• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFERAT CHRONIC KIDNEY DISEASE

N/A
N/A
rahayu

Academic year: 2023

Membagikan "REFERAT CHRONIC KIDNEY DISEASE"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT

CHRONIC KIDNEY DISEASE

Pembimbing:

dr. Christy Efiyanti, SpPD.

Disusun Oleh:

Rahayu Dwi Astuti - 112022251

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA PERIODE 28 AGUSTUS – 04 NOVEMBER 2023

RUMAH SAKIT FMC 2023

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul : CHRONIC KIDNEY DISEASE

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam RS FMC periode 28 Agustus – 04 November 2023

Disusun oleh:

Rahayu Dwi Astuti 112022251

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Christy Efiyanti, SpPD.

selaku dokter pembimbing Departemen Penyakit Dalam RS FMC

Jakarta, September 2023

dr. Christy Efiyanti, SpPD.

(3)

BAB I PENDAHULUAN

Ginjal merupakan salah satu organ yang penting dalam eliminasi obat dan metabolismenya dari dalam tubuh. Namun, gangguan pada ginjal tidak hanya mempengaruhi ekskresi obat dan matabolismenya, tetapi juga mempengaruhi seluruh proses farmakokinetik (PK) berupa perubahan pada distribusi, transportasi dan biotransformasi senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya. Di sisi lain, farmakodinamik (PD) obat juga dapat dipengaruhi oleh gangguan pada ginjal, seperti pada Chronic Kidney Disease (CKD) (Verbeeck dan Musuamba, 2009).

CKD merupakan suatu problem kesehatan yang serius pada 2 abad terakhir dan merupakan suatu masalah yang berakibat fatal (USRDS, 2010).

Secara global, insidensi CKD pada anak-anak dilaporkan sekitar 12,1 kasus per satu juta anak-anak (Ardissino et al., 2003). Data tersebut jauh lebih rendah dari pada prevalensi pada orang dewasa. CKD telah menyebabkan angka kesakitan yaitu sekitar 5-10 % dari populasi dewasa penduduk Amerika (Coresh et al. 2007) dan 1,9-2,3 juta penduduk Kanada (Stigant et al., 2003). Pada tahun 2000 estimasi kematian yang diakibatkan oleh CKD adalah sekitar 19,5 % dari jumlah kesakitan (Reddan et al., 2003). Studi lain pada tahun 1999-2004 menunjukan angka kejadian CKD adalah sekitar 6,71 % penduduk dunia (Stevens et al., 2011).

Rata-rata, pasien dengan CKD menerima setidaknya 7 macam obat berbeda untuk mengontrol tidak hanya penyakit yang mendasarinya (seperti diabetes) tetapi juga gejala-gejala yang terkait dengan gangguan fungsi ginjal yang dialaminya (contohnya anemia). Frekuensi mengalami efek samping obat meningkat sejalan dengan jumlah obat yang digunakan, derajat gagal ginjal, usia pasien dan juga banyaknya faktor komorbid yang mempengaruhi (Kappel dan Calissi, 2002). Oleh karena itu, pada tulisan ini akan ditinjau mengenai CKD dengan tujuan didapatkan pemahaman yang baik mengenai CKD termasuk pertimbangan dalam pemberian dosis obat. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat memberikan perawatan kepada pasien secara aman dan efektif.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A DEFINISI

Penyakit ginjal kronik atau Chronic Kidney Disease (CKD) adalah abnormalitas struktur atau fungsi ginjal, yang terjadi dalam waktu lebih dari 3 bulan dengan implikasi bagi kesehatan. Penambahan 'dengan implikasi bagi kesehatan' dimaksudkan untuk mencerminkan gagasan bahwa berbagai kelainan struktur atau fungsi ginjal mungkin ada, tetapi tidak semua memiliki implikasi untuk kesehatan individu, dan karena itu perlu kontekstual (KDIGO, 2013).

Kerusakan ginjal mengacu pada berbagai kelainan yang diamati dengan penilaian klinis, yang mungkin tidak sensitif dan non-spesifik untuk penyebab penyakit tetapi bisa mendahului penurunan fungsi ginjal. Fungsi ekskresi, endokrin dan metabolisme menurun bersama-sama di sebagian penyakit ginjal kronik. GFR secara umum diterima sebagai indeks fungsi ginjal terbaik secara keseluruhan. Guideline mengacu pada GFR 60 ml / min / 1.73m2 sebagai penurunan GFR dan GFR 15 ml / min / 1.73m2 sebagai gagal ginjal. AKI dapat terjadi pada pasien dengan CKD dan mempercepat perkembangan ke gagal ginjal. Komplikasi termasuk toksisitas obat, metabolisme dan komplikasi endokrin, peningkatan risiko penyakit kardiovaskular, dan berbagai komplikasi baru lainnya yang sudah diakui, termasuk infeksi, kelemahan, dan komplikasi gangguan kognitif. Komplikasi dapat terjadi pada setiap stadium, sering menyebabkan kematian tanpa perkembangan gagal ginjal. Komplikasi juga mungkin timbul dari efek samping intervensi (KDIGO, 2013).

Penyakit ginjal kronik merupakan suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti

(5)

ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Dan ditandai dengan adanya uremia ( retensi urea dan sampah nitrogen lainnya dalam darah) (Sudoyo et al., 2014).

B KRITERIA

Menurut National Kidney Foundation KDIGO (2013), kriteria penyakit ginjal kronik (CKD) adalah:

Kriteria CKD (terjadi lebih dari 3 bulan)

Penanda kerusakan ginjal (1 atau lebih) - Albuminuria (AER ≥ 30mg/24 jam;

ACR ≥ 30mg/g (≥3 mg/mmol) - Abnormalitas sedimen urin

- Abnormalitas elektrolit atau lainnya yang berkaitan dengan gangguan tubulus

- Abnormalitas struktur yang dideteksi dari radiologi

- Riwayat transplantasi ginjal Penurunan

(GFR)

laju filtrasi glomerulus GFR < 60 ml/menit/1,73 m2

C KLASIFIKASI`

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan pada penyebab dan keparahannya, yang dapat digambarkan dengan GFR dan level albuminuria, yang mana GFR dan albuminuria ini dapat menunjukkan outcome termasuk mortalitas dan outcome ginjal. Faktor-faktor ini yang menjadi acuan dalam manajemen CKD (KDIGO,2013).

KDIGO juga menetapkan penyebab CKD berdasarkan ada tidaknya penyakit sistemik dan keadaan di dalam ginjal yang dapat diamati atau dianggap sebagai temuan patologis anatomi. Hal ini mengindikasikan bahwa yang terpenting sebagai seorang klinisi bukan hanya memastikan diagnosis

(6)

penyakit ginjal kronik, tetapi juga penyebabnya karena hal ini sangat penting untuk prognosis dan terapi.

Penyebab CKD didasarkan pada ada atau tidak adanya penyakit sistemik yang mendasari dan kelainan patologi anatomi. Perbedaan antara penyakit sistemik yang mempengaruhi ginjal dan penyakit ginjal primer didasarkan pada asal dan perjalanan atau proses terjadinya penyakit tersebut.

Pada penyakit ginjal primer proses timbul dan terbatas pada ginjal sedangkan pada penyakit sistemik, ginjal hanyalah salah satu akibat dari proses tertentu, misalnya diabetes mellitus. Penyakit genetik tertentu dapat mempengaruhi jaringan yang berbeda, misalnya, penyakit ginjal polikistik dewasa.

