FILSAFAT ILMU
“RANGKUMAN MATERI FILSAFAT PESIMISME DAN FILSAFAT NIHILISME”
DOSEN PENGAMPU MATA KULIAH:
Prof. Dr. Muhammad Rapi. M.S
DISUSUN OLEH:
Elia Sesa (230001301009)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA JURUSAN BAHASA INDONESIA
PASCA SARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2023
ii KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan Rahmat dan kesehatan sehingga dapat menyelesaikan menyusun ringkasan materi dengan judul “ringkasan materi filsafat pesimisme dan filsafat nihilisme”. Penyusunan materi ini dalam rangka untuk menyelesaikan tugas akhir mata kuliah filsafat ilmu. Tujuan penulisan rangkuman materi ini adalah untuk menambah wawasan setiap pembaca.
Penulis sangat sadar dan memahami, bahwa rangkuman materi ini masih sangat terbatas dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu kami mohon bimbingan demi perbaikan dan sempurnanya rangkumakan materi ini. Semoga karya ini bermanfaat bagi bangsa Indonesia utamanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan pengembangan kajian ilmu pengetahuan di dimasa yang akan datang.
Makassar, 19 Desember 2023
Penulis
iii DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iii
BAB I ... 1
PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 3
C. Tujuan ... 3
BAB II ... 4
PEMBAHASAN ... 4
A. Pengertian Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Filsafat Ilmu ... 4
B. Pandangan atau Paham yang Terdapat dalam Filsafat Ilmu ... 11
1. Filsafat Pesimisme ... 12
2. Filsafat Nihilisme ... 16
BAB III... 23
KESIMPULAN ... 23
A. Simpulan ... 23
B. Saran ... 24
DAFTAR PUSTAKA ... 25
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Filsafat ilmu ialah bagian filsafat yang mengkaji hakikat ilmu, atau ilmu yang membahas landasan ilmu secara filsafat (Mansur 2018:40).
Widyawati (2013:94) berpendapat bahwa, “peran Filsafat Ilmu adalah untuk menjelaskan hakikat ilmu yang mempunyai banyak keterbatasan, sehingga dapat diperoleh pemahaman yang padu mengenai berbagai fenomena alam yang telah menjadi objek ilmu itu sendiri, selain itu filsafat ilmu juga dapat melatih cara berfikir menjadi lebih kritis”. Atmaja (2020:20) menegaskan, “peran Filsafat Ilmu sangat penting untuk memberikan Batasan secara realistis dan logis untuk mengembangkan ilmu pengetahuan agar tidak merugikan manusia, alam, dan lingkungan”.
Pemahaman mendasar mengenai Filsafat Ilmu diharapkan akan berguna untuk memberi arah dan dasar dalam menentukan kebijakan-kebijakan yang mengatur kepentingan masyarakat secara umum, maupun yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan di masa mendatang (Astuti 2020:3). Filsafat pada hakikatnya bukan hanya mengajarkan manusia untuk berpikir kritis tetapi juga berpikir secara mendalam (Rosichin 2019:37). Menurut Putra dan Amalia (2020:58) berpikir kritis sendiri sudah menjadi salah satu kompetensi yang wajib dicapai untuk mengkonstruksi pengetahuan mahasiswa. Poedjidi dan Al-Muchtar
2
(2015:13) mengungkapkan, “para ahli filsafat telah banyak memberikan pengertian dan definisi tentang filsafat itu sendiri. Tetapi, terdapat keragaman dalam memberikan pengertian dan merumuskan definisi tersebut. Hal ini terjadi karena masing-masing ahli filsafat atau filsuf itu mempunyai konsep yang berbeda dengan filsuf yang lain dan memiliki dasar pemikiran dan pandangan yang berbeda pula.” Oleh karenanya, untuk memudahkan penyampaian dan penafsiran terhadap materi yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik, diperlukanlah suatu media pembelajaran (Pratama 2018:187).
Filsafat mengajarkan mahasiswa untuk menyadari betapa pentingnya kegiatan berpikir secara optimal, cermat dan kritis (Wahana 2017:133).
Menurut Tafonao (2018:103) salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan minat dan motivasi belajar mahasiswa adalah dengan mengembangkan media pembelajaran yang menarik. Karakteristik materi filsafat yang bersifat konsep teoritis dan memerlukan pemahaman yang tinggi membutuhkan media pembelajaran yang lebih interaktif untuk mendukung peserta didik dalam memahami materi (Mardiana, Isa, dan Ningsih 2020:140). Sedangkan, media pembelajaran yang digunakan pada mata kuliah Filsafat Ilmu adalah media presentasi kovensional dan penggunaanya masih bergantung pada cara dosen dalam menerangkan materi tersebut. Pada media pembelajaran juga belum tersedianya evaluasi pembelajaran berupa kuis untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman mahasiswa. hal tersebut menyebabkan media pembelajaran yang
3
digunakan kurang dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk pembelajaran secara mandiri di rumah. Oleh karena itu, dengan pengembangan media pembelajaran pada mata kuliah Filsafat Ilmu diharapkan dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar mahasiswa untuk melakukan pembelajaran secara mandiri di rumah.
