• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rancangan dan Implementasi Sistem Poligraf Berbasis Support Vector Machine Menggunakan Multi Modal Sensor Biometrik di Lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munahadhoroh

N/A
N/A
Praktik TIK Kelas X

Academic year: 2024

Membagikan " Rancangan dan Implementasi Sistem Poligraf Berbasis Support Vector Machine Menggunakan Multi Modal Sensor Biometrik di Lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munahadhoroh"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

DESIGN DAN IMPLEMENTASI SISTEM POLIGRAF BERBASIS SUPPORT VECTOR MACHINE DENGAN MENGGUNAKAN MULTI-MODAL SENSOR BIOMETRIK DI

LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN KEDUNGLO AL MUNADHDHOROH

SKRIPSI

Oleh :

RETA SANILA BUNGA MUJAHIDAH NIM 1787506094

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS WAHIDIYAH KEDIRI 2021

HALAMAN JUDUL

DESIGN DAN IMPLEMENTASI SISTEM POLIGRAF BERBASIS SUPPORT VECTOR MACHINE DENGAN MENGGUNAKAN MULTI

MODAL SENSOR BIOMETRIK DI LINGKUNGAN PONDOK PESANTREN KEDUNGLO AL MUNADHDHOROH

SKRIPSI

Diajukan kepada Program Sarjana Universitas Wahidiyah Kediri untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana

Komputer pada Program Teknik Informatika

(2)

Oleh:

RETA SANILA BUNGA MUJAHIDAH NIM 1787506094

PROGAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS WAHIDIYAH KEDIRI 2021

ii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi oleh Reta Sanila Bunga Mujahidah NIM. 1787506094, Judul Design dan Implementasi Sistem Poligraf Berbasis Support Vector Machine Dengan Menggunakan Multi-Modal Sensor Biometrik Di Lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhdhoroh ini telah disetujui dan dinyatakan syarat untuk diseminarkan.

Kediri, ……. Agustus 2021 Pembimbing,

Khamid, M.T.

NIDN. 0701117203

(3)

Mengetahui,

Ketua Program Studi,

Khamid, M.T.

NIY. 1972110120140901072

iii

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi oleh Reta Sanila Bunga Mujahidah NIM. 1787506094, dengan Judul Design Dan Implementasi Sistem Poligraf Berbasis Support Vector Machine Dengan Menggunakan Multi-Modal Sensor Biometrik Di Lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhdhoroh ini telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal ……. Agustus 2021

Dewan Penguji,

Nama Tanda Tangan Jabatan

Khamid, M.T. ……… Penguji 1 NIDN. 0701117203

Asep Nuraziq, M.Kom. ……… Penguji 2 NIDN. 720049102

Nizar Zakaria, S.Kom, M.M. ……… Penguji 3 NIDN.

0721049102

Mengesahkan, Mengetahui, Ketua Dekan Fakultas Teknik Ketua Program Studi

(4)

Asep Nuraziq, M.Kom. Khamid, M.T. NIY. 199104202015041035 NIY.

1972110120140901072

iv

SURAT PERNYATAAN KEORISINILAN SKRIPSI

Yang bertandatangan di bawah ini : Nama : Reta Sanila Bunga Mujahidah

Tempat, tanggal lahir : Kediri, 31 Maret 1999 NIM : 1787506094

Program Studi : Teknik Informatika Alamat : Kediri, Jawa Timur

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa :

1. Skripsi yang diujikan ini benar-benar hasil karya saya sendiri (tidak didasarkan pada data palsu dan/atau hasil jiplakan/plagiasi atau autoplagiasi).

2. Apabila pada kemudian hari terbukti bahwa pernyataan saya tidak benar, saya akan menanggung resiko dan siap diperkarakan sesuai dengan aturan yang berlaku.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar benarnya.

Kediri, ……. Agustus 2021 Yang menyatakan,

Reta Sanila Bunga Mujahidah NIM. 1787506094

(5)

v MOTTO

Saya benci ketika saya lemah, namun menjadi lemah memberi saya potensi untuk menjadi

lebih kuat -Yuzuru Hanyu

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan untuk :

(6)

1. Yayasan Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhdhoroh tempat saya mendapatkan ilmu baik secara lahiriyah dan batiniyah selama 10 tahun terakhir.

2. Ibuku tercinta Anis Susiati yang telah melahirkan dan membesarkan saya hingga saya dapat tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

3. Orang Tuaku, Bapak Heri Raharjo dan Ibuk Asmaul Mufida yang telah merawat dan membesarkanku dengan penuh kasih sayang.

4. Saudaraku, Mas Syafa, Adik Rival, Amira, Udzma, dan adik bungsu yang masih dalam kandungan. Serta keluarga besar dari Pojok, Wates dan Bondo yang telah berbagi suka duka kehidupan dengan saya.

5. Teman teman dari asrama Al Hidayah dan seluruh rekan seperjuangan di Universitas Wahidiyah yang selalu membagikan kebahagiaan dan pelajaran hidup yang berharga.

6. Bapak Khamid, M.T. yang telah membimbing saya hingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Serta segala pihak yang telah membantu baik berupa moral maupun materi.

vii

KATA PENGANTA

Bismillahirrahmanirrahim.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya, syafaat tarbiat Rasulullah SAW, barakah nadroh beliau Ghautsu Hadzaz Zaman RA, serta doa restu Hadratul Mukarrom Kanjeng K. Abdul Majid Ali Fikri RA, Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhoroh. Penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian dengan judul

(7)

“Design Dan Implementasi Sistem Poligraf Berbasis Support Vector Machine Dengan Menggunakan Multi-Modal Sensor Biometrik Di Lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhdhoroh” dengan tepat waktu.

Dalam penyusunan proposal penelitian ini, penulis menyadari bahwa teknis maupun isinya masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis mengharapkan semoga penyajian sederhana ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan bagi siapa saja yang membacanya.

Dalam proposal penelitian ini, penulis banyak mendapat masukan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada :

1. Hadrotul Mukarrom Kyai Abdul Majid Ali Fikri Ra., Pengasuh Perjuangan Wahidiyah dan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhoroh.

2. Dr. Fauziah Isnaeni, M.Pd.I. Selaku Rektor Universitas Wahidiyah beserta staf dan jajarannya.

3. Ibu Nunung Nurhayati, S.T. Selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Wahidiyah beserta staf dan jajarannya.

4. Bapak Moh. Arif Hidayat, S.Kom. Selaku Ketua Program Studi Teknik Informatika Universitas Wahidiyah

5. Bapak Khamid, M.T. Selaku dosen pembimbing yang senantiasa memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh jajaran dosen dan staf Fakultas Teknik Universitas Wahidiyah Kediri. 7.

Rekan-rekanku Mahasiswa Fakultas Teknik Program Studi Teknik Informatika Semester VIII, yang memberikan semangat kepada penulis.

viii

8. Serta semua pihak-puhak yang yang telah membantu penulis dalam penulisan.

Penulis tidak dapat membalas atas semua jasa dan kebaikanya selain ucapan terima kasih, teriring do’a : “Jazakumullahu khairati wasa’adatiddunya wal akhirah”. Amin.

Kediri, ……. Agustus 2021

Penulis

(8)

ix ABSTRAK

Mujahidah, Reta Sanila Bunga. 2021. Design Dan Implementasi Sistem Poligraf Berbasis Support Vector Machine Dengan Menggunakan Multi Modal Sensor Biometrik Di Lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo Al Munadhdhoroh.

Poligraf atau pendeteksi kebohongan merupakan alat yang mengukur beberapa sinyal dari setiap sensor yang ditimbulkan melalui perubahan fisiologis dan menampilkan hasilnya melalui sebuah grafik. Perubahan fisiologis dapat terjadi pada pupil mata, denyut jantung, intensitas keringat, gerak kaki dan lain sebagainya saat seseorang berbohong.

Beberapa sensor yang telah terhubung pada tubuh akan merekam setiap perubahan biometrik yang terjadi sepanjang proses investigasi. Dengan penggunaan sesuai aturan Tes Poligrafi dapat menghasilkan prosentase akurasi yang cukup tinggi.

Menggunakan Sensor EKG untuk mengukur detak jantung, memungkinkan pendeteksi kebohongan dapat mendeteksi perubahan biometrik dari pengguna ketika melakukan kebohongan. Perubahan biometrik ini nantinya akan

menghasilkan sebuah grafik yang ditampilkan pada layar komputer sebagai hasil dari tes.

Dalam penggunaanya di lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo, deteksi kebohongan dapat digunakan untuk pemeriksaan atas tindakan pelanggaran berat, dan test psikologi, yang diharapkan sistem pendeteksi kebohongan ini dapat mencapai tujuan yang diharapkan seperti analisis kejujuran pada santri yang melakukan pelanggaran, sesuai kebutuhan dalam hal terkait tindakan bohong yang dibandingkan dengan data/informasi yang didapatkan secara manual.

