RANGKUMAN HUKUM PERIKATAN
Bab I Perikatan-Perikatan Umumnya
Hukum perikatan yang diatur dalam buku III KUHPerdata memiliki sistem terbuka, yang berarti bahwa hukum perikatan memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada pihak yang bersangkutan, untuk mengadakan hubungan hukum tentang apa saja yang diwujudkan dalam perbuatan hukum atau perjanjian, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Hal ini terkenal sebagai asas kebebasan berkontrak yang terdapat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
PERIKATAN
Buku III Kuhperdata sendiri tidak memberikan definisi mengenai perikatan. Menurut Riduan Syahreni, Perikatan (verbintenis) merupakan hubungan hukum antara dua pihak di dalam lapangan harta kekayaan, di mana pihak yang satu (kreditur) berhak atas suatu prestasi, dan pihak yang lain (debitur) berkewajiban memenuhi prestasi tersebut. Oleh karena itu, di dalam tiap perikatan terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di lain pihak. Prof Subekti dalam bukunya memberikan definisi perikatan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, di mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain (kreditur/ si berpiutang) dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut (debitur/ si berutang). Dari kedua definisi tersebut, unsur-unsur dari suatu perikatan adalah:
1. hubungan hukum 2. kekayaan
3. pihak-pihak 4. berprestasi
Rumusan unsur tersebut penting karena untuk mempertegas bahwa hukum melekatkan hak pada satu pihak dan melekatkan kewajiban pada pihak yang lainnya dalam hubungan-hubungan yang terjadi di masyarakat.
Apabila terdapat salah satu pihak yang melanggar hubungan tadi, maka hukum dapat memaksakan supaya hubungan itu dilaksanakan. Misalnya, bila Ali berjanji menjual mobilnya kepada Badu maka akibatnya Ali wajib menyerahkan mobil itu kepada Badu dan berhak menuntut harganya, sedangkan Badu wajib menyerahkan uang sebagai harga mobil itu dan berhak menuntut penyerahan mobil itu. Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka hukum dapat memaksa supaya kewajiban tersebut dipenuhi.
Pertanyaan yang timbul: apakah tiap hubungan hukum adalah perikatan? Misalnya suatu janji menonton film bersama? Janji yang demikian tidaklah dapat dikategorikan sebagai hubungan karena mereka tergolong dalam lapangan moral, sehingga pelanggarnya ada pada lapangan sosiologis. Untuk menilai suatu hubungan itu perikatan atau bukan, maka terdapat kriteria tertentu, yaitu: dapat dinilai dengan uang dan/atau adanya rasa keadilan. Menurut Pasal 1233 KUHPerdata, sumber hukum perikatan terbagi menjadi perikatan yang lahir dari persetujuan atau perjanjian, dan perikatan yang lahir dari Undang-Undang.
MACAM-MACAM PERIKATAN
1. Perikatan bersyarat (Pasal 1253 – 1267 KUH Perdata).
Suatu perikatan adalah bersyarat apabila ia digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan masih belum tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan lahirnya perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUH Perdata).
Jadi perikatan bersyarat merupakan suatu perikatan yang lahir atau batalnya digantungkan pada suatu peristiwa tertentu, terjadi atau tidak terjadi. Perikatan bersyarat tersebut dibedakan 2 macam yaitu:
• Perikatan bersyarat dengan syarat tangguh, yaitu perikatan yang akan lahir apabila yang dimaksud itu terjadi dan perikatan lahir pada detik terjadinya peristiwa itu. Misalnya : Saya berjanji jika saya keluar negeri akan menyewakan rumah saya. Di sini perjanjian sewa menyewa rumah akan lahir apabila saya keluar negeri.
• Perikatan bersyarat dengan syarat batal, yaitu di mana perikatan yang sudah ada, justru berakhir atau dibatalkan apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi. Misalnya : Saya berjanji bahwa apabila saya kembali dari luar negeri, rumah yang saya sewakan akan kembali. Syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan dan membawa segala sesuatu kembali kepada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan.
2. Perikatan dengan ketetapan waktu (Pasal 1268 – 1271 KUH Perdata).
Perikatan dengan ketetapan waktu adalah perikatan yang hanya menangguhkan pelaksanaannya, ataupun menentukan lama waktu berlakunya suatu perjanjian atau perikatan. Misalnya : Apabila saya menyewakan rumah saya mulai tanggal 1 Januari 2014,ataupun menyewakan sampai 1 Januari 2014. Contoh lainnya yaitu bahwa saya akan menjual sawah saya apabila sudah panen. Suatu ketetapan waktu selalu dianggap untuk kepentingan si berutang, kecuali sifat perikatannya sendiri atau keadaan ternyata bahwa ketetapan waktu itu telah dibuat untuk kepentingan si berpiutang. Apa yang harus dibayar pada suatu waktu yang ditetapkan, tidak dapat ditagih sebelum waktu itu tiba. tetapi apa yang telah dibayar sebelum waktu itu datang tidak dapat diminta kembali.