Rangkuman materi ini juga diharapkan menjadi salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan yang dialami oleh pembaca pada mata kuliah filsafat ilmu mengenai ontologi, epistimologi, dan aksiologi ilmu pengetahuan filsafat ilmu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka rumusalan masalah yang adalah bagaimana memahami ontologi, epistimologi, dan aksiologi dalam pandangan atau paham filsafat ilmu?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya makan tujuan penulisan ringkasan materi ini adalah untuk mendiskripsikan ontologi, epistimologi, dan aksiologi dalam pandangan atau paham filsafat ilmu.
4 BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Ontologi, Epistimologi, dan Aksiologi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai proses kegiatan untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Dengan kata lain, apapun yang tergolong ilmu disebut sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metodologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian, ilmu telah teruji kebenaran ilmiahnya dan telah memenuhi kesahihannya karena diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, dan telah diuji kebenarannya.
Jika berbicara tentang filsafat ilmu, maka terlebih dahulu harus memahami tiga aspek atau landasan berpikir filsafat. Ketiga aspek berfilsafat diantaranya ada ontologi, epistemologi dan aksiologi. Jika melihat ketiga landasan tersebut, ilmu memiliki bagian-bagian tertentu. Di dalam ilmu ada objek, pernyataan, proposisi, dan karakteristik dimana keempat aspek tersebut yang sebenarnya disoroti oleh tiga landasan berpikir filsafat mengenai ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Filsafat ilmu memberikan kekuatan bagi perkembangan
5
serta kemajuan suatu ilmu dan sekaligus nilai moral yang terkandung dalam setiap ilmu baik itu dalam tataran ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Setiap jenis ilmu pengetahuan pastinya memiliki ciri-ciri yang spesifik untuk menjawab apa (ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) suatu ilmu pengetahuan itu disusun. Ketiga aspek dalam berpikir filsafat antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi saling berhubungan satu sama lain. Jika berbicara tentang epistemologi ilmu, maka harus dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu juga.
Dengan demikian, ontologi ilmu berkaitan dengan epistemologi ilmu, dan epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu begitu seterusnya. Hal ini dikarenakan dalam membahas dimensi kajian filsafat ilmu didasarkan pada model berpikir sistematik sehingga harus selalu dikaitkan. Oleh karenanya, tidak mungkin ketiganya antara ontologi, epistemologi, dan aksiologi terlepas satu sama lain.
1. Ilmu ditinjau Secara Ontologi
Secara bahasa, ontologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya adalah “Ontos” dan “Logos”. Ontos adalah “yang ada”
sedangkan Logos adalah “ilmu”. Sederhananya, ontologi merupakan ilmu yang berbicara tentang yang ada. Secara istilah, ontologi adalah cabang dari ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat hidup
6
tentang suatu keberadaan yang meliputi keberadaan segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada.
Ontologi kerap kali diidentikkan dengan metafisika. Ontologi merupakan cabang ilmu filsafat yang berhubungan dengan hakikat apa yang terjadi. Ontologi menjadi pembahasan yang utama dalam filsafat, dimana membahas tentang realitas atau kenyataan. Pada dasarnya ontologi berbicara asas-asas rasional dari yang ada atau disebut suatu kajian mengenai teori tentang “ada”, karena membahas apa yang ingin diketahui dan seberapa jauh keingintahuan tersebut. Menurut Jujun S.
Suriasumantri menjelaskan bahwa pokok dari permasalahan yang menjadi objek kajian dari filsafat awalnya meliputi logika, etika, metafisika, dan politik yang kemudian banyak berkembang hingga menjadi cabang-cabang dari filsafat yang mempunyai bidang kajian lebih spesifik lagi yang kemudian disebut sebagai filsafat ilmu. Kata ilmu itu sendiri berasal dari Bahasa Arab yaitu dari asal kata Alima yang artinya “pengetahuan”. Dalam Bahasa Indonesia, Ilmu dikenal dengan istilah Science yang berarti “pengetahuan”. Jadi, ilmu adalah pengetahuan.