Kata Kunci : Deteksi Kebohongan, AD8232 ECG Sensor Pluse Heart, Arduino Uno

x ABSTRAC

A polygraph or a lie detector is a device that measures some signals from any sensor posed through a physiological change and shows the results through a

(9)

graph. Physiological changes can occur in pupil, heart rate, intensity of perspiration, footwork and so on when someone is lying.

Some sensors that have been connected to the body will record any biometric changes that occur during the investigation process. Using polygraphic test rules can produce considerable accuracy propercentage.

Using ekg sensors to measure the heart rate, enabling lie detectors to detect biometric changes from the user when performing a lie. These biometric changes will eventually produce a graph shown on the computer screen as a result of a test.

In their use in the inner-city cottage environment, lie detection can be used for inspection of major infractions, and psychological tests, which are expected that the lie detection system can achieve the desired goal of honest analysis of a trespassing santri, according to the need in relation to a false act compared to the information obtained by hand.

Keywords : Lie Detector, AD8232 ECG Sensor Pluse Heart, Arduino UNO

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

SURAT PERNYATAAN KEORISINILAN SKRIPSI... v

MOTTO ... vi

PERSEMBAHAN ... vii

(10)

KATA PENGANTA... viii

ABSTRAK ... x

ABSTRAC ... xi

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Batasan Masalah ... 2 C. Rumusan Masalah... 3 D. Tujuan Penelitian ... 4 E. Manfaat Penelitian ... 4 F. Metode Penelitian ... 5 G. Sistematika Penulisan ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 8

A. Penelitian Terdahulu ... 8 B. Deteksi Kebohongan... 14 C. Arduino ... .. 29 D. Multi- Modal... 34 E. Sensor Biometrik ... 42 F. Sensor EKG ... 49 G. Artificial Intelligence ... 51 H. Support Vector Machine ... 67 I. Visual Basic 2010 .. ... 74

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 78 A. Teknik Pengumpulan Data dan Instrumen Penelitian...

78

xii

B. Alat dan

Bahan... 79 C.

Tahapan Penelitian...

79 D. Gambaran Umum

(11)

Penelitian... 83 E. Tahap Perancangan Penelitian ... 84 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 87

A. Pembuatan

Sistem... 87 B.

Implementasi Database ...

88 C. Implementasi

Antarmuka... 89

BAB V SIMPULAN DAN SARAN... 93

A. Simpulan

... 93 B.

Saran ...

.. 93

DAFTAR PUSTAKA... 95 LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 98

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1 Penelitian Terdahulu ...8

(12)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Ilustrasi terbentuknya aktivitas gelombang denyut jantung... 50

Gambar 2. 5 Pebatasan dua kelas hyper-plane... 67

Gambar 2. 6 Hyper-plane yang memisahkan kelas bintang dan lingkaran... 68

Gambar 2. 7 Penentuan hyper-plane yang tepat ... 69

Gambar 2. 8 Margin pada hyper-plane ... 69

Gambar 2. 9 Identifikasi hyper-plane kanan... 70

Gambar 2. 10 Salah satu bintang terletak di wilayah kelas (lingkaran)... 70

Gambar 2. 11 Menemukan hyper-plane dengan margin maksimum... 71

Gambar 2. 12 Hyper-plane yang akan dipisahkan ke kelas... 71

Gambar 2. 13 Hyper-plane yang akan dipisahkan ke kelas... 72

Gambar 2. 14 Hyper-plane di ruang input aslinya... 73

Gambar 3. 1 Aturan penggunaan Sensor EKG pada tubuh manusia……….82

Gambar 3. 2 Posisi penguji saat pengimplementasian sistem pada responden... 82

Gambar 3. 3 Gambaran umum penelitian ... 83

Gambar 3. 4 Sistem pendeteksi kebohongan ... 83

Gambar 3. 6 Diagram alir Poligraf... 85

Gambar 4.1 Diagram Sirkuit Arduino………87

Gambar 4.2 Grafik sensor EKG... 88

Gambar 4.3 Skema Database ... 88

Gambar 4.4 Screenshoot halaman pertama aplikasi ... 89

Gambar 4.5 Screenshoot halaman pertama setelah sensor diaktifkan ... 90

Gambar 4.6 Halaman kedua... 91

Gambar 4.7 Halaman ke tiga... 91

xv BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

(13)

Perkembangan zaman membawa peningkatan dalam bidang keilmuan yang juga beriringan dengan perkembangan teknologi. Pesatnya perkembangan teknologi telah membantu terpenuhinya kebutuhan manusia dalam berbagai macam aspek kehidupan. Hal ini menjadikan teknologi moderen tidak asing lagi bagi kebanyakan manusia. Mulai dari kebutuhan dasar, seperti sandang pangan hingga kebutuhan khusus seperti hiburan pun dapat diakses melalui teknologi yang sudah ada.

Salah satu perkembangan teknologi dalam bidang keamanan banyak dikembangkan seiring maraknya kejahatan yang terjadi baik melalui perantara teknologi maupun tidak, akan tetap berdampak terhadap lingkungan. Salah satu kejahatan yang cukup sulit dihidari adalah penipuan.

Menurut Nasional Geografi Indonesia setiap harinya manusia normal dapat berbohong hingga 11 kali dalam satu minggu, atau sekitar 1 sampai 2 kali dalam satu hari. Berbohong dapat sangat merugikan bagi orang lain dan membawa maslaha lain yang dapat memperburuk keadaan. Dalam investigasi tindak kriminal kebohongan akan sering dilakukan oleh pelaku kejahatan untuk menghindar dari tuntutan hukum. Hal tersebut yang mendasari dibuatnya alat pendeteksi kebohongan.

1

2

Dengan menerapkan konsep dalam ilmu psikologi, seseorang yang berbohog tanpa disadari dapat menunjukkan tindak fisik yang berbeda seperti meningkatnya detak jantung, perubahan ekspresi wajah, perpindahan pupul mata yang tidak wajar, hingga intensitas keringat yang dikeluarkan oleh tubuh. Dengan merujuk pada perubahan fisik diatas alat deteksi

(14)

kebohongan dirangkai dengan alat pendeteksi pada tubuh manusia. Deteksi kebohongan dilengkapi dengan sensor yang dapat mendeteksi perubahan fisik seorang tersangka, dengan hasil tingkat akurasi tinggi.

Pondok Pesantren Kedunglo Kediri merupakan tempat yang dituju penulis untuk melaksanakan penelitian mengenai deteksi kebohongan.

Banyaknya santri dari berbagai daerah di Nusantara menjadikan keberagaman berbaur dalam satu lingkungan pesantren. Beragamnya perbedaan dapat mendasari sebuah perselisihan yang terjadi diantara santri maupun pengurus. Dengan dibuatnya deteksi kebohongan penulis berharap dapat membantu penanganan kasus dalam lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo sehingga tidak lagi ada ancaman kekerasan, gertakan dan hukuman untuk membuktikan sebuah kebenaran dengan akurat. Serta dapat membantu jalannya interogasi dalam sebuah kasus dengan tepat, aman dan tanpana merugikan pihak manapun.

B. Batasan Masalah

Untuk membatasi masalah dalam penelitian ini penulis hanya akan membahas mengenai hal-hal yang terkait pembuatan, penggunaan, serta cara kerja deteksi kebohongan untuk membatu penanganan kasus

3

pelanggaran. Dengan menggunakan deteksi detak jantung berupa Elektrokardiogram.

Dalam penggunaannya dalam lingkunagn Pondok Pesantren Kedunglo deteksi kebohongan diharapkan dapat membantu menyelesaikan penangnan kasus pelanggaran santri tanpa perlu adanya kekerasan fisik untuk menemukan kebenaran dari sebuah pelanggaran. Sehingga dengan adanya alat ini dapat membantu menyelesaikan perselisihan akibat

(15)

pelanggaran dengan akurat dan aman. Dengan menggunakan deteksi kebohongan diharapkan santri yang melakukan pelanggaran dapat berbicara jujur dengan dasar bahwa kebohongannya dapat terlihat dalam mesin sehingga tidak akan dapat membantu meringankan hukuman yang akan diterimanya.

C. Rumusan Masalah

Berdasarka batasan masalah di atas, maka peneliti menyusun rumusan masalah penelitian sebagai berikut :

1. Bagaimana cara pembuatan serta pengimplementasian deteksi kebohongan di lingkungan Pondok Pesantren Kedunglo?

2. Bagaimana proses kerja deteksi kebohongan dalam mendeteksi kebohongan seseorang?

3. Bagaimana prosedur penggunaan deteksi kebohongan yang benar, untuk memperoleh hasil dengan akurat?

4

D. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui bagaimana cara pembuatan serta pengimplementasian deteksi kebohongan menggunakan deteksi detak jantung berupa Elektrokardiograf

2. Mengetahui cara kerja Artificial Intelligent dalam pengambilan keputusan berdasarkan permodelan atas data yang dikumpulkan. 3.

Meningkatkan akurasi deteksi kebohongan dibandingkan dengan sistem interogasi manual yang sekarang diterapkan.

4. Mengetahui sistem kerja deteksi kebohongan dalam mendeteksi

(16)

kebohongan.