3. Perikatan mana suka (Pasal 1272 – 1277 KUH Perdata).
Dalam perikatan semacam ini, si berutang dibebaskan jika ia telah menyerahkan salah satu dari 2 barang yang disebutkan dalam perjanjian, tetapi ia tidak boleh memaksa si berpiutang untuk menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang yang lainnya. Hak memilih ini ada pada si berhutang, jika hal ini tidak secara tegas diberikan kepada si berpiutang. Misalnya: Si A mempunyai tagihan uang Rp 1000.000,- kepada B seorang petani yang sudah lama tidak dibayarnya. Sekarang si A membuat suatu perjanjian dengan si B, bahwa si B akan dibebaskan dari hutang jika ia menyerahkan kuda miliknya atau 10 kwintal padi miliknya. Apabila salah satu objek yang di janjikan dalam perikatan mana suka musnah atau tidak dapat diserahkan, maka perikatan mana suka itu menjadi perikatan murni. Jika kedua barang itu hilang dengan kesalahan si berhutang, maka ia diwajibkan membayar harga yang paling akhir (dari barang yang sudah hilang).
4. Perikatan tanggung menanggung (Pasal 1278 – 1295 KUH Perdata).
Dalam perikatan semacam ini, disalah satu pihak terdapat beberapa orang. Dalam hal beberapa orang terdapat dipihak debitur, maka tiap-tiap debitur itu dapat dituntut untuk memenuhi seluruh hutang. Dalam hal beberapa orang terdapat kreditor, maka tiap-tiap kreditor berhak menuntut pembayaran seluruh hutang.
Dengan sendirinya pembayaran yang dilakukan oleh salah satu debitur, akan membebaskan debitur-debitur lainnya. Dalam hukum perjanjian ada suatu aturan, bahwa tiada perikatan dianggap tanggung menanggung, kecuali hal itu dinyatakan (di janjikan) secara tegas, ataupun ditetapkan oleh Undang-undang. Dalam pasal 18 KUH Dagang dinyatakan bahwa dalam perseroan firma, tiap-tiap perseroan bertanggung jawab secara tanggung menanggung untuk seluruhnya atas segala perikatan firma. Perikatan tanggung menanggung yang pihaknya terdiri dari beberapa orang kreditor dinamakan perikatan tanggung menanggung aktif, sedangkan
perikatan tanggung menanggung yang pihaknya terdiri dari beberapa orang debitur dinamakan perikatan tanggung menanggung pasif.
5. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi (Pasal 1296 – 1303 KUH Perdata).
Suatu perikatan dapat atau tidak dapat dibagi adalah sekedar prestasinya dapat dibagi menurut imbangan, pembagian mana tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu. soal dapat atau tidak dapat dibaginya prestasi itu terbawa oleh sifat barang yang tersangkut di dalamnya, tetapi juga disimpulkan dari maksud perikatan ini. Dapat dibagi menurut sifatnya, misalnya: Suatu perikatan untuk menyerahkan sejumlah barang atau sejumlah hasil bumi. Sebaliknya yang tidak dapat dibagi Misalnya: Kewajiban untuk menyerahkan seekor kuda, karena kuda tidak dapat dibagi tanpa kehilangan hakikatnya. Adalah mungkin bahwa barang yang tersangkut dalam prestasi menurut sifatnya dapat dipecah-pecah, tetapi menurut maksudnya perikatan tidak dapat dibagi lagi Misalnya :perikatan membuat jalan. Akibat hukum yang penting dari perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi tersebut yaitu:
• Dalam hal perikatan tidak dapat dibagi, maka tiap-tiap kreditor berhak menuntut seluruh prestasinya pada tiap-tiap debitur, sedangkan masing-masing debitur diwajibkan memenuhi prestasi tersebut seluruhnya. satu dan yang lain sudah barang tentu dengan pengertian bahwa pemenuhan perikatan tidak dapat dituntut lebih dari 1 kali.
• Dalam hal suatu perikatan dapat dibagi, tiap-tiap kreditor hanyalah berhak menuntut suatu bagian menurut imbangan dari prestasi tersebut, sedangkan masing-masing debitur juga hanya diwajibkan memenuhi bagiannya.
6. Perikatan dengan ancaman hukuman (Pasal 1304 – 1312 KUH Perdata).
Perikatan dengan ancaman hukuman adalah suatu perikatan di mana ditentukan bahwa si berhutang, untuk jaminan pelaksanaan perikatannya, diwajibkan melakukan sesuatu apabila perikatannya tidak dipenuhi.
Penetapan hukuman ini dimaksudkan sebagai ganti penggantian kerugian yang diderita oleh si berpiutang karena tidak dipenuhinya atau dilanggarnya perjanjian. Tujuan perikatan dengan ancaman hukuman tersebut ada 2 yaitu :
• Untuk mendorong atau menjadi cambuk bagi debitur supaya ia memenuhi kewajibannya.