Kajian ontologi dikaitkan dengan objek ilmu dalam pandangan Islam, terbagi menjadi dua yaitu: Pertama, objek ilmu yang bersifat materi, maksudnya adalah objek ilmu yang dapat didengar, dilihat, dan dirasakan. Contohnya ilmu sains, ilmu eksak, ilmu politik, sosial, budaya, psikologi, dan lain sebagainya. Kedua, objek ilmu yang
7
bersifat non-materi. Berlawanan dengan objek materi, pada non-materi ini tidak bisa didengar, dilihat, dan dirasakan. Hasil akhir dari objek non-materi ini lebih sebagai kepuasan spiritual. Contohnya objek yang berbicara tentang ruh, sifat dan wujud Tuhan. Ontologis dasarnya berbicara tentang hakikat “yang ada” ilmu pengetahuan, hakikat objek pengetahuan, dan hakikat hubungan subjek-objek ilmu. Bagaimana ilmu pengetahuan ditinjau secara ontologi maka pembahasannya adalah ontologi melakukan pemeriksaan, melakukan analisis terhadap ilmu pengetahuan berdasarkan apakah ilmu pengetahuan itu benarbenar ada atau tidak ada. Contohnya pada Manajemen Pendidikan Islam, secara ontologis maka pembahasannya itu terfokus pada Manajemen Pendidikan Islam itu benar-benar ada tidak, jangan hanya program studinya saja tapi sebenarnya ilmu yang diajarkan di dalamnya itu sebetulnya tidak berbeda dengan Manajemen Pendidikan pada umumnya.
Jadi ontologis mencoba membuktikan dan menelaah bahwa sebuah ilmu pengetahuan itu benar-benar dapat dibuktikan keberadaannya.
Ontologi ilmu meliputi seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji melalui pancaindra manusia. Ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti halnya bebatuan, binatang, tumbuhan, hewan, dan manusia.
Ilmu juga mempelajari berbagai gejala maupun peristiwa yang pada dasarnya memiliki manfaat bagi kehidupan manusia. Jika dilihat dari objek yang telah dikajinya, ilmu dapat disebut sebagai suatu
8
pengetahuan empiris dimana objek-objek yang berada di luar jangkauan manusia tidak termasuk ke dalam bidang kajian keilmuan tersebut.
Ontologi ini perlu bagi setiap manusia yang ingin mempelajari secara menyeluruh tentang alam semesta ini dan berguna bagi bidang studi ilmu empiris seperti fisika, sosiologi, antropologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, ilmu teknik dan lainnya). Ontologi merupakan hakikat apa yang dikaji atau ilmunya itu sendiri. Ontologi merupakan suatu teori tentang makna dari suatu objek pengetahuan.
Ontologi merupakan spesifikasi dari sebuah konseptual, dengan kata lain ontologi merupakan penjelasan dari suatu konsep dan keterhubungannya dari ilmu tersebut.
2. Ilmu ditinjau Secaara Epistimologi
Secara bahasa, epistemologi berasal dari Bahasa Yunani yang asal katanya Episteme artinya “pengetahuan” dan Logos artinya “ilmu”.
Secara istilah, epistemologi adalah suatu ilmu yang mengkaji tentang sumber pengetahuan, metode, struktur, dan benar tidaknya suatu pengetahuan tersebut. Epistemologi diartikan sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasarnya, serta penegasan bahwa seseorang memiliki pengetahuan. Azyumardi Azra menambahkan bahwa epistemologi sebagai ilmu yang membahas
9
tentang keaslian, pengertian, struktur, metode, dan validitas ilmu pengetahuan.
Jadi, epistemologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari tentang hal-hal yang berkaitan dengan pengetahuan dan dipelajari secara substantif. Ketika ontologi berusaha mencari secara reflektif tentang yang ada, berbeda epistemologi berupaya membahas tentang terjadinya dan kebenaran ilmu. Landasan epistemologi memiliki arti yang sangat penting bagi bangunan pengetahuan, karena menjadi tempat berpijak dimana suatu pengetahuan yang baik ialah yang memiliki landasan yang kuat.
Epistemologi merupakan nama lain dari logika material yang membahas dari pengetahuan. Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan yang mengkaji bagaimana mengetahui benda-benda.
Selain itu, epistemologi merupakan suatu doktrin filsafat yang lebih menekankan pada peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Karena pada dasarnya pengetahuan yang diperoleh menggunakan indra hasil tangkapannya secara aktif diteruskan dan ditampilkan oleh akal. Pengetahuan ini yang berusaha menjawab dari pertanyaan-pertanyaan seperti bagaimana cara manusia memperoleh dan menangkap pengetahuan dan jenisnya.
