• Tidak ada hasil yang ditemukan

PDF Prevalensi Social Anxiety Disorder Pada Remaja Di Sma Negeri 4 ... - Unud

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "PDF Prevalensi Social Anxiety Disorder Pada Remaja Di Sma Negeri 4 ... - Unud"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

PREVALENSI SOCIAL ANXIETY DISORDER PADA REMAJA DI SMA NEGERI 4 DENPASAR

MINAKO KUSUMADEWI 1302005052

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

2016

(2)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

TINJAUAN PUSTAKA ... 3

1.1 Definisi ... 4

1.2 Epidemiologi... 4

1.3 Etiologi ... 4

1.4 Patogenesis ... 7

1.5 Manifestasi Klinis ... 8

1.6 Diagnosis ... 8

1.7 Prognosis ... 12

DAFTAR PUSTAKA ... 13

(3)

TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Definisi

Istilah kecemasan sosial pertama kali digunakan dalam bidang psikiatri pada tahun 1920 dan mulai disebut sebagai Social Anxiety Disorder pada tahun 1994 dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM) edisi ke empat atau DSM-IV untuk memberi penekanan akan seriusnya gangguan ini.

Berdasarkan DSM-V, SAD adalah rasa takut atau kecemasan yang muncul pada situasi yang memungkinkan suatu individu diobservasi oleh orang lain.

(Cederlund, 2013).

Situasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan antara lain memulai percakapan, bertemu dengan orang baru, makan dan minum di depan orang lain, ataupun tampil di depan publik. Puncak dari onset SAD adalah pada awal masa remaja terutama pada rentang usia lima belas hingga tujuh belas tahun (Cenderlund, 2013). Kasus dengan onset setelah usia dua puluh lima tahun jarang ditemukan dan SAD pada orang dewasa umumnya merupakan gangguan kronis yang telah dibawa sejak masa remaja (Chhabra et al., 2009).

Pada remaja, situasi sosial yang memicu SAD dapat berupa berbicara di depan umum pada 11% kasus, merasa diamati oleh orang lain pada 9,7% kasus, berada dalam situasi yang memalukan pada 9,3% kasus, serta ketika mengalami penolakan pada 9% kasus (Garcia-Lopez et al., 2008). SAD berbeda dari rasa malu karena menyebabkan disabilitas secara sosial dan mengakibatkan remaja menjadi tidak aktif saat berada di sekolah. (Scheneier, 2006)

(4)

1.2 Epidemiologi

Penelitian menyebutkan bahwa prevalensi seumur hidup dari Social Anxiety Disorder di Eropa adalah sebesar 6,6% dan prevalensi yang lebih tinggi ditemukan di Amerika Serikat sebesar 12%. Prevalensi pada negara lainnya adalah sebesar 6,6% di Jerman, 3,2% pada Finland, 10,6% pada anak SMA di Swedia, dan sebesar 2,5% dari kasus self-report di Puerto Rico (Cenderlund, 2013).

Sebuah penelitian di Inggris menemukan prevalensi SAD pada mahasiswa dapat digolongkan tinggi secara signifikan, yaitu sebesar 10% (Topham et al., 2012). SAD juga merupakan salah satu permasalah psikiatri yang serius di India dengan angka insiden 2.79% dan prevalensi sebesar 1,47%. Penderita SAD tersebut mempunyai resiko terbesar dalam penyalahgunaan alkohol dibandingkan penderita gangguan kecemasan lainnya (Chhabra et al., 2009).

1.3. Etiologi

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya SAD antara lain adalah faktor neurokimiawi, faktor genetik, faktor karakteristik atau temperamen, faktor sosial, serta faktor keluarga (Yaunin, 2012; Cenderlund, 2013).

1. Faktor Neurokimiawi

Penurunan neurotransmiter seperti dopamin dan serotonin ditemukan pada penderita SAD. (Cenderlund, 2013) Kepekaan terhadap penolakan yang merupakan salah satu situasi sosial pemicu SAD diperkirakan dipengaruhi oleh sistem dompaminergik. Dopamin

(5)

bertanggung jawab terhadap fungsi motivasi dan dorongan pada sistem saraf pusat (Yaunin, 2012).

