• Tidak ada hasil yang ditemukan

REFLEK(SI) PITUNG DALAM IMPLEMENTASI PRINSIP KEADILAN DI SEKTOR PAJAK

N/A
N/A
Nguyễn Gia Hào

Academic year: 2023

Membagikan "REFLEK(SI) PITUNG DALAM IMPLEMENTASI PRINSIP KEADILAN DI SEKTOR PAJAK"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

REFLEK(SI) PITUNG DALAM IMPLEMENTASI PRINSIP KEADILAN DI SEKTOR PAJAK

Irodatul Chasanah1) Iwan Triyuwono Universitas Brawijaya

1)irodatul.chasanah95@gmail.com

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prinsip keadilan dalam metafora si Pitung sebagai alternatif prinsip keadilan di sektor pajak.

Peneliti berusaha mengungkapkan bahwa prinsip keadilan dalam perpajakan masa kini belum berjalan secara optimal seperti yang dicita-citakan bangsa Indonesia.

Fenomena ini berawal dari cara pandang masyarakat yang hanya melihat satu sisi terhadap dunia akuntansi, termasuk dalam hubungannya dengan prinsip keadilan di sektor pajak yang terpusat pada aspek materi semata. Namun, pada faktanya realitas sosial menunjukkan bahwa prinsip keadilan dari berbagai aspek selain aspek materi dapat dipertimbangan demi terwujudnya perpajakan yang berkeadilan (rakyat). Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan paradigma kritis.

Penelitian ini menggunakan refleksi dari pahlawan nasional sekaligus contoh teladan penegak keadilan Indonesia, si Pitung sebagai alat untuk mengetahui konsep baru dari prinsip keadilan di sektor pajak. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa prinsip keadilan yang diterapkan dalam perpajakan Indonesia seharusnya dapat disesuaikan dengan konsep keadilan masyarakat Indonesia. Dengan mengutamakan unsur non materi di dalam prinsip keadilan pajak berupa konsep keadilan dalam cakupan unsur estetika (imani, berani dan benar) dan etika (humanis, merakyat dan empati) sebagai wujud pembebasan dari belenggu unsur materi yang sebelumnya lebih dominan. Sehingga, melalui refleksi terhadap kedua unsur keadilan tersebut diharapkan dapat memperbaiki kondisi perpajakan Indonesia menuju perpajakan yang berkeadilan sosial, serta membentuk suatu keharmonisan berbagai aspek terkait penerapan keadilan di sektor pajak.

Kata Kunci: Prinsip Keadilan, Sektor Pajak, Si Pitung

(2)

Abstract

This study determines the fairness principles based on the metaphor of Si Pitung as an alternative fairness principle in taxation. Researchers attempt to reveal that the present-day taxation has not been implemented according to the Indonesian national aspiration thanks to the common society’s perspective of seeing only one dimension of accounting, especially in relation to the fairness principle in taxation, which centered merely on the material aspect. Whilst, in reality, other aspects should be considered to realize fair taxation for the people. This research employs qualitative approach with a critical paradigm. The reflection of the Indonesian national heroic figure “Si Pitung” is the research tool to present the notion of new concept of fairness principle in taxation. The results indicate that the fairness principle implemented in Indonesian taxation should be adjusted to the concept of fairness of Indonesian society, that emphasizes non-material aspects such as esthetic aspects (pious, courageous and truthful) and ethical aspects (humanist, populist and empathic) as a liberation from the previously more dominant material aspects. The reflection of the two fairness aspects is expected to ameliorate Indonesian taxation establishing cooperative aspects resulting in fair taxation for the people.

Keywords: Fair Principle, Taxation, Si Pitung

PENDAHULUAN

Pendapatan negara yang digunakan untuk pembangunan Indonesia bersumber dari penerimaan perpajakan, penerimaan negara bukan pajak, dan hibah. Dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN), kontribusi pendapatan negara dari sektor pajak memiliki pengaruh yang sangat dominan di atas penerimaan bukan pajak dan hibah. Perpajakan layak untuk menjadi fokus perhatian dalam pengetahuan (akuntansi) masa kini. Karena, pajak merupakan sumber penerimaan utama negara, baik di pusat maupun daerah yang menjadi penyokong andalan dalam pembangunan dan kesejahteraan Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Siahaan (2010). Pajak digunakan sebagai sumber dana pembiayaan pemerintah dalam pembangunan nasional untuk fungsi budgeter.

Sedangkan, untuk fungsi regulerend, pajak digunakan pemerintah untuk mengatur berbagai kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi dan sosial, serta untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Mardiasmo, 2011). Demi mewujudkan sasaran perpajakan yang dimaksud, sistem perpajakan harus berlandaskan pada suatu prinsip atau norma dasar yang kuat seperti yang diungkapkan oleh Zain (2008).

Prinsip pemungutan pajak dalam perundang-undangan di Indonesia mengarah pada pemikiran Adam Smith yang tertuang dalam buku Wealth of Nations pada tahun 1776. Terdapat empat pedoman dalam buku tersebut yang kemudian disebut sebagai the four canons of Adam Smith atau the four maxim. Keempat prinsip tersebut tertuang dalam undang-undang perpajakan yakni, prinsip equality and equity, certainty, convienience of collection, dan economics of collections.

Prinsip keadilan menjadi dasar pijakan dalam pemungutan pajak.

Seharusnya, prinsip tersebut dipegang teguh agar sistem perpajakan dapat berjalan

(3)

dengan baik. Kondisi perpajakan Indonesia di masa kini, baik pada sistem maupun prinsipnya tidak dapat dipungkiri merupakan bagian dari sejarah yang tidak terpisahkan dari peradaban manusia di masa lalu. Burton (2014) menyebutkan bahwa sifat pajak di masa lalu tidak lain hanya untuk kepentingan sepihak dan seolah-olah ada tekanan psikologis. Sebab, status sosial atau kedudukan raja lebih tinggi dibandingkan dengan rakyat pribumi. Hal ini menyebabkan rakyat harus menanggung beban pajak yang tidak sesuai dengan kemampuannya dan sangat menindas rakyat kecil. Pajak di masa kini memiliki aturan yang tidak jauh berbeda dengan masa lampau yang merupakan kewajiban yang dipaksakan. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 Pasal 23 A yang menyatakan bahwa,

Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang.

