• Tidak ada hasil yang ditemukan

prinsip keadilan dalam pemberian ganti rugi

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "prinsip keadilan dalam pemberian ganti rugi"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

Perjanjian baku adalah bentuk perjanjian tertulis yang dibuat oleh salah satu pihak dalam perjanjian dan pihak lain memiliki sedikit kesempatan untuk bernegosiasi untuk mengubah klausul lawan, seperti dalam klausul kompensasi dan metode penyelesaian sengketa yang tidak dapat dinegosiasikan. Kontrak standar juga digunakan dalam kontrak pengangkutan di mana pengangkut telah menyiapkan klausul dalam kontrak sebelumnya dan pengirim hanya dapat menyetujuinya tanpa memiliki opsi untuk bernegosiasi untuk mengubah klausul pengangkut. Perjanjian baku dibuat dengan sistem terbuka Buku III KUH Perdata, disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak.

Kenyataannya masih ada pengangkut yang membatasi tanggung jawabnya dalam memberikan ganti rugi kepada pengirim jika timbul kerugian karena kesalahan pengangkut dan hal ini dituangkan dalam kontrak baku yang dibuat oleh pengangkut. Sebagian besar perjanjian standar adalah perjanjian adhesi, yaitu perjanjian di mana salah satu pihak yang membuat perjanjian berada di bawah tekanan. Perjanjian baku juga memuat klausula baku, yaitu klausula yang memberikan hak kepada pihak yang lebih kuat untuk memutuskan hal-hal tertentu sebelum waktunya tanpa pemberitahuan.

Merupakan kontrak baku yang tunduk pada hak atas tanah yang isinya ditentukan oleh pemerintah. Perjanjian baku yang dimaksud di sini adalah perjanjian yang rancangannya semula dibuat untuk memenuhi permintaan warga negara yang telah meminta bantuan notaris dan pengacara yang bersangkutan. Sedangkan kelemahan kontrak baku adalah ketika perjanjian ditandatangani, para pihak umumnya hanya mengisi rincian informasi tertentu dengan sedikit atau tanpa perubahan klausul dan pihak lain dalam perjanjian tidak memiliki opsi untuk menegosiasikan atau mengubah klausul yang dibuat. oleh salah satu pihak, sehingga perjanjian baku biasanya sangat berat sebelah.

Mencermati uraian di atas, dalam suatu perjanjian baku, meskipun dilakukan secara sepihak, dalam hal ini pelaku usaha tetap memiliki unsur pilihan, penerimaan atau penolakan yang merupakan cerminan dari asas kebebasan berkontrak. sehingga keberadaan suatu perjanjian baku dalam tatanan hukum Indonesia adalah sah.

Perjanjian Baku dalam Perjanjian Pengangkutan

Perjanjian baku yang sudah tidak seimbang karena dibuat oleh satu pihak saja seringkali menimbulkan kerugian bagi pihak yang lebih lemah, terutama pihak yang hanya menerima perjanjian baku, yang tidak memiliki posisi negosiasi dalam menentukan isi perjanjian. Dalam perjanjian baku terdapat klausula yang harus membatasi tanggung jawab pihak yang membuat perjanjian baku. Pengangkut juga menggunakan perjanjian baku pada saat mengadakan perjanjian pengangkutan, dimana klausul-klausul perjanjian telah disusun terlebih dahulu oleh pengangkut.

Pengangkut dan pengirim, yang merupakan pihak dalam perjanjian pengangkutan, tidak memiliki posisi negosiasi yang sama kuatnya. Jika dikaitkan dengan perkembangan penggunaan perjanjian baku, maka dapat dikatakan menurut pendapat Subekti bahwa asas kebebasan bersepakat telah dibatasi berlakunya, yaitu dalam perjanjian baku hanya ada satu. Kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian, karena isi perjanjian baku pada dasarnya ditentukan terlebih dahulu oleh salah satu pihak.

Kebebasan para pihak untuk menentukan cara mengadakan perjanjian, karena dalam semua perjanjian baku cara masuknya ditentukan oleh salah satu pihak. Dalam kontrak pengangkutan menggunakan kontrak standard, pengirim tidak mempunyai kuasa untuk menyatakan kehendak dan kebebasannya untuk menentukan kandungan kontrak. Hak dan kewajipan pengangkut dan pengirim boleh diketahui daripada operasi pengangkutan dan daripada dokumen pengangkutan yang diterbitkan dalam perjanjian.

22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang menyebutkan bahwa perusahaan angkutan umum wajib mengganti kerugian yang diderita penumpang atau pengirim barang akibat kelalaian dalam penyelenggaraan angkutan. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menjelaskan bahwa besaran ganti rugi adalah besarnya kerugian yang sebenarnya diderita oleh penumpang, pengirim barang atau pihak ketiga. Ganti rugi yang akan diberikan meliputi semua biaya/biaya yang sebenarnya dikeluarkan oleh pihak pengirim, kerugian yaitu kerugian yang timbul akibat rusaknya barang milik pihak pengirim yang disebabkan oleh kesalahan pengangkut, dan bunga yaitu kerugian berupa hilangnya keuntungan yang telah dibayangkan/.

Dalam hal ganti rugi, pengangkut bertanggung jawab mengganti kerugian yang timbul selama pengangkutan kepada pengirim, tetapi pengangkut tidak berkewajiban mengganti semua kerugian yang timbul. Dalam hal ini, pengangkut hanya mengganti kerugian yang jumlahnya tidak sesuai dengan jumlah kerusakan yang sebenarnya diderita oleh pengirim. Hak pihak pengirim untuk mendapatkan ganti rugi atas kerusakan yang diakibatkannya tidak jelas dan besar kemungkinan pihak pengirim sebagai pengguna jasa akan menderita kerugian yang besar dari pihak pengangkut karena pihak pengangkut akan sewenang-wenang dalam memberikan ganti rugi.