5. Mengetahui prosedur penggunaan deteksi kebohongan yang benar, untuk memperoleh hasil dengan tingkat keakuratan sesuai dengan yang diharapkan.

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis

a. Mengerti cara pembuatan dan proses yang dilakukan oleh sistem deteksi kebohongan dalam medeneteksi kebohongan.

b. Mendapat tambahan pengalaman dalam merakit mesin.

c. Mengetahui cara kerja Artificial Intelligent dalam pengambilan keputusan dari data tes kebohongan.

5

d. Memahami pola kebohongan seseorang dalam proses penggunaan deteksi kebohongan.

2. Secara praktis

a. Dapat memenuhi persyaratan kelulusan dalam tingkat Strata 1. Serta mengaplikasikan pengetahuan serta pengalaman yang telah di terima dalam perkuliahan.

b. Dapat dijadikan referensi untuk pembuatan jurnal ilmiah dalam bidang terkait.

F. Metode Penelitian Studi Literatur

Mempelajari tentang dasar ilmu psikologi mengenai perilaku bohong. Serta konsep, pengunaan dan cara kerja elektrokardiogram menggunakan metode Support Vector Machine. Dalam pengambilan

(17)

referensi untuk studi litelatur ini, penulis mengunakan data dari buku, jurnal dan penelitian terdahulu melalui internet mengenai deteksi kebohongan.

Perancangan

Penggunaan arduino, elektrokardiogram, Visual Basic 2010 dan menggunakan metode Support Vector Machine.

Untuk hasil dari tes kebohongan akan ditampilkan berupa grafik yang akan dibuat dari Visual Basic .Net 2010. Perancangan ini dibuat penulis dari pertimbangan dalam tingkat keakurasian alat baik dari input yang diterima dan output yang dihasilkan.

6

Implementasi

Dalam pengimplementasian deteksi kebohongan yang berdasarkan ilmu psikologi dan penelitian yang telah dilakukan. Penulis akan melakukan pengujian sistem melalui kerjasama dengan pihak Pondok Pesantren Kedunglo untuk meminta bantuan beberapa santri sebagai responden dalam tes kebohongan secara langsung.

Uji Performansi dan analisis hasil penelitian

Melalui uji kebohongan yang dilakukan pada responden bertujuan untuk mengetahui tingkat akurasi pada sistem deteksi kebohongan dalam mendeteksi kebohongan dengan sensor biometrik berupa detak jantung.

Penarikan kesimpulan

Penarika kesimpulan dari sistem yang telah diuji cobakan pada responden akan didapatkan dari hasil uji performasi deteksi kebohongan dalam sistem yang akan mendeteksi gejala fisiologis dari responden yang berbohong melalui output berupa grafik.

(18)

G. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN

Berisi latar belakang sistem deteksi kebohongan, batasan masalah yang akan diteliti, rumusan masalah sesuai latar belakang dan batasan masalah yang telah di buat penulis, tujuan penelitian untuk membuat deteksi kebohongan dalam skripsi, manfaat penelitian yang diperoleh dalam pembuatan deteksi kebohongan, metode penelitian yang akan

7

digunakan dalam proses pembuatan skripsi, dan sistematika penulisan penelitian yang dilakukan penulis.

BAB II DASAR TEORI

Berisi tentang dasar teori mengenai kebohongan dalam ilmu psikologi, penggunaan sensor detak jantung untuk melacak kebohongan, serta penggunaan Visual Basic .Net 2010 untuk menampilkan grafik dari input yang diterima alat deteksi.

BAB III PERANCANGAN SISTEM

Berisi tentang perencanaan sistem yang dibuat untuk pengimplementasian deteksi kebohongan dengan deteksi jantung pada responden.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Berisi tentang implementasi sistem dalam kebohongan menggunakan deteksi detak jantung, serta pembuatan aplikasi dengan Visual Basic .Net dengan analisa penulis pada pengujian sistem deteksi kebohongan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Berisi kesimpulan dari penelitian dan pengamatan yang telah

(19)

dilakukan penulis menegnai sistem deteksi kebohongan dengan deteksi biometrik. Serta saran untuk penelitian selanjutnya.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu penulis tidak menemukan penelitian dengan judul yang sama seperti judul penelitian penulis. Namun penulis mengangkat bebera

papenelitian sebagai referensi dalam memperkaya bahan kajian pada penelitian penulis. Berikut merupakan penelitian terdahulu terkait dengan penelitian yang dilakukan penulis :

Tabel 2. 1 Penelitian Terdahulu

Nama Penulis Judul Hasil Penelitian Oktami

Alyacarwayu (2018)

Deteksi Kebohongan Dengan Analisis Pembesaran Diameter Pupil Dan Pergerakan Mata Menggunakan Metode Jaringan Syaraf Tiruan Backpropagation

Hasil Pengujian dan Analisis Sistem dari 20 Responden (100 video) diperoleh akurasi rata rata sistem mendekteksi gerakan secara tepat sebesar 55,18%

sedangkan untuk akurasi rata-rata sistem

8

9

(20)

mendekteksi

perubahan diameter pupil secara tepat sebesar 52.83%.

Hasil Pengujian total data testing

menggunakan Klasifikasi

Backpropagation dari 5 responden (25 video) tingkat akurasinya

diperoleh sebesar 72%

Runxin Yu, Si Jia Wu, Audrey Huang, Nathan Gold,

Huaxiong Huang, Genyue Fu dan Kang Lee (2019)

“Using Polygraph to Detect

Passengers Carrying Illegal Items”

Menggunakan Poligraf untuk Mendeteksi Penumpang yang Membawa Barang Ilegal

Hasil penelitian menunjukkan semua peserta mengalami peningkatan interval RR mereka saat

menjawab pertanyaan obat (barang ilegal), dengan peningkatan yang lebih kuat untuk mereka yang dalam kondisi obat,

sedangkan mereka

(21)

yang berada

10 dalam kondisi

kontrol, mengalami interval RR yang lebih pendek ketika mereka

menjawab pertanyaan tentang pribadi dasar.

informasi

dibandingkan dengan item perjalanan umum.

Reza Adriansyah Rusmanto, Muhammad Nasrun S.si., M.T., Roswan Latuconsina S.T.,M.T. (2018)

Detektor Kebohogan Dengan Analisis Pembesaran

Diameter Pupil Dan Pergerakan Mata Dengan

Menggunakan Metode Klasifikasi Support Vector Machine

Dari penelitian ini sistem berhasil mendapatkan nilai akurasi sebesar 82%. Dari tingkat akurasi tersebut dapat

ditarik kesimpulan bahwa banyak hal yang bisa membuat sistem berhasil dalam

mendeteksi

(22)

kebohongan ataupun gagal dalam

mendeteksi kebohongan.

11

(23)

Diantaranya adalah : • Jarak

mata dengan kamera minimal

berjarak 10 sentimeter dan maksimal 20 sentimeter, karena mata merupakan objek yang kecil, sehingga bila merekam dengan jarak yang lebih

dari 20 sentimeter mata

tidak akan terdeteksi oleh sistem.

• Metode Circular

Hough Transform bekerja maksimal dalam mendeteksi lingkaran dengan nilai threshold 1.9.

• Penentuan kebohongan

12

(24)

menggunakan logika fuzzy juga sangat

membantu menentukan nilai kelayakan seseorang menjawab

pertanyaan bohong atau jujur.

Bagus Kumbara (2015)

Klasifikasi Dan Ekstraksi Sinyal EEG P300 Menggunakan Support Vector Machine Untuk Deteksi Kebohongan

Dari hasil penelitian deteksi kebohongan sinyal EEG P300 dapat disimpulkan :

• Sinyal P300

menghasilkan respon sesuai dengan

stimulus yang diberikan kepada subjek. Dalam mendeteksi kebohongan stimulus Probe digunakan sebagai data karena dalam

(25)

stimulus ini

informasi mengenai

13 kebohongan

terbangun.

• Ekstraksi fitur yang dilakukan terhadap

sample data dari stimulus Probe memberikan ciri amplitudo terhadap

sampel data sehingga dapat digunakan

sebagai input data untuk proses klasifikasi.

• Klasifikasi

menggunakan Support Vector Machine menghasilkan model svm dengan akurasi sebesar 70.83 % dengan waktu

(26)

komputasi 0.0283 detik. Metode SVM

14 dapat diterapkan untuk deteksi kebohogan sinyal EEG.

B. Deteksi Kebohongan

Deteksi kebohongan sebagai alat bantu untuk medeteksi perilaku bohongan, secara luas dikenal sebagai Poligraf adalah alat yang

menggunakan pengukuran fisiologis yang bersifat rinci sehingga perannya dalam proses investigasi diperbolehkan. Metode utama pengujian Poligraf adalah Comparative Question Test (CQT) dan Concealed Information Test (CIT). Data dari dua metode utama ini, diolah dari pola penggunaan dan permasalahan yang didapat sehingga membentuk sebuah dasar tinjauan. 1.