Dari pernyataan di atas memiliki urgensi penarikan dengan cara paksa yang didasarkan pada fakta pelaksanaan tugas pemerintahan yang sudah diatur dalam undang-undang. Dalam sistem perpajakan di masa pemerintah kolonial Belanda tidak heran jika banyak rakyat kecil yang tertindas. Karena, pemerintahan di masa itu didominasi dengan nilai-nilai kapitalisme (Burton, 2014). Unsur penindasan yang pada akhirnya menunjukkan adanya ketidakadilan terhadap rakyat pribumi nampaknya masih membekas di sistem perpajakan masa kini. Walaupun, aturan perpajakan yang kini dibuat lebih modern dan mempertimbangkan sisi keadilan dibandingkan pada masa kolonial. Nilai-nilai kapitalisme dalam sistem perpajakan tetap saja masih dominan hingga saat ini.

Keberadaan isu-isu ketidakadilan dalam pajak itu sendiri yang mengindikasikan belum terlaksananya perpajakan Indonesia yang memenuhi prinsip keadilan, di mana prinsip tersebut merupakan prinsip paling penting diantara prinsip-prinsip perpajakan lainnya. Karena, keadilan menjadi poin penting sebagai dasar pembentukan hukum perpajakan. Namun, hukum perpajakan belum tentu menjadi dasar dari suatu keadilan. Begitu pula dengan realitas sosial dalam ilmu pengetahuan (akuntansi) yang disebut Mckernan (2004) bahwa suatu kecintaan terhadap nilai-nilai keadilan sangat dibutuhkan sebagai dasar agar mampu menyediakan dasar yang kuat dalam penyampaian informasi pelaporan keuangan. Senada dengan hal tersebut, Boot (2012) mengungkapkan tujuan dari adanya teori keadilan (seperti teori John Rawl) adalah untuk mengidentifikasi dan mengintegrasikan, serta menyusun prinsip dasar keadilan yang relevan dengan realitas sosial yanga ada. Berangkat dari permasalahan ketidakadilan perpajakan masa kini yang tidak lepas dari pengaruh sistem perpajakan yang sebenarnya masih kapitalis dengan meniadakan unsur kemanusiaan, menjadi alasan peneliti untuk mengembalikan semangat keadilan yang menjadi dasar dalam prinsip keadilan di sektor pajak.

Pencarian prinsip keadilan di sektor pajak yang dipilih peneliti adalah dengan menggunakan metafora tokoh lokal penegak keadilan dari Betawi, si Pitung. Soelihun adalah nama asli si Pitung yang lebih dikenal sebagai Pendekar Betawi (Soekardi dan Ali, 2005). Sosok si Pitung digambarkan sebagai seorang pendekar sakti, muslim yang saleh, bahkan bandit (dalam pandangan Belanda) yang tidak takut dengan penjajah (Van Till, 1996). Si Pitung memiliki kepribadian yang akan selalu dikenang masyarakat melalui nilai-nilai positif dalam memperjuangkan keadilan di masanya. Sejalan dalam hal tersebut, jika dikaitkan

(4)

dalam perpajakan Indonesia menjadi suatu tantangan agar perpajakan masa kini yang keberadaannya memaksa mampu memenuhi keadilan sosial dan dapat memakmurkan masyarakat hingga ke rakyat kecil, bukan hanya memakmurkan kantong penguasa pajak itu sendiri. Semangat perubahan menuju prinsip keadilan yang sesuai dengan kepribadian bangsa menjadi kunci utama dalam pembebasan ketidakadilan. Sebab, perpajakan yang kapitalis faktanya dilindungi oleh hukum.

Sehingga, keadilan bukan lagi menjadi dasar dari hukum perpajakan, melainkan dibuat oleh hukum yang tidak lepas dari sejarah peradaban yang kapitalis.

Prinsip-prinsip keadilan di sektor pajak saat ini belum sesuai dengan harapan masyarakat Indonesia. Sehingga, tidak dapat dipungkiri jika saat ini semangat kepatuhan masyarakat untuk taat membayar pajak semakin menurun.

Hal ini mengingatkan kembali pada kenangan sejarah bahwa ketika muncul ketidakadilan, maka pembangkangan terhadap sistem perpajakan itu sendiri akan tetap terjadi. Penekanan isu keadilan tercermin dalam sosok si Pitung yang bekerja sama dengan teman-temannya untuk membebaskan ketidakadilan atas penindasan kompeni Belanda. Si Pitung merebut kembali harta rakyat kecil dan mendistribusikannya kembali ke warga yang dirampas hak-haknya (Soekardi dan Ali, 2005). Dalam penggunaan metafora pada prinsip keadilan di sektor pajak, keadilan yang ditegakkan si Pitung merupakan bentuk sinkronisasi sistem perpajakan masa kini dengan sistem upeti di masa si Pitung. Sehingga, si Pitung melalui kepribadiannya tepat untuk menggambarkan wujud pembebasan dan perubahan sistem perpajakan yang memenuhi prinsip keadilan. Si Pitung menjadi sosok teladan keadilan yang sesuai dengan kepribadian bangsa. Sehingga, perlu adanya perenungan dan penggalian konsep terhadap nilai-nilai pada prinsip keadilan di sektor pajak dengan kepribadian si Pitung. Selanjutnya, perlu adanya internalisasi nilai positif dalam kepribadian si Pitung tersebut ke sistem perpajakan secara keseluruhan, baik pemerintah sebagai fiskus dan masyarakat sebagai waib pajak. Keterlibatan aktif pemerintah dan masyarakat sangat penting dalam menciptakan prinsip keadilan di sistem perpajakan Indonesia yang sesuai dengan harapan bangsa.