Penemuan kelainan patologi anatomi didasarkan pada besarnya proteinuria, temuan dari pemeriksaan sedimen urin, radiologi, dan patologi ginjal (KDIGO, 2013).

Klasifikasi CKD berdasarkan ada atau tidaknya penyakit sistemik dan lokasi penemuan kelainan patologi anatomi

Contoh penyakit sistemik yang berdampak pada ginjal

Contoh penyakit ginjal primer (tidak ada penyakit sistemik yang berdampak pada ginjal) Penyakit

glomerulus

DM, penyakit sistemik autoimun, infeksi sistemik, obat, neoplasia (termasuk amiloidosis)

Difus, fokal atau kresentik proliferatif GN, fokal dan segmental

glomerulosklerosis, nefropati membran Penyakit

tubulointerstisial

Infeksi sistemik, autoimun, sarkoidosis, obat, toksin lingkungan (asam aristolokik), neoplasia (myeloma)

ISK, batu, obstruksi

Penyakit vaskular Aterosklerosis,

hipertensi, iskemia,

ANCA-yang berhubungan dengan vaskulitis ginjal,

(7)

emboli kolesterol, vaskulitis sistemik, mikroangiopati

trombotik, sklerosis sistemik

displasia fibromuskular

Kista dan

penyakit kongenital

Penyakit ginjal

polikistik, sindrom alport, penyakit Fabry

Displasia ginjal, penyakit

kista medular,

podositopati ANCA: Antineutrophil Cytoplasmic Antibody

Sesuai rekomendasi The National Kidney Foundation Kidney Disease Improving Global Outcome (NKF-KDIGO) tahun 2012, klasifikasi penyakit ginjal kronik menurut derajat penyakit di kelompokkan menjadi 5 derajat, dikelompokkan atas penurunan faal ginjal berdasarkan GFR, yaitu:

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Menurut Derajat Penyakit Derajat LFG (ml/menit/1,73 m2) Keterangan

G1 ≥90 Normal atau tinggi

G2 60-89 Menurun ringan

G3a 45-59 Menurun ringan-

sedang

G3b 30-44 Menurun sedang-berat

G4 15-29 Menurun berat

G5 <15 Gagal ginjal

Pengukuran GFR dengan inulin urinary clearance merupakan gold standrart, namun jarang dilakukan kecuali untuk maksud penelitian karena sulit dilakukan dalam praktek sehari-hari. Pengukuran GFR dengan substansi endogen berdasarkan kreatinin urinary clearance yang berasal dari urin tampung 24 jam. Namun juga memiliki keterbatasan karena sering terjadi kesalahan dalam pengumpulan, terpengaruh oleh penyakit penyerta dan terapinya, dan juga hasil yang didapat terlalu lama. Umumnya para klinisi menggunakan perhitungan GFR dengan mempergunakan rumus Kockcroft – Gault karena penggunaannya yang praktis. Selain itu juga dapat

(8)

menggunakan rumus MDRD, namun akhir-akhir ini yang sedang diperbincangkan adalah rumus CKD-EPI yang dirasa dapat menutupi kekurangan rumus-rumus sebelumnya dan lebih akurat (Matzke et al., 2011).

Perhatikan bahwa fungsi ginjal sedikit menurun (G2) tanpa adanya penanda lainnya, tidak merupakan CKD. Hubungan antara rendahnya kategori GFR dan risiko metabolik dan komplikasi endokrin membentuk dasar dari stratifikasi sebelumnya menjadi 5 stadium. Klasifikasi saat ini lebih lanjut mengakui pentingnya membagi stadium 3 berdasarkan data pendukung outcome yang berbeda dan profil risiko ke dalam kategori G3a dan G3B (Gambar 5). Sejumlah komplikasi lain yang terkait dengan menurunnya GFR termasuk infeksi, gangguan kognitif dan fungsi fisik, dan ancaman keselamatan pasien (KDIGO, 2013).

Klasifikasi CKD juga didasarkan pada kadar albuminuria, dimana CKD diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu:

Kategori albuminuria dalam CKD

AER: Albumin Excretion Rate, ACR: Albumin to creatinin Ratio Hubungan antara tingginya proteinuria dengan tanda dan gejala sindrom nefrotik telah dikenal baik. Deteksi dan evaluasi jumlah proteinuria yang lebih rendah telah menunjukkan signifikansi tambahan dalam beberapa

Kategori AER

(mg/24 jam)

ACR Keterangan

mg/mmol mg/g

A1 <30 <3 <30 Normal-meningkat

ringan

A2 30-300 3-30 30-300 Meningkat sedang

A3 >300 >30 >300 Meningkat berat

(9)

penelitian yang menunjukkan diagnostik, patogen, dan prognostik penting (KDIGO, 2013).

Untuk deteksi nefropati diabetik beberapa panduan merekomendasikan penggunaan ambang ACR yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan (masing-masing 425 mg / g [42,5 mg / mmol] dan 435 mg / g [43,5 mg / mmol]) untuk memperhitungkan variasi ekskresi kreatinin.

Ambang batas tunggal yang digunakan di Amerika Utara adalah (30 mg / g atau 3,4 mg / mmol). Sebelumnya KDIGO enggan untuk mengadopsi batas spesifik gender karena kompleksitas yang lebih besar, ketidakpastian tentang uji presisi, dan efek dari ras, etnis, diet dan ukuran tubuh pada pemeriksaan kreatinin. Untuk menyederhanakan, dan untuk mencerminkan fakta bahwa itu adalah sebuah pendekatan, 3,4 mg / mmol sebagai ambang batas pedoman dan saat ini telah dibulatkan ke 3,0 mg / mmol (KDIGO, 2013).

D ETIOLOGI

Dua penyebab utama penyakit gagal ginjal kronis adalah diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2 (44%) dan hipertensi (27%). Diabetes melitus adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah sehingga menyebabkan kerusakan pada organ-organ vital tubuh seperti ginjal dan jantung serta pembuluh darah, saraf dan mata. Sedangkan hipertensi merupakan keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah yang jika tidak terkontrol akan menyebabkan serangan jantung, stroke, dan penyakit ginjal kronik. Gagal ginjal kronik juga dapat menyebabkan hipertensi. Kondisi lain yang dapat menyebabkan gangguan pada ginjal antara lain (Kamaludin, 2010):

1 Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.

2 Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.

3 Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.

4 Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.

(10)

5 Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubuler ginjal.

6 Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.

7 Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbal 8 Nefropati obstruktif

a Sal. Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.

b Sal. Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra.

E FAKTOR RESIKO

Pada prinsipnya, faktor risiko perkembangan penyakit ginjal kronis akan mencakup faktor kerentanan (susceptibility factors) dan faktor inisiasi (initiation factors). Selain itu, karena mungkin sulit untuk mendeteksi timbulnya penyakit ginjal kronis, beberapa faktor perkembangan (progression factors) mungkin muncul menjadi kerentanan atau faktor inisiasi (initiation factors). Berbagai tinjauan pustaka dan ulasan mendaftar sejumlah besar faktor risiko potensial untuk penyakit ginjal kronis. Sulitnya mendeteksi tahap awal penyakit ginjal kronis membuat sulit untuk menentukan apakah faktor risiko yang diidentifikasi lebih berhubungan dengan kerentanan (susceptibility factors), inisiasi (initiation factors), atau perkembangan (progression factors) (KDOQI, 2002).