10
Epistemologi menganggap bahwa setiap pengetahuan manusia merupakan hasil dari pemeriksaan dan penyelidikan benda hingga akhirnya dapat diketahui manusia. Dengan demikian, jelaslah bahwa epistemologi ini membahas tentang sumber, proses, syarat, batas fasilitas, dan hakikat pengetahuan yang memberikan kepercayaan dan jaminan dari kebenarannya.
3. Ilmu ditinjau Secaara Aksiologi
Aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti nilai dan logos yang berarti ilmu. Sederhananya aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Aksiologis dasarnya berbicara tentang hubungan ilmu dengan nilai, apakah ilmu bebas nilai dan apakah ilmu terikat nilai.
Karena berhubungan dengan nilai maka aksiologi berhubungan dengan baik dan buruk, berhubungan dengan layak atau pantas, tidak layak atau tidak pantas. Ketika para ilmuwan dulu ingin membentuk satu jenis ilmu pengetahuan maka sebenarnya dia harus atau telah melakukan uji aksiologis. Contohnya apa gunanya ilmu Manajemen Pendidikan Islam yaitu kajian-kajian aksiologi yang membahas itu.
Jadi pada intinya kajian aksiologi itu membahas tentang layak atau tidaknya sebuah ilmu pengetahuan, pantas atau tidaknya ilmu pengetahuan itu dikembangkan. Kemudian aksiologi ini juga yang melakukan pengereman jika ada ilmu pengetahuan tertentu yang memang tingkat perkembangannya begitu cepat, sehingga pada
11
akhirnya nanti akan mendehumanisasi atau membuang nilai-nilai yang dipegang kuat oleh umat manusia.
Aksiologi memberikan manfaat untuk mengantisipasi perkembangan kehidupan manusia yang negatif sehingga ilmu pengetahuan tetap berjalan pada jalur kemanusiaan. Daya kerja dari aksiologi diantaranya yaitu: Pertama, menjaga dan memberi arah agar proses keilmuan dapat menemukan kebenaran yang hakiki, maka perilaku keilmuan perlu dilakukan dengan penuh kejujuran dan tidak berorientasi pada kepentingan langsung. Kedua, dalam pemilihan objek penelaahan dapat dilakukan secara etis yang tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, tidak mencampuri masalah kehidupan dan netral dari nilai-nilai yang bersifat dogmatik, arogansi kekuasaan dan kepentingan politik. Ketiga, pengembangan pengetahuan diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup yang memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta keseimbangan, kelestarian alam lewat pemanfaatan ilmu dan temuantemuan universal.
B. Pandangan atau Paham yang Terdapat dalam Filsafat Ilmu
Dalam filsafat ilmu ada banyak pandangan atau paham yang dikemukakan oleh para ahli atau filsuf. Berikut dua pandangan atau paham yang ada dalam filsafat ilmu yang dapat penulis rangkum yaitu filsafat pesimisme dan filsafat nihilisme:
12 1. Filsafat Pesimisme
Arthur Schopenhauer adalah seorang filsuf Jerman abad ke-19 yang terkenal dengan pandangannya yang pesimis terhadap kehidupan.
Dalam karyanya, yang terdapat dalam bukunya yang terkenal, "The World as Will and Representation" ("Dunia sebagai Kemauan dan Representasi") berikut ontologi yang dimaksud:
a. Kemauan (Will)
Pemahaman utama Arthur Schopenhauer tentang kenyataan adalah konsep kemauan. Ia meyakini bahwa pada dasarnya, kenyataan ini didorong oleh kekuatan yang ia sebut sebagai "kemauan.“
Schopenhauer melihat kemauan ini sebagai sumber penderitaan dan ketidakpuasan, karena keinginan tak terbatas tidak pernah sepenuhnya terpenuhi.
b. Penderitaan (Suffering)
Arthur Schopenhauer menganggap penderitaan sebagai bagian integral dari kehidupan. Menurutnya, keinginan tak terbatas manusia menyebabkan penderitaan, karena keinginan ini tidak bisa pernah sepenuhnya dipuaskan. Oleh karena itu, kehidupan dianggap sebagai derita yang tak terhindarkan.
c. Niat dan Kehendak (Intention and Will):
Arthur Schopenhauer menyatakan bahwa apa yang tampak sebagai objek dalam dunia fisik sebenarnya adalah representasi dari kehendak
13
atau niat yang lebih dalam. Dunia fisik ini merupakan "kristal yang membeku" dari kehendak. Oleh karena itu, pemahaman sejati tentang dunia memerlukan introspeksi dan pemahaman akan kehendak yang mendasarinya.
d. Moksha atau Nirwana (Release or Nirvana):
Arthur Schopenhauer terinspirasi oleh filosofi Hindu, khususnya konsep moksha atau pembebasan dari siklus reinkarnasi. Baginya, pembebasan dari ikatan kemauan adalah tujuan tertinggi kehidupan manusia. Ini dapat dicapai melalui penolakan keinginan dan pencarian kebijaksanaan serta penerimaan terhadap keadaan yang ada.