• Untuk membebaskan kreditor dari pembuktian tentang jumlahnya atau besarnya kerugian yang dideritanya, sebab berapa besar kerugian itu harus dibuktikan oleh kreditor.
Dalam perjanjian dengan ancaman hukuman atau denda ini lazimnya ditetapkan hukuman yang sangat berat, kadang terlampau berat. Menurut Pasal 1309 KUH Perdata, hakim diberikan wewenang untuk mengurangi atau meringankan hukuman itu apabila perjanjiannya telah dipenuhi.
PRESTASI
Prestasi merupakan sesuatu yang wajib dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi sama dengan objek perikatan. Berdasarkan bentuk prestasinya, perikatan dapat dibedakan menjadi (Pasal 1234 KUH Perdata):
1. Perikatan untuk memberikan sesuatu (Pasal 1235 – 1238 KUHPer)
Menurut ketentuan Pasal 1235 KUH Perdata, perikatan untuk memberikan sesuatu mewajibkan si berutang (debitur) untuk menyerahkan suatu kebendaan dan merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik sampai pada waktu penyerahan. Dalam hal ini menyerahkan kebendaan adalah kewajiban pokok, dan merawat adalah kewajiban preparatoir yaitu hal-hal yang harus dilakukan oleh debitur menjelang
penyerahan dari benda tersebut. Sementara, sebagai bapak rumah yang baik maksudnya adalah agar benda tersebut dijaga dan dirawat secara pantas dan patut sesuai dengan kewajaran yang berlaku di masyarakat, sehingga tidak merugikan si yang akan menerima.
Si berutang wajib memberikan ganti rugi biaya dan bunga kepada si berpiutang, jika ia membawa dirinya dalam keadaan tidak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya (Pasal 1236 KUHPerdata). Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, kebendaan itu semenjak perikatan dilahirkan, adalah atas tanggungan si berpiutang.
Jika si berutang lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungannya (Pasal 1237 KUHPerdata). Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri ialah jika ini menetapkan, bahwa si berutang harta dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan (Pasal 1238 KUHPerdata). Contoh perikatan untuk memberikan sesuatu adalah penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak, pemberian sejumlah uang, memberikan benda untuk dipakai (menyewa).
2. Perikatan untuk berbuat sesuatu (Pasal 1239-1243 KUHPer)
Berbuat sesuatu berarti melakukan perbuatan sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dalam perikatan. Contohnya adalah perjanjian untuk membangun rumah, mengosongkan lahan, atau membuat karya seni. Perikatan dengan prestasi positif > berbuat sesuatu, misalnya: perikatan untuk melakukan sesuatu pekerjaan (1603 KUHPerdata: “si buruh diwajibkan melakukan pekerjaan yang dijanjikan menurut kemampuannya yang sebaik-baiknya...”
3. Perikatan untuk tidak berbuat sesuatu (Pasal 1239-1243 KUHPer)
Yang dimaksud dengan tidak berbuat sesuatu adalah tidak melakukan perbuatan seperti apa yang telah di janjikan (perikatan dengan prestasi negatif). Misalnya perjanjian antara pabrik dengan distributor agar distributor tidak memasarkan produk dari pesaing pabrik tersebut, atau perjanjian agar pabrik tidak memasarkan produk tertentu ke distributor lain.
WANPRESTASI
Wanprestasi merupakan peristiwa di mana debitur tidak mematuhi apa yang menjadi kewajibannya (lalai, ingkar janji, melanggar perjanjian). Bentuk wanprestasi menurut Subekti:
1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2. melaksanakan tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3. melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat; dan
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 Kitab KUHPer, berbunyi: “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan lalai, tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”. Sehingga unsur-unsur wanprestasi adalah: Ada perjanjian oleh para pihak;
Ada pihak melanggar atau tidak melaksanakan isi perjanjian yang sudah disepakati; Sudah
dinyatakan lalai tapi tetap juga tidak mau melaksanakan isi perjanjian.
BAB II Perikatan yang Lahir dari Kontrak/ Perjanjian
PERJANJIAN
Menurut ketentuan Pasal 1313 KUH Perdata, suatu perjanjian adalah suatu perbuatan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa di mana seseorang berjanji untuk melaksanakan suatu hal, telah timbul hubungan antara dua orang tersebut yang disebut perikatan/
Dengan kata lain, perjanjian menerbitkan perikatan. Perjanjian ini dapat juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak atau lebih setuju untuk melakukan sesuatu. Sementara, kosa kata “kontrak” lebih sempit karena ditujukan kepada perjanjian yang tertulis. Jadi, kontrak hanya merupakan istilah lain dari perjanjian yang hanya meliputi dalam bentuk tertulis saja.
Perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Akan tetapi, bentuk perjanjian tertulis dapat menjadi alat pembuktian bila para pihak mengalami perselisihan. Selain itu, perjanjian tertulis juga dapat memenuhi syarat adanya peristiwa (perjanjian) itu, misalnya UU mewajibkan AD pendirian PT untuk dibuat secara autentik. Adapun, perjanjian memiliki unsur-unsur yang terdiri dari:
a. Unsur Essensialia: pokok syarat yang tidak bisa diabaikan dalam perjanjian, harus ada dalam perjanjian jika tidak ada maka perjanjian tidak sah. Contoh, harga dan barang merupakan unsur essensialia dari perjanjian jual beli.
b. Unsur Naturalia: bagian perjanjian yang oleh Undang–undang diatur, tetapi oleh para pihak dapat diganti, sehingga bagian tersebut oleh Undang–undang diatur dengan hukum yang sifatnya mengatur atau menambah. Contoh, Pasal 1476 KUHPer mengatur bahwa biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, namun hal ini dapat di simpang sehingga biaya penyerahan menjadi tanggung jawab pembeli.
c. Unsur Accidentalia: bagian perjanjian yang ditambahkan oleh para pihak, sementara Undang – Undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut. Contoh, ketentuan mengenai tempat penyerahan benda saat transaksi jual beli.
ASAS-ASAS PERJANJIAN
• Asas Konsensualisme: para pihak yang mengadakan perjanjian itu harus sepakat, setuju, atau sekata mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang diadakan itu. Asas ini tercantum dalam salah satu syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata.
• Asas Kebebasan Berkontrak (partij autonomie): Yang dimaksud dengan kebebasan berkontrak dapat dilihat secara implisit dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, di antaranya yaitu para pihak memiliki kebebasan untuk: Menentukan atau memilih kausa dari perjanjian yang akan dibuatnya; Menentukan objek perjanjian; Menentukan bentuk perjanjian; Menerima atau menyimpangi ketentuan undang- undang yang bersifat opsional.
• Asas Pacta Sunt Servanda: Asas pacta sunt servanda berarti perjanjian yang dibuat berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, sebagaimana dimaksud Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
• Asas Kepribadian: asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPer.
• Asas Itikad Baik: Asas ini tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPer yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Artinya bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.
JANJI UNTUK PIHAK KETIGA
Pasal 1315 KUHPer menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri. Pasal 1340 KUHPer berbunyi:
“Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Hal ini mengandung maksud bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya berlaku bagi mereka yang membuatnya. Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya dalam Pasal 1317 KUHPer yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.” Pasal ini memiliki arti bahwa seseorang dapat mengadakan perjanjian/ kontrak untuk kepentingan pihak ketiga, dengan adanya suatu syarat yang ditentukan. Janji untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan dalam perjanjian timbal balik karena ada hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, maka dari itu, orang senantiasa memperjanjikan sesuatu hak untuk dirinya sendiri.
SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, bahwa suatu persetujuan menjadi sah apabila telah memenuhi empat syarat, yakni:
1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya. Para pihak yang membuat perjanjian harus memiliki kebebasan kehendak, di mana masing-masing pihak tidak mendapat suatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacat dalam mewujudkan kehendaknya. Mengingat bahwa kesepakatan harus diberikan secara bebas (sukarela), maka Pasal 1321 KUHPerdata menyebutkan bahwa terdapat 3 sebab kesepakatan tidak diberikan secara sukarela, yaitu karena adanya paksaan, kekhilafan, dan penipuan.
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Pasal 1329 KUHPerdata menegaskan bahwa pihak- pihak yang membuat perjanjian haruslah cakap menurut hukum. Melalui Pasal 1330 KUHPerdata, dinyatakan bahwa para pihak yang tidak cakap adalah:
a) orang-orang yang belum dewasa. Kedewasaan menurut Pasal 330 KUHPerdata adalah orang yang sudah berumur 21 tahun atau telah menikah. Artinya, seseorang yang pernah menikah meskipun usianya belum genap 21 tahun tetap dianggap sebagai orang dewasa. Bila perkawinannya putus (cerai) sebelum usia mereka genap 21 tahun, mereka tidak kembali lagi dalam status belum dewasa.
Adapun, dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan membuat ukuran orang dewasa menjadi lebih jelas. Berdasarkan Pasal 50 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa anak yang belum dewasa adalah anak yang berusia belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
b) mereka yang ditaruh di bawah pengampuan. Pengampuan merupakan keadaan di mana seseorang karena sifat pribadinya dianggap tidak cakap bertindak sendiri (pribadi) dalam melakukan perbuatan hukum. Seseorang dianggap tidak cakap karena ia tidak mengerti mengenai akibat hukum dari pernyataan kehendak mereka sendiri. Menurut Pasal 433 KUHPerdata, alasan seseorang harus ditaruh di bawah pengampuan adalah:
- karena keadaan dungu;
- karena sakit otak;
- karena mata gelap;
- karena boros.
c) orang-orang perempuan dalam hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang untuk membuat perjanjian tertentu. Akan tetapi
dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka istri memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan suaminya sehingga istri cakap untuk melakukan perbuatan hukum, termasuk perjanjian (Pasal 31 UU Perkawinan).