Berbagai uraian di atas menjadi alasan yang melatarbelakangi peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Reflek(si) Pitung dalam Implementasi Prinsip Keadilan di Sektor Pajak” .

METODOLOGI PENELITIAN

Tidak ada suatu penelitian tanpa adanya metode penelitian. Metode penelitian menurut Triyuwono (2006:280) adalah cara seorang peneliti untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan teoritis atau praktis yang sedang dihadapinya mulai dari pengumpulan data sampai pada analisis data. Penelitian ini termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan studi pustaka mengenai isu penelitian yang berfokus pada prinsip keadilan di sektor pajak.

Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2004:3) menyebutkan bahwa metodologi penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan dari perilaku yang diamati. Penelitian ini dilakukan melalui telaah pemikiran para ahli atau tokoh yang pikiran-pikiran mereka tersebar dalam beberapa buku, artikel, dokumen dan lain-lainnya tentang keadilan dan pemikiran kritis si Pitung

(5)

mengenai keadilan di masanya yang relevan dalam kajian perpajakan dengan berfokus pada prinsip keadilan di sektor pajak.

Pemilihan paradigma merupakan hal penting yang berhubungan dengan metode penelitian, di mana menentukan hasil dalam suatu penelitian. Paradigma merupakan cara pandang kita terhadap dunia atau realita atau ilmu (bahkan akuntansi) melalui asumsi fundamental mengenai Tuhan, manusia, alam, realita dan bahkan semesta. Jika asumsi adalah suatu keyakinan, maka tumbuhnya keyakinan juga disebabkan oleh banyak faktor seperti yang diungkapkan Kamayanti (2016) bahwa keberanian untuk mengklaim bahwa paradigma yang berasal dari luar Indonesia tentu tidak selalu sama dengan paradigma yang dibangun dengan asumsi dasar yang diyakini di Indonesia. Dengan demikian, paradigma dianggap sebagai cara pandang terhadap dunia yang didasarkan pada asumsi-asumsi yang berasal dari keimanan.Triyuwono (2015) menyebutkan bahwa paradigma penelitian kualitatif terdiri dari beberapa jenis paradigma penelitian, yaitu paradigma fungsionalisme (positivisme), paradigma interpretivisme, paradigma kritisme, dan paradigma posmodernisme yang selanjutnya dikembangkan ke arah paradigma agama. Paradigma positivisme merupakan penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan (to explain) dan meramalkan (to predict) suatu fenomena.

Penelitian pada paradigma yang disebutkan diatas harus dapat menjelaskan fenomena-fenomena akuntansi, terutama dengan penjelasan sebab-akibat (cause- effect relationship). Paradigma interpretivis merupakan suatu penelitian yang bertujuan untuk menafsirkan (to interpret) dan memahami (to understand) fenomena akuntansi. Paradigma kritis merupakan penelitian yang bertujuan untuk membebaskan (to emancipate) dan mengubah (to transform). Sedangkan, paradigma posmodernisme memiliki karakter yang sangat majemuk, yaitu mengombinasikan berbagai pemikiran yang bahkan bisa bertentangan antara yang satu dengan yang lain dengan tujuan untuk melakukan dekonstruksi (to deconstruct). Paradigma modern (positivisme) yang disebut oleh Mulawarman (2013) saat ini memandang kekuatan di luar manusia tidak lagi berperan pada diri manusia secara signifikan, tetapi manusia adalah pusat dari segala sesuatu.

Namun, perkembangan paradigma dalam akuntansi modern sebenarnya memiliki unsur subjektivitas, baik disengaja atau tidak seperti yang diungkapkan oleh Triyuwono (2015).

Bentuk kritikal dalam penelitian menggunakan refleksi yang tidak memandang dari normalitas barat. Namun, sikap kritis yang berdasarkan pada kearifan dan warisan kepribadian tokoh lokal budaya dari salah satu pahlawan nasional, si Pitung sebagai simbol pembebas ketidakadilan. Berdasarkan pertimbangan dari berbagai pernyataan yang dijabarkan di atas, peneliti meyakini bahwa paradigma penelitian yang cocok untuk digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis. Data merupakan sarana dalam penelitian yang digunakan sebagai langkah untuk mendapatkan sebuah hasil. Data dalam penelitian kualitatif menurut Moleong (2004:11) dapat berupa kata-kata, gambar dan bukan berisi angka-angka. Dengan demikian pada bentuk laporan kualitatif, informasi yang berisi dan bersumber dari kutipan-kutipan data untuk menggambarkan laporan data secara menyeluruh merupakan suatu hal yang biasa ditemui dalam format laporan penelitian yang ditulis oleh peneliti.

(6)

Moleong (2004:157-163) membagi jenis penelitian kualitatif berdasarkan sumber data yang dimilikinya ke dalam dua bentuk, yaitu kata-kata dan tindakan.

Setelah melakukan pengumpulan data, penulis kemudian melakukan analisis terhadap data tersebut. Moleong (2004:247) mendefinisikan analisis data sebagai proses mengorganisasikan dan mengurutkan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. Peneliti melakukan penggalian terhadap nilai- nilai positif kepribadian si Pitung yang berfokus pada semangat keadilan yang diperjuangkan di masanya. Kemudian, nilai-nilai tersebut direfleksikan dengan prinsip keadilan di sektor pajak agar memenuhi nilai-nilai keadilan sosial, tanpa menghilangkan unsur kebudayaan dan kearifan lokal bangsa Indonesia yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penggunaan metafora si Pitung diperkuat melalui keterkaitan masalah keadilan yang hingga kini masih hangat untuk ditelaah lebih lanjut dengan sistem perpajakan Indonesia yang ada saat ini.