Berikut epistimologi filsafat pesimisme:
a. Keterbatasan Pengetahuan
Pemikiran pesimis cenderung menekankan keterbatasan pengetahuan manusia. Arthur Schopenhauer, misalnya, menyatakan bahwa dunia yang kita kenal adalah representasi dari kemauan, dan pengetahuan manusia terbatas pada aspek-aspek fenomenal atau yang muncul dari dunia tersebut.
b. Subyektivitas dan Pengaruh Emosional
Pemikiran pesimis dapat mencerminkan pandangan bahwa pengetahuan bersifat subyektif dan dapat dipengaruhi oleh faktor- faktor emosional. Arthur Schopenhauer menekankan pentingnya
14
pengaruh kemauan atau keinginan dalam membentuk persepsi kita terhadap dunia. Keinginan dan emosi dapat merusak penilaian rasional dan memberikan warna pada cara kita memahami realitas.
c. Penderitaan sebagai Sumber Pemahaman
Arthur Schopenhauer: Penderitaan dianggap sebagai aspek yang melekat pada eksistensi manusia dan dapat memberikan wawasan atau pengertian yang lebih mendalam terhadap sifat kenyataan. Dalam konteks ini, pengalaman penderitaan dapat menjadi sumber pengetahuan yang unik.
d. Kritisisme terhadap Kebenaran Objektif Mutlak
Pemikiran pesimis cenderung bersifat skeptis terhadap ide kebenaran objektif mutlak. Arthur Schopenhauer dan filsuf pesimis lainnya mungkin meragukan kemampuan manusia untuk mencapai pengetahuan yang sepenuhnya bebas dari bias atau terbatas oleh sudut pandang dan keterbatasan indera manusia.
Berikut aksiologi dari filsafat pesimisme:
a. Penghormatan Terhadap Penderitaan
Dalam konteks aksiologi, ini dapat mengarah pada pandangan bahwa nilai etika atau moralitas perlu mencerminkan empati terhadap penderitaan dan mengakui kenyataan bahwa kehidupan sering kali penuh dengan kesulitan dan kegagalan.
15 b. Penolakan terhadap Hedonisme
Pemikiran pesimis, seperti yang diwakili oleh Arthur Schopenhauer, menolak pandangan hedonistik yang menganggap kenikmatan sebagai tujuan tertinggi. Sebaliknya, aksiologi pesimisme mungkin menekankan pentingnya menghindari penderitaan dan kegagalan lebih daripada mencari kenikmatan semata.
c. Ethisitas dan Keterlibatan Altruistik
Filsuf pesimis menekankan etisitas atau moralitas tindakan-tindakan altruistik, di mana individu mendedikasikan diri untuk membantu orang lain, terlepas dari penderitaan atau ketidaknyamanan yang mungkin mereka hadapi. Eksistensi penuh penderitaan dapat menjadi panggilan untuk bertindak secara etis terhadap sesama.
d. Keterlibatan dalam Kebijaksanaan dan Kontemplasi
Dalam aksiologi filsafat pesimisme, nilai dapat ditemukan dalam kebijaksanaan dan refleksi yang mendalam tentang kehidupan.
Pemikiran kontemplatif dan pencarian makna dapat menjadi nilai-nilai penting, meskipun realitas kehidupan dianggap sulit dan penuh penderitaan.
e. Penerimaan terhadap Keterbatasan Manusia
Aksiologi pesimisme mencerminkan penerimaan terhadap keterbatasan manusia dalam mencapai tujuan-tujuan tinggi atau
16
pencapaian yang besar. Penilaian moral dapat melibatkan pengakuan bahwa manusia, karena sifat kemauan dan kondisi hidup, sering kali terbatas dalam upaya mereka untuk mencapai kebaikan mutlak.
2. Filsafat Nihilisme
Ontologi Filsafat Nihilisme
Ontologi adalah cabang filsafat yang mempertanyakan hakikat eksistensi, kenyataan, dan hubungan antara yang ada. Berbagai pandangan dan definisi tentang ontologi telah diajukan oleh berbagai ahli filsafat. Berikut adalah beberapa pandangan dari beberapa ahli filsafat terkemuka:
a. Parmenides
Parmenides adalah filsuf Yunani kuno yang menekankan pada eksistensi yang tak berubah dan abadi. Bagi Parmenides, realitas sejati adalah satu dan bersifat tetap, sedangkan dunia yang kita lihat adalah ilusi.