3. suatu pokok persoalan tertentu. Artinya, suatu perjanjian harus memiliki objek tertentu yang sekurang-kurangnya dapat ditentukan jenisnya (Pasal 1333 KUHPerdata). Objek yang dijanjikan tidaklah barang itu harus sudah ada, atau sudah ada di tangannya si berutang pada waktu perjanjian itu dibuat. Begitu juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asalkan dapat dihitung atau ditetapkan. Akan tetapi, Pasal 1334 KUHPerdata memberikan pengecualian bahwa objek tertentu dapat berupa benda, yang sekarang ada maupun yang nanti akan ada, kecuali warisan.
4. Sebab (causa) yang halal. Yurisprudensi menafsirkan ‘sebab’ sebagai isi atau maksud dari perjanjian.
Suatu sebab dikatakan terlarang apabila isi perjanjiannya telah bertentangan dengan Undang-Undang, atau dengan kesusilaan, atau dengan ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata). Perjanjian yang memiliki sebab terlarang tidak memiliki kekuatan hukum (Pasal 1335 KUHPerdata).
PEMBATALAN PERJANJIAN
Syarat perjanjian yang menyangkut kesepakatan dan kecakapan disebut syarat subjektif, sedangkan yang berkenaan dengan hal tertentu dan sebab yang halal disebut syarat objektif. Apabila syarat subjektif perjanjian cacat atau tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan (cancelling) oleh salah satu pihak ke pengadilan. Bila pengajuan pembatalan itu disangkal oleh pihak lawannya, maka diperlukan pembuktian. Hal ini sebagaimana yang dikatakan juga dalam Pasal 1446 KUHPerdata bahwa seluruh perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau berada di bawah pengampuan adalah batal demi hukum, dan atas tuntutan yang diajukan maka perikatan tersebut harus dinyatakan batal. Jika para pihak tidak keberatan dengan pelanggaran syarat subjektif dan/atau tidak melakukan upaya pembatalan perjanjian melalui pengadilan, maka perjanjian tersebut tetap sah. Untuk membatalkan perjanjian, Pasal 1454 KUHPerdata memberikan jangka waktu selama 5 tahun, atau dalam hal tidak cakapan maka jangka waktunya tidak harus menunggu 5 tahun tetapi sejak orang yang tidak cakap tersebut menjadi cakap menurut hukum. Sementara, bila syarat objektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu menjadi batal demi hukum karenanya (null and void) secara serta merta dan perjanjian dianggap tidak memiliki kekuatan hukum. Dengan begitu, perjanjian pertaruhan dianggap tidak pernah ada, sehingga salah satu pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk meminta pemenuhan prestasi dari pihak lain.
BAB III Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang
Pada perikatan yang bersumber dari Undang-Undang tidak berlaku asas kebebasan berkontrak, sebab dalam konteks ini suatu perbuatan menjadi perikatan karena kehendak Undang-Undang. Menurut ketentuan Pasal 1352 KUHPerdata, perikatan yang lahir dari Undang-Undang terbagi menjadi perikatan yang timbul dari Undang-Undang saja, atau perikatan yang timbul sebagai akibat perbuatan orang. Sementara, Pasal 1353 KUHPerdata membagi perikatan yang timbul sebagai akibat perbuatan orang menjadi dua, yakni perikatan yang lahir karena perbuatan halal, dan perikatan yang lahir dari perbuatan melawan hukum.
PERIKATAN LAHIR DARI UNDANG-UNDANG SAJA Perikatan yang timbul dari UU dapat timbul karena:
1. Hak alimentasi, adalah suatu hak yang dapat dilakukan kepada pihak lawan karena UU menetapkan hak tersebut. Misalnya, Pasal 298 KUHPerdata memberikan hak bagi orang tua untuk mendapatkan kehormatan serta keseganan dari anaknya, sementara sang anak mendapatkan hak untuk dipelihara serta dididik oleh orang tuanya.
2. Hukum tetangga, yang mana hak dan kewajiban para pihak yang bertetangga diatur dalam Pasal 625 KUHPerdata.
PERIKATAN LAHIR DARI AKIBAT PERBUATAN HALAL 1. Mengurus kepentingan orang lain (zaakwarneming)
Adalah suatu perbuatan untuk mengurus kepentingan orang lain secara sukarela tanpa ada perintah untuk itu, baik dengan pengetahuan maupun tanpa sepengetahuan dari orang yang diurus kepentingannya itu, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusannya itu hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusannya itu. Ia juga harus menjalankan segala kewajiban yang harus ia pikul jika ia menerima kekuasaan yang dinyatakan secara tegas (Pasal 1354 KUHPerdata).