Penggunaan metafora si Pitung dalam prinsip keadilan di sektor pajak berfokus pada keadilan rakyat kecil dengan memasukkan unsur-unsur yang sebelumnya belum didudukkan secara adil. Untuk dapat diaplikasikannya prinsip keadilan di sektor pajak dalam metafora si Pitung ini, kesadaran hati nurani semua pihak, baik pemerintah selaku pemangku kepentingan dan masyarakat sebagai wajib pajak perlu diperhatikan dalam perjalanan sistem perpajakan yang mengutamakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai sila ke 5 pancasila. Jika semua pihak mampu bekerja sama dengan baik demi terciptanya keadilan perpajakan yang dicita-citakan bangsa Indonesia. Maka, bangsa ini akan memiliki sistem perpajakan yang tidak hanya berfokus pada materi pengumpulan pajak semata. Namun, juga berfokus pada unsur non materi untuk memperbaiki nasib mereka yang paling kurang beruntung yakni rakyat kecil dengan memberikan manfaar pajak secara adil dan merata. Agar manfaatnya dapat dirasakan oleh semua pihak di negara tercinta, Indonesia ini.

PEMBAHASAN

Prinsip Keadilan di Sektor Pajak

Negara Indonesia merupakan negara yang berdasarkan hukum dan menganut paham kesejahteraan. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah yaitu dalam kebijakan fiskal dengan mengatur penerimaan dan pengeluaran negara dalam APBN. Dalam ekonomi Islam, tujuan kebijakan fiskal adalah untuk menciptakan stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung dalam aturan Islam (Sofyan, 2016). Pajak berupa pungutan dan atau kutipan secara resmi oleh pemerintah terhadap rakyatnya yang dilindungi oleh UU yang dibuat oleh pemerintah Indonesia sendiri. Dalam pembuatannya UU tersebut tidak perlu melibatkan rakyat karena pemerintah berasal dari rakyat. Selain itu, pembebanan pajak oleh pemerintah kepada rakyat juga dikatakan belum merata (tidak adil).

Hal ini ditunjukkan dengan adanya kelompok-kelompok istimewa, kelompok yang berjasa terhadap negara atau pemerintah. Dengan adanya pembedaan tersebut, dapat memicu konflik yang terjadi seperti, konflik antara rakyat yang dibebani dengan rakyat yang tidak dibebani pajak (horizontal) dan konflik antara rakyat dengan pemerintah (vertikal).

(7)

Dua sisi perlawanan yang berbeda kepentingan dan tujuan akan berdampak pada konflik yang berkepanjangan jika tidak segera diatasi bersama (Pandiangan, 2015). Kemunculan Adam smith sebagai pelopor asas-asas pemungutan pajak yang dikenal dengan “The Four Maxims” pada abad ke 18 yang juga diterapkan oleh Indonesia. Salah satu prinsip yang sangat krusial sekali sekaligus menjadi dasar dari suatu hukum (hukum pajak) yakni, prinsip keadilan (Equality). Penulisan penelitian ini berusaha menjadikan keadilan sebagai salah satu prinsip perpajakan yang lebih baik dari sebelumnya. Dengan membebaskan aspek dalam prinsip keadilan pajak yang tersingkir atau tertindas dan mengembalikannya ke posisi yang adil. Sebagaimana memosisikan aspek keadilan dalam hukum (undang-undang perpajakan) dengan keadilan yang diinginkan oleh masyarakat Indonesia. Karena, sifat keadilan pajak yang kini mutlak dalam undang-undang belum bisa sepenuhnya mencerminkan sifat keadilan yang sesuai dengan harapan masyarakat. Prinsip filosofis emansipatoris menjadi suatu gerakan perubahan menuju arah prinsip keadilan pajak yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan oleh masyarakat Indonesia (Triyuwono, 2015). Dengan demikian diharapkan aspirasi masyarakat mampu membawa Indonesia memiliki sistem perrpajakan yang lebih adil berkeadilan sesuai dengan sila ke-5 Pancasila .

Darmodiharjo dan Shidarta (1995) menyebutkan dalam Pasal 1 Undang- Undang No. 14 Tahun 1970 tentang nilai dalam prinsip Keadilan. Kewajiban menegakkan keadilan yang tidak hanya di pertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vetikal kepada Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 4). Soemarso (2007) juga menyatakan bahwa salah satu kriteria dalam merancang sistem perpajakan adalah perlu diterapkannya prinsip keadilan.

Keadilan pajak mencakup 2 hal, yaitu Keadilan Vertikal (Vertikal Equality) dan Keadilan Horizontal (Horizontal Equality). Keadilan vertikal ditinjau dari subjeknya (orang yang membayar pajak). Sedangkan, keadilan horizontal dilihat dari aspek objeknya. Pengorganisasian sistem perpajakan melalui administrasi yang baik membawa konsekuensi politik bagi membaiknya hubungan negara dan rakyat. Apabila administrasi memenuhi kriteria sosial sebagai kompensasi yang diterima rakyat, nilai kepatuhan wajib pajak akan lebih baik. Penyimpangan dalam administrasi pajak berpotensi membawa pola hubungan yang menyimpang di antara aktor pajak, yakni aparat pajak dan wajib pajak (Irianto, 2009). Sistem administrasi pajak yang baik berkorelasi positif dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk menunaikan kewajibannya sebagai wajib pajak.

Sistem administrasi pajak perlu dikembangkan secara kontinyu agar dapat memotivasi wajib pajak. Pengembangan tersebut akan menyebakan meningkatnya penerimaan pajak. Namun, di lain sisi bukan hanya peningkatan penerimaan saja yang perlu diperhatikan. Akan tetapi, keadilan rakyat juga menjadi hal utama yang harus diperhatikan dalam sistem perpajakan Indonesia.

Bentuk kritikal terhadap prinsip keadilan di sektor pajak saat ini menggunakan refleksi yang tidak memandang dari normalitas barat. Namun, sikap kritis yang berdasarkan pada kearifan dan warisan kepribadian tokoh lokal dari salah satu pahlawan bangsa, si Pitung sebagai simbol pembebas ketidakadilan. Sehingga, penulis menggali unsur yang tertindas dalam prinsip keadilan di sektor pajak untuk didudukkan secara adil melalui pembebasan dan perubahan dalam metafora kepribadian si Pitung yang berwujud unsur Estetika (spiritual) maupun Etika (Mental) yang pada akhirnya menjadi satu kesatuan berupa keadilan sosial.