Sejarah Penemuan

Poligraf pertama dibuat pada tahun 1921, ketika seorang polisi dan fisioterapis yang berbasis di California ogist John A. Larson merancang sebuah alat untuk mengukur perubahan terus menerus secara bersamaan dalam tekanan darah, detak jantung dan laju pernapasan untuk membantu dalam mendeteksi penipuan. Tujuh tahun sebelumnya, di tahun 1914, psikolog Italia Vittorio Benussi telah mempublikasikan penemuannya tentang gejala pernafasan dari kebohongan (dari bahasa Jerman: 'Die Atmungssymptome der Lüge'). Psikolog, pengacara, dan penulis Amerika William M. Marston yang menemukan tes tekanan

15

(27)

darah sistolik terus menerus melakukan penelitian untuk mendeteksi penipuan pada tahun 1915, yang jika digabungkan, menjadi dasar Poligraf Larson.

Poligraf pertama kali berhubungan secara signifikan dengan sistem hukum pada tahun 1923, ketika Marston berusaha agar hasil tes Poligraf diakui sebagai bukti, namun pengadilan menolak hasil tes sebagai bukti. Ini yang nantinya dikenal sebagai Standar Frye, yang akan mengatur diterimanya kesaksian ahli di pengadilan AS hingga setelah berakhirnya Perang Dingin. Sebagian besar penelitian Poligraf awal dilakukan oleh John Larson, yang bekerja untuk departemen kepolisian Berkley, California, sepanjang tahun 1920-an. Berkley Kepala Polisi August Vollmer melihat pekerjaan Larson sebagai sarana untuk meningkatkan secara signifikan keefektifan departemennya, dan dengan demikian memungkinkan Larson untuk menguji dan menyempurnakan departemen Poligraf melalui pengerjaan kasus yang nyata.

Fokus Vollmer pada nilai praktis Poligraf daripada masalah lain adalah hal umum yang akan terjadi dalam penegakan hukum di AS.

Karya awal Larson mendapat manfaat dari bantuan anak didiknya saat itu Leonarde Keeler, yang sering dikenal dengan pembuat prosedur pengujian Poligraf pertama, seperti teknik Keeler’s Relevant/Irrelevant Question. Keeler bertanggung jawab untuk membuat alat Poligraf portabel dan merupakan yang pertama menambahkan respons kulit

16

galvanik (GSR) dan menyalurkannya pada tahun 1938, berdasarkan hasil kerja Sekolah Pascasarjana Universitas Fordham psikolog Pendeta Walter G. Summers. Sayangnya, Keeler tidak menyertakan berbagi dedikasi Larson untuk akademisi, tetapi lebih menginginkan keuangan

(28)

dan keberhasilan komersial. Untuk tujuan ini, Keeler mematenkan Poligrafnya, menjadi salah satu orang pertama yang mendirikan sekolah Poligraf. Sebelum kematiannya pada tahun 1949, Keelersangat berkontribusi dalam popularitas Poligraf, seperti yang dilakukan Marston, tetapi juga menjadi salah satu dari banyak peneliti yang pertama berfokus murni pada potensi menguntungkan Poligraf di biaya kontribusi akademis.

Setelah kematian Keeler, sejarah Poligraf terus berlanjut dengan John E. Reid, yang dikenal kontroversial dengan ‘Reid Technique’ dari wawancara/interogasi. Reid tidak hanya mendirikan sekolah Poligrafnya sendiri, tetapi pengembangan CQT, prosedur pengujian Poligraf yang menggantikan teknik Keeler’s Relevant/Irrelevant Question sebagai teknik yang paling banyak digunakan dan sampai sekarang masih digunakan. Perkembangan prosedur pengujian baru dan penggunaan yang semakin luas, tetapi Poligraf tidak diimbangi dengan kemajuan akademis di bidang penipuan deteksi. Hanya sebagian kecil dari mereka yang terlibat dalam pengujian Poligraf mencari publikasi dari pekerjaan mereka atau berusaha untuk sengaja menguji keefektifan pemeriksaan Poligraf atau teori yang mendasarinya. Hal ini menjadi

17

dasar kritik yang menggunung terhadap penelitian Poligraf di kemudian hari dan mendasari kurangnya ketelitian ilmiah dalam studi Poligraf awal.

Baru pada tahun 1965, 41 tahun setelah Standar Frye ditetapkan, barulah tinjauan empiris Poligraf yang pertama dilakukan. Ini terjadi ketika proposal yang digunakan Poligraf untuk menyaring pegawai federal diminta Komite Pemerintah AS operasi untuk mengevaluasi bukti yang relevan. Dari evaluasi tersebut disimpulkan 'Tidak ada detektor

(29)

kebohongan, baik manusia maupun mesin. Orang telah tertipu oleh mitos bahwa kotak logam di dalamnya tangan penyelidik dapat mendeteksi kebenaran atau kebohongan.

Para pendukung Poligraf sebagian besar tetap tidak terpengaruh oleh ini. David T. Lykken, seorang kritikus berpengaruh tes Poligraf CQT, berpendapat bahwa pemutusan hubungan nyata antara sains dan praktik Poligraf ada sebagian besar karena sedikit Poligrafer profesional memiliki pelatihan psikologis dan sangat sedikit psikolog inti yang cukup tahu tentang industri untuk mengawasi praktiknya. Menanggapi kritik yang berkembang tentang kurangnya dukungan ilmiah untuk Poligraf, John E. Reid dan rekannya Frank E. Inbau menyatakan bahwa individu melakukan pemeriksaan Poligraf adalah pendeteksi kebohongan yang sebenarnya, sehingga mengabaikan semua kekhawatiran tentang validitas ilmiah Poligraf.

18

2. Pergeseran Standar Penelitian

Setelah 1983 dikeluarkannya National Security Decision Directive 84 oleh Presiden AS Ronald Reagan, membuat perubahan nyata dalam literatur Poligraf terjadi, dimulai pada tahun 1984 melalui artikel dari American Psychologist yang berjudul ‘Deteksi Kebohongan di Zaman Kuno dan Modern : Panggilan untuk Studi Ilmiah Kontemporer’. Hal ini menandai upaya yang terfokus untuk mengembangkan praktik dan metodologi penelitian yang lebih baik, dengan peningkatan perhatian pada masalah tindakan penanggulangan, dan minat yang meningkat secara konsisten pada sebuah metode pengujian Poligraf alternatif yang didasarkan pada Teori Respon Berorientasi, Guilty Knowledge Test (GKT), yang sekarang dikenal

(30)

sebagai CIT.

Pergeseran ini setidaknya sebagian dapat dikaitkan dengan fakta bahwa Standar Frye untuk diterimanya kesaksian ahli sebagian besar digantikan pada tahun 1993, oleh ‘Daubert Standard’, yang menghilangkan kebutuhan akan bukti ilmiah di pengadilan untuk mendapatkan penerimaan umum yang relevan oleh komunitas ilmiah dianggap dapat diterima.

3. Teknologi Poligraf

Poligraf modern tidak lagi menggunakan pulpen yang ditempelkan pada tambur untuk menulis dengan tinta pada gulungan kertas yang didorong oleh jarum jam, seperti cara kerja Poligraf

19

Keeler. Poligraf modern menghasilkan keluaran digital yang langsung dari alat ukur ke dalam komputer dengan perangkat lunak Poligraf yang sesuai. Sebagian besar saluran fisiologis yang diukur oleh Poligraf tetap ada tidak berubah dari model asli Keeler. Mereka adalah aktivitas kardiovaskular, aktivitas pernapasan dan aktivitas elektrodermal yang juga dikenal sebagai GSR. Peningkatan detak jantung dan tekanan darah disebabkan oleh sistem saraf simpatis melepaskan neurotransmitter postganglionik norepinefrin, sementara penurunan detak jantung dan tekanan darah disebabkan oleh sistem saraf parasimpatis melepaskan asetilkolin postganglionik. Sensitif terhadap tekanan reseptor, baroreseptor, memainkan peran inti dalam mengaktifkan sistem yang sesuai saat tekanan darah tiba-tiba turun atau naik, sehingga menjaga tekanan darah basal yang diperlukan untuk melanjutkan kehidupan.

Aktivitas kardiovaskular, bagaimanapun, dimodulasi oleh berbagai faktor

(31)

lain di luar mekanisme dasar ini.

Ancaman yang dirasakan, peningkatan aktivitas fisik atau mental, antisipasi ancaman atau aktivitas, dan secara efektif segala bentuk gairah spesifik atau umum dapat memengaruhi detak jantung, darah tekanan dan proses kardiovaskular lainnya dalam berbagai cara. Mereka bisa berbeda secara halus atau radikal di antara individu (terutama bagi mereka dengan penyakit mental aktif atau memiliki gangguan kecemasan) dan bahkan untuk individu yang sama dalam keadaan yang berbeda. Peristiwa ini memiliki implikasi yang jelas bagi

20

praktisi Poligraf, yang menerapkan teknik untuk mengasumsikan pola aktivitas kardiovaskular tertentu menjadi karakteristik dari keadaan psikologis tertentu (misalnya tipu daya) lintas individu dan situasi.