Fungsi dopamin dapat berupa minat sosial yang tinggi, adanya keinginan untuk berteman dan berkumpul dengan kelompok, serta mempengaruhi kepercayaan diri. Peningkatan neurotransmiter seperti epinefrin dan norepinefrin juga ditemukan pada penderita gangguan kecemasan dan diasosiasikan dengan gejala seperti palpitasi dan tremor.

(Yaunuin, 2012).

2. Faktor Genetik

Hasil penelitian menemukan bahwa faktor genetik pada pasangan anak kembar mempengaruhi terjadinya SAD sebesar 13%, dan pada 0,65% kasus diperkirakan bahwa SAD diturunkan secara genetik.

(Cenderlund, 2013) Individu dengan riwayat SAD pada keluarga tingkat pertama beresiko tiga kali lebih besar dibandingkan individu tanpa riwayat keluarga (Yaunin, 2012).

3. Faktor Temperamen

Faktor temperamen atau karakteristik perilaku yang stabil pada individu dengan SAD adalah behavior inhibition atau BI. Perilaku yang ditunjukkan pada temperamen BI adalah kewaspadaan terutama disekitar orang baru, ketakutan, perilaku menghindar atau menarik diri, serta mencari perlindungan pada orang yang dikenal dalam situasi tidak familiar (Chhabra et al., 2009).

Anak dengan temperamen BI biasanya akan tetap memiliki perilaku menghindar secara sosial sampai dewasa (Cenderlund, 2013).

(6)

Memiliki temperamen BI sejak usia dini meningkatkan resiko untuk mengalami gangguan kecemasan dikemudian hari (Chhabra et al., 2009).

4. Faktor Sosial

Faktor sosial yang dapat mempengaruhi terjadinya SAD adalah tekanan dari lingkungan terutama teman dengan usia sebaya. Tekanan tersebut dapat berupa ancaman, penganiayaan, dan intimidasi (Oort et al., 2011; Knappe et al., 2009). Gangguan kecemasan dapat muncul setelah dipicu oleh kejadian traumatis (Cenderlund, 2013).

5. Faktor Keluarga

Kecemasan sosial dipengaruhi oleh interaksi antara anak dan keluarga terutama dengan orang tuanya (Chhabra et al., 2009). Orang tua dengan gangguan kecemasan dapat memperparah kecemasan dan perilaku menghindar yang dimiliki oleh anaknya. Gangguan lain pada orang tua yang dikaitkan dengan SAD pada anak adalah depresi dan ketergantungan alkohol (Oort et al., 2011; Knappe et al., 2009;

Cenderlund, 2013).

Gaya asuhan juga menjadi faktor penting dalam perkembangan anak. Pengasuhan yang menggunakan kekerasan dapat memberikan rasa terancam pada anak. Orang tua yang tidak memberi perhatian, kehangatan, serta rasa aman dapat memicu perilaku menghindar pada (Oort et al., 2011; Knappe et al., 2009; Cenderlund, 2013). Gaya asuhan yang terlalu mengekang juga meningkatkan resiko untuk mengalami SAD ataupun gangguan kecemasan lainnya (Cenderlund, 2013).

(7)

1.4. Patogenesis

Perubahan fisik, sosial, serta perubahan secara psikologis terjadi pada masa remaja yang merupakan sebuah fase transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Transisi tersebut menyebabkan interaksi sosial dengan sekitar menjadi sangat penting sehingga dapat menyebabkan distress (Oort et al., 2011; Gren-Landell et al., 2009).

Perasaan tidak aman dan kekhawatiran dalam periode transisi dapat menyebabkan gangguan kecemasan yang terjadi. (Oort et al., 2011; Gren-Landell et al., 2009) Perubahan kognitif dimana berkembangnya kemampuan untuk menerima perspektif orang lain dalam berbagi pengalaman dan pemikiran juga mungkin menjelaskan munculnya SAD pada remaja (Cenderlund, 2013).

Kecemasan yang muncul pada SAD dipengaruhi oleh aktivitas pada amygdala yang terletak di lobus medial temporal dari otak. Amygdala terlibat dalam regulasi emosional, rasa takut, dan bereaksi terhadap input dari indera (Cenderlund, 2013). Ketika berada dalam situasi yang dianggap mengancam, amygdala akan mengirim perintah ke korteks otak yang menyebabkan respon berupa ekspresi takut, tegang, naiknya laju detak jantung, kenaikan tekanan darah, dan nafas menjadi lebih cepat (Fouche et al., 2013).

