Prosiding Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia, Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia di Masa Pandemi. Ekspresi Budaya dan Keadilan dalam Perjuangan Hak Lingkungan Hidup Masyarakat Adat - Prosiding Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia, Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Ilmu Hukum dan Sosial, Vol. Pandemi Covid-19 tidak hanya berdampak pada permasalahan dalam negeri, namun juga komitmen negara-negara dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas menyatakan pandemi Covid-19 menyebabkan penyesuaian strategi dan upaya untuk mencapai tujuan SDG. Saat ini sedang disusun rancangan Rencana Aksi Nasional (RAN) untuk mencapai SDGs dengan menempatkannya dalam konteks pemulihan pandemi Covid-19. Konferensi ini merupakan acara akademik penting untuk membahas peran strategi hukum dan kontribusi akademisi dan praktisi dalam merespons pandemi Covid-19 berdasarkan hak asasi manusia dan mendukung pencapaian SDGs.
Konferensi Daring Nasional bertema Hak Asasi Manusia, Kebudayaan dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia pada Masa Pandemi Covid-19: Tantangan Ilmu Hukum dan Sosial ini diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Pancasila bersama dengan Pusat Kajian Pancasila Universitas Pancasila, Hukum Indonesia Philosophy Association, Akademisi Kaukus Kebebasan Indonesia, Himpunan Pengajar Hukum Adat, Episema Institute dan HuMa Association pada 27-28 Juni 2020. Tujuannya untuk membahas permasalahan HAM dan budaya pada masa pandemi Covid-19, dan implikasinya dalam mencapai tujuan tersebut. tujuan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) di Indonesia.
Konteks masalah
Dampak multi dimensi COVID-19
Hal ini antara lain mencakup dunia pendidikan, penyelenggaraan ibadah, ritual sosial dan budaya, hak berkumpul dan beraktivitas, serta kegiatan usaha di sektor formal dan informal. Kelompok yang terkena dampak COVID-19 berkisar dari petugas kesehatan, anak-anak hingga lansia, penyandang disabilitas, pekerja formal, informal dan migran, petani, masyarakat miskin dan hampir miskin, serta perempuan. Sementara itu, permasalahan akses, partisipasi, kontrol dan manfaat bagi masyarakat adat, baik secara materi maupun non materiil, juga ditemukan pada masa pandemi COVID-19 dan tatanan kenormalan baru.
Pada masa pandemi ini juga terjadi penindasan terhadap ruang sipil, melalui serangan terhadap kebebasan berpikir, kebebasan akademik, kebebasan pers, kebebasan media dan berbagai isu kebebasan sipil lainnya. Pandemi COVID-19 membutuhkan cara baru dalam memandang dan melaksanakan pembangunan di semua dimensi, termasuk aspek hukum, politik, sosial ekonomi, budaya, dan lingkungan. Bahkan negara demokrasi memerlukan pengaturan baru mengenai masalah kebebasan individu dan kelompok serta kesehatan masyarakat.
Etika antroposentrisme dalam pembangunan harus direvisi, dimana ekosentrisme yang mendukung keseimbangan antara keadilan sosial dan lingkungan menjadi salah satu alternatifnya.
HAM dan SDGs sebagai kerangka pemulihan pasca Pandemi COVID-19
Permasalahan hak asasi manusia dalam berbagai dimensinya, baik aspek lingkungan, budaya, ekonomi, dan sosial, dalam kebijakan pemulihan pascapandemi penting untuk dimasukkan dalam Rencana Aksi. SDGs secara keseluruhan harus menjadi acuan bagi seluruh upaya pemulihan kehidupan pascapandemi dimana 17 tujuan dalam SDGs masih relevan untuk dilakukan.