Berbagai faktor risiko pada Penyakit Ginjal Kronis

(11)

F EPIDEMIOLOGI

Menurut Global Burden of Disease study tahun 2010, penyakit ginjal kronis menduduki peringkat 27 dalam daftar penyebab kematian tertinggi di seluruh dunia pada tahun 1990, kemudian naik menjadi peringkat ke-18 pada tahun 2010 (Jha et al., 2013). PGK memiliki prevalensi global yang tinggi dengan estimasi prevalensi secara global antara 11 sampai 13% dengan mayoritas stage 3 (Hill et al., 2016). Lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia saat ini menerima pengobatan dengan dialisis atau transplantasi ginjal untuk bertahan hidup, namun angka ini mungkin hanya mewakili 10% dari orang- orang yang benar-benar membutuhkan pengobatan untuk hidup (Couser et al., 2011).

Di Amerika Serikat, data tahun 1995 – 1999 menyatakan insiden penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal

(12)

pertahunnya. Di negara – negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus perjuta penduduk pertahun.

Meskipun PGK terjadi pada semua ras, tingkat kejadian ESRD (end- stage renal disease) kalangan orang kulit hitam di Amerika Serikat hampir 4 kali lipat dibandingkan orang kulit putih (USRDS, 2015).

Dalam NHANES, distribusi GFR estimasi untuk setiap stage CKD adalah serupa pada kedua jenis kelamin. Namun demikian, pada laporan United States Renal Data System (USRDS) Tahun 2011, tingkat kejadian kasus ESRD (end-stage renal disease) dengan inisiasi hemodialisis pada tahun 2009 lebih tinggi pada laki-laki, dengan 415,1 per juta penduduk dibandingkan dengan 256,6 pada perempuan (USRDS, 2011).

G ANATOMI GINJAL

Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang terletak di belakang rongga abdomen, satu di setiap sisi kolumna vertebralis sedikit diatas garis pinggang. Setiap ginjal diperdarahi oleh arteri renalis dan vena renalis, yang masing – masing masuk dan keluar ginjal dilekukan medial yang menyebabkan organ ini berbentuk seperti buncis. Ginjal mengolah plasma yang mengalir masuk ke dalamnya untuk menghasilkan urin yang kemudian mengalir ke sebuah rongga pengumpul sentral (pelvis renalis) yang terletak pada bagian dalam sisi medial di pusat (inti) kedua ginjal. Lalu dari situ urin disalurkan ke dalam ureter, sebuah duktus berdinding otot polos yang keluar dari batas medial dekat dengan pangkal (bagian proksimal) arteri dan vena renalis. Terdapat dua ureter, yang menyalurkan urin dari setiap ginjal ke sebuah kandung kemih. Kandung kemih ( buli – buli) yang menyimpan urin secara temporer, adalah sebuah kantung berongga yang dapat diregangkan dan volumenya disesuaikan dengan mengubah – ubah status kontraktil otot polos di dindingnya. Secara berkala, urin dikosongkan dari kandung kemih keluar tubuh melalui sebuah saluran, uretra. Bagian – bagian sistem kemih diluar ginjal memiliki fungsi hanya sebagai saluran untuk memindahkan urin keluar tubuh. Setelah terbentuk di ginjal, komposisi

(13)

dan volume urin tidak berubah pada saat urin mengalir ke hilir melintasi sisi sistem kemih.

Setiap ginjal terdiri dari sekitar satu juta satuan fungsional berukuran mikroskopik yang dikenal sebagai nefron, yang disatukan satu sama lain oleh jaringan ikat. Susunan nefron di dalam ginjal membentuk dua daerah khusus : daerah sebelah luar yang tampak granuler ( korteks ginjal) dan daerah bagian dalam yang berupa segitiga – segitiga bergaris – garis, piramida ginjal, yang secara kolektif disebut medula ginjal. Setiap nefron terdiri dari komponen vaskuler dan komponen tubulus, yang keduanya secara struktural dan fungsional berkaitan erat.

Komponen vaskuler dari nefron diantara lain : - Arteriol aferen

merupakan bagian dari arteri renalis yang sudah terbagi – bagi menjadi pembuluh – pembuluh halus dan berfungsi menyalurkan darah ke kapiler glomerulus

- Glomerulus

suatu berkas kapiler berbentuk bola tempat filtrasi sebagian air dan zat terlarut dari darah yang melewatinya

- Arteriol eferen

Tempat keluarnya darah yang tidak difiltrasi ke dalam komponen tubulus meninggalkan glomerulus dan merupakan satu – satunya arteriol di dalam tubuh yang mendapat darah dari kapiler

- Kapiler peritubulus

Merupakan arteriol eferen yang terbagi – bagi menjadi serangkaian kapiler yang kemudian membentuk jalinan mengelilingi sistem tubulus untuk memperdarahi jaringan ginjal dan berperan dalam pertukaran cairan di lumen tubulus. Kapiler – kapiler peritubulus menyatu membentuk venula yang akhirnya mengalir ke vena renalis, temoat darah meninggalkan ginjal

Komponen tubulus dari setiap nefron adalah saluran berrongga berisis cairan yang terbentuk oleh satu lapisan sel epitel, di antara lain :

(14)

- Kapsula Bowman

Suatu invaginasi berdinding rapat yang melingkupi glomerulus untuk mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerulus

- Tubulus proksimal

Seluruhnya terletak di dalam korteks dan sangat bergelung (berliku – liku) atau berbelit si sepanjang perjalanannya. Tubulus proksimal menerima cairan yang difiltrasi dari kapsula bowman

- Lengkung henle

Lengkung tajam atau berbentuk U atau yang terbenam ke dalam medula. Pars desendens lengkung henle terbenam dari korteks ke dalam medula, pars assendens berjalan kembali ke atas ke dalam korteks. Pars assendens kembali ke daerah glomerulus dari nefronnya sendiri, tempat saluran tersebut melewati garpu yang dibentuk oleh arteriol aferen dan arteriol eferen. Dititk ini sel – sel tubulus dan sel – sel vaskuler mengalami spesialisasi membentuk aparatus jukstaglomerulus yang merupakan suatu struktur yang berperan penting dalam mengatur fungsi ginjal.

- Tubulus distal

Seluruhnya terletak di korteks. Tubulus distal menerima cairan dari lengkung henle dan mengalirkan ke dalam duktus atau tubulus pengumpul

- Duktus atau tubulus pengumpul

Suatu duktus pengumpul yang menerima cairan dari beberapa nefron yang berlainan. Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk mengosongkan cairan yang kini telah berubah menjadi urin ke dalam pelvis ginjal

Terdapat 2 jenis nefron yaitu nefron korteks dan nefron jukstamedula yang dibedakan berdasarkan lokasi dan panjang sebagian strukturnya. Nefron korteks merupakan jenis nefron yang paling banyak dijumpai dan lengkung tajam dari nefron korteks hanya sedikit terbenam ke dalam medula.

Sebaliknya, nefron jukstamedula terletak di lapisan dalam korteks di dekat medula dan lengkungnya terbenam jauh ke dalam medula. Selain itu, kapiler peritubulus nefron jukstamedula membentuk lengkung vaskuler tajam yang

(15)

dikenal sebagai vasa rekta, yang berjalan berdampingan erat dengan lengkung henle. Susuna paralel dan karakteristik permeabilitas dan transportasi lengkung henle dan vasa rekta berperan penting dalam kemampuan ginjal menghasilkan urin dalam berbagai konsentrasi tergantung kebutuhan tubuh.