Aktivitas pernafasan bahkan lebih bermasalah dalam hal ini karena dipengaruhi oleh keduanya otonom dan sistem saraf pusat. Dalam sistem saraf otonom, asupan nafas dimulai di medula dan pons dengan penembakan neuron secara spontan, dan kemudian dimodifikasi berdasarkan konsentrasi karbon dioksida dan oksigen dalam darah, sebagai masing-masing terdeteksi oleh kemoreseptor pusat dan perifer, sedangkan reseptor regangan pemantauan inflasi paru memodulasi respirasi lebih lanjut. Sistem saraf pusat memungkinkan seorang individu untuk dengan mudah membawa aktivitas pernapasan di bawah kendali secara sukarela, yang mewakili masalah bagi pemeriksa Poligraf karena fakta bahwa detak jantung dan GSR bisa jadi dipengaruhi oleh perubahan pernapasan, misalnya asupan napas yang tajam secara andal menghasilkan respon elektrodermal (EDR) akibat aritmia sinus pernapasan.

(32)

Aktivitas elektrodermal telah lama dianggap sebagai yang paling sensitif dan dapat dipercaya dari tiga saluran Poligraf. Hambatan listrik dan konduktansi kulit sangat ditentukan oleh aktivitas kelenjar eccirine yang menghasil keringat, dikendalikan oleh simpatis sistem saraf.

Namun, karena kelenjar eccirine memiliki asetilkolin sebagai organ tubuh neurotransmitter glionik, mereka tidak terpengaruh oleh

21

epinefrin (umumnya dikenal sebagai adrenalin) atau fluktuasi tingkat norepinefrin dalam darah, seperti kardiovaskular dan aktivitas pernapasan. Hali ini sementara akan membuat saluran GSR kurang rentan untuk dipengaruhi oleh faktor-faktor asing, itu sama sekali tidak menghilangkan masalah inheren yang terkait dengan setiap upaya untuk menyimpulkan keadaan psikologis berdasarkan aktivitas sistem saraf tepi. Lebih lanjut, frekuensi terjadinya EDR secara spontan, dengan tidak adanya stimulus yang nyata, telah ditemukan perbedaan antara individu.

Ada banyak variasi model Poligraf digital analog dan modern tersedia untuk dibeli dari berbagai perusahaan. Kebanyakan Poligraf dapat digunakan dengan file kombinasi berbagai alat yang mengukur tiga saluran utama, dengan model tertentu juga memungkinkan untuk penggunaan perangkat tambahan yang mengukur gerakan, nada suara dan data fisiologis lain yang mungkin relevan oleh pemeriksa. Untuk pengukuran Poligraf aktivitas kardiovaskular, alat standar adalah manset lengan Sphygmomanometer, mirip dengan yang digunakan dalam praktik medis, yang juga tersedia dalam jenis manset pergelangan tangan dan manset jari. Alternatif untuk menggunakan manset, yang berfungsi dengan mengukur perubahan tekanan, adalah plethysmograf, yang dijepitkan ke jari atau telinga. Mereka bekerja dengan mengirimkan

(33)

cahaya infra merah (7000 ke 9000 Å) ke dalam jaringan, yang disebarkan oleh sel darah merah, dan sensor foto

22

mengukur cahaya yang dipantulkan atau melewati segmen jaringan tempat monitor ditempatkan. Jumlah cahaya yang mencapai sensor foto secara langsung berhubungan dengan jumlah darah yang dilewatinya sebelum mencapai sensor, dan dengan demikian berubah volume darah dapat diukur tanpa bergantung pada manset tekanan. Apakah salah satu bentuk pengukuran lebih unggul untuk tujuan mendeteksi jantung variabilitas laju atau perbedaan amplitudo maksimum dan minimum masih harus disetabilkan.

Respirasi diukur dengan menggunakan selubung karet pneumatik, yang diikatkan disekamir dada dan perut dengan kabel penghubung sehingga terjadi perubahan di dada dan lingkar perut bersamaan dengan menarik dan menghembuskan nafas, menyebabkan tekanan internal mereka berubah, yang dapat dimonitor dengan tekanan transduser. Metode pengukuran aktivitas pernapasan ini umumnya dianggap memiliki respons frekuensi yang relatif rendah, tetapi hal ini tidak dianggap secara inheren merugikan pemeriksaan Poligraf. Satu alternatif yang tersedia adalah transduser respirasi piezoelektrik, yang menggantikan selubung karet penumonia dengan ikat pinggang yang mencakup sensor peregangan, yang berfungsi berdasarkan properti bahan tertentu, seperti kristal, untuk membangun muatan listrik (piezoelektrik) saat terkena tekanan mekanis. Baik kasus pengukuran yang diperoleh dari pernapasan dada dan perut biasanya berkombinasi

23

(34)

(baik di atas kertas atau dengan Poligraf digital) untuk membuat ukuran komposit tunggal panjang garis respirasi untuk pemeriksa. Terakhir, aktivitas elektrodermal diukur baik dari segi konduktansi kulit, kulit resistensi atau kombinasi keduanya tergantung pada perusahaan yang memproduksi Poligraf. Konduktansi kulit umumnya dianggap lebih efisien dan andal, seperti mengukur perubahan besaran resistansi dari tingkat aktivitas dasar memiliki keuntungan yang melekat kesalahan yang terkait dengannya. Untuk mengukur konduktansi, dua elektroda dipasang ke telapak tangan atau jari seseorang yang diuji dan arus kecil diterapkan untuk mengukur faktor-faktor seperti tingkat konduktansi, perubahan tingkat konduktansi, frekuensi respons spontan, amplitudo respons terkait peristiwa, latensi, waktu naik dan setengah waktu pemulihan. Selain tiga saluran yang disebutkan di atas, berbagai alat kompatibel lainnya juga bisa dimanfaatkan. Yang paling banyak digunakan untuk ini adalah 'sensor aktivitas', yang bisa termasuk headset, bantalan kursi, bantalan sandaran tangan, bantalan sandaran kaki dan kursi khusus yang dirancang untuk menjadi digunakan bersama dengan sensor aktivitas tersebut. Kursi-kursi ini dirancang untuk mendeteksi pergerakan peserta ujian; baik itu besar, kecil, atau terbatas ke otot tertentu, seperti otot masseter rahang. Alasan utama mengapa penguji Mungkin ingin memantau gerakan adalah bahwa gerakan dapat mempengaruhi pemantauan ketiganya saluran utama dengan

24

mempengaruhi peralatan atau fisiologi peserta ujian. Ini khususnya relevan dalam hal tindakan penanggulangan.

4. Prosedur Pengujian

(35)

Penguji biasanya memulai sesi tes Poligraf dengan wawancara tes awal untuk mendapatkan beberapa informasi awal yang nantinya akan digunakan untuk mengembangkan pertanyaan diagnostik. Kemudian penguji akan menjelaskan cara kerja Poligraf, menekankan bahwa Poligraf dapat mendeteksi kebohongan dan penting untuk menjawab dengan jujur. Kemudian ‘tes stimulasi’ sering dilakukan subjek diminta untuk sengaja berbohong dan kemudian penguji melaporkan bahwa ia dapat mendeteksi kebohongan ini. Subjek yang bersalah cenderung menjadi lebih cemas ketika mereka diingatkan tentang validitas tes.

Namun, ada risiko subjek yang tidak bersalah menjadi sama atau lebih cemas daripada yang bersalah. Kemudian tes yang sebenarnya dimulai.

Beberapa pertanyaan yang diajukan ‘tidak relevan’ contohnya seperti ("Apakah nama Anda Reta?"), Yang lainnya adalah pertanyaan

‘diagnostik’, dan sisanya adalah ‘pertanyaan relevan’ yang benar-benar diminati oleh penguji. Berbagai jenis pertanyaan bergantian. Tes lulus jika respons fisiologis terhadap pertanyaan diagnostik lebih besar daripada selama pertanyaan yang relevan.

Kritik telah diberikan mengenai validitas administrasi dari Teknik Pertanyaan Kontrol. CQT mungkin rentan dilakukan dengan cara seperti interogasi. Gaya interogasi semacam ini akan menimbulkan

25

respons gugup dari tersangka yang tidak bersalah maupun yang bersalah.

Ada beberapa cara lain untuk mengelola pertanyaan. Alternatifnya adalah Guilty Knowledge Test (GKT), atau Concealed Information Test, yang digunakan di Jepang.

Administrasi tes ini diberikan untuk mencegah potensi kesalahan yang mungkin timbul dari gaya bertanya. Tes biasanya dilakukan oleh

(36)

penguji yang tidak memiliki pengetahuan tentang kejahatan atau keadaan yang dimaksud. Administrator menguji peserta atas pengetahuan mereka tentang kejahatan yang tidak akan diketahui orang yang tidak bersalah.

Misalnya: "Apakah kejahatan dilakukan dengan 45 atau 9?" pertanyaan dalam pilihan ganda dan peserta dinilai berdasarkan bagaimana mereka bereaksi terhadap jawaban yang benar. Jika mereka bereaksi keras terhadap informasi yang bersalah, maka pendukung tes yakin bahwa kemungkinan besar mereka mengetahui fakta yang relevan dengan kasus tersebut. Administrasi ini dianggap lebih valid oleh pendukung tes karena mengandung banyak pengaman untuk menghindari risiko administrator mempengaruhi hasil.