Pembatasan kerugian akibat kesengajaan dari pihak pengusaha merupakan niat buruk dari pengangkut. Jika melanggar pasal 18 ayat 1 dan 2 UUPK, klausula baku yang ditetapkan pelaku usaha dalam perjanjian batal demi hukum.

Prinsip Keadilan

Mengenai pembayaran ganti rugi, sangat erat kaitannya dengan keadilan yang dirasakan masing-masing pihak. “Keadilan” berasal dari kata “adl” yang berasal dari bahasa Arab. Kata “keadilan” dalam yurisprudensi diartikan sebagai pembagian yang tetap dan berkesinambungan untuk memberikan hak setiap orang (watak yang tetap dan abadi untuk menjadikan setiap orang haknya) (Kamus Pusat Pembinaan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Leon Petrazycki memiliki pandangan lain tentang keadilan dengan kebanyakan orang mengatakan bahwa keadilan itu abstrak.

Gunawan Setiardjo mendefinisikan keadilan sebagai (dipahami dalam arti subyektif) kebiasaan baik jiwa yang mendorong manusia dengan kemauan yang tetap dan terus menerus untuk memberikan haknya kepada setiap orang. Orang yang benar adalah orang yang disiplin diri yang nafsunya diatur oleh akal atau orang yang mengendalikan diri yang perasaannya diatur oleh akal. Menurut Immanuel Kant, keadilan adalah kebebasan tertinggi setiap orang yang dibatasi oleh kebebasan semua orang lainnya.

Gagasan kuno, Persia dan lain-lain yang asing bagi tradisi Islam dan mencoba membuat keseimbangan yang disebut “jalan tengah” dalam konsep keadilan. Yang terpenting, keadilan adalah sikap adil (inshaf) yang mendorong manusia untuk mengikuti apa yang digambarkan sebagai jalan kebenaran. Rumusan ini secara tegas mengakui hak setiap orang terhadap orang lain dan apa yang harus menjadi bagiannya, begitu pula sebaliknya.

Keadilan retributif (retributive justice), berkaitan dengan terjadinya kesalahan, dimana hukum atau denda yang dijatuhkan kepada yang bersalah harus adil. Intinya adalah semua orang atau kelompok orang diperlakukan sama oleh negara sebelumnya dan berdasarkan hukum yang berlaku. Landasan moralnya adalah, pertama, bahwa semua orang adalah manusia yang memiliki martabat yang sama dan karenanya harus diperlakukan sama; kedua, semua adalah warga negara dengan status dan kedudukan yang sama, bahkan dengan kewajiban sipil yang sama.

Prinsip keadilan timbal balik menuntut setiap orang untuk memberi, menghormati dan menjamin apa yang menjadi hak orang lain. Dengan demikian, prinsip keadilan penyerahan menuntut setiap orang untuk menepati janjinya, membayar kembali pinjaman, memberikan imbalan yang seimbang, memberikan imbalan atau gaji yang sesuai, menjual barang dengan kualitas dan harga yang seimbang, dan sebagainya. Hal ini wajar karena ada dasar atau kriteria objektif yang diketahui dan dapat diterima oleh semua orang.

Pembicaraan tentang keadilan juga dihubungkan dengan kepuasan, dimana seseorang akan merasakan keadilan ketika ia merasa puas atau ketika ia mendapatkan apa yang diharapkannya. Dan dalam hal pemberian ganti kerugian atas pengangkutan barang, prinsip keadilan yang diterapkan lebih berorientasi pada keadilan komutatif, pada dasarnya prinsip keadilan ini menghendaki agar setiap orang menepati janjinya, membayar kembali pinjaman, memberikan ganti rugi yang seimbang, mereka memberikan imbalan atau upah yang sama, pantas, dan menjual barang dengan kualitas dan harga yang seimbang, dll, dengan terlebih dahulu melihat setiap kasus secara individual atau latar belakang kerugiannya.

SIMPULAN

Fakta ini menunjukkan bahwa masalah keadilan berbanding terbalik dengan kegiatan bisnis, terutama berbisnis yang baik dan beretika. Di satu pihak, terwujudnya keadilan dalam masyarakat akan menciptakan kondisi yang baik dan menguntungkan bagi kelangsungan usaha yang baik dan sehat. Tidak hanya dalam arti terwujudnya keadilan akan menciptakan stabilitas sosial yang mendukung kegiatan bisnis, tetapi juga dalam arti selama prinsip-prinsip keadilan diterapkan maka akan muncul bisnis yang lebih baik dan beretika.

Di sisi lain, praktik bisnis yang baik, beretika, dan adil akan berkontribusi pada terwujudnya keadilan di masyarakat. Tidak heran jika sampai saat ini keadilan selalu menjadi salah satu topik penting dalam etika bisnis. Para pemikir ini memahami bahwa tanpa kontrak serta hak dan kewajiban yang dihasilkannya, masyarakat bisnis tidak akan berfungsi.

Akad menyediakan cara untuk memastikan bahwa setiap individu memenuhi janjinya dan kemudian memungkinkan terjadinya transaksi di antara mereka (Siti Malikhatun Badriyah, 2010: 6). Kebebasan berkontrak dan perlindungan nasabah yang berimbang dalam perjanjian kredit perbankan di Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

2) Buat insisi maksimal 1 cm, hingga rongga abdomen terbuka 3) Keluarkan testis dengan menggerakkan testis ke area insisi 4) Lakukan cauterisasi atau pengikatan +