Kepengurusannya ini terjadi bila yang diurus kepentingannya itu tidak di tempat, sakit, atau dalam keadaan apa pun yang menjadikannya tidak dapat mengurus kepentingannya sendiri. Orang yang mengurus kepentingan orang lain, harus menghendaki atau mengetahui mengurus kepentingan orang lain. Orang yang mengurus kepentingan orang lain harus mengurusnya seolah seorang bapak rumah tangga yang baik, dan jika melalaikan ia diwajibkan untuk memberikan ganti kerugian (Pasal 1356 KUHPer). Ia tidak memiliki hak untuk meminta upah karena zaakwarneming dianggap sebagai kewajiban sosial.
Menurut Pasal 1357 KUHPer, pihak yang diwakili hanya memiliki kewajiban bilamana zaakwaarnemer telah dijalankan dengan baik, yakni: pemenuhan perikatan-perikatan oleh yang diwakili bila zaakwarneming telah bertindak untuk dan atas nama diwakili; jika zaakwaarnemer telah bertindak untuk namanya sendiri maka yang diwakili harus memberikan ganti kerugian kepadanya; yang diwakili harus mengganti seluruh pengeluaran yang berfaedah atau perlu. Sementara, zaakwarnemer memiliki kewajiban untuk: menyelesaikan urusan yang diurusnya dan wajib memberi laporan pertanggungjawaban; serta bertindak sebagai bapak rumah yang baik.
2. Pembayaran yang tidak diwajibkan
Pembayaran yang dilakukan untuk melunasi suatu hutang padahal tidak terdapat hutang diatur Pasal 1359 KUHPer, bahwa pembayaran yang telah dilakukan tersebut dapat dituntut kembali. Pembayaran yang telah dipenuhi dan tidak dapat dituntut kembali yaitu pembayaran dengan perikatan bebas yang dilakukan secara suka rela. Diatur Pasal 1360 KUHPer bahwa pihak yang atas sepengetahuannya maupun secara khilaf menerima sesuatu yang dibayarkan kepadanya padahal tak seharusnya dibayarkan kepadanya, memiliki kewajiban untuk mengembalikan kepada pihak yang telah memberikan suatu barang tersebut. Pihak yang mengira bahwa ia memiliki hutang dan telah membayarkannya padahal ia tidak berhutang, maka ia berhak menuntut kembali si berpiutang (Pasal 1361 KUHPer). Pihak yang beritikad buruk dengan menerima pembayaran padahal tidak seharusnya dibayarkan kepadanya, maka pihak tersebut wajib mengembalikan pembayaran yang bukan haknya disertai dengan bunga dan hasil yang terhitung dari pembayaran (Pasal 1362 KUHPer). Sementara, bila seseorang menerima pembayaran yang tidak diwajibkan kepadanya dengan itikad baik, lalu ia menjualnya maka cukup mengembalikan pembayaran senilai harga penjualan (Pasal 1363 KUHPer).
3. Perikatan bebas
Menurut Pasal 1359 ayat (2) KUHPer bahwa terhadap perikatan bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi tidak dapat dilakukan penuntutan kembali. Perikatan bebas merupakan perikatan di mana kreditur tidak memiliki hak untuk menuntut pelaksanaan suatu prestasi, walaupun dengan bantuan hakim. Sebaliknya debitur tidak memiliki kewajiban hukum untuk memenuhi suatu prestasi. Debitur hanya memiliki
kewajiban moral untuk memenuhinya. Misalnya, pembayaran bunga yang tidak diperjanjikan (Pasal 1766 KUHPer). Contoh lainnya adalah seseorang yang secara sukarela telah membayar kekalahannya, tidak boleh dituntut kembali kecuali si pemenang melakukan kecurangan (Pasal 1791 KUHPer).
PERIKATAN LAHIR DARI PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Menurut Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) adalah sebagai suatu kumpulan dari prinsip- prinsip hukum yang bertujuan untuk mengontrol atau mengatur perilaku bahaya, untuk memberikan tanggung jawab atas suatu kerugian yang terbit dari interaksi sosial, dan untuk menyediakan ganti rugi terhadap korban dengan suatu gugatan yang tepat.
PMH diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”. Dari Pasal tersebut, dapat dipahami unsur PMH terdiri dari:
1. Adanya suatu perbuatan. Perbuatan melekat sifat aktif dan pasif, di mana sifat aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan suatu perbuatan menimbulkan kerugian bagi orang lain.
Sementara, secara pasif (tanpa menggerakkan badannya) telah menimbulkan kerugian.
2. Perbuatan tersebut melawan hukum. Secara luas, “melawan hukum” didefinisikan sebagai PMH mencakup perbuatan yang a. bertentangan dengan hak orang lain (hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik; serta hak atas kekayaan, hak kebendaan, dan hak mutlak lainnya); b. bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri; c. bertentangan dengan kesusilaan atau norma yang ada di masyarakat; dan d. bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik, yang mana dalam hal ini meliputi perbuatan yang merugikan orang lain dan perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain.