5. Efektivitas

Meskipun ada beberapa perdebatan dalam komunitas ilmiah mengenai ketepatan Poligraf, penilaian Poligrafi oleh badan ilmiah dan pemerintah umumnya menunjukkan bahwa Poligraf tidak akurat, dapat dikalahkan oleh tindakan balasan, dan merupakan cara yang tidak

sempurna atau tidak valid untuk menilai kebenaran. Meskipun klaim 26

validitas 90% oleh pendukung Poligraf, Dewan Riset Nasional tidak menemukan bukti efektivitas. Secara khusus, penelitian telah menunjukkan bahwa teknik Keeler’s Relevant/Irrelevant Question tidak ideal, karena banyak subjek yang tidak bersalah mengerahkan reaksi fisiologis yang tinggi terhadap pertanyaan terkait kejahatan. The American Psychological Association menyatakan "Kebanyakan psikolog setuju bahwa ada sedikit bukti bahwa tes Poligraf akurat dapat mendeteksi kebohongan".

Pada tahun 1991, dua pertiga dari komunitas ilmiah yang

(37)

memiliki latar belakang yang diperlukan untuk mengevaluasi prosedur Poligraf menganggap Poligrafi sebagai pseudosains (ilmu semu). Pada tahun 2002, tinjauan oleh National Research Council menemukan bahwa, dalam populasi "yang tidak terlatih dalam tindakan pencegahan, tes Poligraf insiden khusus dapat membedakan kebohongan dari pengungkapan kebenaran pada tingkat yang jauh di atas kebetulan, meskipun jauh di bawah kesempurnaan". Tinjauan tersebut juga memperingatkan terhadap generalisasi dari temuan ini untuk membenarkan penggunaan Poligraf. "akurasi Poligraf untuk tujuan skrining hampir pasti lebih rendah daripada apa yang dapat dicapai dengan tes Poligraf insiden spesifik di lapangan" dan catatan beberapa peserta ujian mungkin bisa mengambil tindakan pencegahan untuk menghasilkan hasil yang menipu.

27

Poligraf mengukur gairah, yang dapat dipengaruhi oleh kecemasan, gangguan kecemasan seperti gangguan stres pasca trauma (PTSD), gugup, ketakutan, kebingungan, hipoglikemia, psikosis, depresi, keadaan yang diinduksi zat (nikotin, stimulan), keadaan penarikan zat (penarikan alkohol) atau emosi lainnya Poligraf tidak mengukur

‘kebohongan’. Sebuah Poligraf tidak dapat membedakan kecemasan yang disebabkan oleh ketidak jujuran dan kecemasan yang disebabkan oleh hal lain.

6. Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional

Pada tahun 2003, National Academy of Sciences (NAS) mengeluarkan laporan berjudul The Polygraph and Lie Detection. NAS menemukan bahwa mayoritas penelitian Poligraf tidak dapat diandalkan, tidak ilmiah, dan bias, menyimpulkan bahwa 57 dari sekamir 80

(38)

penelitian yang diandalkan American Polygraph Association untuk sampai pada kesimpulan mereka secara signifikan cacat. Studi ini memang menunjukkan bahwa pengujian Poligraf

insiden khusus, pada orang yang tidak terlatih dalam tindakan balasan, dapat melihat kebenaran pada "tingkat yang lebih besar daripada kebetulan, namun kurang sempurna". Tapi, karena beberapa kekurangan, tingkat akurasi yang ditunjukkan dalam penelitian ini "hampir pasti lebih tinggi daripada akurasi Poligraf aktual pengujian insiden spesifik di lapangan".

28

Ketika Poligraf digunakan sebagai alat penyaringan (dalam masalah keamanan nasional dan untuk lembaga penegak hukum misalnya) tingkat akurasi turun ke tingkat yang akurasinya dalam membedakan pelanggar keamanan aktual atau potensial dari peserta tes yang tidak bersalah tidak cukup untuk membenarkan ketergantungan tentang penggunaannya dalam pemeriksaan keamanan karyawan di agen federal. NAS menyimpulkan bahwa Poligraf mungkin memiliki beberapa kegunaan tetapi ada sedikit dasar untuk ekspektasi bahwa uji Poligraf dapat memiliki akurasi yang sangat tinggi.

Kesimpulan NAS ini berkaitan dengan kesimpulan dari laporan Penilaian Teknologi Kantor Kongres Amerika Serikat sebelumnya melalui Validitas Ilmiah Pengujian Poligraf: Tinjauan dan Evaluasi Riset. Demikian pula, sebuah laporan kepada Kongres oleh Komisi Moynihan tentang Kerahasiaan Pemerintah, menyimpulkan bahwa Beberapa laporan penelitian ilmiah yang disponsori Pemerintah tentang validitas Poligraf (berlawanan dengan kegunaannya), terutama yang berfokus pada penyaringan pelamar untuk pekerjaan, menunjukkan

(39)

bahwa Poligraf tidak valid secara ilmiah atau sangat efektif di luar kemampuannya untuk menghasilkan penerimaan.

Terlepas dari temuan NAS tentang tingkat positif palsu yang tinggi, kegagalan untuk mengekspos individu seperti Aldrich Ames dan Larry Wu-Tai Chin, dan ketidakmampuan lainnya untuk menunjukkan pembenaran ilmiah untuk penggunaan Poligraf, itu terus digunakan.

29

7. Poligraf di Indonesia

Hukum di Indonesia pada Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa alat bukti yang sah dalam perkara pidana adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Hasil dari Poligraf tidak diakui sebagai alat bukti, melainkan hanya sebagai sarana interogasi. Menurut Yusti Probowati, hasil dari Poligraf hanya dapat digunakan sebagai alat bukti apabila hasil Poligraf itu diungkapkan oleh psikolog dalam konteks persidangan karena dapat dijadikan sebagai keterangan ahli. Jadi, yang menjadi alat bukti itu keterangan atas analisa hasil lie detector, dan bukan hasil Poligraf itu sendiri. Sementara, ada pula yang berpendapat bahwa hasil lie detector bernilai sebagai petunjuk.

keahlian dan keterampilan dari pemeriksa poligraf merupakan kunci dari validitasnya sebagai bukti ilmiah.

C. Arduino

Arduino merupakan platform elektronik open-source yang dibuat berdasarkan perangkat keras dan perangkat lunak yang mudah digunakan.

Papan Arduino dapat membaca input seperti menyalakan sensor, menyalakan tombol dengan jari, atau mengirimkan pesan lalu mengubahnya menjadi output berupa mengaktifkan motor servo, menyalakan lampu LED,

(40)

atau mengupload sesuatu secara online. Pengguna juga dapat memberi tahu board apa yang harus dilakukan dengan mengirimkan satu set instruksi ke mikrokontroler. Untuk melakukannya Anda menggunakan bahasa pemrograman Arduino, dan

30

Arduino Software (IDE), berdasarkan Processing.

Arduino telah dipercaya untuk menjadi otak dari ribuan proyek, dari objek sehari-hari hingga instrumen ilmiah yang kompleks. Komunitas pembuat di seluruh dunia yang terdiri dari pelajar, seniman, pemrogram, dan profesional, kontribusi mereka telah menambah jumlah ilmu

pengetahuan luar biasa yang dapat diakses yang pastinya dapat sangat membantu bagi pemula dan ahli.

1. Sejarah Arduino

Arduino lahir di Ivrea Interaction Design Institute, Italia pada tahun 2005 oleh Massimo Banzi, David Cuartielles, Tom Igoe, Gianluca Martino, David A. Mellis, dan Nicholas Zambetti sebagai alat yang bertujuan untuk membuat prototipe dengan mudah dan cepat, bagi siswa tanpa latar belakang elektronik dan pemrograman. Arduino mulai dikembangkan dari thesis Hernando Barragan di Ivrea Interaction Design Institute. Arduino dirancang untuk dapat menerima masukan dari berbagai macam sensor dan juga dapat mengontrol lampu, motor servo, dan aktuator lainnya. Mikrokontroler pada papan arduino di program menggunakan bahasa pemrograman arduino (based on wiring) dan IDE (Integrated Development Environment) arduino ( based on processing).

Arduino memakai standar lisensi open-source, mencakup hardware (skema rangkaian, desain PCB), firmware bootloader, dokumen,

(41)

serta perangkat lunak IDE sebagai aplikasi programmer board Arduino.

Setiap board arduino menggunakan jenis mikrokontroler yang

31

berbeda seperti misalnya arduino uno yang menggunakan mikrokontroler ATMega328.

2. Hardware Arduino

Papan arduino merupakan papan mikrokontroler yang berukuran kecil atau dapat diartikan juga dengan suatu rangkaian berukuran kecil yang didalamnya terdapat komputer berbentuk chip yang kecil. Papan arduino memiliki tiga jenis pin yang sering digunakan, jumlahnya pun bervariasi pada setiap jenis papan tergantung penggunaan dan tingkat kebutuhannya.