(8)

Soebagjo (2016) menyatakan bahwa tantangan yang semakin kompleks ke depannya dibutuhkan partisipasi masyarakat dengan dukungan semua pemangku kepentingan. Sehingga, harapan negara Indonesia bisa menjadi negara yang berintegritaas dan menjunjung tinggi keadilan sosial bisa terwujud demi terciptanya kesejahteraan bangsa Indonesia. Prinsip Benefit maupun prinsip kesanggupan membayar sebenarnya konsisten sebagai unsur materi dalam prinsip keadilan di sektor pajak. Karena prinsip keadilan horizontal dan prinsip keadilan vertical, dan dalam waktu yang sama prinsip ini mengikat antara kebijakan pajak dan kebijakan pengeluaran (Simanjuntak dan Mukhlis, 2012). Berkaitan dalam hal ini, penelitian yang dilakukan berusaha menjadikan prinsip keadilan di sektor pajak mampu memberika konsep yang tidak melupakan budaya bangsa. Dengan meletakkan unsur estetika dan etika yang sejajar dengan unsur materi yang sebelumnya sudah diterapkan secara nasional. Sehingga, harapan perpajakan yang sesuai dengan prinsip keadilan bisa benar-benar diwujudkan saat ini secara adil dan merata.

Unsur Estetika si Pitung dalam Prinsip Keadilan Pajak

Prinsip keadilan di sektor pajak salah satunya adalah keadilan vertikal.

Pada mulanya keadilan vertikal hanya melihat dari satu sisi materi yang berupa aspek subjek pajak saja. Kemudian, aspek tersebut disejajarkan dengan unsur estetika yang diharapkan bisa mewujudkan keadilan vertikal yang sebenarnya yakni, keadilan yang erat kaitannya antara makhluk dan TuhanNya. Kamayanti (2012) menyebutkan bahwa cinta kepada Sang Pencipta sangat penting untuk dibangkitkan sebagai pemicu kesadaran holistik. Dengan mengutamakan unsur estetika berupa kesadaran berketuhanan diharapkan mampu menciptakan kecerdasan spiritual yang berimbang dengan kecerdasan intelektualnya. Masih ada ketidaksinkronan antara implementasi dengan kebudayaan lokal Indonesia yang menjadi tugas bersama masyarakat Indonesia. Bangsa ini masih selalu beruntung, kausalitas peristiwa, baik yang bersifat individual maupun massal, masih (budaya lokal) ditangkap dan dimaknakan penuh toleransi.

Makna budaya mempunyai substansinya sendiri, ber-eksistensi pada dirinya sendiri. Dalam kontek penindasan yang keterlaluan-pun diyakini pasti ada akhirnya. Menghadapi suatu masa kekacauan, satu masa yang sering disebut

“jaman edan”, bersamaan dengan itu, muncul isyarat “ratu adil”. Tanda masih adanya pengharapan dan usaha keras mencari dan menunggu jalan keluar. Ratu yang berhak mengadili sumber malapetaka. Bung Karno dalam pembelaannya di depan sidang kolonial Belanda di Bandung 1930 pernah berpidato yang dikenal dengan ”Indonesia Menggugat” (Riyanto, 2014). Dengan demikian, prinsip perpajakan harus disinkronkan dengan memunculkan unsur yang selama ini masih didominasi dengan unsur materi semata yaitu salah satunya adalah unsur estetika.

Unsur Etika si Pitung dalam Prinsip Keadilan Pajak

Prinsip keadilan di sektor pajak setelah keadilan vertikal adalah keadilan horizontal. Pada mulanya keadilan horizontal hanya melihat dari satu sisi materi yang berupa aspek objek pajak. Kemudian, aspek tersebut disejajarkan dengan unsur etika yang diharapkan bisa mewujudkan keadilan horizontal yang sebenarnya. Yakni, keadilan yang menyatukan manusia satu dengan manusia lainnya melalui pembebasan sosial. Prinsip keadilan horizontal tidak lepas dari

(9)

prinsip keadilan vertikalnya yang saling berkaitan dan diharapkan mampu menciptakan stabilitas perpajakan yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan adil berkedilan sosial. Menurut Swasono (1988) musuh yang paling besar untuk manusia adalah kebodohan dan kemiskinan. Mengenai kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial dapat dicapai jika mau bertekad untuk mengubah nasib. Kritik Islam atas kapitalisme yang terjadi di Indonesia, karena tidak menjamin kesejahteraan masyarakat terutama rakyat kecil. Hanya menimbulkan kesenjangan ekonomi dan ketidaksamaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Selain itu, Surahmat (2008) menyatakan bahwa pajak yang dibebaskan di Indonesia tidak selalu dinikmati oleh investor yang bersangkutan. Karena, sangat bergantung pada perlakuan pajak yang diterapkan di negara asal investor dan ketentuan lain yang mempengaruhinya. Selain itu dampak tax haven yang memengaruhi pembangunan internasional menunjukkan betapa pentingnya kebijakan dalam perpajakan yang mampu menciptakan kesejahteraan secara global (Christensen, 2011). Sehingga, unsur-unsur etika dalam prinsip perpajakan terutama prinsip keadilan pajak diharapkan dapat menjadi jembatan antara pengampu pajak dan masyarakat wajib pajak agar saling bersinergi satu sama lain.