H FISIOLOGI GINJAL

Fungsi spesifik yang dilakukan oleh ginjal, yang sebagian besar ditujukan untuk mempertahankan kestabilan lingkungan cairan internal:

1 Mempertahankan keseimbangan H2O dalam tubuh.

2 Mengatur jumlah dan konsentrasi sebagian besar ion cairan ekstrasel.

(16)

3 Memelihara volume plasma yang sesuai, sehingga sangat berperan dalam pengaturan jangka-panjang tekanan darah arteri. Fungsi ini dilaksanakan melalui peran ginjal sebagai pengatur keseimbangan garam dan H2O.

4 Membantu memelihara keseimbangan asam-basa tubuh dengan menyesuaikan pengeluaran H- dan HCO3- melalui urin.

5 Memelihara osmolaritas (konsentrasi zat terlalut) berbagai cairan tubuh, terutama melalui pengaturan keseimbangan H2O.

6 Mengekskresikan (eliminasi) produk-produk sisa (buangan) dari metabolisme tubuh, misalnya urea, asam urat, dan kreatinin. Jika dibiarkan menumpuk, zat-zat sisa tersebut bersifat toksik, terutama bagi otak.

7 Mengekskresikan banyak senyawa asing, misalnya obat, zat penambah pada makanan, pestidsida, dan bahan-bahan eksogen non-nutrisi lainnya yang berhasil masuk ke dalam tubuh.

8 Mensekresikan eritropoietin, suatu horman yang dapat merangsang pembentukan sel darah merah.

9 Mensekresikan renin suatu horman enzimatik yang memicu reaksi berantai yang penting dalam proses konservasi garam oleh ginjal.

10 Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

Ginjal melaksanakan tiga proses dasar dalam menjalankan fungsi regulatorik dan ekskretorik yaitu :

1 Filtrasi Glomerulus

Terjadi filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula Bowman melalui tiga lapisan yang membentuk membran glomerulus yaitu dinding kapiler glomerulus, lapisan gelatinosa aseluler yang dikenal sebagai membran basal dan lapisan dalam kapsula bowman.

Dinding kapiler glomerulus, yang terdiri dari selapis sel endotel gepeng, memiliki lubang – lubang dengan banyak pori – pori besar atau fenestra, yang membuatnya seratus kali lebih permeabel terhadap H2O dan zat terlarut dibandingkan kapiler di tempat lain.

(17)

Membran basal terdiri dari glikoprotein dan kolagen dan terselip di antara glomerulus dan kapsula bowman. Kolagen menghasilkan kekuatan struktural, sedangkan glikoprotein menghambat filtrasi protein plasma kecil.

Walaupun protein plasma yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat melewati pori – pori diatas, pori – pori tersebut sebenarnya cukup besar untuk melewatkan albumin dan protein plasma terkecil. Namun, glikoprotein karena bermuatan sangat negatif akan menolak albumin dan protein plasma lain, karena yang terakhir juga bermuatan negatif. Dengan demikian, protein plasma hampir seluruhnya tidak dapat di filtrasi dan kurang dari 1% molekul albumin yang berhasil lolos untuk masuk ke kapsula bowman.

Lapisan dalam kapsula bowman terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang mengelilingi berkas glomerulus. Setiap podosit memiliki banyak tonjolan memanjang seperti kaki yang saling menjalin dengan tonjolan podosit di dekatnya. Celah sempit antara tonjolan yang berdekatan dikenal sebagai celah filtrasi, membentuk jalan bagi cairan untuk keluar dari kapiler glomerulus dan masuk ke dalam lumen kapsula bowman.

Gambar 1. Lapisan-Lapisan Membran Glomerulus

(18)

Tekanan yang berperan dalam proses laju filtrasi glomerulus adalah tekanan darah kapiler glomerulus, tekanan onkotik koloid plasma, dan tekanan hidrostatik kapsula bowman. Tekanan kapiler glomerulus adalah tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus.

Tekanan darah glomerulus yang meningkat ini mendorong cairan keluar dari glomerulus untuk masuk ke kapsula bowman di sepanjang kapiler glomerulus dan merupakan gaya utama yang menghasilkan filtrasi glomerulus (Tabel 1).

Tabel 1. Gaya-Gaya yang Berperan dalam Filtrasi Glomerulus

Gaya Efek Besar (mmHg)

Tekanan darah kapiler glomerulus Mendorong filtrasi 55 Tekanan osmotik koloid plasma Melawan filtrasi 30 Tekanan hidrostatik kapsul Bowman Melawan filtrasi 15

Tekanan filtrasi netto (perbedaan Mendorong filtrasi 55 - (30 + 15) =

antara gaya yang mendorong filtrasi 10

dengan gaya yang melawan filtrasi)

Laju filtrasi sebenarnya, yaitu laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate, GFR), bergantung tidak saja pada tekanan filtrasi netto, tetapi juga pada seberapa luas permukaan glomerulus yang tersedia untuk penetrasi dan seberapa permeabelnya membran glomerulus (yaitu seberapa tingkat

“kebocoran”nya). Sifat-sifat membran glomerulus ini secara kolektif disebut koefisien filtrasi (Kf). Dengan demikian:

GFR dapat dipengaruhi oleh jumlah tekanan hidrostatik osmotik koloid yang melintasi membran glomerulus. Tekanan onkotik plasma melawan filtrasi, penurunan konsentrasi protein plasma, sehingga menyebabkan peningkatan GFR. Sedangkan tekanan hidrostatik dapat meningkat secara tidak terkontrol dan dapat mengurangi laju filtrasi. Untuk mempertahankan GFR tetap konstan, maka dapat dikontrol oleh otoregulasi dan kontrol simpatis ekstrinsik.

GFR = Kf x tekanan filtrasi netto

(19)

Mekanisme otoregulasi ini berhubungan dengan tekanan darah arteri, karena tekanan tersebut adalah gaya yang mendorong darah ke dalam kapiler glomerulus. Jika tekanan darah arteri meningkat, maka akan diikuti oleh peningkatan GFR. Untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus agar tetap konstan, maka ginjal melakukannya dengan mengubah kaliber arterial aferen, sehingga resistensi terhadap aliran darah dapat disesuaikan. Apabila GFR meningkat akibat peningkatan tekanan darah arteri, maka GFR akan kembali menjadi normal oleh konstriksi arteriol aferen yang akan menurunkan aliran darah ke dalam glomerulus.

Selain mekanisme otoregulasi, untuk menjaga GFR agar tetap konstan adalah dengan kontrol simpatis ekstrinsik GFR. Diperantarai oleh masukan sistem saraf simpatis ke arteriol aferen untuk mengatur tekanan darah arteri sehingga terjadi perubahan GFR akibat refleks baroreseptor terhadap perubahan tekanan darah.

Dalam keadaan normal, sekitar 20% plasma yang masuk ke glomerulus difiltrasi dengan tekanan filtrasi 10 mmHg dan menghasilkan 180 L filtrat glomerulus setiap hari untuk GFR rata – rata 125 ml/menit pada pria dan 160 liter filtrat per hari dengan GFR 115 ml/menit untuk wanita.