Pancasila dan Negara Hukum Indonesia
Oleh karena itu, alam juga mempunyai hak yang sama untuk tidak dirusak dan dicemari oleh perbuatan manusia yang “tidak adil dan tidak beradab” terhadap alam. Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan ideal dan konstitusional seharusnya mendorong dan mendorong perumusan kebijakan hukum dalam pembangunan hukum. Penting untuk memperkenalkan dan mengubah peraturan perundang-undangan di tingkat nasional dan daerah mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak mereka di segala bidang dengan perspektif hak asasi manusia, keadilan gender dan pembangunan hukum berkelanjutan.
Evaluasi yang serius dan konsisten oleh pemerintah dan badan legislatif terhadap produk hukum lingkungan hidup juga penting. Insentif diberikan kepada pelaku kegiatan/perusahaan yang tidak menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan hidup, dan sebaliknya sanksi dan disinsentif diberikan kepada pelaku kegiatan/perusahaan yang merugikan lingkungan hidup. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk memastikan bahwa kerugian lingkungan dan biaya restorasi benar-benar dapat digunakan untuk pemulihan lingkungan secara cepat.
Aspek penegakan hukum lainnya adalah belum adanya mekanisme penegakan hukum terhadap putusan-putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, khususnya dalam perkara perdata, termasuk perkara yang diajukan secara perdata.
Kolaborasi Inter dan Transdisiplin
4 Hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam skema izin pertambangan (UP). Siapakah masyarakat adat dan mengapa hak-haknya diatur secara khusus dalam pasal 18B ayat (1) konstitusi 2, dan Pasal 28I ayat 3. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai harus menghormati hak masyarakat adat.
Sistem dan kelembagaan yang mengikat masyarakat adat adalah nilai-nilai lokal (kearifan lokal) yang berupa hukum adat. Dalam konteks penerapan ‘hukum adat’, masyarakat adat merupakan kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya yang mengikat kebersamaan komunitasnya. Pelepasan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dalam rezim izin usaha pertambangan (UP).
Secara umum, berbagai peraturan hukum pemerintah tidak terlalu efektif dalam melindungi hak-hak masyarakat hukum adat atas sumber daya alam dan lingkungannya. 7 Martua Sirait, Chip Fay dan Kusworo, Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam Diatur. 10 Muazzin, Hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam: Perspektif Hukum Internasional, Jurnal Ilmu Hukum Padjadjaran, Volume 1 - No. 2 - Tahun 2014, hal.
Lebih lanjut, pengakuan terhadap hak masyarakat adat dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1 ayat 6 UU No. Pengakuan terhadap hak masyarakat adat atas sumber daya alam dan lingkungan hidup yang diatur dalam produk hukum yang berbeda-beda menurut sektornya. Dalam undang-undang tersebut, tidak ada ketentuan yang secara tegas mengatur hak masyarakat adat atas sumber daya alam dan lingkungan hidup.
Sebab, aturan hukum mengenai pengakuan hak masyarakat adat atas sumber daya alam dan lingkungan hidup pada industri pertambangan sebagaimana diatur dalam UU Minerba bisa dikatakan sangat lemah. Hal yang paling mungkin untuk memenuhi kepentingan masyarakat adat dalam kegiatan investasi pertambangan adalah terkait bagaimana kepentingan masyarakat adat bersentuhan langsung dengan mereka. Posisi negosiasi hak-hak masyarakat adat atas sumber daya alam pada kegiatan pertambangan berdasarkan sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) masih sangat lemah.
Perubahan sistem kontrak kerja menjadi sistem izin pertambangan ini semakin melemahkan posisi hak masyarakat adat atas sumber daya alam mineral dan batubara. Martua Sirait, Chip Fay dan Kusworo, Bagaimana Hak-Hak Masyarakat Adat Diatur dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam. Muazzin, Hak Masyarakat Adat atas Sumber Daya Alam: Sebuah Perspektif Hukum Internasional, Jurnal Ilmu Hukum Padjadjaran, Volume 1 - No. 2 - tahun 2014.
Masyarakat adat dalam kaitannya dengan hak atas wilayah dan pengelolaan sumber daya alam dilihat dari aspek pembangunan ekonomi yang berkeadilan.