3. Adanya kesalahan pihak pelaku. Kesalahan dapat terjadi karena dilakukan dengan kesengajaan, dan kesalahan karena kurangnya kehati-hatian atau kealpaan.
4. Adanya kerugian bagi korban. Kerugian terbagi menjadi 2 bentuk, yaitu kerugian materil (kerugian yang secara nyata diderita) dan/atau kerugian immateril (kerugian atas keuntungan yang mungkin diterima di kemudian hari).
5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian. Hubungan kausalitas harus dibuktikan guna meminta pertanggungjawaban dari pelaku, bahwa kerugian yang dideritanya merupakan akibat langsung dari tidak dipenuhinya perikatan (Pasal 1248 KUHPer).
BAB IV Hapusnya Perikatan
Menurut Pasal 1381 KUHPer, terhadap 10 hal yang dapat menyebabkan hapusnya perikatan, yaitu:
1. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUHPer)
Pembayaran merupakan pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara sukarela atau tidak ada paksaan. Jadi, pembayaran ini tidak hanya merujuk kepada penyerahan uang saja, namun juga penyerah tiap barang menurut perjanjian. Misalnya perjanjian jual beli sepeda. A membeli sepeda milik B, maka saat A membayar harga sepeda dan sepeda tersebut diserahkan B kepada A yang berarti lunas semua kewajiban masing-masing pihak (A dan B) maka perjanjian jual beli antara A dan B dianggap berakhir/hapus. Menurut Pasal 1382 KUHPer, tidak hanya orang yang berkepentingan yang dapat melakukan pembayaran, namun pihak ketiga yang tidak berkepentingan juga dapat melakukan pembayaran, asalkan pihak ketiga bertindak atas nama yang berutang atau bertindak atas namanya sendiri dengan tidak menggantikan hak-hak si
berpiutang. Akan tetapi, pihak ketiga tidak dapat melakukan pembayaran dalam hal prestasi dari suatu perikatan adalah untuk berbuat sesuatu oleh kreditur yang dikehendaki sendiri oleh debitur.
2. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (Pasal 1404-1412 KUHPer)
Menurut Pasal 1404 KUHPer, bahwa jika kreditur menolak pembayaran dari debitur, maka debitur berhak melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya tersebut melalui penitipan pembayaran pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Penawaran pembayaran yang diikuti penitipan pembayaran di pengadilan negeri tersebut berlaku sebagai pembayaran bagi debitur dan membebaskan debitur dari utangnya asal penawaran itu sesuai dengan undang-undang dan apa yang dititipkan di pengadilan negeri sebagai pembayaran tersebut atas tanggungan kreditur. Misalnya, A punya utang kepada B. Akhirnya A membayar utang tersebut kepada B tapi B menolak menerimanya. Dalam kondisi demikian, A bisa menitipkan pembayaran utangnya tersebut melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat nanti pengadilan yang akan meneruskannya kepada B. Jika menitipkan melalui pengadilan ini sudah dilakukan, maka utang-piutang antara A dan B dianggap sudah berakhir.
3. Pembaruan utang/ novasi (Pasal 1413-1424 KUHPer)
Adalah perjanjian antara kreditur dengan debitur di mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan kemudian suatu perikatan yang baru. Merujuk pada Pasal 1413 KUH Perdata, terdapat 3 macam pembaruan utang, yaitu:
a. Pembaruan objek utang, yaitu apabila antara debitur dan kreditur membuat perikatan utang baru, untuk menggantikan utang lama yang dihapuskan dengan adanya perikatan utang baru tersebut (novasi objektif). Misal, B sebagai pengecer membeli barang dagangan dari A seorang grosir, dengan janji barang diambil setiap bulan dan pembayaran dilakukan tiap akhir bulan. Untuk lebih memastikan hubungan kedua belah pihak maka antara A dan B mengadakan perjanjian utang piutang. Perjanjian utang piutang ini menggantikan perjanjian jual beli dan yang disebut lebih dahulu itu disebut pembarahuan utang/ novasi. Contoh lainnya, yakni A memiliki utang 1 juta rupiah kepada B, namun A tidak sanggup membayar utangnya. Lalu, B mengatakan bahwa A hanya perlu membayar utangnya seharga 500 ribu rupiah. Oleh karena itu, perjanjian utang piutang sebesar 1 juta dihapuskan dan diganti menjadi perjanjian utang piutang sebesar 500 ribu rupiah.
b. Pembaruan debitur, yaitu apabila seorang debitur baru ditunjuk untuk menggantikan debitur lama yang dibebaskan oleh kreditur (novasi subjektif pasif).
c. Pembaruan kreditur, yaitu apabila seorang kreditur baru yang ditunjuk untuk menggantikan kreditur lama yang telah membebaskan debitur (novasi subjektif aktif).
