarakat menganggap politik uang sebagai rezeki tidak terduga untuk memenuhi kebutuhan. Terlepas dari benar tidaknya politik uang, secara realistis masyarakat menganggap politik uang adalah hal yang lumrah dan menguntungkan (Nabilah dkk., 2022). Oleh karena itu masalah politik uang di

(6)

Indonesia tidak pernah habis karena politisi melihatnya sebagai taktik politik untuk merebut empati dan suara rakyat (Adelina, 2019). Selain itu anggapan masyarakat yang melazimkan politik uang juga ikut mempengaruhi permasalahan ini tetap terus lestari (Alifah & Sari, 2020).

Persepsi masyarakat terhadap politik uang dapat ditelaah dari data Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) yang dirilis BPS (Badan Pusat Statistik) RI pada tahun 2021 yang diukur melalui Survey Perilaku Anti Korupsi (SPAK). SPAK merupakan survey yang memiIiki tujuan untuk mengetahui seberapa permisif masyarakat terhadap fenomena politik uang (suap, gratifikasi, pemerasan dan nepotisme) dan bagaimana pengetahuan masyarakat tentang anti korupsi. Jumlah dan kriteria responden pada SPAK 2021 peneliti tampilkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 1.1 Data Jumlah Dan Kriteria Responden SPAK 2021

Sumber : BPS (Telah Diolah Kembali), 2022.

Variabel pertama digunakan dalam penyusunan IPAK adalah pendapat masyarakat terhadap peserta yang mendistribusikan uang/barang/fasilitas kepada calon pemilih yang peneliti tampilkan di dalam tabel berikut ini:

No

Jumlah Sampel Keseluruhan

Jenis Kelamin (Angka

dan Persentase)

Usia Sedang

Menempuh Pendidikan

SLTA

Telah Tamat SLTA Laki-

Laki Perempuan 18-39 Tahun

40-59 Tahun

1 10.040 4844

(48%)

5196 (52%)

5321 (53%)

4719 (47%)

5468 (54%)

4572 (46%)

(7)

Tabel 1.2 Persentase pendapat masyarakat tentang sikap peserta Pilkades/Pilkada/Pemilu membagikan uang/barang/fasilitas ke calon pemilih, 2020-2021

Sumber: BPS (Telah Diolah Kembali), 2022.

Variabel kedua yang digunakan dalam penyusunan IPAK adalah menerima pembagian uang/barang/fasilitas pada Pilkades/Pilkada/Pemilu.

Persentase pendapat masyarakat mengenai hal tersebut peneliti sajikan melalui tabel berikut:

Tabel 1.3 Persentase Pendapat Masyarakat Tentang Menerima Uang/Barang/Fasilitas Pada Pilkades/Pilkada/Pemilu, 2020-2021

Sumber: BPS (Telah Diolah Kembali), 2022.

Variabel ketiga didasarkan pengalaman responden apakah pernah ditawarkan uang/barang/fasilitas untuk memilih calon tertentu Selama Pilkades/Pilkada/Pemilu terakhir. Terdapat masyarakat dengan pilihan tidak relevan dalam SPAK 2021. Pilihan tidak relevan ini mengakomodir responden yang pada tahun 2020 yang daerah tempat tinggalnya tidak menyelenggarakan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 yang fenomenanya terekam dalam SPAK 2021. Pilkada Serentak 2020 dilaksanakan hanya di 270 wilayah di Indonesia. Pilkada meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten dan 37 kota. Dalam

No Tahun Pendapat Masyarakat

Wajar Tidak Wajar

1 2020 22,47% 77,53%

2 2021 22,75% 77,25%

No Tahun Pendapat Masyarakat

Wajar Tidak Wajar

1 2020 32,74% 67,26%

2 2021 32,44% 67,56%

(8)

SPAK 2020, tidak ada pilihan yang tidak relevan karena responden SPAK berusia 18-65 tahun yang dianggap memenuhi syarat untuk memiliki hak pilih dan semuanya memilih dalam pemilihan serentak 17 April 2019 yang fenomenanya ditangkap oleh SPAK 2020.

Tabel 1.4 Persentase Pengalaman Ditawari Uang/Barang/Fasilitas untuk Memilih Calon Tertentu dalam Pilkades/Pilkada/Pemilu yang Terakhir, 2020-2021

Sumber: BPS (Telah Diolah Kembali), 2022.