Pada korteks otak, informasi akan dianalisis atau diabaikan pada beberapa kasus. Amygdala yang reaktif akan menyebabkan kewaspadaan yang tinggi (Cenderlund, 2013). Respon berupa gejala-gejala kecemasan seperti palpitasi, banyak berkeringat dan tremor juga diregulasi oleh neurotransmiter seperti dopamin, epinefrin, dan norepinefrin pada sistem saraf pusat (Yaunin, 2012).

(8)

1.5. Manifestasi Klinis

Gejala yang muncul ketika mengalami SAD adalah rasa cemas dan rasa malu yang intens, rasa waspada, serta rasa takut untuk dikritik. Rasa cemas akibat situasi sosial menyebabkan beberapa kumpulan gejala fisik seperti berkeringat, gemetar, wajah merah, berdebar-debar, hingga rasa mual dan diare. Kecemasan juga dapat menyebabkan beberapa gangguan pada perilaku seperti lebih mudah untuk lupa, berbicara terbata-bata dan diam membeku atau freezing (Cenderlund, 2013; Topham et al., 2012; Miller et al., 2011).

Tanda lain yang dapat terlihat adalah perilaku menghindar, seperti bolos dari sekolah atau tempat bekerja (Cenderlund, 2013; Topham et al., 2012; Miller et al., 2011). Pada orang dewasa tanda dan gejala yang dominan terlihat adalah gejala fisik, sedangkan pada anak-anak tanda-tanda SAD ditunjukkan melalui perilaku seperti menempel pada orang tuanya dan tidak mau berbicara pada orang lain terutama orang yang tidak dikenal (Chhabra et al., 2009).

1.6. Diagnosis

Diagnosis SAD ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan riwayat hasil anamnesa pasien. Dalam menentukan diagnosis dapat digunakan acuan kriteria diagnosis pada DSM-V oleh American Psychiatry Association atau APA.

(Brunello et al., 2000). SAD dapat terdiagnosis jika kecemasan yang muncul terjadi secara persisten selama 6 bulan atau lebih tanpa dipengaruhi oleh kondisi medis lain ataupun obat-obatan. Kecemasan digolongkan sebagai SAD jika sudah

(9)

Tabel 2.6.1 – Kriteria diagnosis SAD berdasarkan DSM-V (Cenderlund,

mengganggu fungsi sosial, fungsi okupasi, fungsi akademik, atau fungsi lainnya dalam kehidupan sehari-hari (Cenderlund, 2013).

Kriteria DSM-V : Social Anxiety Disorder (Social Phobia)

A

Rasa takut atau kecemasan yang muncul pada situasi yang memungkinkan suatu individu diobservasi oleh orang lain. Contohnya termasuk interaksi sosial (berbicara, bertemu orang baru), diamati orang lain (saat makan dan minum), atau tampil di depan publik (memberi pidato). Dengan catatan pada anak-anak kecemasan harus terjadi pada situasi sosial antara teman sebaya, bukan hanya saat berinteraksi dengan orang dewasa.

B

Ketakutan individu untuk bertindak atau menunjukkan rasa cemasnya sehingga terlihat buruk di depan orang lain (mempermalukan diri sehingga dihindari atau menyinggung orang lain).

C

Situasi sosial hampir selalu memicu rasa takut atau cemas. Dengan catatan pada anak-anak rasa takut atau cemas dapat berupa tangisan, kegelisahan, kekakuan, atau tidak mau berbicara.

D

Situasi sosial dihindari atau dijalani dengan menahan rasa takut atau cemas yang intens.

E

Rasa takut atau cemas berlebihan dan tidak sesuai dengan kenyataan yang ada pada situasi sosial dan konteks sosial-kultural.

2 0 1 3 ) .

(10)

F

Rasa takut, cemas, atau perilaku menghindar terjadi secara persisten selama 6 bulan atau lebih.

G

Rasa takut, cemas, atau perilaku menghindar menyebabkan disabilitas yang signifikan pada fungsi sosial, okupasi, atau fungsi lainya dalam kehidupan.

H

Rasa takut, cemas, atau perilaku menghindar bukan disebabkan oleh efek fisiologis dari zat tertentu (penyalahgunaan obat-obatan terlarang atau medikasi) atau disebabkan oleh kondisi medis lainnya.