4.
Perjumpaan utang atau kompensasi (Pasal 1425-1435 KUHPer)Menurut Pasal 1425 KUHPer, bahwa jika dua orang saling berutang maka terjadi penghapusan utang melalui saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur dan kreditur. Kompensasi terjadi sebagai akibat dari suatu keadaan di mana A berutang kepada B, dan ketika itu juga A mempunyai piutang kepada B. Misalnya A punya utang kepada B sebesar Rp. 500.000,- tapi pada saat yang sama B juga ternyata punya utang kepada A sebesar Rp. 500.000,-. Dalam hal demikian maka utang masing-masing sudah dianggap lunas karena “impas”, dan perjanjian utang-piutang dianggap berakhir.
5.
Percampuran utang (Pasal 1436 & 1437 KUHPer)Merupakan percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu, maka terjadilah percampuran utang yang membuat piutang dihapuskan. Atau dapat dikatakan bahwa adanya utang dan piutang berkumpul pada 1 orang menimbulkan terjadinya percampuran utang yang menghapuskan piutang tersebut. Misalnya, A punya utang kepada B. Kemudian, A dan B kawin yang mengakibatkan percampuran antara harta dan kekayaan suami dan istri sehingga utang A menjadi terhapus.
Contoh lainnya, A menjual kepada B rumah dengan harga 750 juta namun baru dibayarkan 700 juta. Lalu B meminjamkan uang 50 juta kepada A yang belum dibayar. Karena, A memiliki posisi sebagai kreditur dan debitur (begitu juga dengan B), maka utang keduanya dapat dicampurkan.
6. Pembebasan utang (Pasal 1438-1443 KUHPer)
Adalah pernyataan kehendak dari kreditur untuk membebaskan debitur dari perikatan dan pernyataan kehendak tersebut diterima debitur. Menurut Pasal 1438 KUHPer, pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan melainkan harus dibuktikan. Maksudnya, seorang debitur baru dapat dikatakan dibebaskan dari utangnya jika secara nyata dibebaskan oleh kreditur. Jika hanya tidak ditagih dalam waktu lama, tidak bisa dikatakan dibebaskan dari utangnya.
7. Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444 & 1445 KUHPer)
Merujuk pada kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa jika barang yang menjadi objek perikatan musnah atau hilang, maka hapuslah perikatan tersebut, jika memenuhi syarat:
• Musnahnya barang tersebut bukan karena kelalaian debitur;
• Debitur belum lalai menyerahkannya kepada kreditur.
Apabila debitur lalai menyerahkan barang yang menjadi objek perjanjian kepada kreditur, asal debitur dapat membuktikan bahwa barang tersebut walaupun telah diserahkan kepada kreditur akan tetap musnah dengan cara yang sama, perikatan tersebut tetap hapus. Hal ini akan berlaku jika debitur tidak menanggung kejadian-kejadian tak terduga, dan debiturlah yang membuktikan kejadian tak terduga tersebut.
8. Kebatalan atau pembatalan (Pasal 1446-1456 KUHPer)
Menurut Pasal 1446 KUHPer, bahwa perjanjian yang dibuat oleh orang yang belum dewasa atau di bawah pengampuan adalah batal demi hukum. Namun, Pasal 1447 KUH Perdata menegaskan, pembatalan perikatan atas alasan ketidakdewasaan atau di bawah pengampuan tersebut tidak dapat dijadikan alasan pembatalan perikatan yang lahir dari perbuatan melawan hukum. Sedangkan perikatan yang dibuat dengan paksaan, kekhilafan, atau penipuan, dapat dimintakan pembatalan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1449 KUH Perdata. Misal, perjanjian yang dibuat oleh orang belum dewasa dapat dimintakan kebatalannya melalui pengadilan.
9. Berlakunya suatu syarat batal (Pasal 1265 KUHPerdata)
Artinya syarat-syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian. Misalnya perjanjian yang dibuat bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata) adalah batal demi hukum.
10. Lewatnya waktu (Pasal 1946-1933 KUHPerdata)
Menurut Pasal 1946 KUHPerdata, daluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang. Lewat waktu ialah suatu sarana hukum untuk memperoleh sesuatu atau suatu alasan untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya waktu tertentu dan dengan terpenuhinya syarat-syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Pasal 1967 KUH Perdata mengatur bahwa semua tuntutan hukum hapus karena lewat waktu dengan lewatnya waktu 30 tahun.
BAGIAN ARTIKEL NOTES WEBSITE UNTUK MENGECEK PLAGIARISM (15%) = 500 KATA Harus dinyatakan lolos plagiarism dari website untuk pengecekan plagiarism (15%)
Weekly evaluation test
Must be declared passed plagiarism from the website for plagiarism checking (15% of plagiarism) Weekly evaluation test