b. Plato
Plato membagi dunia menjadi dua bagian: dunia idea atau dunia bentuk yang abadi dan konstan, serta dunia fenomena yang berubah- ubah. Bagi Plato, realitas sejati terletak pada dunia idea.
c. Aristoteles
Aristoteles, murid Plato, mengembangkan konsep ontologisnya sendiri. Baginya, substansi adalah hakikat suatu benda. Ia
17
membedakan antara substansi (substantia) dan atribut (accidens) dalam analisis ontologisnya.
d. Martin Heidegger
Heidegger mengembangkan ontologi eksistensialnya, menekankan pada pemahaman eksistensi manusia dalam konteks temporal. Ia berfokus pada "Dasein" (ada di sana) dan hubungan manusia dengan dunia.
e. Friedrich Nietzsche
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf Jerman abad ke-19, memiliki pandangan ontologis yang unik, terutama dalam konteks nihilisme.
Berikut adalah beberapa poin kunci ontologi nihilisme menurut Nietzsche:
1) Kematian Tuhan
Konsep sentral dalam ontologi Nietzsche adalah "kematian Tuhan."
Nietzsche menyatakan bahwa masyarakat Barat telah kehilangan keyakinan pada nilai-nilai tradisional, terutama setelah kematian Tuhan sebagai sumber nilai-nilai mutlak. Dengan kehilangan landasan metafisika ini, manusia menghadapi kekosongan makna.
2) Ketidakbermaknaan dan Kehampaan
Nietzsche melihat dunia setelah kematian Tuhan sebagai dunia yang hampa dan tanpa makna inheren. Nihilisme dianggap sebagai pengakuan akan ketidakbermaknaan eksistensi dan kekosongan nilai-nilai tradisional.
3) Pemutusan pada Kreativitas dan Kekuatan Kreatif
Meskipun Nietzsche mengidentifikasi nihilisme sebagai tantangan serius, ia juga menyatakan bahwa nihilisme membuka peluang untuk
18
menciptakan nilai-nilai baru. Ia menyoroti kekuatan kreatif individu untuk menciptakan makna dan nilai dalam kehidupan mereka.
4) Kritik Terhadap MMetafisika dan Kausalitas
Nietzsche mencurigai ketergantungan pada kausalitas dan metafisika sebagai bentuk pengetahuan yang memberikan jaminan akan kebenaran dan nilai. Ia menolak pandangan deterministik dan menyatakan bahwa dunia tidak memiliki tujuan atau arti intrinsik.
5) Voluntarisme dan Kekuatan Kehendak
Nietzsche menekankan peran kekuatan kehendak (will to power) dalam menentukan makna dan arah hidup. Kekuatan kreatif manusia untuk mengubah dan menciptakan nilai-nilai baru adalah elemen sentral dalam ontologi Nietzsche.
6) Pendekatan Perspektivisme
Nietzsche mengusulkan pendekatan perspektivisme, di mana realitas dipahami sebagai hasil dari berbagai interpretasi dan perspektif. Tidak ada pandangan objektif yang mutlak, melainkan sejumlah interpretasi yang tergantung pada sudut pandang masing-masing individu.
Dari beberapa pendapat para ahli yang telah dijelaskan di atas dapat disimpulkan ontologi paham nihilisme adalah segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada artinya akan tetapi kita sebagai individu memiliki kuasa untuk mencari sendiri makna, nilai, dan tujuan hidup sesuai keingan kita tanpa merugikan diri sendiri dan orang lain.
Epistimologi Filsafat Nihilisme
Epistemologi filsafat nihilisme, dalam konteks pemikiran Friedrich Nietzsche, melibatkan pertimbangan tentang pengetahuan, kebenaran, dan dasar-dasar pengertian dalam situasi ketika nilai-nilai tradisional
19
runtuh. Berikut adalah beberapa aspek epistemologi nihilisme menurut Nietzsche:
a. Ketidakpastian Pengetahuan
Nihilisme Nietzsche menolak kepastian pengetahuan mutlak.
Dengan kematian Tuhan dan keruntuhan nilai-nilai tradisional, kepastian objektif menjadi sulit dicapai. Pengetahuan dianggap sebagai konstruksi sosial dan individu yang rentan terhadap perubahan.
b. Pertanyaan terhadap Kebenaran Objektif
Nietzsche meragukan eksistensi kebenaran objektif yang tetap.