Dari mereka yang menyatakan ditawari pada tahun 2021, beberapa responden menyatakan menerima tawaran tersebut sedangkan mereka yang menyatakan terpaksa menerima tawaran tersebut mengalami peningkatan dari tahun 2020 ke 2021.

Tabel 1.5 Persentase Tanggapan Masyarakat yang Pernah Ditawari Uang/Barang/Fasilitas untuk Memilih Calon Tertentu dalam Pilkades, Pilkada, atau Pemilu yang Terakhir, 2020-2021

Sumber: BPS (Telah Diolah Kembali), 2022.

No Tahun Pengalaman Pernah Ditawari

Ya Tidak Tidak Ingat Tidak Relevan

1 2020 27,09% 71,41% 1,50% 0,00

2 2021 16,70% 60,08% 0,69% 22,26

No Tahun

Pengalaman Pernah Ditawari Menerima

Menerima Dengan Terpaksa

Menolak Dengan

Halus

Menolak Dengan Tegas

1 2020 52,05% 18,91% 21,99% 7,04%

2 2021 48,65% 20,45% 23,40% 7,10%

(9)

Di Provinsi Kepulauan Riau sendiri Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) Kepri pernah menangani lima perkara dugaan politik uang yang terjadi di dua wilayah berbeda, yaitu Kota Batam dan Tanjungpinang pada tahun 2019.

Dugaan tersebut merupakan hasil operasi tangkap tangan Bawaslu di tingkat masing-masing kota maupun hasil laporan masyarakat (Ogen, 2019).

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bawaslu Kota Tanjungpinang, beberapa daerah di Kota Tanjungpinang terindikasi terjadi dugaan kasus praktik politik uang selama pergelaran pesta demokrasi Pemilu tahun 2019.

Dugaan tindak pidana Pemilu yang ditangani Bawaslu tersebut merupakan hasil dari pelaporan masyarakat maupun dari hasil temuan dari Bawaslu itu sendiri. data tersebut peneliti rangkum di dalam tabel berikut ini:

Tabel 1.6 Data Pelaporan Masyarakat dan Temuan Bawaslu Kota Tanjungpinang Tentang Dugaan Pelanggaran Pidana Politik Uang pada Pemilu 2019

No Tanggal Lokasi Dugaan

Pelanggaran

Status Jenis 1 16 April

2019

Bukit Bestari/

Tanjungpinang Timur

Menjanjikan atau

memberikan imbalan atau materi lainnya pada saat masa tenang

Dihentikan Pelaporan

2 23 April 2019

Bukit Bestari/

Sei Jang

Menjanjikan atau

memberikan imbalan atau materi lainnya pada saat masa tenang

Diproses Hingga Putusan Pengadilan Negeri

Tanjungpinang

Pelaporan

Sumber: Bawaslu Kota Tanjungpinang (Telah Diolah Kembali), 2022.

(10)

Tabel 1.7 Data Pelaporan Masyarakat dan Temuan Bawaslu Kota Tanjungpinang Tentang Dugaan Pelanggaran Pidana Politik Uang pada Pemilu 2019

Sumber: Bawaslu Kota Tanjungpinang (Telah Diolah Kembali), 2022.

No Tanggal Lokasi Dugaan Pelanggaran

Status Jenis

3 26

November 2018

Bukit bestari/

Dompak

Kampanye dalam bentuk pembagian bahan

makanan oleh Caleg DPRD Kota

Tanjungpinang

Dihentikan Temuan

4 27

Desember 2018

Bukit Bestari/

Dompak

Penyebaran Bahan Kampanye berupa

kalender yang disertai dengan pakaian (baju gamis dan penutup kepala /jilbab) yang dilakukan di tempat ibadah

Dihentikan Temuan

5 18 April 2019

Tanjung Pinang Timur/

Pinang Kencana

Pada masa tenang

memberikan uang kepada Pemilih secara langsung atau tidak langsung Tanjungpinang Timur

Dilanjutkan hingga putusan Pengadilan Negeri

tanjungpinang

Temuan

6 18 April 2019

Tanjung pinang Timur/

Batu IX

Pada masa tenang

memberikan uang kepada Pemilih secara langsung atau tidak langsung

Dilanjutkan hingga putusan Pengadilan Negeri

tanjungpinang

Temuan

(11)

Tabel 1.8 Data Pelaporan Masyarakat dan Temuan Bawaslu Kota Tanjungpinang Tentang Dugaan Pelanggaran Pidana Politik Uang pada Pemilu 2019

No Tanggal Lokasi Dugaan

Pelanggaran

Status Jenis 7 18 April

2019

Tanjung pinang Timur/

Pinang Kencana

Pada masa tenang

memberikan uang kepada Pemilih secara langsung atau tidak langsung

Dilanjutkan hingga putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru

Temuan

Sumber: Bawaslu Kota Tanjungpinang (Telah Diolah Kembali), 2022.