Papan arduino dapat mengambil daya dari USB port pada komputer dengan menggunakan USB charger atau dapat pula mengambil daya dengan menggunakan power supplay yang melalui AC adapter dengan tegangan 9 volt.

3. Mikrokontroler

Mikrokontroler adalah suatu chip berupa Integrated Circuit (IC) yang dapat menerima sinyal input, mengolahnya dan memberikan sinyal output sesuai dengan program yang diisikan ke dalamnya. Sinyal input mikrokontroler berasal dari sensor yang merupakan informasi dari lingkungan sedangkan sinyal output ditujukan kepada aktuator yang dapat memberikan efek ke lingkungan. Jadi mikrokontroler dapat diibaratkan sebagai otak dari suatu perangkat/produk yang mempu berinteraksi dengan lingkungan sekamirnya.

32

(42)

Mikrokontroler pada dasarnya adalah komputer dalam satu chip, yang di dalamnya terdapat mikroprosesor, memori, jalur Input/Output (I/O) dan perangkat pelengkap lainnya. Kecepatan pengolahan data pada mikrokontroler lebih rendah jika dibandingkan dengan PC. Pada PC kecepatan mikroprosesor yang digunakan saat ini telah mencapai orde GHz, sedangkan kecepatan operasi mikrokontroler pada umumnya berkisar antara 1 – 16 MHz. Begitu juga kapasitas RAM dan ROM pada PC yang bisa mencapai orde Gbyte, dibandingkan dengan mikrokontroler yang hanya berkisar pada orde byte/Kbyte.

Meskipun kecepatan pengolahan data dan kapasitas memori pada mikrokontroler jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan komputer personal, namun kemampuan mikrokontroler sudah cukup untuk dapat digunakan pada banyak aplikasi terutama karena ukurannya yang kompak.

Mikrokontroler sering digunakan pada sistem yang tidak terlalu kompleks dan tidak memerlukan kemampuan komputasi yang tinggi.

(Budiharto,2004:14) 4. Software Arduino

Software utama arduino yang digunakan adalah driver dan IDE. IDE atau merupakan suatu program khusus untuk suatu komputer agar dapat membuat suatu program pada board Arduino. dalam IDE ini dapat dituliskan program sesuai kebutuhan dalam penggunaan board Arduino.

33

5. Bahasa Pemrograman Arduino

Dalam bahasa pemrograman arduino ada tiga bagian utama yaitu struktur, variabel dan fungsi:

a. Struktur Program Arduino

(43)

Struktur dasar bahasa pemrograman arduino cukup mudah dan sederhana. Agar program dapat berjalan dengan baik maka perlu setidaknya dua bagian atau fungsi yaitu setup() yang dipanggil hanya satu kali, biasanya untuk inisialisasi program (setting input atau setting serial, dan lain-lain). Dan loop() tempat untuk mengeksekusi program secara berulang-ulang, biasanya untuk membaca input atau men-trigger output.

Berikut ini bentuk penulisannya:

Fungsi setup() hanya dipanggil satu kali saja saat program mulai berjalan. Fungsi setup() berguna untuk melakukan inisialisasi mode pin atau memulai komunikasi serial. Setup() ini harus ada meskipun tidak ada program yang akan dieksekusi. Setelah menyiapkan inisialisasi pada setup(), berikut membuat fingsi loop(). Sesuai namanya, fungsi ini akan mengulang program yang ada secara terus-menerus, sehingga program akan berubah dan merespon sesuai inputan. Fungsi loop() ini akan secara aktif mengontrol board arduino.

b. Variabel

Variabel ini berfungsi untuk menampung nilai angka dan memberikan nama sesuai dengan kebutuhan membuat program. Dengan menggunakan variabel, maka nilai yang ada dapat diubah dengan

34

leluasa. Sebuah variabel perlu dideklarasikan terlebih dahulu, dan bisa digunakan sebagai penampung pembaca input yang akan disimpan atau diberi nilai awal.

c. Fungsi

Function atau Fungsi terdiri dari :

• Fungsi Digital I/O

(44)

Fungsi untuk digital I/O ada tiga buah yaitu pin Mode (pin, mode), digital Write (pin, value), dan int digital Read (pin).

• Fungsi Analog I/O

Fungsi untuk analog I/O ada tiga buah yaitu analog Reference (type), int analog Read (pin), dan analog Write (pin, value)-PWM.

• Fungsi Waktu

Fungsi waktu terdiri dari unsigned long milis (), delay (ms) dandelay Microseonds (us).

• Fungsi Matematika

Fungsi matematika terdiri dari min (x,y), max (x,y), abs (x), sqrt (x) dan pow (base, exponent). (Artanto, 2012:27)

D. Multi-Modal

Multi-Modal adalah istilah yang digunakan pada metode berkomunikasi menggunakan cara yang berbeda pada saat bersamaan, yang dapat diartikan sebagai “penggunaan beberapa semiotic modes dalam desain produk, atau peristiwa semiotik secara bersamaan, dan dengan cara tertentu mode-mode ini digabungkan untuk memperkuat, melengkapi, atau

35

berada dalam susunan tertentu” (Kress and van Leeuwen, 2001). Dalam konteks analisis teks, Multi-Modal menurut Peneliti dapat dipahami sebagai sebuah ‘prosedur analisis’ yang menggabungkan alat dan langkah analisis linguistik seperti misalnya systemic functional linguistics (SFL), atau Tata Bahasa Fungsional, dengan alat analisis untuk memahami gambar, bila teks yang dianalisis menggunakan dua mode, verbal dan gambar.

Diera yang serba modern ini, banyak orang yang menggunakan berbagai macam cara (mode) dalam berkomunikasi. Sumber mode tidak

(45)

terbatas pada bahasa saja, tapi juga dapat berupa gambar, bunyi, atau ruang yang dengannya orang dapat menyampaikan pesan dan argumen.

Sehubungan dengan ini, Kress dan van Leeuwen (2002) bahkan berargumen bahwa warna adalah juga salah satu semiotic mode sebab makna sebuah warna bisa berbeda dalam konteks berbeda, dan dari warna

warna lainnya. Layout, termasuk di dalamnya blank space atau ruang kosong seperti pada koran adalah contoh lain semiotic mode (Kress and van Leeuwen, 2006).

Diantara mode berbeda yang digunakan orang secara bersamaan dalam sebuah teks untuk mengomunikasikan pesan mereka, mungkin gabungan verbal dan citraan atau gambar yang paling sering digunakan, dibandingkan kombinasi mode berbeda lainnya seperti misalnya verbal dan musik. Sehubungan dengan ini, teks bermakna lebih luas dari sekedar tulisan atau lisan menurut Halliday (dikutip dalam Eggins, 2004), namun

36

teks adalah “all practices that signify”, segala praktek yang memiliki makna, yang dapat berbentuk citraan, objek, praktek bahkan bunyi (Barker, 2000).

Bersandar pada ini, setidaknya bagi Peneliti, teks dapat dirujukkan pada dua hal yang berbeda. Pertama, makna teks dapat saling menggantikan dengan makna (semiotic) mode. Kedua, teks dapat juga dipahami sebagai ‘wadah’, situs, di mana semiotic mode digunakan untuk menawarkan makna. Sebagai contoh, sebuah poster secara keseluruhan dikatakan sebagai sebuah teks, yang di dalamnya terdapat verbal dan gambar sebagai dua mode semiotik yang digunakan untuk menyampaikan pesan.

Dalam kaitannya dengan alat analisis teks Multi-Modal, khususnya yang menggabungkan verbal dan visual, Kress dan van Leeuwen (1996,

(46)

2006) menawarkan apa yang dianggap sebagai ‘tata bahasa’ gambar.

Bersandar pada Halliday (1994, 2004) yang melihat tata bahasa tidak sebagai aturan tapi sebagai sumber untuk membuat dan menyampaikan makna, Kress dan van Leeuwen melihat bahwa imej dapat ‘diperlakukan’

seperti bahasa, memiliki ketiga metafungsi ideational/logical, interpersonal, dan textual. Bila demikian lanjut mereka, maka gambar atau imej dapat memiliki ‘tata bahasa’ yang dengannya orang dapat membaca imej dengan

‘benar’ untuk mengungkap makna yang disampaikan.

‘Tata bahasa’ ini kemudian banyak dianggap sebagai dasar penting kerangka analisa multimodality, dan bersandar pada kerangka ini banyak kajian telah dilakukan salah satunya, Archer and Stent (2011) yang

37

membahas warna, berdasarkan ide Kress dan van Leeuwen (2002, 2006), sebagai sebuah semiotic mode, dan cakupan sejauh mana warna dapat beroperasi sebagai sebuah mode yang berdiri sendiri.