Skrining SAD dapat dilakukan dengan pengisian kuisioner atau skala seperti Liebowitz Social Anxiety Scale untuk orang dewasa dan Liebowitz Social Anxiety Scale for Children and Adoloescent untuk anak dan remaja, Social Phobia and Anxiety Inventory for Children atau SPAI-C, Children Development Inventory atau CDI, serta Primary Care Evaluation of Mental Disorder atau Prime-MD (Chhabra et al., 2009).

Penelitian terkait realibilitas skrining kecemasan sosial merekomendasikan alat ukur berupa SPIN atau Social Phobia Inventory yang diadaptasi dari penelitian Connor et al. tahun 2000. SPIN berguna untuk mendeteksi dan menilai tingkat keparahan SAD dengan sensitifitas sebesar 79% dan memiliki indeks korelasi item sebesar 0,92 serta reabilitas sebesar 0,86. SPIN tidak hanya mampu memberikan hasil pengukuran yang valid dan reliabel terhadap penelitian, tetapi juga sensitif dalam mengukur evaluasi hasil terapi berupa Cognitive Behavior

(11)

Therapy atau CBT. Kuisioner SPIN terdiri dari tujuh belas item self-report yang dibuat untuk mendeteksi gejala SAD secara spesifik (Antony et al., 2006).

SPIN mengevaluasi tiga aspek yaitu rasa takut, perilaku menghindar, dan kewaspadaan fisiologis. Individu diberi pertanyaan terkait seberapa terganggu individu tersebut oleh gejala tertentu dalam seminggu terakhir. Pernyataan seperti rasa malu sehingga menghindari aktivitas dan berbicara pada orang lain, menghindari kegiatan yang mengumpulkan perhatian, serta ketakutan untuk mempermalukan diri di depan orang lain merupakan poin yang sangat berguna di dalam skrining (Antony et al., 2006).

Setiap pertanyaan diukur dalam lima poin, yaitu nol untuk tidak terganggu sama sekali dan empat untuk sangat terganggu. Jika total dari hasil kuisioner diatas dua puluh maka dapat digolongkan sebagai SAD. Rentang nilai dua puluh satu hingga tiga puluh digolongkan sebagai SAD dengan tingkat keparahan ringan. Hasil dengan total nilai tiga puluh satu hingga empat puluh digolongkan sebagai tingkat keparahan sedang. Total nilai empat puluh satu hingga lima puluh digolongkan sebagai tingkat keparahan berat, jika total nilai di atas lima puluh satu maka digolongkan sebagai SAD yang sangat berat (Antony et al., 2006).

1 Saya takut pada figur otoritas.

2 Saya merasa terganggu ketika wajah memerah di depan orang lain.

3 Pesta dan acara sosial membuat saya takut.

4 Saya menghindari berbicara dengan orang yang tidak saya kenal.

Tabel 2.6.2 – Kuisioner SPIN (Antony et al., 2006).

(12)

5 Saya sangat takut diberi kritik.

6

Saya takut merasa malu sehingga saya menghindari melakukan aktivitas atau berbicara dengan orang lain.

7 Berkeringat di depan orang lain membuat saya tertekan.

8 Saya menghindari pergi ke pesta.

9 Saya menghindari kegiatan dimana saya menjadi pusat perhatian.

10 Saya merasa takut berbicara dengan orang asing.

11 Saya menghindari berpidato.

12 Saya akan melakukan apapun untuk menghindari kritik.

13 Rasa berdebar-debar mengganggu saya ketika berada di dekat orang lain.

14

Saya takut melakukan kegiatan ketika ada kemungkinan diperhatikan orang lain.

15 Mempermalukan diri atau terlihat bodoh adalah ketakutan terbesar saja.

16 Saya menghindari berbicara dengan figur otoritas.

17 Gemetaran di depan orang lain membuat saya tertekan.

1.7. Prognosis

SAD dapat disertai dengan gangguan komorbid seperti depresi, GAD atau generalized anxiety disorder, phobia spesifik, serta gangguan panik. (NICE, 2013;

Schneier, 2006; Miller et al., 2011). Gangguan lain seperti penyalahgunaan zat

(13)

(Cenderlund, 2013). Pasien dengan diagnosa SAD memiliki resiko tertinggi dalam penyalahgunaan alkohol dibanding gangguan kecemasan lainnya (Chhabra et al,, 2009).