Dari data diatas terlihat bahwa terdapat 7 kasus dugaan pelanggaran politik uang yang terjadi di Kota Tanjungpinang selama perhelatan Pemilu 2019 yang terbagi menjadi 5 temuan Bawaslu dan 2 pelaporan masyarakat.

Pada tabel juga terlihat Kecamatan Bukit Bestari Memperoleh angka tertinggi dalam hal jumlah dugaan pelanggaran pidana politik uang yaitu 4 dugaan kasus pelanggaran yang terdiri dari 2 laporan dan 2 temuan. Dari keempat kasus tersebut 2 diantaranya terjadi di Kelurahan Dompak, sehingga menempatkan Kelurahan Dompak sebagai daerah dengan kasus dugaan politik uang tertinggi.

Data ini juga diperkuat oleh berita yang di rilis oleh Tribun Batam, dimana salah satu Komisioner Bawaslu Kota Tanjungpinang, Maryamah pernah mengalami penghadangan dan pengancaman oleh orang tidak dikenal pada saat ia bersama 3 orang staffnya melakukan penanganan pelanggaran terkait politik uang di salah satu wilayah Kelurahan Dompak. (Tribun Batam, 2019).

Kasus ini menyiratkan politik uang bagaikan fenomena gunung es yang hanya pucuknya saja yang muncul kepermukaan. Sebenarnya politik uang

(12)

sudah menjadi rahasia umum ditengah masyarakat, paling tidak itu yang dikatakan oleh salah satu ketua RT di Kelurahan Dompak. Beberapa masyarakat Kelurahan Dompak bahkan memaknai politik uang sebagai bantuan dari calon yang maju saat pemilihan. Berangkat latar belakang penelitian inilah peneliti akhirnya tertarik meneliti mengenai “Politik Uang Dalam Pemilu 2019: Sebuah Kajian Interaksionisme Simbolik Pada Masyarakat Kelurahan Dompak Tanjungpinang”.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah adalah pertanyaan yang harus dijawab dengan pengumpulan data (Sugiyono, 2015). Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Rumusan masalah deskriptif, yaitu rumusan yang menanyakan adanya variabel bebas, baik untuk satu variabel maupun lebih dari satu variabel. Maka berdasarkan latar belakang penelitian, rumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimana simbol politik uang yang terbentuk di masyarakat Kelurahan Dompak?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang menjadi pencapaian pada penelitian ini adalah mengetahui bagaimana simbol politik uang yang terbentuk pada masyarakat Kelurahan Dompak?

(13)

1.4 Manfaat Penelitian

Peneliti berharap hendaknya penelitian ini memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis:

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai berikut:

a. Penelitian ini bisa berkontribusi dalam khasanah ilmu pengetahuan khususnya keilmuan sosiologi.

b. Dapat dijadikan sumber referensi bagi peneliti selanjutnya yang tertarik mengkaji fenomena serupa di masa yang akan datang.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis diharapkan Penelitian ini dapat dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

a. Bagi pemerintah dan lembaga terkait Khsusunya Bawaslu, penelitian ini dapat dijadikan rujukan dalam menentukan program yang tepat dalam meminimalisir terjadi politik uang dalam Pemilu.

b. Bagi masyarakat sekitar menambahkan wawasan mengenai politik uang.

c. Bagi akademisi, pelajar dan peneliti sendiri dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang politik uang dalam perspektif kajian interaksionisme simbolik.

.

Referensi

Dokumen terkait

BIBLIOGRAFIE Het nieuwe stadhuiscomplex te Menado', IB T Locale Techniek 9 1940, no 6, pp 174-177 ir A van L e e u w e n 1931-1937 Werkzaam als ingenieur 3e klasse op het