1. Metode

Kress dan van Leeuwen (1996, 2006) tidak secara eksplisit mengurutkan satu persatu langkah analisis menggunakan teorinya, tetapi mereka mengelaborasi dengan rinci poin-poin penting yang harus diperhatikan ketika melakukan analisis teks visual menggunakan Reading Images. Menurut keduanya, imej dapat dianggap seperti bahasa verbal, merealisasikan ketiga metafungsi bahasa. Tulisan ini merangkum semua poin penting itu dan mengurutkannya menjadi langkah analisa praktis yang dapat digunakan untuk menganalisa teks gambar. Selain terutama berdasarkan penjelasan mereka, langkah analisa dalam tulisan ini juga merujuk pada Unsworth (2001), dan Machin and Myer (2012).

(47)

a. Pertama

Menggunakan langkah analisis ini kami harus memperlakukan imej seperti bahasa. Ini artinya, imej diyakini sebagaimana bahasa verbal merealisasikan metafungsi ideational : bagaimana gambar merepresentasikan pengalaman. Dalam imej, hal ini dapat dilihat pada bagaimana misalnya objek atau represented participants atau item, dalam imej ‘berhubungan’ dengan objek lain. Represented participants secara sederhana dapat dimengerti sebagai objek yang

38

ada dalam gambar, bisa berupa benda hidup bisa juga berupa benda tak hidup. Sementara, ‘viewer’ atau yang melihat objek dinamakan

‘interactive participant’. Represented participant (objek/item dalam gambar) bisa dihubungkan dengan cara apakah objek terlibat dalam proses ‘berinteraksi’ atau ‘berkoneksi’ (klasifikasi). Ini diwujudkan dalam bentuk vektor. Ketika melakukan analisis, kami harus melihat dari mana vektor berasal, dan ke mana dia bergerak. Vektor memposisikan participant sebagai aktor, reaktor, objek/goal, fenomena, atau pembicara. Berdasarkan vektor, hubungan antar objek dalam gambar bisa ‘transactional’, ‘non-transactional’, ‘bi directional’, atau ‘conversion’ (lihat Kress dan van Leeuwen, 1996, Unsworth, 2001). Metafungsi kedua yang direalisasikan oleh imej adalah interpersonal. Ketika menganalisis imej, kami melihat secara kritis bagaimana hubungan yang tercipta dan dimiliki antara pembuat, yang melihat, dan objek yang ada dalam gambar. Dalam imej, ini direalisasikan melalui gaze (tatapan, dan arah tatapan), ukuran frame dan shot, serta perspektif/angle. Ketiga realisasi ini menggambarkan

‘tuntutan’, atau ‘tawaran’, jarak sosial, (intim, dekat, jauh, atau

(48)

publik), kuasa serta sikap yang dimiliki oleh objek terhadap yang melihat (viewer) dan sebaliknya. Metafungsi ketiga yang direalisasikan imej adalah textual. Artinya, kami harus melihat bagaimana imej disusun dan disajikan. Seperti dalam kalimat pada bahasa verbal, bagaimana elemen dalam kalimat disusun akan

39

memengaruhi makna kalimat secara keseluruhan. Sususan komposisi berbeda dalam imej memungkinkan makna tekstual serta nilai informasi yang berbeda juga. Beberapa susunan komposisi yang mungkin dalam imej diantaranya Given-New (kanan-kiri), Ideal-Real (Ideal-Nyata), Centre-Margin (pusat-pinggir), Terpolarisasi, dan Triptych. Susunan komposisi ini juga memengaruhi, meski tidak selalu menentukan, alur baca (reading path) mereka yang melihat imej.

Selain poin-poin yang disebutkan di atas, ketika melakukan analisa pada gambar, kami juga akan mempertimbangkan framing dan warna yang digunakan. Unsworth (2001:109) mendefinisikan framing sebagai “elemen atau kumpulan elemen dalam sebuah layout dapat diputuskan dan dibedakan satu dengan lainnya atau dihubungkan, disambungkan bersama”. Sekaitan dengan framing, Goffman (dikutip dalam Rodriguez dan Dimitrova, 2011) memberikan ide dasar bahwa

“konteks dan pengorganisasian pesan memengaruhi pikiran dan tindakan selanjutnya audiens terhadap pesan itu”. Dalam tulisan ini, framing dimaknai sebagai bagaimana elemen dalam imej ditampilkan yang dengannya, cara pandang, sikap, dan tindakan audiens terhadap apa yang dtampilkan dapat dipengaruhi. Sementara itu, warna juga dianggap memiliki makna tertentu yang umumnya dipengaruhi oleh

(49)

situasi dan budaya di mana warna itu digunakan. Kress dan van Leeuwen (2002) berargumen

40

bahwa warna adalah sebuah semiotic mode, sebab warna memiliki dan dapat digunakan untuk menyampaikan makna.

b. Kedua

Setelah melihat imej dengan kerangka pandang tiga metafungsi bahasa, langkah selanjutnya dalam prosedur analisa gambar adalah penggambaran, atau identifikasi. Seringkali menggambarkan sebuah objek dipandang lebih gampang dari menganalisanya. Menganalisa dianggap jauh lebih hebat daripada menggambarkan atau mendeskripsikan, salah satunya karena pandangan bahwa dalam menganalisa kami menggunakan nalar kritis kami untuk menemukan hubungan yang satu dengan yang lain.

Padahal, untuk membuat sebuah gambaran yang baik dibutuhkan ketelitian, dalam menggambarkan imej khususnya kami tidak saja menggambarkan apa yang ada namun seringkali juga harus mengidentifikasi apa yang tak ada, namun terasa penting, dalam imej yang kami lihat. Haruslah dipahami bahwa tidak akan ada analisa yang baik tanpa penggambaran yang rinci. Bagi Machin dan Myer (2012) mendeskripsikan apa yang ada pada imej ‘memfasilitasi analisa yang baik’. Disarankan agar kami menggambarkan secara rinci setiap elemen utama dalam imej termasuk bagaimana elemen ini ditampilkan. Setelah penggambaran atau identifikasi, analisa kritis atau signifikansi kemudian dilakukan. Dalam konteks ini,

41

(50)

penguasaan dan pemahaman makna konotasi dan denotasi elemen dalam konteks gambar yang sedang dianalisa sangat membantu. 2.

Hubungan Yang Verbal Dengan Yang Visual

Imej, atau gambar, memiliki beragam hubungan yang mungkin dengan verbal, kata-kata. Bagi Barthes (dikutip dalam Kress dan van Leeuwen, 2006: 18) verbal menambah/memperluas (extend) makna imej dan sebaliknya. Atau, verbal menjelaskan (elaborate) imej dan sebaliknya. Kress dan van Leeuwen lebih jauh mengatakan bahwa bagi Barthes, makna imej khususnya, dan semiotic mode lainnya, selalu dihubungkan dengan, dan tergantung pada makna teks verbal. Sementara bagi Kress dan van Leeuwen, komponen visual teks, imej, adalah sebuah pesan yang disusun dan diatur secara mandiri,

berhubungan dengan teks verbal tapi tidak tergantung (garis miring dari Peneliti) padanya. Chen (2010) menggunakan empat kategori heteroglossic dimension yang diajukan Martin dan White (dikutip dalam Chen, 2010), menemukan bahwa ‘suara’ atau pesan yang disampaikan yang visual bisa bertentangan (disclaim) dengan ‘suara’

atau pesan yang disampaikan verbal. Padahal, teks verbal dan visual ini muncul secara bersamaan dalam sebuah kesempatan. Hubungan ini juga ditemukan oleh Bednarek and Caple (2012) yang meneliti foto

jurnalisme dalam koran cetak dan daring.

Royce (2002) melihat bahwa visual dan verbal yang digunakan sebagai mode untuk menyampaikan pesan dalam sebuah teks memiliki

42

‘intersemiotic relationship’, hubungan antar mode semiotik yang beragam. Hubungan antara keduanya bisa merupakan ‘intersemiotic

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil yang didapatkan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan metode support vector machine (SVM) dapat diimplementasikan dalam memprediksi kemenangan atlet

Karena penelitian tersebut memberikan akurasi yang kurang mencukupi, maka pada penelitian ini dilakukan dengan algoritma yang berbeda yaitu Support Vector

1. Metode Support Vector Machine dapat diimplementasikan untuk melakukan klasifikasi data kemacetan yang terdapat pada Twitter. Hasil rata-rata

Pada penelitian lain [7] membahas bagaimana SVM digunakan dalam melakukan identifikasi malware yang dapat di deteksi dengan menggunakan Support Vector Machine (SVM)

Setelah dilakukan evaluasi performansi pada algoritma Least Squares Support Vector Machine (LS-SVM), terlihat bahwa jumlah worker sama dengan 2 memiliki efisiensi

Pada penelitian ini dibangun sebuah sistem yang mampu mengklasifikasikan kendaraan bermotor roda dua dan roda empat dengan menggunakan algoritma Support Vector Machine

Bab ini membahas tentang teori penunjang dan penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan penerapan metode Support Vector Machine (SVM) untuk mengidentifikasi

Deteksi depresi pada tulisan twitter seseorang dapat dilakukan secara otomatis menggunakan metode atau algoritma tertentu, algoritma digunakan yakni algoritma Support Vector Machine