2 Reabsorpsi Tubulus

Merupakan proses perpindahan selektif zat – zat dari bagian dalam tubulus (lumen tubulus) ke kapiler peritubulus agar dapat diangkut ke sistem vena kemudian ke jantung untuk kembali diedarkan. Proses ini merupakan transport aktif dan pasif karena sel – sel tubulus yang berdekatan dihubungkan oleh tight junction. Glukosa dan asam amino direabsorpsi seluruhnya di sepanjang tubulus proksimal melalui transport aktif. Kalium dan asam urat hampir seluruhnya direabsorpsi secara aktif dan di sekresi ke dalam tubulus distal. Reabsorpsi natrium terjadi secara aktif di sepanjang tubulus kecuali pada ansa henle pars descendens. H2O, Cl-, dan urea direabsorpsi ke dalam tubulus proksimal melalui transpor pasif. Berikut ini merupakan zat – zat yang direabsorpsi di ginjal :

(20)

a Reabsorpsi Glukosa

Glukosa direabsorpsi secara transpor aktif di tubulus proksimal.

Proses reabsorpsi glukosa ini bergantung pada pompa Na ATP-ase, karena molekul Na tersebut berfungsi untuk mengangkut glukosa menembus membran kapiler tubulus dengan menggunakan energi.

b Reabsorpsi Natrium

Natrium yang difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 98 – 99% akan direabsorpsi secara aktif di tubulus. Sebagian natrium 67% direabsorpsi di tubulus proksimal, 25% direabsorpsi di lengkung henle dan 8% di tubulus distal dan tubulus pengumpul. Natrium yang direabsorpsi sebagian ada yang kembali ke sirkulasi kapiler dan dapat juga berperan penting untuk reabsorpsi glukosa, asam amino, air dan urea.

c Reabsorpsi Air

Air secara pasif direabsorpsi melalui osmosis di sepanjang tubulus.

Dari H2O yang difiltrasi, 80% akan direabsorpsi di tubulus proksimal dan ansa henle. Kemudian sisa H2O sebanyak 20% akan direabsorpsi di tubulus distal dan duktus pengumpul dengan kontrol vasopressin.

d Reabsorpsi Klorida

Ion klorida yang bermuatan negatif akan direabsorpsi secara pasif mengikuti penurunan gradien listrik yang diciptakan oleh reabsorpsi aktif ion natrium yang bermuatan positif. Jumlah Klorida yang direabsorpsikan ditentukan oleh kecepatan reabsorpsi Na

e Reabsorpsi Kalium

Kalium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi secara difusi pasif di tubulus proksimal sebanyak 50%, 40%

kalium akan dirabsorpsi di ansa henle pars assendens tebal, dan sisanya direabsorpsi di duktus pengumpul

f Reabsorpsi Urea

Urea merupakan produk akhir dari metabolisme protein. Ureum akan difiltrasi seluruhnya di glomerulus, kemudian akan direabsorpsi

(21)

sebagian di kapiler peritubulus, dan urea tidak mengalami proses sekresi.

Sebagian ureum akan direabsorpsi di ujung tubulus proksimal karena tubulus kontortus proksimal tidak permeabel terhadap urea. Saat mencapai duktus pengumpul urea akan mulai direabsorpsi kembali.

g Reabsorpsi Fosfat dan Kalsium

Ginjal secara langsung berperan mengatur kadar kedua ion fosfat dan kalsium dalam plasma. Kalsium difiltrasi seluruhnya di glomerulus, 40% direabsorpsi di tubulus kontortus proksimal dan 50% direabsorpsi di ansa henle pars assendens. Dalam reabsorpsi kalsium dikendalikan oleh homon paratiroid. Ion fosfat yang difiltrasi, akan direabsorpsi sebanyak 80% di tubulus kontortus proksimal kemudian sisanya akan dieksresikan ke dalam urin.

3 Sekresi Tubulus

Proses perpindahan selektif zat – zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses sekresi terpenting adalah sekresi H+, K+ dan ion – ion organik. Proses sekresi ini melibatkan transportasi transepitel. Di sepanjang tubulus, ion H+ akan disekresi ke dalam cairan tubulus sehingga dapat tercapai keseimbangan asam basa. Asam urat dan K+ disekresi ke dalam tubulus distal. Sekitar 5% dari kalium yang terfiltrasi akan dieksresikan ke dalam urin dan kontrol sekresi ion K+ tersebut diatur oleh hormon antidiuretik. Kemudian hasil dari ketiga proses tersebut adalah terjadinya eksresi urin, dimana semua konstituen plasma yang mencapai tubulus, yaitu yang difiltrasi atau disekresi tetapi tidak direabsorpsi, akan tetap berada di dalam tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk eksresikan sebagai urin.

(22)

Gambar 2. Proses Dasar pada Ginjal 4 Ekskresi Urin dan Klirens Plasma

125 ml/menit cairan yang difiltrasi di glomerulus, dalam keadaaan normal hanya 1 ml/,menit yang teringgal di tubulus dan diekskresikan sebagai urin. Hanya zat-zat sisa dan kelebihan elektrolit yang tidak diperlukan oleh tubuh dibiarkan berada di dalam tubulus. Karena bahan yang diekskresikan itu disingkirkan atau “dibersihkan” dari plasma, istilah klirens plasma mengacu pada volume plasma yang dibersihkan dari zat tertentu setiap menitnya oleh ginjal.

Ginjal mampu mengekskresikan urin dengan volume dan konsentrasi yang berbeda-beda baik untuk menahan atau mengeluarkan H2O, masing- masing bergantung pada apakah tubuh mengalami defisit atau kelebihan H2O. Ginjal mampu menghasilkan urin dengan rentang dari 0,3 ml/menit pada 1.200 mosm/l sampai 25 ml/menit pada 100 mosm/l dengan mereabsorbsi H2O dalam jumlah bervariasi dari bagian distal nefron. Variasi reabsorpsi ini dimungkinkan oleh adanya gradien osmotik vertikal yang berkisar dari 300 sampai 1.200 mosm/l di cairan interstisium medulla yang dibentuk oleh system countercurrent lengkung Henle dan daur ulang urea antar tubulus pengumpul dan lengkung Henle. Gradien osmotik vertikal tempat cairan tubulus hipotonik (100 mosm/l) terpajan sewaktu cairan mengalir melalui bagian distal nefron ini menciptakan gaya pendorong pasif

(23)

untuk reabsopsi progresif H2O dari cairan tubulus, tetapi tingkat reabsorpsi H2O yang sebenarnya bergantung pada jumlah vasopresin (hormon antidiretik) yang disekresikan. Vasopresin meningkatkan permeabilitas tubulus distal dan pengumpul terhadap H2O; keduanya impermeabel terhadap H2O jika tidak terdapat vasopresin. Sekresi vasopresin meningkat sebagai respons terhadap defisit H2O, dan hal ini menyebabkan peningkatan reabsorpsi H2O. Sekresi vasopresin dihambat jika terdapat kelebihan H2O, sehingga reabsopsi H2O menurun. Dengan cara ini, penyesuaian dalam reabsopsi yang dikontrol oleh vasopresin membantu mengkoreksi setiap ketidakseimbangan cairan.

Setelah terbentuk, urin didorong oleh kontraksi peristaltik melalui ureter dari ginjal ke kandung kemih untuk disimpan sementara. Kandung kemih dapat menampung 250 dsampai 400 ml urin sebelum reseptor regang di dindingnya memulai reflex berkemih. Reflex ini menyebabkan pengosongan kandung kemih secara involunter dengan secara bersamaan menyebabkan kontraksi kandung kemih yang disertai pembukaan sfingter uretra internal dan eksternal. Berkemih dapat untuk beberapa saat dan dengan sengaja dicegah sampai waktu yang lebih tepat dengan pengencangan secara sfingter eksternal dan diafragma pelvis di sekitarnya (Sherwood, 2001).