Dengan kematian Tuhan, ia menyatakan bahwa kebenaran menjadi relatif dan tergantung pada interpretasi dan perspektif masing-masing individu. Pandangan ini terkait erat dengan konsep perspektivisme.
c. Pemusatan pada Pengalaman subyektif
Nihilisme Nietzsche mengarah pada pemusatan pada pengalaman subyektif. Pengetahuan dianggap sebagai hasil dari interpretasi individu yang dipengaruhi oleh latar belakang, nilai-nilai, dan pengalaman pribadi. Dengan demikian, pemahaman tentang kebenaran menjadi terkait erat dengan pengalaman subyektif.
d. Pencarian Makna Melalui Kreativitas
Dalam epistemologi nihilisme, Nietzsche menyoroti bahwa manusia dapat mencapai pemahaman dan makna melalui kreativitas dan kekuatan kehendak (will to power). Meskipun nilai-nilai tradisional runtuh, individu memiliki kemampuan untuk menciptakan nilai-nilai baru dan memberikan arti pada kehidupan mereka.
e. Penolakan Terhadap Dasar Metafisika
20
Nietzsche menolak dasar-dasar metafisika tradisional sebagai landasan pengetahuan. Pandangan deterministik dan keyakinan pada kausalitas dianggap tidak relevan dalam situasi nihilisme. Pengetahuan tidak lagi dilihat sebagai refleksi dari realitas objektif yang tetap.
f. Eksistensi dan Pengalaman Hidup
Pemikiran Nietzsche menciptakan jembatan dengan eksistensialisme, di mana pengetahuan dan makna hidup tidak dapat dipisahkan dari pengalaman eksistensial individu. Pengalaman hidup individu menjadi kunci untuk pemahaman dan pengetahuan yang bermakna.
g. Pendekatan Terhadap Kritik dan Refleksi
Dalam epistemologi nihilisme, kritik dan refleksi dihargai sebagai cara untuk memahami dan menciptakan pengetahuan yang bermakna.
Kebebasan untuk menilai, menilai, dan merenung dianggap sebagai langkah penting dalam mencapai pemahaman.
Pandangan Nietzsche tentang epistemologi nihilisme menekankan pada ketidakpastian, subjektivitas, dan potensi kreatif manusia dalam situasi pascakematian Tuhan dan nihilisme.
Aksiologi Filsafat Nihilisme
Dalam konteks filsafat nihilisme, aksiologi berkaitan dengan pertimbangan mengenai nilai dan etika dalam situasi di mana nilai-nilai tradisional dianggap runtuh atau kehilangan keabsahan. Friedrich Nietzsche, sebagai salah satu tokoh yang memperkenalkan konsep nihilisme, memiliki pandangan khusus mengenai aksiologi. Berikut beberapa poin kunci aksiologi nihilisme menurut Nietzsche:
a. Kritik terhadap Moral Tradisional
Nietzsche secara konsisten mengkritik moralitas tradisional, terutama moralitas Kristen yang dianggapnya sebagai pengekangan terhadap
21
kebebasan dan kreativitas manusia. Bagi Nietzsche, moralitas tradisional cenderung menghargai kelemahan dan patuh pada otoritas, yang bertentangan dengan visinya tentang kekuatan dan kebebasan kreatif.
b. Moralitas sebagai Produk Budaya
Aksiologi nihilisme Nietzsche menunjukkan bahwa nilai-nilai moral adalah konstruksi budaya. Moralitas dihasilkan oleh masyarakat dan digunakan untuk menjaga tatanan sosial. Dengan runtuhnya nilai-nilai tradisional, Nietzsche memandang bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menciptakan nilai-nilai baru sesuai dengan kehendak kreatif mereka.
c. Pemujaan Kekuatan dan Kreativitas
Nietzsche menekankan pemujaan terhadap kekuatan dan kreativitas dalam aksiologi nihilisme. Ia menggagas agar manusia melampaui konsep moral yang menghormati kelemahan dan patuh pada otoritas, dan sebaliknya, mengejar kehidupan yang dipenuhi oleh kekuatan, kebebasan, dan penciptaan nilai-nilai baru.
d. Ubermensch (Superhuman) dan Transvaluasi Nilai
Konsep Übermensch atau Superhuman dalam aksiologi Nietzsche menyoroti pentingnya transvaluasi nilai. Übermensch adalah individu yang mampu menilai kembali dan menciptakan nilai-nilai baru yang bersifat lebih pribadi, kreatif, dan sesuai dengan kehendak kehidupannya.
e. Pandangan Terhadap Kebenaran dan Kehendak Berkuasa
Dalam aksiologi nihilisme, Nietzsche menyoroti bahwa kebenaran dan moralitas harus dilihat sebagai alat untuk mengejar kehendak untuk berkuasa. Kebenaran dan moralitas harus dapat melayani kekuatan dan kreativitas manusia, bukan menjadi pembatas atau pengekang.
f. Kritik Terhadap Konsep Dosanya
22
Nietzsche menantang konsep dosa dalam aksiologi. Baginya, dosa lebih bersifat kultural dan moral, bukan suatu kenyataan yang absolut.