Prognosis untuk sembuh dari SAD secara umum baik jika ditangani sejak dini dan secara tepat. Pada kasus yang tidak ditangani, individu tersebut menjadi tidak mampu baik dalam sosial maupun karirnya. Oleh karena itu, diagnosis dini sangat penting untuk mencegah disfungsi sosial (Chhabra et al., 2009).

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Antony, M., Coons, M., et al., 2005. Psychometric Properties of Social Phobia Inventory: Further Evaluation. Behavior Research and Therapy, 44:1177-1185.

Brunello, N., Boer, J., et al., 2000. Social Phobia: Diagnosis and Epidemiology, Neurobiology and Pharmacology, Comorbidity and Treatment. Journal of Affective Disorder, 60(1):61-74.

Cenderlund, R. 2013. Social Anxiety Disorder in Children and Adolescents:

Assesment, Maintaining Factors, and Treatment. Sweden: Stockholm University.

Chhabra, V., Bhatia, M., et al., 2009. Prevalence of Social Phobia in School- going Adolescent in an Urban Area. Delhi Journal of Psychiatry, 12( 1):18-22.

Fouche, J., Roelofs, K., et al., 2013. Recent Advances in the Brain Imaging of Social Anxiety Disorder. Human Psychopharmacology, 28(1):102-105.

Garcia-Lopez, L., Piqueras, J., et al., 2008. Social Anxiety Disorder in Childhood and Adolescents: Current Trends, Advances, and Future Direction. Behavior and Psychology, 16:501-533.

Gren-Landell, M., Tillfors, M., et al., 2009. Social Phobia in Swedis Adolescents:

Prevalence and Gender Differences. Social Psychiatry and Psychiatry Epidemiology, 44(1): 1-7.

Haddad, A., Lissek, S., 2011. How Do Social Fears in Adolescence Develop?

Fear Conditioning Shapes Attention Orienting to Social Threat Cues. Cognitive and Emotional, 25(6):1139-1147.

Knappe, S., Lieb, R., 2009. The Role of Parental Psychopathology and Family Environment for Social Phobia in the First Three Decades of Life. Depression and Anxiety, 26(4): 363-370.

Memik, C., Sismanlar., S., 2010. Social Anxiety Level in Turkish Adolescent.

European Child and Adolescent Psychiatry, 19(10): 765-72.

Miller, L., Gold, S., et al., 2011. Transporting a School Based Intervention for Social Anxiety in Canadian Adolescents. Canadian Journal of Behavioral Science, 43(4): 287-296.

National Institute for Health and Care Excellence (NICE), 2013. Social Anxiety Disorder: Recognition, Assesment, and Treatment. Manchester: NICE. Diakses pada : www.guidance.nice.org.uk/cg159 (pada tanggal 15 Oktober 2015).

(15)

Oort, F., Greaves-Lord, K., et al., 2011. Risk Indicators of Anxiety Throughout Adolescence: the TRAILS Study. Depression and Anxiety, 28(6):485-91.

Parr, C., Cartwright-Hatton, S., 2009. Social Anxiety in Adolescents: The Effect of Video Feedback on Anxiety and the Self-Evaluation of Performance. Clinical Psychology and Psychotherapy ,16(1):46-54.

Russel, G., Shaw., S., 2009. Study to Investigate Prevalence of Social Anxiety in Sample of Higher Education in UK. Journal of Mental health, 18(3): 198-206.

Schneier, F., 2006. Social Anxiety Disorder. New England Journal of Medicine, 355:1029-36.

Tillfors, M., Carlbring., P., 2008. Treating University Students with Social Phobia and Public Speaking Fears: Internet Delivered Self Help with or without Live Group Exposure Session. Depression and Anxiety, 25(8):708-17.

Topham, P., Russel, G., 2012. Social Anxiety in Higher Education. The Psychologist, 25(4):280-282.

Vriends, N., Pfaltz, M., et al., 2013. Taijin Kyofusho and Social Anxiety and Their Clinical Relevance in Indonesia and Switzerland. Frontiers in Psychology, 4(3):1- 9.

Yaunin, Y., 2012. Fobia Sosial. Kalbe, 39(10):752-754

(16)

Referensi

Dokumen terkait