I PATOFISIOLOGI

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasari, tetapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pada gagal ginjal kronik terjadi pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Perubahan fungsi neuron yang tersisa setelah kerusakan ginjal menyebabkan pembentukan jaringan ikat,

(24)

sedangkan nefron yang masih utuh akan mengalami peningkatan beban eksresi sehingga terjadi lingkaran setan hiperfiltrasi dan peningkatan aliran darah glomerulus. Demikian seterusnya, keadaan ini berlanjut menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau End Stage Renal Disease (ESRD). Adanya peningkatan aktivitas aksis renin- angiotensin-aldosteron intrarenal, hipertensi sistemik, nefrotoksin dan hipoperfusi ginjal, proteinuria, hiperlipidemia ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut (Sudoyo et al., 2014).

Menurut Arora (2016), adanya penurunan LFG dapat menyebabkan:

- Anemia

Anemia normokromik normositik terjadi akibat adanya gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal sehingga terjadi penurunan produksi eritropoietin dan berakibat pada terhambatnya proses pembentukan eritrosit. Anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadi pendek, pada keadaan normal 120 hari menjadi 70 – 80 hari dan toksik uremik ini dapat mempunya efek inhibisi eritropoiesis, sehingga tidak terdapat respon retikulosit.

Penyebab terjadinya anemia pada GGK adalah sebagai berikut: 1) Perdarahan kronik akibat adanya gangguan trombosit yang terkait uremia, 2) Hiperparatiroidism sekunder, 3) Inflamasi, 4) Defisiensi nutrisi, 5) Akumulasi dari penghambat eritropoiesis.

- Sesak nafas

Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi

(25)

angiotensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II berperandalammerangsang pelepasan aldosteron dan antidiuretic hormone (ADH)yang menyebabkan retensi NaCl dan air sehinggavolume ekstrasel meningkat (hipervolemia). Volume cairan yang berlebihan akan memperberat beban kerja jantung, ketika ventrikel kiri gagal memompa darah ke perifer dan dengan adanya hipertrofi ventrikel kiri, maka tekanan atrium kiri akan meningkat, demikian pula terjadi peningkatan tekanan vena pulmonalis. Adanya peningkatan tekanan di kapiler paru yang akan menyebabkan edema paru dan bermanifestasi sebagai sesak nafas.

- Asidosis

Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolikdapat terjadi akibat penurunan kemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+ disertai dengan penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis metabolik pada gagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah bikarbonat melalui urin. Asidosis metabolik dapat menimbulkan gejala saluran cerna seperti mual, muntah, anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis

- Hipertensi

Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II memiliki efek vasokonstriksi perifer kuat sehingga meningkatkan tekanan darah. Selain itu, angiotensin II akan merangsang aldosterone yang menyebabkan retensi natrium dan akan meningkatkan preload.

(26)

- Hiperlipidemia

Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas oleh ginjal sehingga menyebabkan hiperlipidemia.

- Hiperurikemia

Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak, meradang dan nyeri

- Hiponatremia

Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan jumlah nefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran pencernaan berupa kram, diare dan muntah.

- Hiperfosfatemia

Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui, fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap di sendi dan kulit (berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus)

- Hipokalsemia

Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat.

Keadaan hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang (osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat di dalam plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat

(27)

meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal, eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di plasma meningkat.

Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu, rangsangan untuk pelepasan PTH tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH. Kelaina yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia, osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder.

Karena reseptor PTH selain terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf, lambung, sel darah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai kelainan di organ tersebut.

Pembentukan kalsitriol berkurang pada gagal ginjal juga berperan dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya hormon ini merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal ini memperberat keadaan hipokalsemia

- Hiperkalemia

Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel –sel ginjal sehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma.

Peningkatan konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan motilitas saluran cerna dan kelainan mental.

- Proteinuria

Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi.

Proteinuria glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang

(28)

melibatkan glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis.

Sehingga molekul protein berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadi pengeluaran 3,5 g protein atau lebih yang disebut dengan sindrom nefrotik.

- Uremia

Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapat terjadi akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi ke aliran darah dan menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurang dari 10% dari normal, maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral dapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggi dan menyebabkan koma uremikum.

J DIAGNOSIS

1 Gambaran Klinis

Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi:

a) Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes rnelitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.

b) Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang – kejang sampai koma.

(29)

c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).

2 Gambaran Laboratoris

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:

a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal.

c). Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik.

d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cast, isostenuria.

3 Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:

a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.

c). Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

c). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi.

d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi.

e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

(30)

4 Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil-(contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas (Sudoyo et al., 2014).

Menurut National Kidney Foundation KDIGO (2013), kriteria penyakit ginjal kronik (CKD) adalah:

Kriteria CKD ( Terjadi lebih dari 3 bulan) Tanda Kerusakan ginjal

(1 atau lebih) Albumineria (AER ≥ 30 mg/24 jam; ACR ≥ 30mg/g [ ≥ 3 mg/mmol])

Abnormalitas sedimen urin

Kelainan elektrolit dan gangguan tubular Kelainan yang terdeteksi dari radiologi Riwayat transplatasi ginjal

Penurunan GFR GFR < 60 ml/min/1.73 m2 (category G3a-G5) Keterangan kriteria CKD

Kriteria Keterangan

Durasi > 3 bulan Durasi ini diperlukan untuk

membedakan penyakit ginjal kronis atau akut

GFR < 60 ml/min/1.73 m2 (GFR categories G3a-G5)

GFR adalah indeks terbaik untuk mengetahu fungsi ginjal

GFR normal pada dewasa muda adalah 125 ml/min/1.73 m2 . GFR < 15 ml/min/1.73m2 (kategori GFR G5)

(31)

didefinisikan sebagai gagal ginjal Penurunan GFR dapat dideteksi oleh

persamaan estimasi untuk GFR berdasarkan pada SCr atau cystatin C tetapi tidak SCr atau cystatin C sendiri

Penurunan eGFR dapat dikonfirmasi oleh pengukuran GFR

Kerusakan ginjal yang didefinisikan oleh kelainan struktur atau kelainan fungsional selain GFR menurun

Albuminuria sebagai penanda kerusakan ginjal [peningkatan permeabilitas glomerulus] urin AER ≥ 30 mg/24 jam, kurang lebih setara dengan ACR ≥ 30mg/g [ ≥ 3 mg/mmol]

Urin normal ACR dewasa muda < 10 mg/g (<1mg/mmol)

Urine ACR 30 – 300 mg/g (3-30 mg/mmol) biiasanya berhubungan dengan mikroalbumineria disebut cukup meningkat

Urine ACR . 2200 mg/g (220 mg/mmol) bisa disertai dengan tanda- tanda dan gejala sindorma nefrotik (misalnya, albumin serum yang rendah, edema, dan tinggi kolesterol serum)

K nilai Threshold sesuai kira-kira untuk urin nilai reagen strip jejak atau +, tergantung konsentrasi urine.