Penilaian moral tradisional tentang dosa dianggap sebagai kendala terhadap ekspresi kebebasan dan kekuatan individu.
Pandangan Nietzsche tentang aksiologi nihilisme menegaskan kebebasan kreatif manusia untuk menentukan nilai-nilai mereka sendiri dan menolak nilai-nilai yang diberlakukan oleh otoritas luar. Baginya, pemahaman dan penciptaan nilai harus didasarkan pada kekuatan, kreativitas, dan kebebasan individual.
23 BAB III KESIMPULAN A. Simpulan
Filsafat ilmu adalah dasar yang menjiwai proses kegiatan untuk memperoleh pengetahuan secara ilmiah. Dengan kata lain, apapun yang tergolong ilmu disebut sebagai ilmu pengetahuan. Ilmu yaitu akumulasi pengetahuan yang telah disistematisasi dan diorganisasi sehingga memenuhi asas pengaturan secara prosedural, metodologis, teknis, dan normatif akademis. Dengan demikian, ilmu telah teruji kebenaran ilmiahnya dan telah memenuhi kesahihannya karena diperoleh secara sadar, aktif, sistematis, jelas prosesnya secara prosedural, metodis dan teknis, tidak bersifat acak, dan telah diuji kebenarannya. Berikut ontologi, epistimologi, dan aksiologi yang teerdapat dalam filsafat pesimisme dan nihilisme:
Ontologi dalam filsafat pesimisme yang dipelopori oleh Arhtur Schopenhauer antara lain, kemauan (will), penderitaan (suffering), niat dan kehendak (intention and will), dan moksha atau nirwana (release or nirvana). Epistimologi filsafat pesimisme antara lain, kerbatasan pengetahuan, subyektivitas dan pengaruh emosional, penderitaan sebagai sumber pemahaman, dan kritisme terhadap kebenaran objektif mutlak.
Aksiologi filsafat pesimisme antara lain, penghormataan terhadap penderitaan, penolakan terhadap hedonisme, ethisita dan keterlibatan
24
altruistik, keterlibatan dalam kebijaksanaan kontemplasi, dan penerimaan terhadap keterbatasan manusia.
Ontologi yang terdapat dalam filsafat nihilisme yang dipelopori olehFriederich Nietzsche antara lain, kematian Tuhan, pendekatan perspektivisme, ketidakbermaknaan dan kehampaan, pemutusan pada kreativitas dan kekuatan kreatif, kritik terhadap mmetafisika dan kausalitas, voluntarisme dan kekuatan kehendak, dan pendekatan perspektivisme.
Epistimologi filsafat nihilism antara lain, ketidakpastian pengetahuan, pertanyaan terhadap kebenaran objektif, pemusatan pada pengalaman subyektif, pencarian makna melalui kreativitas, penolakan terhadap dasar metafisika, eksistensi dan pengalaman hidup, dan pendekatan terhadap kritik dan refleksi,
B. Saran
Penulis menyadari kekurangan dalam penulisan rangkuman materi ini maka dari itu penulis meminta saran dan ktritik yang membangun untuk perbaikan rangkuman materi ini. Demikian rangkuman materi mengenai filsafat pesimisme dan filsafat nihilisme, penulis ucapkan terima kasih.
25
DAFTAR PUSTAKA
Adib, Mohammad. 2021. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistimologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan Edisi ke-3 (Revisi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Camus, Albert. (1951) "The Rebel" (L'Homme révolté). Terjemahan Inggris oleh Anthony Bower, Vintage, 1991.
Heidegger, Martin. (1927) "Being and Time" (Sein und Zeit). Terjemahan Inggris oleh John Macquarrie dan Edward Robinson, HarperPerennial, 2008.
Nietzsche, Friedrich. (1882) "The Gay Science" (Die fröhliche Wissenschaft).
Terjemahan Inggris oleh Walter Kaufmann, Vintage, 1974.
Nietzsche, Friedrich. (1887) "Thus Spoke Zarathustra" (Also sprach Zarathustra). Terjemahan Inggris oleh Walter Kaufmann, Penguin, 1969.
Rokhmah, Dewi. Ilmu Dalam Tinjauan Filsafat: Ontologi, Epistemologi, Dan Aksiologi. CENDEKIA: Jurnal Studi Keislaman. Diakses Desember 2023.
https://media.neliti.com/media/publications/389275-none-a1ba1d1f.pdf.
Sartre, Jean-Paul. (1943) "Being and Nothingness" (L'Être et le Néant).
Terjemahan Inggris oleh Hazel E. Barnes, Washington Square Press, 1992.