Hukum hanya sebagai formalitas yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya atau bahkan pelaksanaan hukum yang berlebihan.Sehingga, korupsi bisa diterima baik oleh masyarakat dengan kondisi sistem yang bukan semestinya bisa diterima, walaupun dengan nilai-nilai feodal yang tidak sesuai dengan warisan budaya leluhur Indonesia (Soedarso, 2009). Unsur etika dalam kepribadian si Pitung berupa nilai humanis, merakyat dan empati menjadi bentuk prinsip keadilan di sektor pajak yang berkembang sesuai kepribadian bangsa. Agar hukum tidak hanya sebatas formalitas belaka dengan mengimbangi unsur materi yang mendominasi. Dengan cara menampakkan ke permukaan unsur estetika dan etika dalam prinsip keadilan di sektor pajak. Sehingga, bukan hanya materi yang dikejar, namun kebahagiaan spriritual dan kepekaan sosial dalam perpajakan mampu di naikkan tingkatanya ke level yang sejajar dengan prinsip keadilan pajak yang sudah ada sebelumnya. Triyuwono (2006) menyatakan bahwa simbol etika berupa wawasan mengenai pengetahuan akuntansi syariah yang dapat dijadikan sumber daya untuk membangun realitas atau memperbarui realitas-realitas yang ada. Pengetahuan yang ada harus mampu membebaskan manusia dari cengkraman segala sesuatu yang bersifat semu (memperbudak dan mengasingkan) manusia dari fitrahnya sebagai Khalifah Tuhan di bumi. Posisi unsur materi berupa prinsip keadilan horizontal disejajarkan dengan unsur non materi (unsur etika) agar dapat bersinergi dengan kedua unsur sebelumnya yakni unsur estetika yang disejajarkan dengan prinsip keadilan vertikalnya.

Refleksi Keadilan Sosial dalam Implementasi Prinsip Keadilan Pajak

Prinsip Keadilan di sektor pajak Indonesia dengan unsur materi yang sudah ada yakni, prinsip keadilan vertikal maupun prinsip keadilan horizontal akan lebih sesuai dengan kepribadian bangsa jika disejajarkan dengan unsur non materi dari metafora kepribadian salah satu tokoh nasional bangsa, si Pitung. Untuk prinsip keadilan vertikal yang mulanya berfokus pada aspek subjek pajak, jika dimasukkan unsur non materi berupa unsur estetika si Pitung maka akan terbentuk suatu konsep keadilan vertikal yang lebih bermakna yakni keadilan dalam pemenuhan keindahan batin seseorang (Religiusitas). Selanjutnya, prinsip

(10)

keadilan di sektor pajak yang kedua yakni, keadilan horizontal pada mulanya hanya berfokus pada unsur materi berupa aspek objek pajak saja, dengan mensejajarkan unsur non materi berupa unsur etika si Pitung maka akan terbentuk suatu konsep keadilan vertikal dalam pemenuhan kebutuhan sosial yang sesungguhnya. Sehingga, baik dalam konsep prinsip keadilan vertikal maupun horizontal di sektor pajak akan menyatu dalam satu kesatuan prinsip keadilan sosial “si Pitung” yang sesuai dengan sila kelima pancasila yang berbunyi

“Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia”.

Hukum hanya sebagai formalitas yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya atau bahkan pelaksanaan hukum yang berlebihan.Sehingga, korupsi bisa diterima baik oleh masyarakat dengan kondisi sistem yang bukan semestinya bisa diterima, walaupun dengan nilai-nilai feodal yang tidak sesuai dengan warisan budaya leluhur Indonesia (Soedarso, 2009). Selain itu, Trisasongko (2016) menyatakan bahwa Semakin maraknya kasus korupsi-kejahatan di sektor perpajakan Indonesia yang ditemukan KPK dalam OTT, maka semakin merugikan potensi penerimaan negara. Selain itu, menurunkan kemampuan negara dalam membiayai program-program pembangunan dan kesejahteraan, serta menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap aparatur perpajakan masa kini.

Kasus korupsi di instansi yang menangani pidana perpajakan adalah suatu ironi karena pajak adalah urat nadi pembangunan ekonomi.

Problematika kemiskinan merupakan akibat dari distribusi pendapatan dan kekayaan yang tidak merata di tengah-tengah masyarakat. Pemikiran ekonomi telah merumuskan dan memberi solusi tentang bagaimana kemiskinan terjadi dan ditinjau dari beberapa aspek tak terkecuali sosial-ekonomi. Aspek keadilan sangat mendominasi mengapa kemiskinan dapat terjadi dan bagaimana kemiskinan dapat diatasi (Almas, 2015). Selain itu, menurut Suma (2015) dalam Al-Qur’an telah diajarkan teori dan praktik ekonomi yang benar-benar berdimensikan keadilan, pemerataan, dan keberkahan. Terutama yang diperoleh melalui akad dengan asas saling rela. Tidak ada keadilan tanpa pemerataan, sebagaimana tidak mungkin ada pemerataan tanpa keadilan. Keadilan ekonomi yang merata dan pemerataan ekonomi yang adil pada akhirnya dapat melahirkan suasana kehidupan yang berkah atau melahirkan keberkahan hidup sesuai Al-Qur'an. Pajak yang dipaksakan menurut Undang-Undang dalam implikasinya diharapkan mampu dijalankan secara suka rela berdasarkan nilai imani dan empati yang disejajarkan dengan nilai materialnya (uang yang dipungut dalam pajak). Sejalan dengan pemikiran si Pitung yang mengutamakan kepentingan rakyat kecil di atas kepentingan golongan tertentu, maka sudah selayaknya unsur estetika maupun unsur etika didudukkan secara sejajar dengan unsur sebelumnya yang sudah ada dalam prinsip keadilan di sektor pajak.