ACR urin tinggi dapat dikonfirmasi oleh ekskresi albumin urin dalam AER

(32)

Abnormalitas sedimen urin sebagai penanda kerusakan ginjal

hematuria mikroskopis dengan

abnormal morfologi RBC

(Anisocytosis) pada gangguan GBM Endapan RBC di glomerulonefritis

proliferatif

Endapan WBC di pielonefritis atau nefritis interstitial

Oval fat bodies atau endapan lemak pada penyakit dengan proteinuria Endapan Granular dan sel epitel tubular

ginjal di banyak penyakit parenkim (tidak spesifik)

Gangguan tubulus ginjal Tubulus ginjal asidosis nefrogenik diabetes insipidus kalium ginjal berkurang Magnesium ginjal berkurang sindrom Fanconi

Non-albumin proteinuria cystinuria

Kelainan patologis terdeteksi dari histologi

 Penyakit glomerulus (diabetes, penyakit autoimun, infeksi sistemik, obat-obatan, keganasan)

 Penyakit vaskular (aterosklerosis, hipertensi, iskemia, vaskulitis, trombotik mikroangiopati)

(33)

 Penyakit tubulointersisial ( infeksi saluran kemih, batu, obstruksi, obat toksisitas)

 Kistik dan penyakit bawaan

Kelainan struktural sebagai penanda kerusakan ginjal yang terdeteksi oleh pencitraan (Ultrasound, computed tomography dan magnetic resonance dengan atau tanpa kontras,

scan isotop, angiografi)

 Polikistik ginjal polikistik

 Displastik ginjal

 Hidronefrosis karena obstruksi

 Kortikal jaringan parut akibat infark, pielonefritis atau berhubungan dengan vesikoureteral reflux

 massa K ginjal atau ginjal membesar karena penyakit infiltratif

 stenosis arteri ginjal

 ginjal kecil dan hiperechoic (plg sering di CKD yang lebih berat karena banyak penyakit parenkim) Riwayat transplantasi ginjal

 biopsi ginjal pada sebagian besar penerima transplantasi ginjal memiliki kelainan histopatologi bahkan jika GFR 460 ml / min / 1.73m2 (kategori GFR G1-G2) dan ACR < 30 mg / g (< 3 mg / mmol)

 penerima transplantasi ginjal

(34)

memiliki peningkatan risiko untuk kematian dan gagal ginjal dibandingkan dengan populasi tanpa penyakit ginjal

 penerima transplantasi ginjal secara rutin menerima perawatan subspesialisasi

(KDIGO, 2013)

K PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi (Sudoyo, 2014)

 Terapi spesifik mencegah penyakit dasarnya

 Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (comorbid condition)

 Memperlambat perburukan (progression)

 Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi

 Terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi

Rencana Tatalaksana Penyakit Ginjal Kronik sesuai dengan derajatnya (Sudoyo, 2014)

Derajat LFG

(mlmnt/1.73 m2)

Rencana tatalaksana

1 ≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi perburukan (progression) fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskuler

2 60-89 Menghambat perburukan (progression)

fungsi ginjal

3 30-59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 <15 Terapi pengganti ginjal

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid (Sudoyo, 2014);

 Pembatasan asupan protein

(35)

Pembatasan asupan protein dimulai pada LFG ≤60ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan protein tidak terlalu dianjurkan. Protein diberikan 0.6-0.8/kgbb/hari yang 0.35-0.50gram diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgbb/hari. Dibutuhkan pemantauan teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen, fosfat, sulfat, dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal.

Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan-ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus (intraglomerolus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

 Terapi farmakologis

Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerolus antar lain pemakaian obat antihipertenasi. Di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerular Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil

(36)

hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Disamping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa proteinuria berkaitan dengan proses perburukan ginjal dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi seperti ACE dan ARB dapat menghambat perburukan fungsi ginjal

Pembatasan asupan protein dan fosfat pada penyakit ginjal kronik (Sudoyo, 2014)

LFG (ml/mnt/1.73 m2)

Asupan protein g/kg/hari Fosfat g/kg/hari

>60 Tidak dianjurkan Tidak dibatasi

25-60 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≥

0.35 gr/kg/hari nilai biologis tinggi

≤10 gram

5-25 0.6-0.8/kg/hari, termasuk ≥ 0.35 gr/kg/hari nilai biologis tinggi atau tambahan 0.3 gram asam amino esensial atau asam keton

≤10 gram

<60 (sindrom nefrotik)

0.8 gr/kg/hari (+ 1 gram protein/ g proteinuria atau 0.3 kg tambahan asam amino esensial atau asam keton)

≤ 9 gram

Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular (Sudoyo, 2014) Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45 % kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah, pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia,

(37)

pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi (Sudoyo, 2014) - Anemia

Anemia terjadi pada 80-90% pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah, defisiensi besi, kehilangan darah (misal, perdarahan saluran cerna, hematuri), masa hidup eritrosit yang pendek akibat terjadinya hemolisis, defisiensi asam folat, penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik, proses inflamasi akut maupun kronik. Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin < 10 g% atau hematokrit ≤30 % meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/serum iron, kapasitas ikat besi total/Totol lron Binding Capacity, feritin serum), mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalam pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus, dilakukan secara hati-hati, berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yang cermat. Tranfusi darah yang dilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemia dan pemburukan fungsi ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 g/dl.

- Osteodistrofi Renal

(38)

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik yang sering terjadi. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujuan menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperan dalam mengatasi hiperfosfatemia.

- Mengatasi Hiperfosfatemia

Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor. Asupan fosfat dibatasi 600- 800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan, untuk menghindari terjadinya malnutrisi.

- Pemberian pengikat fosfat

Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, aluminium hidroksida, garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat yang berasal dari makanan.

Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calcium acetate.

- Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mimetic agent)

Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada keleniar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida. Obat ini disebut juga calcium mimetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang minimal.

- Pemberian Kalsitriol (1.25 (OH2D3)

Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetapi pemakaiannya tidak begitu luas, tarena dapat meningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di saluran cerna sehingga dikhawatirkan mengakibatkan penumpukan garam kalsium karbonat di

(39)

jaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid.

Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (PTH) > 2,5 kali normal.

- Pembatasan Cairan dan Elektrolit

Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar; baik melalui urin maupun insensible water loss. Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insensible water loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500- 800ml ditambah jumlah urin.

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium.

Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt.

Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.

Terapi Pengganti Ginjal ( Renal Replacement Teraphy )

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

Managemen perburukan dan komplikasi CKD (KDIGO, 2013)

 Tekanan darah dan RAAS

- Direkomendasikan pada orang dewasa diabetes dan non-diabetes dengan CKD dan ekskresi albumin urin <30 mg/dl dalam 24 jam (atau setara) yang tekanan darahnya secara konsisten sistolik ≥140 mmHg

(40)

atau diastolik ≥90 mmHg diterapi dengan obat untuk menurunkan tekanan darah dan mempertahankan tekanan darah yang konsisten

≤140mmHg sistolik dan ≤90 mmHg diastolik.

- Disarankan pada orang dewasa diabetes dan non-diabetes dengan CKD dan dengan ekskresi albumin urin ≥30mg/24 jam (atau setara) yang tekanan darahnya secara konsisten ≥130mmHg sistolik atau

≥80mmHg diastolik diobati dengan obat untuk menurunkan tekanan darah untuk mempertahankan tekanan darah yang konsisten

≤130mmHg sistolik dan ≤ 80mmHg diastolik.

- Obat pengontrol tekanan darah yang disarankan adalah ARB atau ACE- I digunakan pada orang dewasa dengan CKD dengan atau tanpa diabetes dengan sekresi urin albumin 30-300 mg/24 jam (atau setara *) - Direkomendasikan ARB atau ACE-I digunakan pada orang dewasa

dengan CKD dengan diabetes dengan ekskresi albumin 30-300 mg/24 jam

- Direkomendasikan ARB atau ACE-I digunakan pada orang dewasa dengan CKD dengan diabetes atau non-diabetes dengan ekskresi albumin >300 mg/24 jam

 Intake Protein

- Direkomendasikan penurunan intake protein 0.8 g/kg/hari pada orang dewasa dengan diabetes atau tanpa diabetes dan GFR <30 ml/min/1.73 m2 , dengan edukasi yang sesuai.

- Sebaiknya intake protein tinggi dihindari (1.3 g/kg/hari) pada orang dewasa dengan CKD, dengan risiko progresi

 Kontrol glikemik

- Direkomendasikan target hemoglobin A1c (HbA1c) ~ 7.0% (53 mmol/mol) untuk mencegah dan menghambat progresi komplikasi mikrovaskuler diabetes, termasuk diabetic kidney disease.

- Tidak direkomendasikan pemberian terapi pada pasien dengan HbA1c

<7.0% (<53 mmol/mol) pada pasien dengan risiko hipoglikemia

(41)

- Disarankan target HbA1c diatas 7.0% (53 mmol/mol) pada individu dengan komorbid atau harapan hidup terbatas dan risiko hipoglikemia.

- Pada orang dengan CKD dan diabetes, kontrol glikemik harus menjadi bagian dari strategi intervensi multifaktorial kontrol tekanan darah dan risiko kardiovaskular, mempromosikan penggunaan angiotensin- converting enzyme atau angiotensin receptor blocker, statin, dan terapi antiplatelet tidak diindikasikan secara klinis

 Asupan garam

- Sebaiknya asupan garam diturunkan menjadi <90mmol (<2 g) per hari natrium (setara dengan 5 g natrium klorida) pada orang dewasa, kecuali kontraindikasi.

- Sebaiknya pembatasan asupan natrium untuk anak-anak dengan CKD yang memiliki hipertensi (sistolik dan/atau tekanan darah diastolic

>95th persentil) atau prehipertensi (tekanan darah sistolik dan /atau diastolik >90th persentil dan <95th persentil), mengikuti Rekomendasi Daily Intake berdasarkan usia.

- Direkomendasikan suplementasi air dan suplemen natrium untuk anak- anak dengan CKD dan poliuria untuk deplesi intravaskular kronis dan untuk mempromosikan pertumbuhan yang optimal.

 Hiperurisemia

- Belum ada bukti yang cukup untuk mendukung atau menolak penggunaan agen untuk menurunkan konsentrasi asam urat serum pada orang dengan CKD dan hiperurisemia baik simtomatik atau asimtomatik untuk menunda perkembangan CKD.

 Gaya hidup

- Direkomendasikan agar penderita CKD melakukan aktivitas fisik yang kompatibel dengan kesehatan jantung dan toleransi (bertujuan untuk setidaknya dilakukan 30 menit 5 kali per minggu), mencapai berat

(42)

badan yang sehat (BMI 20 sampai 25, sesuai dengan demografi negara), dan berhenti merokok.

 Saran diet tambahan

- Sebaiknya individu dengan CKD menerima saran diet ahli dan informasi dalam konteks program pendidikan, disesuaikan dengan tingkat keparahan CKD dan kebutuhan intervensi garam, fosfat, kalium, dan asupan protein sesuai yang diindikasikan.

 Komplikasi Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Ginjal - Definisi dan identifikasi anemia pada CKD

- Diagnosa anemia pada orang dewasa dan anak-anak >15 tahun dengan CKD adalah ketika konsentrasi Hb adalah <13.0 g / dl (<130g/l) pada laki-laki dan <12.0 g / dl (<120 g / l) pada wanita.

- Diagnosa anemia pada anak-anak dengan CKD jika konsentrasi Hb

<11.0 g / dl (<110 g / l), pada anak-anak 0,5-5 tahun <11.5 g / dl (115 g / l) pada anak-anak 5-12 tahun, dan <12.0 g / dl (120 g / l) pada anak 12-15 tahun.

 Evaluasi anemia pada penderita CKD

Untuk mengidentifikasi anemia pada penderita CKD dilakukan pengukuran konsentrasi Hb

- Ketika secara klinis diindikasikan pada orang dengan GFR ≥60 ml / menit / 1,73 m2

- Setidaknya setiap tahun pada orang dengan GFR 30-59 ml / menit / 1,73 m2

- Setidaknya dua kali per tahun pada orang dengan GFR <30 ml / menit / 1,73 m2

 CKD, Penyakit Tulang dan Abnormalitas Laboratorium

- Sebaiknya dilakukan pengukuran kadar serum kalsium, fosfat, PTH, dan aktivitas fosfatase alkali setidaknya sekali pada orang dewasa dengan GFR <45 ml / menit / 1,73 m2 untuk menentukan nilai-nilai dasar dan menginformasikan persamaan prediksi jika digunakan.

(43)

- Disarankan tidak melakukan tes densias mineral tulang secara rutin pada mereka dengan eGFR <45 ml / menit / 1,73 m2, informasi dapat menyesatkan atau tidak membantu.

- Pada orang dengan GFR <45 ml / menit / 1,73 m2, sebaiknya menjaga serum fosfat konsentrasi dalam batas normal sesuai dengan nilai-nilai referensi laboratorium lokal.

- Pada orang dengan GFR <45 ml / menit / 1,73 m2 tingkat PTH optimal tidak diketahui.

- Disarankan penderita dengan kadar PTH utuh di atas batas normal tersebut dievaluasi untuk hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan kekurangan vitamin D

 Suplemen vitamin D dan bifosfonat pada penderita CKD

- Disarankan tidak rutin diresepkan suplemen vitamin D atau vitamin D analog, dengan tanpa adanya dokumentasi yang menunjukkan kekurangan vitamin D, untuk menekan konsentrasi PTH tinggi pada orang dengan CKD yang tidak dalam dialisis.

- Disarankan untuk tidak diresepkan pengobatan bifosfonat pada orang dengan GFR <30 ml/menit/1,73 m2 tanpa alasan klinis yang kuat.

 Asidosis

- Disarankan pada orang dengan CKD dan konsentrasi serum bikarbonat

<22 mmol/l pengobatan dengan bikarbonat secara peroral diberikan untuk menjaga serum bikarbonat dalam kisaran normal, kecuali bila terdapat kontraindikasi.

 Manajemen Pengobatan Pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik

- Penghentian sementara obat yang berpotensi nefrotoksik dan diekskresi melalui ginjal pada orang dengan GFR <60 ml/menit/1,73 m2 yang memiliki penyakit penyerta serius yang meningkatkan risiko AKI. Agen ini meliputi, tetapi tidak terbatas pada: RAAS blocker (termasuk ACE- Is, ARB, inhibitor aldosteron, inhibitor renin langsung), diuretik, NSAID, metformin, lithium, dan digoxin.

Gambar

Gambar 1. Lapisan-Lapisan Membran Glomerulus
Tabel 1. Gaya-Gaya yang Berperan dalam Filtrasi Glomerulus
Gambar 2. Proses Dasar pada Ginjal 4 Ekskresi Urin dan Klirens Plasma

Referensi

Dokumen terkait

Kriteria inklusi dalam penelitian ini, yaitu a Seluruh pasien gagal ginjal kronis yang menjalani hemodialisis di RSD Mangusada Badung b Pasien gagal ginjal kronis yang menjalani

The results showed that the information and training variables p = 0.010 were significantly related to the compliance of health workers in the application of standard precautions at