Di masa kini sosok si Pitung menjadi simbol perlawanan atas ketidakadilan yang terjadi terutama untuk rakyat kecil. Karena sudah seharusnya kesejahteraan dan kesetaraan dirasakan oleh seluruh rakyat Indonesia. Bukan hanya dinikmati oleh segelintir penguasa saja. Karena, keadilan yang sesungguhnya diharapkan oleh masyarakat Indonesia bukan hanya sekedar dituangkan dalam undang-undang atau sekedar teori belaka. Akan tetapi, dalam implementasi perwujudan kesejahteraan bangsa juga harus dilaksanakan secara adil berkeadilan. Seperti dalam implementasi sistem perpajakan yang sudah selayaknya mementingkan prinsip keadilan sosial. Sehingga, sistem perpajakan

(11)

sebagai aplikasi pewujudan keadilan rakyat bisa terlaksana dengan baik, baik itu dari sisi fiskus maupun wajib pajak sebagai satu kesatuan. Kamayanti (2016) mengusulkan adanya sebuah perubahan asumsi atas normalitas akuntansi (fungsionalitas semata) agar keadilan tidak menjadi sekedar mitos. Si Pitung sebagai metafora yang tepat karena kajian tentang si Pitung banyak menempatkan tokoh ini sebagai mitos urband legend yang aksinya dilakukan untuk mendapatkan keadilan (sisi kemanusiaan). Demikian juga dalam hal prinsip keadilan dalam sistem perpajakan Indonesia, bukan hanya aspek objek dan subjek pajak yang diperhatikan. Namun, menyeimbangkannya dengan memasukkan kedua unsur secara sejajar, baik estetika (hubungan dengan Tuhan) maupun etika (hubungan dengan sesama makhuk) menjadi satu kesatuan prinsip keadilan dalam sistem perpajakan Indonesia yang menjunjung tinggi “keadilan sosial”. Hal tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak untuk mau bersama sama menggunakan hati nurani masing-masing demi terciptanya prinsip keadilan yang nantinya menghasilkan sumber pendapatan negara yang amanah dan berkah.

KESIMPULAN

Permasalahan tentang ketidakadilan di sektor pajak menjadi perhatian utama dalam penelitian ini. Karena, sektor perpajakan yang memiliki kontribusi besar dalam pembangunan bangsa yang seharusnya mengutamakan keadilan sebagai salah satu prinsip utama dalam perpajakan. Namun, pada faktanya kini masih banyak permasalahan keadilan. Sehingga, tujuan dari penelitian mengenai konsep prinsip keadilan di sektor pajak ini untuk menyesuaikan prinsip keadilan yang sudah ada dengan kepribadian bangsa Indonesia. Si Pitung dengan kepribadian khasnya untuk memperjuangkan keadilan kaum lemah cocok sebagai metafora keadilan perpajakan Indonesia agar prinsip keadilan di sektor pajak dapat berfokus pada kepentingan rakyat kecil di atas kepentingan kaum terbatas (penguasa dan pemangku kepentingan pajak) yang kini masih mendominasi.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai konsep prinsip keadilan di sektor pajak, kepribadian si Pitung dapat dijadikan metafora dalam kritik atas implementasi prinsip keadilan pajak di Indonesia. Kepribadian si Pitung tersebut dapat diklasifikasikan menjadi 2 unsur prinsip keadilan sosial “si Pitung”, yakni unsur estetika dan etika si Pitung.

Makna unsur berupa suatu perwujudan keindahan batin atas dasar cinta dan bahagia terhadap nikmatnya iman dan keberanian dalam berjuang untuk menegakkan kebenaran (agama) berupa keadilan hakiki yang bersumber dari Tuhan. Si Pitung yang memiliki nilai imani, berani dan mau membela kebenaran pada akhirnya membentuk kepribadian yang berakhlak (beretika) seperti nilai humanis, merakyat dan empati terhadap lingkungan sekitarnya. Jadi, makna dari unsur etika si Pitung berupa suatu bayangan dari keindahan batin atau perbuatan (Al-Ihsan) yang dipengaruhi oleh perasaan sosialnya sebagai makhluk sosial untuk melakukan pembebasan sosial sebagai tanggung jawab terhadap Tuhan dan sesama manusia. Sehingga, implementasi unsur etika si Pitung (perasaan sosial) yang terbentuk dari unsur estetikanya diharapkan mampu mendorong generasi penerus bangsa untuk menghidupkan kembali keadilan sosial yang dicita-citakan.

Prinsip keadilan di sektor pajak Indonesia dengan unsur materi yang sudah ada yakni, prinsip keadilan vertikal maupun prinsip keadilan horizontal akan lebih sesuai dengan kepribadian bangsa, jika disejajarkan dengan unsur non

(12)

materi dari metafora kepribadian salah satu tokoh nasional bangsa, si Pitung.

Untuk prinsip keadilan vertikal yang mulanya berfokus pada aspek subjek pajak, jika dimasukkan unsur non materi berupa unsur estetika si Pitung maka akan terbentuk suatu konsep keadilan vertikal yang lebih bermakna yakni keadilan dalam pemenuhan keindahan batin seseorang (Religiusitas). Selanjutnya, prinsip keadilan di sektor pajak yang kedua yakni, keadilan horizontal pada mulanya hanya berfokus pada unsur materi berupa aspek objek pajak saja, dengan mensejajarkan unsur non materi berupa unsur etika si Pitung maka akan terbentuk suatu konsep keadilan vertikal dalam pemenuhan kebutuhan sosial yang sesungguhnya. Kemudian, keduanya saling bersinergi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Prinsip keadilan pajak dalam metafora si Pitung diharapkan mampu menjadi aksi nyata bagi semua pihak, baik fiskus, wajib pajak, dan bangsa Indonesia secara umum dalam sistem perpajakan secara keseluruhan. Agar melihat keadilan dalam perpajakan bukan hanya sekedar mitos belaka. Namun, setiap individu dari seluruh bangsa Indonesia mampu merefleksikannya ke dalam metafora si Pitung. Penerapan prinsip keadilan di sektor pajak dalam metafora tersebut bisa diterapkan di Indonesia. Karena masyarakat Indonesia menginginkan prinsip keadilan pajak yang karakternya sesuai dengan warisan dan budaya lokal bangsa Indonesia. Konsep yang sudah ada disesuaikan dengan memberikan manfaat paling besar bagi mereka yang kurang beruntung yakni rakyat kecil.

Sehingga, baik dalam konsep prinsip keadilan vertikal maupun horizontal di sektor pajak akan menyatu dalam satu kesatuan prinsip keadilan sosial “si Pitung”

yang sesuai dengan sila kelima pancasila yang berbunyi “Keadilan Sosial bagi Seluruh rakyat Indonesia”.

DAFTAR PUSTAKA

Almas, B. (2015). Zakat Dan Pajak : Keadilan Redistribusi Perspektif Islam.

Unversitas Brawijaya.

Boot, M. (2012). The Aim of a Theory of Justice. Ethical Theory and Moral Practice, Vol. 15(No. 1), 7–21.

Burton, R. (2014). Kajian Perpajakan dalam Konteks Kesejahteraan dan Keadilan. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Christensen, J. (2011). The Looting Continues: Tax Havens and Corruption.

Critical Perspectives on International Business, Vol. 7(No. 2), pp. 177–196.

https://doi.org/10.1108/17422041111128249

Darmodiharjo dan Shidarta. (1995). Pokok-Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Gramedia Pustaka Utama.

Garjon. (2011). Si Pitung Jawara Betawi Asli! (1st ed.). Yogyakarta: Gerai Comics (Grup Mediakom).

(13)

Irianto, E. S. (2009). Pajak Negara dan Demokrasi: Konsep dan Implementasinya di Indonesia. Laksbang Mediatama.

Kamayanti, A. (2012). Cinta: Tindakan Berkesadaran Akuntan (Pendekatan Dialogis dalam Pendidikan Akuntansi). Jurnal Akuntansi Multiparadigma, hal. 1–25.

Kamayanti, A. (2013). Riset Akuntansi Kritis: Pendekatan (Non) Feminisme Tjoet Njak Dhien. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 4(No. 3), Hal. 361-375.

Kamayanti, A. (2015). METODE PENELITIAN “ KUALITATIF ” ( SEPUCUK SURAT UNTUK TUHAN ). Workshop Metode Penelitian Di Universitas Mercu Buana, Jakarta, Agustus, hal. 1–10.

Kamayanti, A. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar Religiositas Keilmuan (2nd ed.). Jakarta: Yayasan Rumah Peneleh.

Mardiasmo. (2011). Perpajakan Edisi Revisi 2011. Yogyakarta: Andi.

Mckernan, J. F. (2004). Accounting, Love and Justice. Accounting, Auditing &

Accountability Journal, Vol. 17(No. 3), 327–360.

https://doi.org/10.1108/09513570410545777.

Moleong, L. J. (2004). Metodologi Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mulawarman, A. D. (2011). Akuntansi Syariah Teori, Konsep dan Laporan Keuangan (2nd ed.). Bani Hasyim Press & E Publishing.

Mulawarman, A. D. (2013). Nyanyian Metodologi Akuntansi Ala Nataatmadja:

Melampaui Derridian Mengembangkan Pemikiran Bangsa “Sendiri.” Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 4(No. 1), hal. 149-164.

Mulawarman, A. D. (2013). Wacana Kebudayaan dan Manusia indonesia: Wacan (Pingine) Ora Nglantur. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, hal. 1-8.

Pandiangan, R. (2015). Hukum Pajak. Graha Ilmu.

Riyanto. (2014). Budaya Lokal: Kekuatan dan Keunikan Budaya. Masyarakat Akuntansi Multiparadigma Indonesia FEB UB, hal. 1–9.

Siahaan, M. P. (2010). Pajak Daerah & Retribusi Daerah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Simanjuntak dan Mukhlis. (2012). Dimensi Ekonomi Perpajakan dalam Pembangunan Ekonomi. Raih Asa Sukses.

Soebagjo, N. (2016). Laporan Tahunan Transparency International Indonesia (TII) 2015. TI Indonesia.

(14)

Soedarso, B. (2009). Latar Belakang Sejarah dan Kultural Korpusi di Indonesia.

UI - Press.

Soekardi dan Ali. (2005). Si Pitung Pendekar Betawi: Cerita Rakyat Betawi.

Bandung: CV. Pustaka Setia.

Soemarso, S. R. (2007). Perpajakan: Pendekatan Komprehensif. Salemba Empat.

Sofyan, S. (2016). Peran Negara dalam Perekonomian (Tinjauan Teoritis Kebijakan Fiskal dalam Ekonomi Islam). Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. 13(Desember), hal 288–314.

Suma, M. A. (2015). Tafsir Ayat Ekonomi: Teks, Terjemah dan Tafsir. Amzah.

Surahmat, R. (2008). Bunga Rampai Perpajakan (2nd ed.). Salemba Empat.

Swasono, E. (1988). Sekitar Kemiskinan dan Keadilan (Dari Cendekiawan Kita tentang Islam. UI - Press.

Trisasongko, D. (2016). Forum Pajak Berkeadilan: OTT Sampai Kapan? TI Indonesia.

Triyuwono, I. (2010). “Mata Ketiga”: Se Laen, Sang Pembebas Sistem Pendidikan Tinggi Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 1(No.

1), Hal 1–23.

Triyuwono, I. (2006). Perspektif, Metodologi, dan Teori Akuntansi Syariah (1st ed.). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Triyuwono, I. (2010). “Mata Ketiga”: Se Laen, Sang Pembebas Sistem Pendidikan Tinggi Akuntansi. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 1(No.

1), Hal 1–23.

Triyuwono, I. (2011). Mengangkat “Sang Liyan” untuk Formulasi Nilai Tambah Syari’ah. Jurnal Akuntansi Multiparadigma, Vol. 2(No. 2), Hal. 186-368.

Triyuwono, I. (2015). Akuntansi Syariah: Perspektif, Metodologi, dan Teori (2nd ed.). Jakarta: Rajawali Pers.

Van Till, M. (1996). In Search of si Pitung: The History of an Indonesian Legend.

Bijdragen Tot de Taal, Land En Volkenkunde, 152, 461–482.

Zain, M. (2008). Manajemen Perpajakan (Edisi 3). Salemba Empat.

Undang-Undang Dasar 1945

Referensi

Dokumen terkait

Yoga Priawan (12135100), Rancang Bangun Aplikasi Pengenalan Wisata Dan Kuliner Budaya Purworejo Berbasis Android Dengan Metode Prototype Masyarakat saat ini sudah banyak

A total 29 variants have been characterized in this study, obtained from the DNA of one Indonesian PTPS patients and 33 healthy individuals as control.. Those alterations were